Saturday, December 04, 2010

Tersenyumlah Untuk Yesus

Bagi orang-orang yang mengenal tradisi Sinterklaas maka nanti malam seharusnya adalah malam kedatangan Sinterklaas dan Piet Hitam. Suasana perayaan Natal mulai terasa. Lagu-lagu Natal mulai dikumandangkan, acara Pendalaman Iman dalam rangka Adven mulai diadakan, dan sebentar lagi gereja juga dipenuhi antrian orang-orang yang akan menerima Sakramen Pengakuan Dosa. Yesus akan datang, bersihkanlah rumahmu, bersihkanlah hatimu untuk menyambutNya.

Satu hal yang menarik bagi saya selama mengikuti doa meditasi bersama suster adalah pengalaman berbagi dengan rekan-rekan komunitas. Betapa begitu banyak ragam masalah di dunia ini. Betapa begitu banyak ragam rahmat yang dicurahkanNya bagi kami masing-masing.

Dari buku Ibu Teresa "Come be My Light" saya menemukan satu hal yang sangat sulit untuk aku tiru. Ibu Teresa berusaha untuk terus tersenyum bagi Yesus, walaupun dia berada dalam kegelapan dan kehausan akan cintaNya yang sangat mendalam. Dia tidak pernah ingin mengeluh. Itulah satu hal yang sangat berbeda dengan diriku dan sangat sulit untuk kutirukan. Belajar untuk tidak mengeluh, belajar untuk menerima jalanNya dan tersenyum.

Seorang dari peserta meditasi kami membagikan pengalamannya Jumat pagi kemarin. Ketika meditasi ia merasa wajahnya diarahkan untuk tersenyum. Tentu saja saya langsung teringat pada contoh dari Bunda Teresa. Tersenyumlah untuk Yesus!

Natal sejak saya masih kecil merupakan hari yang khusus. Sebagai anak kecil saya dan adik-adik terutama sangat gembira dengan hadiah Natal yang diletakkan di bawah pohon Natal. Kami tidak terlalu mengenal Sinterklaas yang turun dari cerobong tapi kami mengenal hadiah-hadiah Natal. Ada cerita Sinterklaas dan Piet Hitam, tapi di rumah kami tidak ada cerobong. Yang ada tentunya pergi menemui Sinterklaas di luar rumah. Pernah suatu ketika saya langsung sakit panas ketika seorang teman ayahku yang kebetulan berkulit hitam legam datang ke rumah dan saya dipaksa untuk bersalaman dengannya.

Hadiah Natal kami dahulu mulai muncul di awal-awal Adven, setiap kali ada yang berbuat baik maka hadiahnya di bawah pohon itu bertambah. Sebaliknya, bila yang dilakukan adalah kenakalan, maka hadiahnya akan menghilang kembali. Sebenarnya hadiahnya tidak mahal, bisa sugus satu bungkus atau pensil dan penghapus. Masa kecilku kami tidak punya banyak tuntutan. Tanpa iklan televisi, tanpa kehidupan konsumtif, tanpa permainan elektronik yang mahal tidak banyak godaan bagi kami. Hadiah terindah buat saya tentunya adalah buku cerita atau album perangko.

Dalam masa remajaku ada kebiasaan baru yang muncul, yakni membersihkan kamarku menjelang Natal dan Paskah. Menata kamar pada hari Natal sangat menyenangkan karena banyaknya sahabat pena yang mengirimiku kartu Natal. Semua kartu-kartu itu akan kupajang di atas almari, menambah warna-warni ceria dalam kamarku. Ketika kamarku sudah bersih dan teratur maka tentunya giliran hatiku yang perlu dibersihkan...jadilah saya ikut dalam antrian umat yang akan menerima Sakramen pengakuan dosa. Sayang sekali kehadiran internet yang secara ekonomi lebih murah daripada berkirim surat, dan lebih efisien dari segi waktu membuat saya berhenti berkirim surat lewat pos. Jadi kartu-kartu Natal yang indah itu tidak lagi menghias rumahku, dan tidak lagi menjadi rutinitas menjelang Natal yang kuturunkan ke anak-anakku.

