Wednesday, November 28, 2007

Tuhan Sumber Kekuatan dan Penghiburan

Terus terang membaca buku “Menyeberangi Sungai Air Mata” dari Romo A. Sumarwan SJ membuat saya berlinang air mata. Buku yang disusun berdasarkan tugas kuliah Teologi Rekonsiliasi ini memang mengaduk perasaan. Selain beberapa kisah yang cukup detail, kelengkapan unsur orang yang diwawancara cukup beragam. Ada yang berkisah tentang “coro” yang dibencinya, ada yang berkisah bagaimana dia dianggap seorang “coro”. Satu hal penting yang terasa adalah betapa kekuatan hidup itu tidak berasal dari manusia sendiri tapi berasal dari Tuhan melalui perantaraan manusia-manusia lain juga. Penguatan yang mereka dapatkan menjadi bekal mereka untuk terus hidup dan terus mencintai Tuhan.

Bacaan renungan kemarin dan hari ini mungkin bisa membantu menguatkan kita dalam menjalani kehidupan ini. Hidup ini terasa tidak mudah, tetapi membaca buku di atas membuat saya tersentak. Betapa terlalu kecilnya masalah yang saya hadapi bila dibandingkan dengan penderitaan orang-orang itu. Betapa besar pergulatan mereka untuk tetap percaya kepada kehadiran kuasa Allah. Penyiksaan-penyiksaan itu merupakan cobaan besar yang bisa membuat setiap orang kehilangan kepercayaan pada hadirnya Allah dan keadilanNya. Bila saya pernah ikut mempertanyakan “Mengapa Tuhan diam?” maka taraf pertanyaan saya belum setara dengan teriakan nurani yang tersobek-sobek karena merana dizalimi seperti mereka ini.

Lukas 21:19 mengatakan “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu…”. Kisah-kisah yang dikumpulkan Romo Sumarwan dan teman-temannya sungguh sebuah contoh nyata betapa mereka bertahan dan kemudian memperoleh hidup mereka di dalam Allah. Betapa tangan Allah menguatkan mereka dalam penderitaan dan memberikan pelajaran-pelajaran dari kesusahan mereka yang menjadi bekal hidup mereka di kemudian hari.

Dalam bagian meditasi buku Mutiara Iman mencontohkan seorang anak yang ingin membantu seekor kupu-kupu keluar dari kepompongnya. Dia merobekkan kepompong itu untuk mengeluarkan makhluk tak berdaya yang sedang berjuang untuk keluar dari keterikatannya. Apa yang kemudian diperolehnya? Kupu-kupu itu mati!

Mengapa aku takut berjuang? Aku takut berbuat kesalahan dalam perjuangan itu. Aku takut terjatuh dalam kancah percobaan dan tidak mampu keluar dari perangkap. Sekarang bergantian artis-artis tua ditangkap karena kasus narkoba. Sebuah perangkap yang memenjarakan mereka bahkan di tengah kebebasan fisiknya. Itulah yang aku takuti. Takut bahwa penderitaan membuat aku tidak kuat dan terjatuh ke lubang dalam yang tak tertolongkan. Aku lupa bahwa yang akan menolong adalah Gembala Yang Maha Kuasa. Betapa besar KuasaNya, dan betapa menentramkan jaminan dariNya.

“Apabila semuanya itu mulai terjadi, bangkitlah dan angkatlah mukamu, sebab penyelamatanmu sudah dekat…” (Luk 21:28). Dari bacaan diatas buku Mutiara Iman menyatakan bahwa bagi orang yang senantiasa mengusahakan hidup yang baik, benar dan bertanggung jawab, di hadapan Tuhan maupun sesamanya, maka orang itu tidak punya alasan yang mendasar untuk gentar bila hari kiamat atau hari kematiannya tiba.

