Sunday, March 29, 2009

Bertanggungjawab atas panggilan

Bertanggungjawab atas panggilan untuk bekerja di ladang Tuhan adalah juga tanggung jawab orang tua. Hari Minggu kemarin kelompok Bina Iman Anak mengunjungi tempat retret Wisma Canossa di Bintaro. Kami juga sekaligus mengunjungi biara suster dan novisiat suster yang bernaung di bawah kongregasi Canossian yang didirikan oleh Magdalena dari Canossa.

Pertama-tama kami melakukan jalan salib bersama anak-anak. Kelompok BIA kami bagi dua, kelompok kecil sendiri sementara yang sudah SD membentuk kelompok besar.

Walaupun berpeluh dan sedikit kepanasan, semua anak berhasil menyelesaikan jalan salib mereka dengan baik. Sengsara menjalani 14 perhentian yang berjarak tidak terlalu jauh itu memang tidak seberapa bila dibandingkan dengan sengsara Kristus.




Acara kami berikutnya adalah menengok tempat tinggal suster dan para kakak novis. Kebetulan suster kepala provinsial juga ada di ruang makan susteran. Beliau bertanya siapa diantara anak-anak yang ingin menjadi suster, ada dua anak yang mengangkat tangan. Ketika ditanyakan siapa yang ingin menjadi pastur, tidak seorangpun yang mengangkat tangan.


Jawaban itu berubah ketika kami berada di depan rumah kakak novis. Ketika kakak novis meminta yang ingin menjadi suster mengangkat tangan, ada tiga gadis kecil yang mengangkat telunjuknya. Kemudian ketika ditanyakan berapa orang yang ingin menjadi pastur, ada satu anak lelaki yang mengacungkan jari.

Orang tua dan pendidik memang bertanggungjawab atas panggilan Tuhan kepada anak-anak itu. Itulah sebabnya suster-suster mau menerima kunjungan kami ke biara mereka. Anak-anak perlu mengenal panggilan dan kehidupan membiara itu sejak dini, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk mengetahui bila Tuhan memanggil mereka. Orang tua perlu menjadi seperti Eli (1 Sam 3: 1-10) yang memberi petunjuk kepada Samuel dalam mendengar sabda Tuhan.

Suster mengingatkan kami orang tua yang mendampingi, betapa sering orang tua mendoakan agar panggilan Tuhan bagi pekerja di ladangNya semakin subur, dengan catatan bukan anak mereka yang dipanggil. Kegiatan bersama seperti ini memang tidak hanya mempersiapkan benih untuk ladangNya, tapi juga mempersiapkan kesiapan hati orang tua untuk menanam benih dan merawat benih itu dengan baik.

Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit (Mat 9:37)...karena itu kita perlu mempersiapkan calon-calon pekerja di ladang Tuhan. Akhirnya toh, bukan kita yang memilih Dia, melainkan Ia yang akan memilih pekerja-pekerjaNya.

Ya Bapa,
Terima kasih atas pengalaman hari ini,
Atas perkenalan kami pada bagian dari GerejaMu,
Bantulah kami agar mampu mengenali suaraMu dan memberitakanNya,
Agar anak-anak kami bisa mengenali panggilanMu dan menjadi pekerja di ladangMu.
Amin,

Wednesday, March 25, 2009

Mari Bertanggungjawab Melalui Pekerjaan

Hari ini Yesus mengatakan bahwa Dia tidak akan bersaksi tentang diriNya sendiri, dan dia juga tidak membutuhkan kesaksian manusia tentang diriNya, melainkan pekerjaanNya yang akan memberikan kesaksian tentang diriNya.

Hari ini melalui Yohanes 5:31-47 Yesus menyentuh aku terutama dalam dua hal. Pertama dalam hal pekerjaan. "...Aku mempunyai satu kesaksian yang lebih penting daripada kesaksian Yohanes, yaitu segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepadaKu, supaya aku melaksanakannya. Pekerjaan itu jualah yang sekarang Kukerjakan, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku."

Sebagai ibu rumah tangga, hasil dari pekerjaanku tidak langsung terlihat. Tidak ada gaji, tidak ada promosi, bahkan terkadang terasa penuh onak dan duri; pergulatan dengan emosi, pergulatan antara keinginan diri pribadi dan kepentingan anak/keluarga.

Sebagai relawan juga tidak ada hasil yang secara langsung kuterima. Yang ada adalah pergelutan membagi waktu dan perhatian, bahkan di luar waktu terkadang masih perlu juga pengorbanan finansial. Pergumulan batin untuk bisa berbagi dari keadaan yang serba "kurang", artinya kurang waktu, kurang dana, atau bahkan kurang daya tahan emosional, adalah bagian dari pekerjaan itu.

Tiba-tiba aku teringat akan materi pendalaman iman minggu lalu, mengenai Yesus yang memberi makan orang banyak. Bukan satu dua kali Ia memberi makan orang banyak. Dari Matius 14:13-21 kita tahu Ia memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan, kemudian dari Matius 15: 32-39 Ia memberi makan empat ribu orang dari tujuh roti dan beberapa ikan. Jumlah orang itu tidak absolut karena yang dihitung hanya kaum lelaki, artinya kepala keluarga saja. Ia akan menggandakan yang sedikit itu selama diberikan untuk kepentingan orang banyak. Saya berharap Ia juga mau menggandakan hasil dari bibit yang kusebar melalui pelayananku yang rasanya masih serba penuh kekurangan ini. Yesus mengajak kita untuk mensyukuri apapun (berapapun) yang kita miliki, dan Ia juga mengajak kita untuk memberikan semua yang kita miliki serta hasil jerih payah kita kepada Tuhan untuk digandakanNya dan dibagikanNya kepada orang banyak.

Mendapatkan talenta yang besar seringkali juga membuat saya tidak mampu fokus, semua hal menarik hati, semua pekerjaan ingin dicoba. Seringkali saya bertanya-tanya: "Tuhan, apa yang Kau inginkan aku perbuat?" Orang-orang di sekitarku seringkali tidak bisa mengerti kegiatan lain yang kulakukan yang tidak memperoleh imbalan materi. Seringkali saya dituduh melalaikan anak-anakku karena terlalu terserap dalam kegiatan lain yang menurut mereka malah menghabiskan energi dan materi yang seharusnya bisa diberikan untuk keluarga. Sebenarnya saya juga tidak mengerti mengapa dorongan untuk pelayanan "keluar rumah" begitu besar. Terkadang saya juga takut kalau semua ini semata untuk egoisme dan kepentingan pribadiku yang ingin eksis di mata orang lain. Hari ini rasanya Tuhan menguatkan hatiku, "Berikanlah roti dan ikan yang sedikit yang kau miliki kepadaKu dan Aku akan membantumu menggandakannya agar cukup bagi dirimu dan bagi semua orang."