Ketika Maria menerima kabar gembira dari malaikat Gabriel, seharusnya kabar itu bukanlah kabar gembira yang bisa membuat seorang perawan tersenyum. Bayangkan bagaimana rasanya seorang gadis yang belum menikah bila menerima kabar akan mengandung dan melahirkan seorang bayi? Seistimewa apapun bayi yang akan dikandungnya, rasanya pasti di hatinya ada guncangan yang hebat. Itu adalah pilihan yang diberikan kepada Perawan Maria, dan itu bukan suatu pilihan yang mudah. Hukuman untuk wanita yang hamil tanpa suami adalah hukum rajam. Bagaimana orang lain bisa mengetahui bahwa dirinya mengandung anak Allah? Tetapi Maria tetap tersenyum dan menjawab, "Terjadilah padaku menurut perkataanMu...."

Ketika saya menghadapi masalah dalam kehidupan, masalah dalam berkeluarga, maka reaksi pertama adalah keluarnya sebuah keluhan. Reaksi selanjutnya adalah mencari jalan keluar yang logis untuk memecahkan masalah tersebut. Dari sharing dalam Pendalaman Iman di lingkungan kami serta dari pengalaman seorang teman doa yang sedianya harus menjalani operasi jantung minggu ini, saya belajar betapa jalan keluarNya tidak selalu memiliki penjelasan yang masuk akal. Seringkali jalanNya tampak sangat tidak masuk akal. Kebetulan kedua contoh yang saya dengar berhubungan dengan penyakit jantung. Yang pertama di lingkungan adalah kisah anak kecil yang sudah siap di operasi di Singapura ketika tiba-tiba alat yang seharusnya akan digunakan ditarik oleh produsennya karena adanya kekurang sempurnaan pada produk. Yang kedua, dari teman doaku, adalah kisah penundaan operasi jantung karena secara mendadak terjadi perbaikan kondisi jantung setelah yang bersangkutan berserah diri dalam meditasi-meditasinya.

Mengeluh dalam menghadapi masalah seringkali berkaitan dengan tuntutan kepada Tuhan untuk memperhatikan kita, untuk memperbaiki nasib kita. Betapa Ibu Teresa merasa tersiksa karena merasa kering dan hampa, tetapi dia dengan tersenyum terus bekerja bagi Tuhan. Ia menjadikan dirinya mempelai Yesus. Dan menjadi mempelai Yesus tidak berarti senantiasa menerima dukungan dan siraman kasih yang besar dan nyata di dalam hatinya.

Sebuah kisah dari renungan Pater Anthony de Mello SJ saya temukan di portal Keluarga Katolik Indonesia (KKI) Amsterdam. Walaupun sudah pernah membacanya sebelumnya, tapi kali ini kisah ini lebih menyentuh saya karena saya sekarang bisa merasakannya. Kisah ini bercerita tentang pemuda yang mencari suara seribu lonceng yang tenggelam ke dasar laut. Ia tidak mampu mendengar suara lonceng itu, suara gemuruh lautan memenuhi seluruh indera pendengarannya. Ketika ia menyerah dan menyangka bahwa ia tidak ditakdirkan untuk mengenal suara lonceng dalam legenda itu, tiba-tiba lonceng-lonceng itu berdenting dengan sangat jelas.
Pada hari itu ia tidak berusaha menutup telinganya terhadap suara laut, melainkan menyerahkan dirinya sendiri kepadanya. Dan ia pun menemukan suara yang lembut dan menyegarkan di dalam gelora gelombang laut. Segera ia begitu tenggelam dalam suara itu, sehingga ia hampir tidak menyadari dirinya lagi. Begitu dalam keheningan yang ditimbulkan suara gelombang dalam hatinya.

Di dasar keheningan itu, ia mendengarnya ! Dentang bunyi satu lonceng disambut oleh yang lain, oleh yang lain lagi dan oleh yang lain lagi ...dan akhirnya seribu lonceng dari kuil itu berdentangan dengan satu melodi yang agung berpadu. Dalam hatinya meluap rasa kagum dan gembira.

Jika engkau ingin mendengar lonceng-lonceng kuil, dengarkanlah suara laut.

Jika engkau ingin melihat Tuhan, pandanglah ciptaan dengan penuh perhatian. Jangan menolaknya, jangan memikirkannya. Pandanglah saja.


Dalam upaya mencari Yesus seringkali saya terlalu fokus kepada figur Yesus yang ada dalam benakku, atau menutup mata terhadap apa yang tersaji di hadapanku guna menemukan Ia yang bagiku tersembunyi. Ibu Teresa mencari kehangatan cintaNya tapi ia tidak membiarkan dirinya jatuh ke dalam kekosongan itu, ia membiarkan dirinya masuk dan lebur ke dalam karyaNya. Dan ia membiarkan dirinya selalu tersenyum sehingga orang luar hanya melihat kebesaranNya.