Kematian bukan hal yang menakutkan bagi diriku, bahkan terkadang terasa sebagai jalan terbaik untuk berhenti berjuang. Suatu kesalahan besar untuk berfokus kepada kehidupan kekal tanpa keinginan berjuang melalui cobaan hidup ini. Bila kerikil-kerikil kecil saja sanggup membuatku terantuk, bagaimana bila harus melawan badai menyeberangi sungai air mata? Tidakkah akan hilang tempatku di rumahNya yang kekal?

Kalau sekarang ini aku mulai takut pada kematian, itu adalah karena kehadiran anak-anak yang dititipkanNya. Terkadang aku lupa bahwa itu adalah anak-anakNya yang dititipkan kepadaku. Hal ini membuat aku takut dipanggilNya sebelum tugasku sebagai seorang ibu rampung. Aku kembali lupa bahwa Dia yang menitipkan akan menjaga yang dititipkanNya walaupun aku tidak ada. Bahkan disaat aku ada, kelalaianku senantiasa tertutupi oleh penjagaanNya.

Ya Bapa yang Maha Kuasa,
Maha Baik dan Penyayang,
Kuasa dan KasihMu senantiasa melindungi kami anak-anakMu,
Terima kasih atas cinta yang berlimpah yang terkadang tidak kami syukuri Bapa.
Terkadang kami jatuh karena kesalahan kami sendiri dan kami marah merasa Engkau tidak menjaga,
Betapa kami belum juga menjadi dewasa di dalam diriMu ya Bapa,
Dewasakan kami ya Bapa,
Bimbing kami dalam jalan berbatu dan berliku.
Ingatkan kami untuk membantu sesama,
Menjadi perpanjangan tanganMu di kala menyeberangi sungai yang berbahaya,
Saling menolong dan berpegangan tangan ,
Melalui rintangan yang mengahadang di depan.
KekuatanMu adalah sumber tenaga kami,
PelitaMua adalah sumber terang dalam kelam malam.
Tuhan,
Temani kami selalu agar tak jauh dari kerajaanMu.
Amin.

Thursday, November 22, 2007

Rumahku Adalah Rumah Doa

Menjadi orang Katolik dengan segala tata cara ekaristi yang bagi sebagian orang menjemukan sesungguhnya merupakan berkat. Bila bisa bertekun dalam doa sepanjang ekaristi maka sungguh hubungan personal dengan Allah yang dapat kita tuai. Sementara itu segala tahapan doa yang sama persis di seluruh dunia membantu kita untuk merasa satu dan bersaudara di dalam gereja Katolik dimanapun kita berada. Gereja Allah adalah umatNya. Demikian juga kataNya dalam Lukas 19:46: “RumahKu adalah rumah doa”. Sanggupkah kita umatNya menjadikan diri kita rumah doa?

Dalam renungan kelompok hari ini seorang teman menceritakan pengalamannya ke Eropa. Betapa tercengangnya dia melihat keindahan dan kemegahan Katedral di Koln. Betapa terbantunya dia mengikuti perayaan ekaristi dalam bahasa Jerman yang asing bagi telinganya karena kemiripan tata cara dengan yang kita jalani di Indonesia. Demikian juga lagu-lagu yang digunakannya betapa mirip dengan lagu-lagu di Puji Syukur. Sungguh makna universal atau umum dari agama Katolik terasa.

Saya beruntung karena lebih dari sepuluh tahun lalu pernah juga merasakan ke gereja Katolik di berbagai kota di Eropa. Yang teringat adalah betapa mudahnya kita melaksanakan niat bila Tuhan ada bersama niat itu sendiri. Saya teringat betapa sering saya kebingungan dimana letak gereja Katolik, tetapi senantiasa berhasil menemukannya. Bukan hanya menemukan, tetapi senantiasa muncul di saat yang tepat…mendekati misa kudus! Pengalaman menjadi satu dalam doa sungguh terasa di Lourdes terutama dalam upacara cahaya di sore hari, melihat orang-orang sakit dibantu oleh para relawan, merasakan kebersamaan dalam doa-doa dalam berbagai macam bahasa. Saat itu sungguh terasa betapa Tuhan menyatukan kita semua.