Fokus ke dalam Tuhan, rasanya itu yang terpenting bagiku saat ini, karena hanya Dia yang sanggup mengetahui porsi kebutuhan anak-anakku maupun orang lain yang membutuhkan bantuanku. Hanya Dia yang sanggup mencukupkan 24 jam dalam sehari menjadi cukup untuk pelayanan, pengembangan diri, dan istirahatku.

Mendekatkan diri kepadaNya membuat saya mampu melihat keajaiban-keajaiban dalam kehidupanku. Ada banyak yang ajaib dalam kehidupan seorang ibu. Sejak dari proses mengandung dan melahirkan, sampai proses membesarkan anak, semuanya penuh dengan keajaiban.

Terkadang saya juga menerima hadiah yang tidak kusangka-sangka. Ketika merasa bahwa kegiatan jurnalisme warga adalah sebuah bentuk yang patut diperjuangkan, saya mencoba mendorong agar salah seorang dari wikimu (portal jurnalisme warga lokal) bisa diundang ke Seoul. Undangan yang datang justru untuk diriku. Ketika orang-orang mulai mencerca waktu dan materi yang kukorbankan untuk kegiatan ini, ada saja hadiah-hadiah kecil yang diberikanNya kepadaku melalui orang-orang di sekitarku. Tentu saja saya tidak boleh terlena, karena semua yang ada bukan hak yang kuperoleh, melainkan karena kemurahan hatiNya.

Banyak hal yang patut kusyukuri dalam kehidupan ini. Resesi global mulai terasa berat. Hampir setiap hari media massa mengisahkan kisah pembunuhan, bunuh diri, maupun percobaan bunuh diri karena alasan ekonomi. Kegelapan menyertai keputusan-keputusan yang diambil dalam keputusasaan. Saya bersyukur sampai saat ini masih mampu berjalan di dalam terangNya.

Catatan kedua yang membekas di hatiku adalah "Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa olehNya kamu mempunyai hidup yang kekal. Tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberikan kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepadaKu untuk memperoleh hidup itu."

Dalam pendalaman iman minggu lalu, seorang teman yang sering membaca blog ini bertanya: "Benar, yang kamu tulis itu datang begitu saja?" Memang saya mendapat talenta untuk lebih mampu merangkai kata-kata, tetapi terus terang tanpa doa terasa sulit untuk menuliskan rangkaian tulisan di blog ini. Terkadang, saya sendiri juga terpesona pada hasil yang tertuliskan disini. Tetapi semua itu tidak menandakan bahwa saya dipenuhi oleh Roh Kudus dan hidup suci, salah besar! Mungkin Roh Kudus bekerja selama jemariku mengetik tulisan ini. Tulisan untuk blog Journey to His Words tidak pernah kuperlakukan seperti artikel untuk media massa. Tulisan ini tidak dipersiapkan di Word atau di Googledoc, melainkan langsung diketik di template blog. Suntingan akhir seringkali terjadi setelah tulisan naik dan terasa ada kata-kata yang agak janggal (masalah bahasa).

Ketakutanku yang paling besar adalah mampu menuliskan semua hal-hal yang menarik dan inspiratif untuk mendekatkan orang kepada Tuhan, tetapi saya sendiri tidak datang kepadaNya untuk memperoleh kehidupan kekal itu. Keseimbangan dan penyangkalan diri, kemampuan untuk berbagi dan kesiapan untuk menerima semua cobaan, fokus dalam Dia dan komunikasi aktif denganNya yang disertai dengan kerja keras dalam dunia nyata, semuanya itu perlu kupersembahkan kepadaNya agar Dia mampu bekerja melalui aku. Kesulitan terbesarku adalah untuk mengetahui pilihan yang tepat dari persimpangan jalan di depanku. Kesulitan lainnya adalah benar-benar melaksanakan apa yang diberikanNya kepadaku melalui sabda-sabdaNya yang kutelusuri disini.

Tuhan,
Bapa yang Mahabaik dan Maha Pemurah,
Terima kasih atas kekuatan yang Dikau berikan,
Atas anugrah yang Dikau hadiahkan,
Kusadar betapa jauh dari sempurna diriku,
Betapa banyak kekurangan dalam pelayananku kepadaMu,
Tolong aku Bapa,
Ajari aku bahasa cintaMu,
Ajari aku menggunakannya,
Ajari aku membibit dan menanamkannya,
Agar mampu berbuah banyak dan layak dibagikan dalam namaMu.
Amin.

Tuesday, March 24, 2009

Mari Menjawab Kabar Suka Cita

Hari ini adalah Hari Raya Kabar Sukacita, dari Injil Lukas 1: 26-38 bisa kita peroleh kabar yang paling agung itu. "Roh KududsKu akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau, sebab itu anak yang kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah" (Luk 1:35), begitulah malaikat Gabriel menjawab keraguan yang sempat terbersit di hati Maria.

Tulisan di Cafe Rohani dengan judul "Menjawab" sangat mempengaruhiku pagi ini. Ada tiga hal dari Maria yang dicatat dalam tulisan tersebut, Maria adalah manusia beriman, Maria adalah manusia yang terbuka terhadap karya Allah, berkat iman dan sikap terbukanya Maria mampu menjawab tawaran Tuhan.

Menjadi manusia beriman berarti membentuk hidup yang dipenuhi sikap doa dan mengarah kepada Allah. Sebenarnya saya perlu juga mengenal dimensi lain dari doa. Bagiku doa adalah percakapan atau dialog dengan Tuhan. Selama ini saya mengusahakan dialog yang tiada henti dengan Tuhan, tetapi seperti kebiasaan burukku, dialog ini lebih sering kumonopoli. Artinya saya yang berkeluh kesah kepadaNya, bertanya kepadaNya, bercerita kepadaNya...menjadi sebuah monolog! Saya terkadang lupa untuk diam dan mendengarkan.

Keterbukaan Maria menyiratkan bahwa dia mengosongkan dirinya dari segala kepentingan dan keinginan supaya bisa diisi oleh rencana dan kehendak Allah. Inilah hal yang kurang kutemui dalam diriku, kepentingan dan keinginanku masih sangat mendominasi monolog yang kusodorkan sebagai doa. Meditasi kelompok membantu aku untuk mundur dari kepentingan dan keinginanku pribadi. Biasanya dalam meditasi kelompok itu saya masih berangkat dari sudut pandang dan kepentingan pribadiku sendiri, tetapi begitu lebur dalam hasil meditasi perorangan teman-teman maka rencana Allah yang jauh lebih besar dari pikiranku sedikit terbukakan.

Terkadang kita memandang manusia hanya dari yang tampak di luar, tetapi pergumulan mereka di dalam hati tersimpan rapat disana. Terkadang memang orang ekstrovert seperti saya tidak sanggup menyimpannya rapat-rapat di dalam hati, tetapi tetap saja apa yang tampil di mata orang lain mungkin tidak sama persis dengan apa yang sebenarnya sedang bergolak di dalam hatiku. Dalam kesempatan membukakan diri bersama rekan-rekan kelompok doa baru terasa betapa salib itu begitu beraneka macam. Semuanya diukir dengan indah oleh tanganNya secara khusus, sesuai dengan kemampuan kami masing-masing menanggung bebannya.