Yesus,
saya ingin tersenyum bagiMu
menerimaMu dalam penginapan di hatiku
lebur dalam kehangatan cintaMu
dan berbuah banyak karena sentuhan kasihMu.

Yesus,
betapa besar kasihMu
betapa besar kekuatanMu yang Engkau berikan untuk menopang kami,
Berikan kami kemampuan untuk mengenalMu
untuk mengenal jalanMu
untuk melangkah bersamaMu
untuk berpasrah tapi tidak pasif
untuk berusaha tapi tidak mengatur
karena Engkau begitu besar
seperti alam semesta yang tak terkira luasnya
begitu dalam
seperti dalamnya samudra yang tak terselami
dan logika tidak mampu menyentuhMu
tidak mampu mengenal kehendakMu
ketika jalanMu dan takdir bagai bersatu
ketika kehendak bebas menjadi batu sandunganku
ajari daku cinta kasihMu...
ajari daku untuk tersenyum bagiMu....

Saturday, November 20, 2010

Hanya debulah aku

Tuhan,
ku bersimpuh di hadiratMu,
Sungguh hanya debulah aku,
tak pantas mencoba menyelami dalam samudraMu,
Otakku terlalu kecil untuk mengertiMu,
mengerti adaMu,
mengerti rencanaMu.

Hanya debulah aku,
yang Kau kumpulkan dan Kau bentuk,
yang Kau beri hembusan nafasMu,
yang Kau anugerahi hati dan kehendak bebas,
yang Kau biarkan berjalan di padang rumputMu.

Sungguh, hanya debulah aku...
yang terkadang tak berdaya menerima godaan iblis,
yang mencariMu tapi tak mampu melekat kuat padaMu,
yang terbang tak tentu arah mengharapkan dekapan hangatMu,
yang terhentak membentur bukit batuMu.

Hanya debulah aku,
Yang Kau ciptakan menjadi hidup,
Karena jiwaMu yang Kau titipkan ke dalam ragaku,
Dari dalam kandungan ibuku Engkau menenunku,
SuaraMu senantiasa menenangkan aku di dalam kegelapan rahimnya,
suaraMu juga yang menegur diriku ketika kutertatih belajar melangkah,
tetapi seringkali kulalaikan suaraMu,
yang bergema melintasi dada dan rongga telingaku,
membiarkanNya terbenam bersama keriuhan dunia.

Bapa,
jangan biarkan aku tersapu hilang,
jagalah biar setitik debu ini memiliki harga bagiMu,
agar mampu menempel pada salib yang dibawa Putra ke Kalvari.

Setitik debu yang tidak bermakna,
Setitik debu yang terkadang dikibas manusia,
yang berkesempatan menemani langkahNya ke Puncak Golgota.
Setitik debu yang dihidupi oleh Tubuh dan DarahNya.

Tuhan,
sungguh ajaib semua karyaMu,
sungguh besar kuasa kasihMu,
sungguh agung kebesaranMu,
sungguh menakjubkan rencana-rencanaMu,
tak kuasa kumengerti...
tak berdaya kujalani...
hanya cintaMu yang mampu membuatku berarti
walau tidak mengerti tapi berguna bagiMu,
pakailah aku sebagai alatMu,
bentuklah aku dengan cintaMu,
karena Dikau semata yang menghidupiku.

(Inspirasi dari Mazmur 139)

Tuesday, November 16, 2010

Doa dan kehadiranNya

Model meditasi baru kami membuat saya secara fisik lebih segar. Mungkin karena meninggalkan semua masalah sejenak memang membuat saya lebih nyaman. Tetapi di satu pihak saya merasa kehilangan "suaraNya". HadirNya dalam meditasi seringkali tidak sama dengan "suaraNya" yang kuperoleh lewat kontemplasi Kitab Suci dahulu. Yang paling merasakan akibatnya mungkin adalah blog ini. Selain karena masalah komputer dan perangkat pendukungnya yang tidak menunjang kehidupan daringku, maka rasa nyaman yang tidak disertai loncatan inspirasi membuat blog ini cukup terbengkalai.

Minggu lalu kami mencoba kontemplasi sendiri. Bacaan hari itu yang kami baca adalah 2 Yoh 4-9. Bacaan ini sangat menyentuh karena ditujukan kepada seorang ibu. Sungguh terasa bahwa surat itu ditujukan kepada kami sendiri, kaum ibu. Yang paling berkesan adalah perkataan dari ayat 6: "...Dan inilah perintah itu, yaitu bahwa kamu harus hidup di dalam kasih,..."