Lonceng gereja juga menjadi pertanda bagi saya. Beruntung karena di Eropa lonceng Angelus senantiasa berbunyi, jadi begitu tiba di suatu kota maka pada jam 12 siang saya akan mendengar bunyi lonceng gereja dan bisa berusaha mencarinya. Pernah di suatu kota di Perancis (lupa dimana, bukan di Paris…mungkin di Angers) saya sudah mendengar lonceng itu dan berusaha mencarinya keesokan paginya. Betapa kecewa ketika menemukan pintu gereja terkunci. Hal ini sebenarnya hal biasa di Indonesia (senang bahwa sekarang semakin banyak yang membuka pintu gereja sepanjang hari), tapi waktu itu tidak biasa saya temui di Eropa. Kecewa karena jadwal saya yang sangat singkat di kota itu mungkin tidak akan memungkinkan saya berdoa di dalam gereja itu, sementara keinginan saya adalah untuk berdoa di dalam gereja di setiap kota yang saya kunjungi. Dengan sedih saya berbalik untuk pulang, tapi tiba-tiba saya mendengar suara koor yang bagaikan nyanyian para malaikat di telinga saya. Mengikuti asal suara itu saya berhasil menemukan pintu kecil yang membawa saya masuk ke sebuah ruang kecil dimana sedang diadakan misa pagi. Puji Tuhan, tanganNya menuntun saya ke dalam GerejaNya. Komunitas yang berdoa adalah komunitas biara dan beberapa umat yang tentunya sudah hadir tepat waktu karena tidak terlihat orang masuk lagi setelah saya.

Mengenai masalah tepat waktu saya juga bingung, apakah lebih baik terlambat daripada tidak ke gereja atau lebih baik tidak ke gereja karena terlambat? Orang di Indonesia sepertinya memilih yang pilihan pertama sementara sebagian besar orang di Eropa tampaknya lebih memilih opsi kedua. Mungkin ini bukan pengamatan yang akurat. Selain waktu yang saya habiskan di Eropa tidak cukup lama, kejadian ini juga sudah terlalu lama berlalu mungkin yang teringat tidak lagi sepenuhnya benar.

Melihat tapi tidak tahu, mendengar tapi tidak mengerti, merupakan ungkapan betapa sering kita tidak berhasil menangkap keinginan Allah. Mencari peneguhan dariNya, mencari kedamaian yang timbul dari pengambilan keputusan yang tepat, hanya dapat diperoleh melalui doa. RumahKu adalah rumah doa!

Tuhan,
Terima kasih atas kemurahan hatiMu kepada kami,
ajarilah kami untuk berdoa,
ajari kami untuk mengajak keluarga kami berkumpul dan bersatu dalam doa.
Bantulah kami menyediakan waktu,
terkadang 24 jam tidak terasa cukup,
tapi sesungguhnya bila kuhitung
tak cukup sejam daku sungguh diam dan berdoa…
Ajari dan bantu kami berdoa yang benar ya Bapa,
karena kami perlu belajar dari cintaMu yang mahabesar.
Amin.

Wednesday, November 21, 2007

Damai Sejahtera

Siapa yang tidak ingin memperoleh damai sejahtera bagi dirinya dan juga bagi sesama di sekitarnya? Saya sungguh ingin memperolehnya. Rasanya setiap langkahku kutujukan untuk hal itu. Tapi seringkali ke “Aku”an membuat kita buta dan bodoh.

Dalam Lukas 19:41-42 Yesus menangisi sebuah kota, alangkah baiknya jika penduduk kota itu mengerti apa yang perlu untuk damai sejahtera mereka. Mungkin Yesus juga menangisi saya, betapa buta dan degil saya yang terus berjuang untuk sesuatu yang tidak akan membawa damai sejahtera dalam kehidupanku.