Jawaban Maria: "Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu" adalah jawaban yang sangat sarat dengan ketebalan imannya. Sebenarnya Maria juga tidak benar-benar memahami apa yang sedang dialaminya, ataupun apa yang akan dijalaninya. Kabar sukacita ini tidak berhenti hanya dalam kelahiran Yesus, melainkan merupakan satu paket dengan kisah sengsaraNya, kematian, kebangkitan, dan kenaikanNya ke surga. Satu paket lengkap yang membukakan keselamatan manusia dari akibat dosa Adam dan Hawa. Dalam keadaan tidak mengerti, Maria mau menerima kehendak Allah dan bersedia menanggung segala konsekuensi yang akan dihadapinya dengan iman kepada Tuhan.

Rasanya malu membayangkan betapa sering saya memohon kepada Tuhan untuk menjauhkan segala konsekuensi yang berlumurkan kepahitan hidup dari kehidupanku. Memang Yesus dalam saat-saat terakhirnya di taman Getsemani juga gentar mengingat konsekuensi yang akan dihadapinya dan memohon: "Ya BapaKu, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripadaKu, tetapi bukan kehendakKu, melainkan kehendakMulah yang terjadi." (Lukas 22:42). Yesus memohonkan kekuatan kepada BapaNya melalui doa, dan malaikat Tuhan datang memberikan kekuatan kepadaNya (Luk 22:43). Terkadang mulut berucap: "terjadilah padaku menurut kehendakMu Bapa," tetapi hati juga sibuk memohon agar segala kemalangan dan kesulitan hidup menjauh dari diriku dan keluargaku. Dan ketika nasib buruk menyambangi sibuk berpikir apa yang salah, mengapa kehidupan tidak berjalan dalam damai sejahteraNya. Padahal damai sejahtera bisa terasakan walaupun kita dalam keadaan terpuruk, berduka, dikhianati, dilecehkan, ataupun dalam penderitaan lainnya, selama kita tetap berjalan bersamaNya. "Imanmu telah menyelamatkanmu," kata Yesus kepada orang-orang yang disembuhkanNya. Iman itu yang memberikan kekuatan untuk terus merasakan damai sejahteraNya dalam untung dan malang, dalam sukacita dan dukacita, dalam kelegaan dan ketakutan...malaikatNya senantiasa mengirim rahmatNya yang menguatkan selama kita hidup di dalam iman.

"Aku senantiasa memandang kepada Tuhan,
karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah.
Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorak,
Bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram,
sebab Engkau tidak menyerahkan aku kepada dunia orang mati,
dan tidak membiarkan Orang KudusMu melihat kebinasaan.
Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan, Engkau akan melimpahi aku dengan sukacita di hadapanMu." (Kis Ras 2: 25-28)

Apa yang perlu kuperbuat ya Allah? Melalui Petrus kedengar jawabanNya: "Bertobatlah, berilah dirimu diselamatkan..." (Kis Ras 2:37-40)

Ya Bapa,
Tumbuhkanlah aku terus di dalam iman kepadaMu,
Bantulah keluargaku memupuk iman itu dalam persemaian bibit di dalam anak-anak kami,
Dan berilah kami kekuatanMu untuk terus terbuka terhadap kehendakMu,
dan berani melangkah bersamaMu walaupun gelombang dan badai menghadang di muka.
Bapa, ampunilah kami orang berdosa.
Amin.

Monday, March 23, 2009

Tuhan yang Menyembuhkan

Ada beberapa hal yang menarik dari bacaan Injil Yohannes 5: 1-16 yang saya baca hari ini. Pertama, saya membayangkan diri sebagai seseorang yang sudah tiga puluh delapan tahun sakit. Ketika Yesus bertanya: "Maukah engkau sembuh?" Ia menjawab: "Tuhan tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu, apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku sendiri menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahui aku."

Rasanya situasi itu begitu mudah terbayangkan. Si sakit yang sulit berjalan tidak pernah bisa mencapai air kolam Betesda ketika malaikat Tuhan mengguncangkan air kolam untuk kesembuhan mereka yang mandi ke dalamnya. Beruntung bahwa Yesus berjalan melalui si sakit ini dan berbelas kasihan. Lucunya pertanyaan Yesus apakah ia ingin sembuh tidak langsung dijawabnya. Hal ini karena ia tidak mengenal Yesus. Tetapi dia tergerak karena ada orang yang mau memperhatikannya setelah 38 tahun dia merasa sendirian. Tidak ada orang yang menurunkan dirinya ke dalam kolam, orang lain berlomba mendahului dirinya, rasanya semua orang meninggalkan dirinya...dia sendirian dalam kesulitannya.

Kata Yesus kepadanya: "Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah." Dan pada saat itu juga sembuhlah orang itu dan lalu ia mengangkat tilamnya dan berjalan. Orang sakit ini tidak terpaku pada pikiran negatif yang baru saja dikeluhkannya. Walaupun ia merasa sendirian, tetapi ia mau mendengarkan perintah orang asing yang tidak dikenalnya untuk kesembuhannya. Beruntung, ia bertemu dengan Yesus yang memang membawakan kesembuhan baginya. Dalam penderitaan, kesakitan, maupun kesendirian seringkali kita menghabiskan waktu untuk meratap. Beruntung orang tadi tidak hanya meratap, dia juga mendengarkan perintah Yesus. Mungkin ada saat-saat dimana Yesus sudah menyuruhku menngangkat tilamku dan pindah dari tempat yang menyengsarakan diriku, tetapi aku tidak mendengar suaraNya karena hanya sibuk mengeluh dan memohon bantuanNya.

Kehidupan masa kini memang lekat dengan keinginan instan. Orang itu setia menanti selama tiga puluh delapan tahun. Ia terus menantikan kesempatan untuk bisa disembuhkan, walaupun ia tahu sanagt sulit baginya mencapai kolam itu sendirian. Kesabarannya berbuahkan hasil. Di luar itu, terpikir juga bilamana kita berada di dalam posisi orang sehat yang lalu lalang disana, bagaimana kita bertindak? Saya pernah melihat betapa banyak orang yang merelakan waktu libur musim panasnya untuk berada di Lourdes, membantu orang-orang sakit yang ingin mendekat ke Grotto dan mandi dalam air Lourdes. Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh ke Lourdes, ada saja waktu ketika seorang teman menelpon untuk sekedar "curhat", apakah kita cukup sabar untuk mendengarkan mereka? Apakah kita cukup jeli untuk melihat orang-orang yang butuh bantuan di sekeliling kita?

Yesus datang kepada si sakit dan menyembuhkannya walaupun hari itu hari Sabbat. "BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga." Allah tidak pernah berhenti bekerja demi keselamatan manusia. Pelangi, busur perjanjian yang diberikannya boleh jadi memudar tertelan polusi bumi, tetapi janjiNya kekal abadi.