Saling mengasihi terkadang sangat mudah untuk diucap, tetapi terasa sukar ketika harus dilaksanakan. Kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri. Perintah ini akan bertambah sukar bila kita sendiri tidak tahu bagaimana caranya mengasihi diri kita sendiri. Tetapi sesungguhnya kasih akan Allah menutupi semua ketidak-tahuan itu. Bila kita membiarkan iman kita membawa kita untuk meletakkan semua kekurangan kita ke dalam kelimpahan kasihNya, maka niscaya kasihNya akan mengisi kekurangan yang kita miliki. Setelah beberapa saat yang lalu saya diingatkan kembali akan pentingnya memiliki sikap sabar, lemah lembut, dan rendah hati, maka minggu ini saya diingatkan untuk mencariNya agar Ia membentuk kekurangan kita.

Satu cara untuk menemuiNya adalah dalam doa. Kami mencoba meditasi doa agar dapat menghadirkanNya dalam keheningan jiwa kami, dan memampukan kami mendengar suaraNya. Maranatha...

Bapa yang maha baik,
PutraMu datang menderita bagi segala dosa kami,
dan tak henti kami terjatuh ke dalam cobaan,
Tetapi Roh KudusMu ikut menyertai kami,
agar kami dikuatkan dan dijaga,
agar tak hilang kami dalam kelam dosa.
Bapa,
Ampuni kami orang berdosa,
Hadirlah membentuk diri kami,
agar kami layak menghadap hadiratMu,
Amin.

Sunday, November 07, 2010

Melepaskan kekhawatiran

Ada satu hal penting yang terasa sejak rajin mengikuti doa meditasi; hadirNya tidak lagi diam. Dalam setiap bacaan, dalam setiap pengalaman hidup Dia hadir memberikan masukanNya.

Dalam meditasi terakhir, saya sudah mampu berkonsentrasi penuh selama 15 sampai 20 menit, kemudian mulailah suara-suara dari luar yang seharusnya menjadi pendukung meditasi menjadi pengganggu konsentrasi. Suara anak-anak sekolah yang bermain di seberang rumah suster mengingatkan saya pada celetukan seorang teman semalam sebelumnya yang mengatakan bahwa saya terlalu banyak khawatir(dalam hal anak).

Sebenarnya kekhawatiran saya yang terbesar adalah mengambil langkah yang tidak sesuai dengan keinginanNya. Saya selalu takut salah pilih langkah. Dalam hal anak, saya takut terlalu memaksakan kehendak saya kepada anak, tapi juga takut terlalu memudahkan anak sehingga nantinya ia tidak mampu hidup mandiri.

Kebetulan seminggu yang lalu seorang teman memberikan buku hasil suntingannya. Dalam buku rohani yang berjudul "The Right Choice" karangan Kendra Smiley itu ada satu bab yang khusus membahas contoh orang yang menempatkan kekhawatirannya ke tangan Yesus.
Buku terjemahan yang diterbitkan oleh Gloria Gaffa ini cukup bagus kualitas teremahannya sehingga alur membaca kisah-kisahnya juga enak.

Dalam buku ini dikutipkan beberapa ayat untuk menghilangkan kekhawatiran, yang paling menarik saya adalah 1 Petrus 5:7 "Serahkan segala kekhawatiranmu kepadaNya, sebab Ia memelihara kamu." Kekhawatiran adalah batu sandungan bagi manusia, terutama bagi orang seperti saya yang mengharapkan semua hal dipersiapkan dan ditentukan terlebih dahulu. Ketika Ia terasa tidak menjawab, saya kelimpungan. Padahal sebenarnya kedekatanku kepadaNya yang mungkin masih kurang. Kalau saya sungguh dekat denganNya maka tidak perlu lagi menantikan jawaban, karena Ia senantiasa mengatur langkah hidupku.

Pilihlah pilihan yang membawa perasaan damai di hati. Itu pesan utama yang kudapat dari suster-suster pembimbing doa. Untuk dua pilihan yang sama-sama tingkat kesulitannya maka kedekatan kita melalui doa yang menjadi faktor pencerahan yang dibutuhkan.

Dalam Filipi 4: 6-7 dikatakan: "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus." Kemudian di dalam Filipi 4:9 dikatakan pula untuk melakukan semua hal baik yang sudah diterima, didengar dan dipelajari, karena dengan demikian Allah, sumber damai sejahtera, akan menyertai langkah kita.