Jalan menuju damai sejahtera ada padaNya. Tapi yang mengendalikan mobil itu di atas jalanan adalah kita sendiri. Alangkah sulitnya mengharmonisasi permainan gas, kopling dan rem dalam mengemudikan mobil itu. Membiarkan Tuhan yang bekerja terus bagi kita juga tidak benar, Allah menginginkan kita dengan kehendak bebas kita untuk ikut berpikir dan memilih. Berpikir dan memilih sendiri sarat dengan ancaman akan jatuh pada kepercayaan akan “Aku” yang terlalu besar. Ada saatnya kita lupa mengandalkan Tuhan. Ada saatnya kita berpikir hanya dalam kacamata pribadi dan melupakan kacamata sesama.

Menjadi pendengar bagi sesama yang berbeban berat juga sangat menyulitkan. Beban mereka seringkali terasa ringan dibandingkan beban kita sendiri. Alih-alih memberikan dukungan yang menguatkan, kita malah memberikan komentar yang mengecilkan arti kesulitannya. Akan adakah damai sejahtera? Tidak!

Tuhan,
Terima kasih atas berkat kehendak bebas yang kami peroleh,
tolong aku untuk mengerti
bagaimana memperoleh damai sejahtera dalam kehidupanku,
bagaimana membagikan damai sejahtera ke dalam kehidupan di sekitarku.
Bantu daku untuk lebih mengenalMu,
lebih mengenal jalanMu yang perlu kupilih.
Bantu daku untuk lebih mendengarkan
sabdaMu maupun kesah sesamaku…
Beri daku kekuatan dan kebijaksanaanTuhan,
Dalam menuju damai sejahteraMu.
Amin.

Monday, November 19, 2007

Kesetiaan

Beberapa hari yang lalu saya di undang menghadiri sakramen perkawinan seorang teman. Ketika melihat acara dengan koor yang indah, ditambah denting-denting harpa merdu dari Heidy Awuy saya sempat berpikir:"Kebahagiaan hari ini sebenarnya adalah langkah awal dalam menjalani segala tantangan hidup".

Pastur kemudian berkothbah tentang kesetiaan dan kepercayaan. Betapa seringkali kepercayaan yang disalah gunakan membuat kita sulit untuk mempercayai kembali seseorang. Dan juga tentang sulitnya menjalankan janji kesetiaan itu sendiri. Pada waktu melihat pengantin memasuki gereja yang terpikirkan adalah komitmen yang mereka akan janjikan dan yang akan merubah kehidupan mereka setelah keluar dari gereja. Maka pada saat mendengar kothbah pastur yang terbayang adalah betapa sering kita sebagai GerejaNya mengecewakan Allah yang Maha Setia. Betapa sering kita tidak setia kepadaNya tapi dia selalu rela untuk mengampuni kita dan menerima kita kembali kedalam damaiNya.

Sabtu sebelumnya bacaan dari Luk 16:10 mengatakan: "Barang siapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar". Betapa sering kita menuntut Allah untuk diberi kepercayaan akan rezeki yang lebih besar, kebahagiaan yang lebih besar padahal kita tidak pernah mampu mengelola berkat-berkat kecil yang senantiasa dilimpahkanNya kepada kita. Betapa rasa sayang pada diri sendiri, ketidak mampuan untuk berkorban bagi orang lain membuat kita tersandung dalam membagikan kasihNya kepada orang di sekeliling kita. Bila berkat kecil tidak mampu kita kelola bagi kemuliaan namaNya, bagaimana Ia bisa memberikan kita berkat yang lebih besar?

Hari itu saya juga diingatkan kembali akan makna kasih. Kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersuka cita karena ketidak adilan, tapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.

Dalam suratnya kepada umat di Korintus, Rasul Paulus berkata:" Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku" (Baca 1 Kor 13: 1-7, 13).

Tuhan Allah yang Maha Baik dan Maha Kasih,
tolong hamba umatMu,
untuk lebih dalam mengerti dan mengamalkan kasihMu,
bukan karena imbalanMu yang berlimpah,
tapi lebih karena kasihMu sendiri.
Teladan kasih PutraMu Yesus Kristus,
yang rela menanggung segala kepedihan, hina dan cerca,
dan menerima segala siksa demi menebus manusia dari kelam dosa.
Ya Allah, biarkan kasihMu meraja di hati kami semua umat manusia.
Jangan biarkan kehidupan membunuh bibit kasih di hati manusia,
karena Maha Agung dan Kekal KasihMu Ya Allah.
Berkati kami umatMu ya Bapa,
Amin.