"Engkau telah sembuh; jangan berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk." Tentunya ayat ini bukan untuk mengatakan bahwa penderitaan dan penyakit yang kita alami adalah karma buruk perbuatan kita sendiri, tetapi seringkali setelah terlepas dari kesulitan dan penderitaan kita lupa kepada perintah dan laranganNya. Kita lupa bahwa kesembuhan itu kita peroleh bukan karena kepandaian kita, bukan karena kegesitan kita mencapai kolam kesembuhan, tetapi berasal dari belas kasih kunjunganNya.

"Dan kemana saja sungai itu mengalir, semuanya disana hidup" (Yehezkiel 47:9) Aliran kasihNya menghidupkan dan menyejukkan hati. Damai sejahtera menjadi buah dari pohon yang dialiri kasihNya.

Tuhan,
terima kasih sudah datang untuk kesembuhanku,
biarkan aku berjalan bersamaMu selalu,
bersama Gembala kumerasa aman dan terpandu,
jangan biarkan aku menyimpang dari jalanMu,
jangan biarkan damai sejahteraMu menghilang dariku,
Jangan biarkan aku menjauh dari Sungai KehidupanMu.
jangan biarkan mataku buta dan telingaku tuli dari jeritan sesama
yang membutuhkan hadirMu.
bantu aku membawa mereka ke Mata Air Kehidupan Abadi.
Biar mulut kami senantiasa memuji namaMu...
Amin.

Wednesday, March 18, 2009

Mencari "Discernment"

Pada Hari Raya St. Yusuf (Yosef), Suami SP. Maria, 19 Maret, kita diingatkan kepada pentingnya institusi keluarga sebagai identitas diri. Bacaan Injil diambil dari Matius 1: 16-21, 24a.

Keluarga sebagai institusi yang dipilih oleh Tuhan untuk membesarkan calon generasi penerus memang sudah diwartakan sejak dari Adam dan Hawa dalam kitab Kejadian. Tuhan meminta manusia untuk beranak-cucu dan menjadi bangsa yang besar. Tuhan juga menginginkan manusia saling menjaga. Pertanyaan Kain kepada Tuhan ketika ditanya dimana adiknya berada, adalah pertanyaan retoris: "Apakah aku penjaga adikku?" Demikian pula kita diharapkan untuk saling menjaga di dalam keluarga.

Tetapi yang sangat menarik bagi saya dari bacaan Injil di atas adalah mimpi Yusuf. Ketika ia ingin memutuskan tali pertunangan dengan Maria yang telah mengandung, maka malaikat Tuhan datang kepadanya dalam mimpi dan berkata: "Yusuf, anak Daud, janganlah engkai takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang ada di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Maria akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umatNya dari dosa mereka." Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya.

Seringkali saya merasa bingung dalam mengambil sebuah keputusan, apakah ini adalah kehendak Tuhan bagi saya? Ataukah ini adalah kehendak manusiawiku? Yusuf, seperti juga Abraham (bapa orang beriman) taat kepada perintah Tuhan. Mereka percaya bahwa itu adalah perintah dari Tuhan, bukan dari setan. Mencari "discernment" menurut saya sangat sulit. Seringkali saya menantikan mimpi yang datang dari Tuhan untuk menjawab bagaimana saya harus bersikap. Saya jadi teringat kisah hamba yang diberi talenta. Tuannya tidak mengatakan harus diapakan talenta itu. Mereka masing-masing mengambil keputusan dan usaha sendiri. Sesungguhnya Tuhan menginginkan saya juga ikut aktif dalam memilih, dan dengan aktif memilih keputusan itu berarti saya juga siap bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pilihan itu.

Dalam buku Retret Agung Umat "Mari Bertanggungjawab..." hari ini mengusung judul "Kedekatan dengan Tuhan membuat orang mampu menanggapi panggilan Tuhan." Ada dua pertanyaan reflektif yang diajukan:

1. Sebagai anak Allah apakah aku mempunyai kedekatan dengan Allah yang memampukan aku untuk terlibat dalam karya penyelamatan Allah?

2. Apakah aku menyediakan waktu dan kegiatan untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan agar seperti Maria dan Yusuf mampu bertanggungjawab terhadap panggilan Tuhan hingga akhir hidup kita?

Membuat kedekatan relasi dengan Tuhan akan membantu kita memperoleh pilihan yang tepat, yang sesuai dengan kehendakNya. Setia pada pilihan itu, dalam keadaan senang maupun susah, adalah bentuk tanggungjawab kita terhadap pilihan yang telah kita buat. Satu hal yang bisa saya rasakan dari pengalaman hidup saya, walaupun pilihan yang salah yang kita perbuat, selalu ada kesempatan dariNya untuk kembali kepadaNya. Dia tidak akan pernah meninggalkan kita, tetapi bila kita menjauh maka suaraNya akan sulit terdengar, damai sejahteraNya tidak mencapai kalbu.

Rasanya beberapa minggu yang lalu saya mendengar perkataan pastur di kothbah yang berkata, terkadang orang mengatakan bahwa Tuhan itu diam...tapi apakah benar Tuhan itu diam? Bisa jadi Tuhan sudah bersabda, tapi kita yang tuli dan tidak mendengar sabdaNya. Bisa jadi malaikatNya sudah memperingatkan dalam mimpiku, tapi saya yang lalai tidak mengartikannya dengan benar.

Santo Yusuf juga menjadi sosok yang sangat bertanggungjawab. Walaupun peranannya di dalam Kitab Suci kurang tercatat, tetapi dalam saat-saat terpenting dalam kehidupan Yesus, dia hadir. Dia hadir untuk memberikan identitas diri kepada Yesus, memenuhi janji Tuhan bahwa dari keturunan Daud akan lahir Sang Penebus. Ketika Herodes berniat mengambil nyawa Raja yang baru lahir itu, Yusuf hadir dan membawaNya mengungsi ke tempat yang aman. Dia yang bertanggungjawab menghidupi keluarga Kudus sampai akhirnya Yesus dari Nazaret dikenal juga sebagai anak tukang kayu. Dia hadir dengan diam dalam kehidupan Yesus, sama seperti sikap diamnya ketika Yesus yang baru berusia 12 tahun berkata; "Tidakkah kamu tahu Aku harus berada dalam rumah BapaKu?" Dia tidak mempertanyakan nilai dirinya sebagai bapa keluarga di mata Yesus, dia tidak menuntut balasan sikap hormat dan patuh karena telah membesarkan Yesus.

Tuhan,
Terima kasih atas berkat dan kasih sayangMu kepada kami,
Bantu kami bertanggung jawab seperti Yusuf,
Yang setia dan taat kepadaMu,
Yang senantiasa mendahulukan perintahMu,
dan senantiasa melayani demi namaMu,
Agar damai sejahtera senantiasa datang dalam pilihan-pilihan yang kami ambil,
Agar langkah kami senantiasa berada di dalam jalanMu,
Amin.