Sebagai manusia sesungguhnya sulit untuk lepas dari kekhawatiran. Walaupun dikatakan bahwa hari ini cukuplah untuk hari ini saja, tetapi kita memiliki kecenderungan untuk mempersiapkan segala sesuatu di masa mendatang. Padahal, masa mendatang itu belum tentu ada. Semua yang ada adalah pemberian Tuhan. Ia yang memberikan hari demi hari kepada kita. Segala kekhawatiran menjadi percuma bila Ia tidak lagi membagikan nafasNya kepada kita untuk melanjutkan hari. Jadi nikmatilah hari ini, dan tersenyumlah menyongsong masa depan karena hari ini adalah hadiahNya dan masa depan adalah hadiah-hadiah yang menantikan kita setiap hari dalam rengkuhan kasihNya.

Letusan gunung Merapi dan bencana-bencana lain seperti tsunami di Mentawai, ataupun bencana Wasior yang lebih dahulu terasakan membawa kekhawatiran bagi kita yang hidup di negara kepulauan yang terletak di daerah "ring of fire"...cincin gunung berapi. Ketika gunung Anak Krakatau mulai aktif, lalu gunung-gunung berapi lainnya yang berjumlah lebih dari 100 buah gunung, satu per satu mulai menunjukkan gejala aktivitas yang meningkat maka kita mulai cemas. Ketika kecemasan yang melanda berhubungan dengan alam, maka mau tidak mau kita hanya bisa kembali kepada Sang Pencipta.

Tuhan, hanya Dikau yang berkuasa menghentikan segala bencana yang menimpa bangsa kami. Hati Yesus yang Maha Kudus, kasihanilah kami, Amin.

Friday, October 08, 2010

Melihat Wajah Yesus

Ini bukan kisah wajah Yesus yang ajaib seperti yang kisahnya sering bertebaran di internet, ini adalah ilusi optis yang menghasilkan proyeksi wajah Yesus di dinding. Minggu lalu, sebelum memulai meditasi, kami mendapatkan sebuah gambar untuk selingan. Gambar ini bisa juga diakses di sini. Teman-temanku langsung berhasil menampak wajah Yesus di dinding, tetapi aku tidak. Tentunya aku penasaran sekali.

Saya kemudian mengikuti sesi meditasi dan mencoba fokus ke dalam meditasi itu sendiri. Mungkin kegalauan pikiran, mungkin ketidak-mampuan untuk berkonsentrasi yang membuat saya tidak mampu menangkap wajah Yesus. Saya bisa menangkap wajah Yesus di gambar tersebut, tetapi tidak berhasil memproyeksikan gambar itu ke dinding.

Biarkanlah anak-anak datang kepadaku...
Marilah kalian yang letih, lelah, dan berbeban berat...
Karena kalian bukanlah hamba melainkan sahabat-sahabatKu...

Akhirnya setelah sesi meditasi berakhir saya berhasil juga melihat wajah Yesus di dinding. Sebenarnya saya masih penasaran kenapa sebelumnya tidak bisa langsung menampaknya, tetapi saya bersyukur bahwa akhirnya saya bisa melihatnya. Rasanya frustrasi menjadi satu-satunya orang yang tidak berhasil berkonsentrasi dalam melihat ilusi optis tersebut. Hal ini mengingatkan saya pada kebiasaan ingin langsung mencapai tujuan, dan tidak menghargai proses. Hari itu Tuhan memberikan pelajaran untuk menikmati sebuah proses pencarian. Teman-temanku langsung melihat gambaran tersebut, saya yang tidak bisa berkonsentrasi jadi semakin gelisah. Mengapa hanya saya yang tidak bisa melihatnya? Apakah saya terlalu berpikir pada gelasnya atau pada isinya? Semakin saya berpikir semakin tidak mampu saya menampak gambar tersebut. Ketika saya melepaskannya dan memasuki keheningan bersamaNya, saya lalu dimampukanNya untuk menampak gambar itu. Bersabar menantikan hasil, itulah pelajaran berharga dari hari itu.

Bapa yang baik,
Terima kasih atas cintaMu,
yang dengan sabar menantikan diriku,
sabar mengajarkan aku untuk menghargai sebuah proses,
bahkan jika hasil dari proses itu tidak mampu kulihat sejak awal,
belajar menghargai harapan akan iman dalam kehidupan,
Tuhan kasihanilah kami...
Amin.

Friday, August 06, 2010

Mencari wajahNya dalam meditasi

Setelah suster yang biasa membimbing kami dalam doa meditasi pindah tugas, kami sempat beberapa saat tidak berkumpul. Tetapi sudah tiga hari ini kami berkumpul kembali di bawah bimbingan seorang suster lain yang datang menggantikan suster kami dahulu.