Friday, November 16, 2007

Selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu (Luk 18:1)

Sesungguhnya Tuhan ada di dalam setiap percakapanku. Dalam setiap langkahku kusebut namaNya. Tapi karena Ia begitu dekat terkadang aku lupa untuk secara khusus meluangkan waktu menemuiNya. Sama dengan orang tua kita yang senantiasa dekat dengan kita. Terkadang kita terlalu sibuk dengan urusan lain sehingga mereka hanya ada di pikiran kita tapi tidak sempat sungguh-sungguh kita perhatikan.

Membaca renungan hari ini membuat saya berpikir. Terutama ketika membaca tentang Santa Elisabeth dari Hungaria, betapa salib tidak menjadikan dia patah. Dia bangkit dan terus berdoa. Betapa sering saya berputus asa dan mengeluh dalam kehidupan. Dan doa-doaku menjadi penuh dengan keluh kesah dan kegundahan. Doa yang seharusnya menjadi ungkapan cinta kepada Tuhan menjadi tuntutan kepada Tuhan.

Pernahkah saya jemu berdoa? Sebenarnya tidak ada kejenuhan untuk berdoa walaupun saya pernah mngatakan bahawa Tuhan itu diam. Tetapi kesulitan terutama saya sebenarnya adalah konsentrasi. Sangat sulit untuk duduk sendiri dan berkonsentrasi pada Tuhan. Konsentrasi baru bisa saya capai (tidak sepenuhnya) bila bersama teman-teman sekomunitas. Ini hal yang menyedihkan, karena hubungan saya dan Tuhan seharusnya personal. Dalam hal ini saya mungkin harus belajar dari rekan-rekan muslim yang sanggup menyediakan waktu minimal 5 kali dalam sehari untuk secara serius berhadapan dengan Tuhan secara personal.

Mengapa konsentrasi saya kurang sekali? Karena seringkali saya lebih mengandalkan diri sendiri dan membiarkan pikiran saya mengelana sendiri. Percayalah kepada Tuhan kata Sirakh 34. Barangsiapa takut akan Tuhan akan hidup, sebab harapannya tertaruh pada Dia yang menyelamatkannya. Barangsiapa takut akan Tuhan tidak kuatir terhadap apapun, dan tidak menaruh ketakutan sebab Tuhanlah pengharapannya. (Sirakh 34:13-14). Mata Tuhan tertuju kepada orang yang cinta kepadaNya. Tuhan menjadi perisai yang kuat dan sandaran yang kokoh, naungan terhadap angin yang panas dan perlindungan terhadap panas terik siang hari, penjagaan sehingga tidak tersandung dan pertolongan sehingga tidaklah runtuh. Tuhan menegakkan hati dan menerangi mata, member kesembuhan, hidup, serta berkat.(Sirakh 34:16-17).

Ketika saya sanggup menjadi Maria yang mampu duduk diam mendengarkan sabda Yesus, dan berhenti menjadi Martha yang sibuk melayani orang tetapi melupakan dirinya sendiri, maka saya akan berhasil dalam berdoa.

Ya Tuhan,
Ajari saya untuk berdoa,
Untuk mengarahkan pikiranku semata kepadaMu,
Dan tunduk diam hanya memikirkan diriMu semata,
Untuk mengisi seluruh pikiranku dengan keagunganMu,
Dan bersembah sujud dalam naungan cintaMu belaka,
Ajari daku bahasa cintaMu ya Allah,
Agar kumampu menebarkan kasihMu,
Dalam kehidupanku, kehidupan suami dan anak-anakku,
Dalam lingkungan dan semua komunitasku,
Berkati pikiranku ya Bapa,
Semoga semua dimurnikan dalam namaMu,
Amin.