Santo Yusuf, temanilah keluarga kami dalam perziarahan di bumi...
Bimbinglah suamiku dalam menjadi bapa keluarga,
Ajarilah kami mengenal kehendak Tuhan. Amin.

Monday, March 16, 2009

Mengampuni dengan segenap hati

Bacaan Injil hari ini diambil dari Matius 18:21-35, mengenai perumpamaan yang diberikan Yesus ketika Petrus bertanya sampai berapa kali ia harus mengampuni saudaranya. Perumpamaan yang diberikan adalah tentang seorang hamba yang hutangnya dihapuskan oleh tuannya karena belas kasihan tuannya, tetapi hamba itu sendiri lalu mencekik temannya yang berhutang kepadanya meminta pelunasan hutang.

Yesus berkata kepada Petrus tentang mengampuni: "...Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Artinya tidak ada batasan untuk mengampuni sesama kita.

Tuhan yang sudah begitu murah hati memaafkan kita, terkadang memang kita lupakan ketika berada di luar gedung gereja. Bahkan di dalam GerejaNya sendiripun terkadang kita melupakan perintahNya untuk mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali ini.

Yang terpikirkan pada saat membaca bacaan hari ini adalah mereka yang bersalah di dalam masyarakat. Contoh yang paling dekat dengan Gereja adalah para mantan imam. Terkadang ada umat yang sangat marah, merasa telah ditipu dan dibohongi, telah menerima sakramen pengakuan dosa dari pendosa, dan akhirnya ia menjadi berbalik tidak percaya lagi kepada institusi Gereja. Saya pribadi menganggap semua itu adalah urusan pribadi mantan imam tersebut dengan Tuhan. Sakramen pengakuan dosa yang diberikannya sebagai imam, bukan berasal dari dirinya pribadi melainkan dari Tuhan. Tetapi terus terang terasa kagok bila bertemu dan harus berhadapan entah sebagai sesama umat, ataupun hanya sebagai sesama manusia.

Sama juga dengan orang-orang yang kita ketahui pernah berbuat kesalahan kepada orang banyak, misalnya menggelapkan uang orang. Kalau bertemu lagi, bagaimana saya harus bersikap? Pura-pura tidak tahu dan tidak ingat? Atau hanya pura-pura tidak tahu perbuatannya? Biasanya saya menghindari bertemu dengan orang-orang tersebut karena bingung bagaimana harus bersikap dan berbicara.

Apakah itu berarti saya belum mengampuni dengan segenap hati? Terkadang orang tersebut malah tidak bersalah secara langsung kepada saya, jadi sebenarnya saya tidak punya perasaan marah atau benci kepadanya, tetapi stigma sosial yang dipegangnya membuat situasi untuk berhadapan dengannya menjadikan saya serba salah.

Pagi ini saya bertanya kepada Tuhan, bagaimana dengan kejadian seperti itu? Jawaban yang kuperoleh adalah Mazmur 25: 1-22 "Doa mohon ampun dan perlindungan." Ya, sama seperti hamba yang dibebaskan hutang-hutangnya saya juga memiliki hutang kepadaNya. Dia telah menghapuskan hutang-hutangku dan saya tidak boleh bersikap seperti hamba yang masih tidak mampu membebaskan hutang temannya. Sebenarnya pesan dari perumpamaan tadi jelas, tetapi hati kecil saya masih memberikan argumentasi. Ada orang yang terkadang tidak tahu bahwa ia bersalah, tanpa mengingatkannya maka dia akan terus dalam kesalahannya. Ia merasa aman dan nyaman dalam kesalahannya karena orang-orang tetap memaafkan dan membiarkan dia berlalu dengan kesalahan-kesalahannya. Kitab Mazmur tadi mengingatkanku bahwa dengan mohon ampun dan perlindungan dariNya, serta dengan menyadari bahwa kita juga manusia yang rentan jatuh ke dalam dosa, kita bisa berharap bahwa Dia akan menunjukkan jalan dalam kebenaran dan mengajarkan kita tindakan yang tepat. Kurasa Dia akan menunjukkan sikap apa yang patut kuberikan kepada sesamaku pada saat saya membutuhkan panduanNya. Yang perlu kulakukan hanya berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan tidak meninggalkan sarana komunikasi denganNya yaitu FirmanNya dan berdoa.

Beritahukanlah jalan-jalanMu kepadaku ya Tuhan,
Tunjukkanlah itu kepadaku.
Bawalah aku berjalan dalam kebenaranMu dan ajarlah aku,
sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku,
Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari. (Mazmur 25:5)

Tuhan,
Terima kasih atas Roh Kudus yang Dikau berikan
Yang menemaniku dalam kegelapan hati
yang menentramkan gejolak amarah yang bisa menghanguskanku,
yang membantuku untuk memaafkan diriku dan sesamaku,
Tuhan yang Maha Pengampun,
Bantu aku mengampuni dengan segenap hati,
Amin.

Friday, March 13, 2009

Melepaskan Iri Hati

Iri hati tidak pernah membawa kebaikan, tetapi sifat manusia kita juga sangat dekat dengan kecenderungan iri hati ini. Kitab Suci sudah memberikan banyak contoh mengenai keburukan yang datang dari sifat iri hati. Kain dan Habel, Esau dan Yakub, Yusuf dan kakak-kakaknya adalah kisah-kisah yang sangat populer dan teringat dari Kitab Perjanjian Lama.

Dalam Injil Lukas 15: 11-32 diceritakan mengenai kisah anak bungsu yang meminta bagian warisannya terlebih dahulu. Dia berfoya-foya dan jatuh miskin di negeri orang, lalu sadar dan kembali memohon ampun kepada Bapanya. Walaupun si bungsu tidak mengharapkan lebih dari pengampunan dan diterima bekerja di rumah Bapanya, ternyata sang Bapa memulihkan kembali statusnya sebagai anak. Hal ini membuat anak sulung merasa iri dan tidak mau masuk ke rumah. Ia bersungut-sungut kepada Bapanya. Ia merasa semua jerih payahnya melayani Bapa dan menuruti perintah Bapanya belum pernah mendapatkan ganjaran sebuah pesta bagi dirinya dan sahabat-sahabatnya.

Terkadang sebagai manusia yang masih memandang segala sesuatunya seperti "mata ganti mata", kita mengharapkan Tuhan membalaskan sakit hati kita atas perbuatan orang lain dengan azab sengsara. Atau sebagai orang yang masih memiliki mental hamba yang membutuhkan upah, kita merasa Tuhan belum memberikan kita kebahagiaan yang patut untuk semua pelayanan yang kita berikan padaNya. Sifat yang kedua ini yang ada pada si anak sulung.

Kata Bapanya kepadanya: "Anakku engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanKu adalah kepunyaanmu."