Kali ini kami dibimbing untuk lebih mengenal meditasi itu sendiri. Diam dan hening dan hanya berfokus kepada wajahNya. Sebagian dari kami pernah mengikuti metode ini bersama suster terdahulu, tapi sebagian lagi lebih mengenal metode kontemplasi Kitab Suci.

Hari pertama meditasi, walaupun suster pembimbing bersuara memberi panduan untuk meditasi, fokus utama saya masih terpecah. Antara doa dan raga saya pribadi. Rasanya entah bagaimana saya tiba-tiba menyadari benar kehadiran tubuh dan kaki saya. Tubuh dan kaki ini belum menemukan posis yang tepat untuk ikut larut dalam keheningan itu, sehingga senantiasa mengganggu konsentrasiku. Lucunya pada hari kedua, seorang teman yang baru datang mengikuti sesi meditasi ini mengalami hal yang serupa dengan pengalaman hari pertamaku. Pada hari pertama, ketika di satu sisi saya menyadari kehadiran ragaku, di lain pihak pikiranku berkelebat menyuruhku membaca kitab Ayub. Tentu saja dalam meditasi kali ini aku tidak bisa langsung membuka Kitab tersebut.

Pada hari kedua, saya sudah lebih mampu berkonsentrasi. Apalagi ketika harus fokus pada perjumpaan yang paling membahagiakan dalam hidup ini. Perjumpaan terindah itu adalah perjumpaan denganNya. Ketika Ia hadir dalam diamNya merengkuh aku yang terpuruk dalam kesedihan dan membagikan kedamaian yang hangat mengisi hatiku di antara diginnya derai air mataku. HadirNya yang tidak bisa terlukis dengan kata-kata ataupun terlukis dengan pena. HadirNya yang hanya bisa terasa kerena kehangatan cintaNya yang menyelimuti dan memadamkan seluruh kemarahan dan kebencian dari dalam hatiku. HadirNya yang mampu membuat aku memandang diri sendiri dan kekurangan diriku. Betapa tidak ada manusia yang sempurna. Hanya Sang Pencipta Yang Maha Besar yang patut menjadi hakim teradil di dalam kehidupan ini. Perjumpaan itu sungguh mewarnai seluruh kehidupan saya. Kerinduanku akan perjumpaan seperti itu membuat aku kini sungguh-sungguh mengerti makna dari lagu, "Bagaikan rusa yang mendamba air, jiwaku rindukan Dikau Tuhan." Aku haus akan hadirNya...

Pada minggu ke tiga kami berkumpul, kami diajak untuk mencari wajah Yesus. Bunda Theresa melihat wajah Yesus pada orang-orang yang terpinggirkan di Kalkuta. Dari Markus 9 ayat 2-13, aku teringat pada meditasi minggu sebelumnya. Kerinduanku akan hadirNya, keinginanku untuk terus merasakan kedamaian hati dan cintaNya yang hangat menyelimuti. Aku ingin seperti Petrus yang ingin membuatkan tenda bagi Yesus, Nabi Elia, dan Nabi Musa. Kami ingin menghadirkan kemuliaanNya terus di hadapan kami. Tetapi kami tidak mengerti kehendak Allah. KehadiranNya tidak selalu dalam kemuliaan yang bermandi cahaya dan kehangatan cinta, terkadang Ia hadir dalam ketakutan seperti ketika menghadap Bapa di taman Getsemani, terkadang Ia hadir dalam bilur-bilur kesakitan dan derita yang ditempuhNya dalam perjalanan ke bukit Golgota.

Dari Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus 2: 1-10, saya tersentuh terutama pada ayat 8 dan 9 "Sebab karena kasih dan karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah. Itu bukan hasil pekerjaanmu; jangan ada orang yang memegahkan diri." Kalimat ini membawa saya kembali ke masa-masa kering dalam pelayanan saya ketika saya menjadi Marta yang meminta Yesus untuk menegur Maria yang hanya duduk diam mendengarkanNya. Ketika saya bergiat untuk pelayanan di kegiatan kerohanian mahasiswa, atau kemudian bergiat di dalam lingkup pelayanan lingkungan, atau bahkan dalam menjadi relawan bagi museum, terkadang terasa jenuh dan lelah. Mengapa orang lain tidak membantu agar pekerjaan ini menjadi lebih mudah? Rohani saya menjadi kering dan doa menjadi sulit untuk saya. Seorang pastur pernah mengatakan bahwa saya terlalu terfokus pada kegiatan organisasi itu sendiri. Kini saya tahu jawaban yang sebenarnya, saya terlalu mengandalkan kemampuan diri saya sendiri. Saya lupa bahwa Ia bekerja dalam diri setiap orang dengan cara yang berbeda-beda.