Dalam kisah Kain dan Habel (Kejadian 4: 1-16) digambarkan Kain iri hati karena persembahan Habel diterima Tuhan, dan dia membunuh Habel adiknya. Bukannya memeriksa diri mengapa persembahannya tidak berkenan di hadapan Tuhan, ia justru membunuh adiknya. Tuhan memberikan hukumanNya, tetapi apakah Ia membiarkan Kain dibunuh? Dalam ayat 15 Tuhan berfirman: "Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat." Hukumannya walaupun berat tidak pernah untuk mencelakai manusia. Dan firmanNya itu sebenarnya juga kembali lagi kepada kita bila kita membunuh sesama kita. Membunuh sesama tidak selalu melalui pembunuhan fisik, ada juga pembunuhan karakter, ada juga pembunuhan kesempatan. Sumber dari semuanya adalah rasa iri hati...

Anak kembarku juga seringkali iri hati, sepertinya dari dalam perut mereka sudah berkelahi mencari tempat di dalam rahim yang sempit, lalu dilanjutkan lagi ketika keluar dalam upaya mencari perhatian mamanya. Terkadang saya juga lelah menghadapi mereka, dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bahkan ketika memperoleh mainan yang sama persis masih bisa juga mereka bertengkar, entah karena masalah batere, atau masalah kecil lainnya. Lalu ditambah keirian si sulung. Dia yang semula memperoleh perhatian sepenuhnya harus berbagi dengan dua orang adik. Rasanya memang manusia sangat dekat dengan sifat iri hati. Belajar dari pengalaman saya menghadapi anak-anak, saya merasa lebih tahu betapa Tuhan juga berusaha untuk selalu adil...dalam caraNya sendiri. Tentu saja saya juga belajar dari kisah Esau dan Yakub, serta kisah Yusuf dan saudara-saudaranya. Sebagai orang tua saya perlu lebih bijaksana agar anak-anak saya tidak merasa iri, ataupun merasa dibedakan antara sulung, yang tengah, maupun bungsu.

Dalam Lukas 15: 1-3 dikisahkan betapa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat iri karena Yesus berbuat baik kepada para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Mereka merasa diri mereka yang suci tidak diajak makan bersama, malahan Yesus mengajak orang berdosa untuk makan. Sikap iri menjauhkan kita dari pertobatan, seperti Kain yang tidak merenungkan mengapa persembahannya tidak berkenan bagi Tuhan, atau seperti si anak sulung yang marah kepada bapanya. Kita juga cenderung marah dan menjauhkan diri dari Tuhan karena iri melihat nasib orang lain yang lebih baik, atau kemampuan dan talenta orang lain yang lebih besar.

Tuhan Allah Bapa yang Mahabaik,
Terima kasih Engkau senantiasa mengingatkan kami,
Agar menjauhkan diri dari sikap iri dan dengki,
Dan memberikan pencerahan agar kami mau merenung dan bertobat,
Bantulah kami memperoleh pertobatan yang tulus ya Bapa,
dan kuatkan kami dalam melepaskan jubah iri hati yang seringkali membungkus kami,
jadikanlah kami anakMu yang sadar akan betapa besar pintu maaf yang Kau miliki,
sehingga kamipun mau meniru memaafkan sesama kami,
Amin.

Wednesday, March 11, 2009

Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia?

Judul di atas bukan kalimat yang lengkap. Kalimat selengkapnya dari Markus 8:36 adalah: "Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?"

Bacaan ini saya peroleh ketika memandu kelas Bina Iman Anak minggu lalu. Sebenarnya akhir pekan adalah waktu saya membawa anak-anak menginap di rumah opa-oma mereka. Waktu itu sekaligus menjadi kesempatan saya untuk berkeliling mencari pameran atau acara lain yang menarik hati. Tetapi hati kecil saya meminta saya mengorbankan keinginan dan kesenangan pribadi, apalagi karena kegiatan Bina Iman Remaja yang seharusnya saya pegang tidak bisa berjalan. Mengajak anak remaja mengisi minggu pagi dengan kegiatan yang mirip "sekolah" walaupun hanya sekolah minggu rupanya cukup sulit. Jadi permintaan bantuan dari pembina Bina Iman Anak saya sanggupi untuk melatih diri disiplin dalam memberikan pelayanan nyata.

Menulis buat saya sebuah kesenangan, dan tulisan untuk blog ini biasanya bukan semata berasal dari saya. Dari kegiatan meditasi kelompok maupun meditasi pribadi kata-kata biasanya mengalir sendiri. Rasanya saya hanya mengetikkan, yang membimbing pilihan kata dan topik adalah Roh Kudus. Walaupun merasa bahwa menuliskan blog ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab berbagi saya kepada Gereja, tetap saja ada desakan untuk memberikan karya lain yang lebih nyata terasakan.

Membagi waktu merupakan masalah tersulit bagi seorang ibu, apalagi ketika tidak ada kehadiran asisten rumah tangga. Pada saat itu upaya untuk menekan emosi dan menyeimbangkan diri sangat sulit rasanya. Menulis merupakan cara saya membebaskan diri dari stress rumah tangga, tetapi menulis juga membutuhkan konsentrasi dan waktu. Demikian pula waktu pelayanan. Waktu untuk koor, waktu untuk Bina Iman, waktu untuk kelompok meditasi, waktu untuk Rapat Pengurus Lingkungan, semuanya mengkonsumsi waktu yang seharusnya tersedia bagi rumah tangga dan diri sendiri.

Ketika kebutuhan ekonomi meningkat seiring dengan kebutuhan biaya sekolah anak-anak, maka kebutuhan waktu untuk menghasilkan uang juga menjadi terasa penting. Maka jadilah akrobat mengatur waktu,emosi, dan konsentrasi untuk menjaga keseimbangan itu.

Terlalu fokus pada pelayanan juga kurang baik. Saya pernah merasakan kekeringan itu. Ketika itu mungkin ayat di atas berbunyi: "Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia tetapi ia kehilangan dirinya?" Artinya orang-orang yang mengenal kita mengakui palayanan kita dan mengenal kita, tetapi dalam waktu yang bersamaan kita sendiri merasa tidak memiliki waktu untuk diri sendiri, tidak memikirkan persiapan masa depan saya, dan hanya fokus pada kegiatan pelayanan.

Bila terlalu ingin menyenangkan diri pribadi, apalagi dengan kacamata duniawi maka kita akan mengejar kekayaan materi dan ketersohoran secara duniawi tanpa memikirkan jiwa yang mungkin merana, kering, dan jauh dari kasihNya.

Saya baru membaca buku yang bercerita tentang orang tua sebagai petani. Petani tahu bahwa dia harus bekerja keras untuk bisa menghasilkan panen besar. Sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menanam, memupuk, dan memelihara tanamannya hingga panen. Tetapi semua pekerjaannya akan sia-sia bila Tuhan tidak membantunya dengan sinar matahari dan hujan. Tuhan menyediakan sinar matahari dan hujan yang akan membuat tanaman petani tadi bisa berbuah banyak dan menghasilkan panen yang besar. Kerja keras petani akan sia-sia bila Tuhan tidak melakukan bagianNya.

Saya rasa sama seperti petani, semua kegiatan itu ada proporsinya, sama seperti tanaman membutuhkan komposisi tanah, air, pupuk, dan sinar matahari dalam takaran tertentu untuk bisa bertumbuh dengan subur. Nasehat bagus dari buku Norman Wright "Menjadi Orang tua yang Bijaksana" adalah: "Sebagai orang tua anda perlu memahami bahwa anda harus bekerja sama dengan Tuhan. Anda tidak dapat melakukannya sendiri dan mengharapkan hasil yang baik."

Nasehat itu rasanya tidak hanya berlaku untuk menjadi orang tua yang baik, tetapi juga untuk menjadi anakNya yang baik. Kita mencoba melakukan semua yang terbaik yang bisa kita persembahkan dengan ketulusan. Maka Ia akan menyirami dan memberikan sinarNya untuk menumbuhkan kita dalam diriNya. Dalam Dia, mungkin kita tidak akan memperoleh seluruh dunia. Mungkin kita tidak akan pernah dikenal dunia. Tetapi dalam Dia kehidupan kekal sudah tersedia...

Tuhan,
Terima kasih atas segala penyertaanMu,
Bantu aku bersabar,
Bantu aku mengerti,
Bantu aku memberikan pelayanan yang proporsional
tanpa pernah kehilangan diriku pribadi.
Terima kasih Bapa,
Dalam kasihMu aku bernaung.
Amin.

Monday, March 09, 2009

Karena Mereka Mengajarkannya Tapi Tidak Melakukannya...

Bacaan dari Mat 23: 1-12 sebenarnya banyak berkisah tentang bagaimana menjadi pemimpin sejati. Walaupun suasana di Indonesia sedang hangat dengan pencarian calon pemimpin negara, bacaan hari ini lebih berbicara kepada saya dalam kapasitas saya sebagai seorang ibu rumah tangga. Karena itu sebagian dari isi ayat 3 menjadi pilihan judul posting kali ini, "...karena mereka mengajarkannya tapi tidak melakukannya."

Menjadi pemimpin mungkin bisa disamakan dengan menjadi orang tua, menjadi guru (yang digugu dan ditiru). Dalam buku Retret Agung Umat yang dibagikan sebagai penuntun perjalanan rohani menantikan kebangkitan, dikatakan: "Mereka mengajarkan dan menuntut supaya orang berlaku adil, benar, jujur, disiplin, kerja keras, hidup hemat, sederhana, tetapi mereka sendiri berbuat tidak adil, korupsi, berbohong, malas, boros, konsumtif. Mereka berceramah dan berkothbah supaya orang peduli, solider, toleran, menghargai, menghormati, mengasihi, melayani tanpa pamrih dan pilih kasih kepada siapapun, tetapi mereka bersikap dan berperilaku egois, acuh tak acuh, masa bodoh, mementingkan diri/kelompok sendiri, membenci, memusuhi, suka menghakimi, selalu minta imbalan, menuntut balas jasa,dsb." Rasanya semua kriteria ini perlu kucamkan lagi agar bisa benar-benar memberikan teladan yang baik bagi anak-anakku.

Anak-anak itu seperti spons yang menyerap berbagai hal tanpa saringan. Karena itu benar juga bahwa orang tua harus lebih mengenali dirinya terlebih dahulu sebelum bisa mengenali dan membentuk komunikasi yang baik dengan anaknya. Saya sedang membaca buku H. Norman Wright "Menjadi Orangtua yang Bijaksana"...sepertinya sebuah buku bagus untuk mengarahkan saya menciptakan komunikasi yang lebih baik di dalam rumah. Yang paling berat buat saya pribadi adalah mengetahui segala macam teori pendidikan itu, tapi tidak mampu memindahkannya ke anak-anak karena saya hanya mampu mengajarkan dan bukan melakukannya. Karena itulah saya selalu membutuhkan bantuanNya untuk ikut menyentil saya tatkala sedang ngantuk dan melenceng.

Orang tua mana yang tidak menginginkan anaknya memiliki kriteria sebagai pemimpin? Memiliki anak yang berintegritas, memiliki kredibilitas, kapabilitas, dan akseptabilitas tentunya menjadi impian orang tua. Menjadikan mereka pribadi yang utuh, dipercaya orang, mampu bekerja, dan diterima orang banyak, merupakan tugas sebagai orang tua, dan tanggung jawab yang berat untuk dipikul. Apalagi bila orang tuanya (kedua maupun salah satunya) sendiri belum tuntas dengan pendewasaan dirinya pribadi.

Mengajarkan anak untuk berserah sepenuhnya kepada Tuhan, hanya bergantung kepada Tuhan saja merupakan hal yang sulit bila orang tua sendiri masih terikat pada ketakutan-ketakutan pribadi akan masa depan.

Saya bersyukur memiliki komunitas teman-teman yang senantiasa menguatkan,senantiasa berbagi dan menolong saya dalam usaha memasrahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

Kehidupan di dunia maya juga membuat saya harus belajar berbagi waktu, belajar menekan kemungkinan narsistik dari kegiatan daring yang memuaskan diri pribadi dan melalaikan tanggung jawab sebagai ibu. Tetapi, kehidupan di dunia maya ini juga membuat saya tersadarkan betapa banyak permasalahan yang universal, dan betapa masih banyak orang yang mencari dan ingin mengusahakan kedamaian di dalam Tuhan. Keberimbangan hidup, dan pencarian kedamaian dalam pengambilan setiap keputusan sebelum melangkah (discernment) adalah hal yang masih kucari dan kupinta dalam doa.

Tuhan,
betapa sering aku melalaikan tugasku untuk memberi teladan
melupakan arti melayani ketika kelelahan mendera
tetapi Engkau tidak meninggalkanku sendiri
Terima kasih Tuhan,
bantulah aku menjadi lebih arif dan sabar
jadikanlah aku anakMu
yang hanya mengejar yang baik dan benar
yang mampu bertindak adil dan jujur
yang lebih memilih melayani daripada dilayani
dan siap mencintai seperti cintaMu yang tidak berbatas,
Amin

Sunday, March 08, 2009

A Letter from Jesus

If you never felt pain, then how would you know that I am a Healer?
If you never had to pray, how would you know that I am a Deliverer?
If you never had a trial, how could you call yourself an overcomer?
If you never felt sadness, how would you know that I am a Comforter?
If you never made a mistake, how would you know that I am a forgiver?
If you knew all, how would you know that I will answer your questions?
If you never were in trouble, how would you know that I will come to your rescue
If you never were broken, how would you know that I can make you whole?
If you never had a problem, how would you know that I can solve them?
If you never had any suffering, how would you know what I went through?
If you never went through the fire, how would you become pure?
If I gave you all things, how would you appreciate them?
If I never corrected you, how would you know that I love you?
If you had all power, how would you learn to depend on me?
If your life was perfect, then what would you need me for?