Profil Marta paling lekat dengan diri saya. Rasanya saya selalu menjadi orang di belakang layar yang sibuk kesana kemari dan terkadang saya bertanya-tanya, "apakah semua itu perlu?" Apakah tidak lebih baik saya menjadi Maria yang cukup duduk manis mendengarkanNya? Keseimbangan antara pelayanan Marta dan kepasrahan Maria menjadi suatu pekerjaan rumah bagi saya.

Ayat tadi juga membawa saya kembali kepada kisah yang paling mengganggu nuraniku, yaitu perumpamaan orang dengan lima telenta (Matius 25: 16-30). Lima telenta yang kumiliki terasa menjadi beban yang memecah konsentrasiku. Aku tidak mampu memikirkan talenta yang mana yang harus kukembangkan terlebih dahulu. Aku tidak mampu memprioritaskan cara mengembangkan seperti apa yang Tuhan inginkan aku lakukan. Dia tidak meninggalkan perintah sebagai petunjuk. Dia memberi lima talenta seperti Tuan itu membagi talenta bagi hamba-hambanya dan pergi tanpa petunjuk. Dalam perumpamaan Yesus justru orang yang memperoleh lima talenta dan dua talenta yang pergi menggandakan talenta mereka. Sebenarnya realita terbanyak adalah orang merasa Tuhan memberinya terlalu sedikit untuk dikembangkan, itulah lambang dari hamba yang hanya menerima satu talenta dan menanamnya. Ironisnya saya lebih merasa sebagai hamba yang memiliki lima talenta dan bingung hendak diapakan talenta itu agar bisa berkembang dan tidak hilang. Hasilnya tidak lebih baik dari hamba yang hanya beroleh satu telenta itu. "Semua itu bukan hasil pekerjaanmu," sabdaNya. Seharusnya aku tidak perlu banyak berpikir, cukup pergi, bekerja dan biarkan Ia yang menggandakan semua hasil dari talenta itu.

Sebenarnya semua yang kuperoleh selama tiga kali meditasi terakhir ini juga merupakan kondensasi dari doa meditasi (kontemplasi) selama bertahun-tahun kujalani bersama komunitas kecilku sebelumnya. Kalau sebelumnya pikiranku tetap bebas mengembara ke sana ke mari, melenggang ke Perjanjian Lama ataupun bagian lain dari Perjanjian Baru, maka sekarang aku juga belajar mengosongkan pikiran selama meditasi. Sungguh-sungguh kosong dari semua kebiasaan melompat-lompat dari sel-sel abu-abu pemberianNya, dan membiarkan Dia mencoba memasuki pikiranku.

Tuhan Yesus,
Terkadang kehadiran Bapa, Putra dan Roh Kudus membuatku tidak ingin mencari rupa,
CahayaMu terasa sudah cukup menjadi wajah Tritunggal yang Maha Kasih.
WajahMu terkadang hadir di hampir semua wajah yang kutemui,
Membuat aku terkadang tidak tahu yang mana yang harus kudahulukan,
Terima kasih karena Engkau mau hadir dalam hidupku,
Tolonglah aku mengerti jalan yang harus kupilih agar sesuai dengan yang digariskan Bapa bagiku.
Temani aku dan kuatkan daku melalui Roh KudusMu,
Agar mampu mengembangkan lima talenta itu sesuai dengan kehendak Allah.
Amin.

Monday, June 14, 2010

Waktu adalah karunia

Beberapa waktu belakangan ini, terasa sekali betapa waktu adalah karunia terbesar yang diberikanNya kepada kita. Apakah kita bisa mengisinya dengan sesuatu yang berguna, atau sekedar menghabiskannya sangat tergantung pada kemauan dan usaha kita. Betapa banyak hal yang ingin kutulis tetapi akhirnya terlewat begitu saja. Penting atau tidak menuliskannya, memang akhirnya tergantung dari makna yang bisa diperoleh oleh pembacanya. Bagi saya sendiri, menuliskan untaian kata yang mengalir keluar dari otak sehabis merenung atau membaca Kitab Suci merupakan catatan yang sangat berharga. Ketika berkilas balik terkadang saya sendiri merasa membaca sesuatu yang baru. Mungkin juga pada saat itu posisi pandang saya sudah bergeser lagi, situasi yang kuhadapi sudah berbeda, sehingga tulisan itu tiba-tiba membukakan makna lain yang tiba-tiba terbersit.