Love,
Jesus

Surat ini datang ke e-mail saya melalui Jm Kummala, beserta gambar-gambar sebenarnya...tapi tanpa gambar juga menarik untuk dibaca. Sumber aslinya tidak jelas karena itu saya biarkan tanpa gambar saja. Yesusnya berbahasa Inggris walaupun Ia bukan orang Inggris hehehe...yakin dengan bahasa Roh bisa dimengerti orang banyak. Shaloom...

Adil dan Bertanggung Jawab

Menjelang Minggu II masa Prapaskah kemarin ada beberapa bacaan yang sangat menyentuh hati saya. Yang pertama adalah Matius 5:43-48. Dalam kothbah di bukit, Yesus menyatakan dengan gamblang, "Kasihilah musuh-musuhmu, dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikian kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga. Sebab Ia membuat matahariNya terbit bagi orang yang jahat dan bagi orang yang baik pula, hujanpun diturunkanNya bagi orang yang benar dan juga orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga sempurna adanya."

Kutipan yang panjang...seluruhnya memiliki nilai yang sangat berarti. Yang amat menyentuh saya ketika mendengar kutipan ini adalah kebenaran tentang matahari dan hujan. Manusia hidup mengandalkan matahari dan hujan, dan kehidupan itu diberikan kepada semua orang tanpa memandang baik atau buruknya ia menjalankan sabda Allah.

Mengasihi tanpa batasan, senantiasa berbuat adil bahkan mendoakan orang lain yang berlaku tidak adil pada kita merupakan sebuah beban yang terasa berat dan melelahkan. Pastur di gereja mengutip lagu "Kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa...hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia..."

Terkadang sebagai ibu rasanya kasih saya tidak lagi seperti sang surya. Saya berharap dengan mengasihi anak-anak saya, mereka juga menunjukkan perilaku yang manis dan baik. Ketika mereka nakal dan mungkin berlaku agak kurang ajar, saya menjadi marah, atau paling tidak merasa sedih dan lelah. Saya merasa telah mencurahkan semua unsur kehidupan yang saya miliki bagi mereka, dan mereka tidak mengapresiasinya. Ternyata saya juga berharap memperoleh cinta dari mereka, memperoleh perhatian dari mereka, memperoleh penghormatan dari mereka...

Allah tidak pernah lelah memberikan kasihNya kepada saya. Bahkan ketika saya tidak mengingat kesalahan saya sendiri, dan berdoa untuk meminta pembalasan bagi orang-orang yang berlaku tidak adil kepada saya, Ia tidak lelah mendidik saya untuk menjadi anakNya...menjadi sempurna seperti diriNya.

Matius 5: 23-24 mengatakan, "Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu." Walaupun Allah menginginkan kita untuk senantiasa menjadikanNya prioritas pertama dalam kehidupan kita, ternyata ada hal penting lain yang perlu kita ingat sebelum menghantarkan diri kepadaNya...memaafkan sesama, ataupun minta maaf kepada sesama.

Terkadang pelayanan yang kita lakukan di lingkungan gereja maupun masyarakat juga karena berharap imbalan dari Tuhan Allah. Dan sementara pelayanan berjalan, rasa kesal dan kemarahan terhadap orang-orang yang tidak membantu juga membukit. Itulah sumber dari keringnya kehidupan rohani kita. Saya merasakannya ketika masih mahasiswa dahulu, mendahulukan pelayanan tetapi sering merasa kesal karena hanya orang-orang yang itu-itu saja yang bekerja. Dan rasanya hati saya menjadi gersang, kedamaian tidak terasa disana. Seorang pastur yang saya mintai nasehat menyuruh saya supaya tidak fokus kepada kegiatan organisasi tetapi lebih fokus kepada pelayanan itu sendiri. Nasehat ini masih terus saya ingat sampai sekarang, karena pelayanan dalam organisasi menginginkan hasil akhir, target proyek, imbalan yang memuaskan...tetapi "pelayanan dalam Tuhan" tidak selalu bisa dilihat hasilnya. Ada yang jatuh di tanah yang subur, ada yang jatuh di tanah berbatu, adapula yang jatuh di dalam semak berduri. Satu hasil yang dijanjikanNya adalah kedamaian hati dan kehidupan kekal bersamaNya.

Membaca Titus 2: 1-10 mengenai kewajiban orang tua, pemuda, dan hamba sekali lagi mengetuk hati saya untuk bangun. Nasehat kepada perempuan begitu panjang dibandingkan kepada kaum lelaki.

Bila kepada lelaki hanya dipesankan untuk hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih, dan dalam ketekunan, maka kepada kaum perempuan diberikan nasehat yang jauh lebih panjang. "Hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang." Belum lagi nasehat kepada orang muda dimulai dengan kata-kata:"...nasehatilah mereka..." Berada persis di bawah nasehat kepada kaum perempuan (dewasa) membuatnya seakan menyatu dengan tugas mengajarkan dan mendidik yang secara khusus disebutkan di atasnya.

Lelaki terkadang memang terasa bagai makhluk dari Mars yang tidak sebahasa dengan perempuan yang berbahasa planet Venus. Ketika makhluk Mars itu belum menjadi bagian kehidupan sepenuhnya dari perempuan, maka menjadi tantangan yang besar untuk mengenali dan belajar bahasanya. Tetapi ketika keduanya harus hidup di dalam satu biduk rumah tangga, lalu terasa betapa berbeda bahasanya...betapa sulit untuk mengertinya. Dan tidak jarang makhluk Mars, yang juga malas belajar bahasa Venus ini, memilih membungkam seribu bahasa dan membuat komunikasi semakin berantakan. Ketika itu beban tanggung jawab terhadap anak-anak terasa sangat berat, bagai memikul salib sendirian...Rupanya memang makhluk Venus lebih boros dalam berkata-kata, karena itu pula nasehat yang kami peroleh demikian panjang dan detail.

Sebenarnya masih satu pertanyaan yang menggelayut di kepalaku. Nasehat yang bergitu panjang bagi kaum perempuan diakhiri dengan perkataan "agar Firman Allah jangan dihujat orang". Walaupun tahu bahwa ada makna tanggung jawab mendidik dan pengajaran disana, tetapi hati kecilku masih berteriak "itu juga tugas lelaki..."

Tuhan Allah yang Maharahim,
terima kasih atas cinta tak terbatas yang Kau curahkan pada kami
atas matahari dan hujan yang Kau anugerahkan untuk kehidupan kami
atas ketulusan penuh maaf yang Kau tawarkan bagi kami
Masih banyak hal yang tidak kumengerti Bapa...
Masih banyak hal yang menjadi protes di dalam hatiku...
Aku yakin Dikau mengerti dan akan menjawabnya sesuai dengan waktuMu...
Sementara itu dukung dan bantu aku dalam bertanggung jawab bagi keluargaku...
Amin.