Waktu adalah karunia yang terkadang tidak kita nikmati. Kita dikejar waktu ingin menyelesaikan banyak hal sekaligus. Padahal Tuhan sudah memberikan contoh betapa Ia mengerjakan penciptaan secara bertahap, satu demi satu. Kemudian Ia juga membutuhkan menyisihkan satu hari untuk beristirahat.

Memang seringkali waktu terasa terbang begitu saja. Anak-anak yang tadinya bayi mungil tiba-tiba sudah mulai besar. Kemudian masa remaja menghilang, dan tuntutan dunia dewasa mulai menghampiri. Begitulah lingkaran kehidupan. Kita berpacu dengan waktu. Ada hal yang berubah, ada hal yang tidak berubah. Kedegilan manusia mungkin merupakan satu hal yang sulit berubah. Tetapi Ia selalu memaafkan, selalu mencari dombaNya yang hilang. Karena akan ada sukacita di surga karena satu orang yang bertobat, melebihi sukacita karena 99 orang yang tidak perlu bertobat.

Terkadang kita merasa tidak perlu bertobat, karena merasa masih berada dalam kawanan dombanya. Tetapi waktu juga yang menyadarkan betapa seringkali kita melenceng ke luar dari kawanan domba yang digembalakanNya.

Tuhan,
kuingin menghargai waktu yang Kau berikan,
kuingin memanfaatkan waktuku untuk kemuliaanMu,
terkadang godaan besar bagi sukacitaku pribadi terasa besar,
tetapi Dikau mengingatkan betapa sukacita itu menjadi lebih penuh
saat berjalan dalam bimbinganMu.
Tuhan, Gembalaku....
Sumber kekuatan dan ceriaku,
Penuntun jalan kehidupanku,
Jangan tinggalkan diriku tersesat,
Bawalah daku ke padang rumputMu.
Amin.

Tuesday, May 04, 2010

Bagaimana mengenali kehadiranNya?

Bacaan meditasi hari Jumaat kemarin diambil dari Injil Lukas 24: 13-35. Dari bacaan itu, yang sangat berkesan pada saya adalah ayat 30-31. "Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucapkan berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka."

Pertama kali saya tersentuh pada kehadiran sebuah kebiasaan baik yang membuat murid-murid itu mengenali kehadiran Yesus. Yang teringat pada saat itu adalah perlunya memberikan kebiasaan baik yang sama kepada anak-anakku agar mereka juga bisa merasakan kehadiran Yesus. Kemudian teringat juga betapa seringkali dalam saat konsekrasi saya harus berjuang antara keinginan untuk menasehati anak-anak (yang sibuk bermain atau bercanda) atau tetap berusaha mendekatkan diri dalam diam kepada kehadiranNya.

Seorang penulis, Reda Gaudiamo pernah juga menyentilku melalui tulisannya "Minggu Pagi" di dalam buku kumpulan cerpennya "Bisik-bisik". Saya kutipkan sebagian di bawah ini.

"Bapa Kami yang ada di Surga, dimuliakanlah namaMu. Datanglah kerajaanMu, Jadilah kehendakMu, di bumi seperti juga di dalam surga..."
"Ssst..."
"Hah, kenapa?"
"Kok begitu?"
"Apanya?"
"Matamu itu. Kalau berdoa, ditutup. Rapat."
"Ah."
"Kalau diberi tahu selalu ah, ah, ah."

"Berilah kami pada hari ini, makanan kami yang secukupnya..."
"Tutup matamu."
"Kenapa, Ma?"
"Karena memang begitu aturannya."
"(A)turan di mana?"
"Di mana-mana."
"Di gambar-gambar, orang berdoa dengan mata terbuka. Malah menengadah ke langit."
"Itu gambar. Kalau di gereja lain. Mau menengadah ke mana? Langitnya tertutup genteng. Ayo tutup mata!"
"..."

"Dan ampunilah kesalahan kami seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami..."
"Eh, tutup mata!"
"Tidak bisa."
"Harus bisa. Apa susahnya menutup mata?"
"Tidak mau."
"Harus mau."
"Ah."
"Ah, ah terus. Ini doanya sudah setengah jalan, hampir amin, kamu masih terus melotot. Tutup mata!"
"Ah."
"Memangnya kenapa kalau matamu di tutup? Semua orang tidak punya masalah dengan menutup mata waktu berdoa?"
"..."

"Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, melainkan lepaskanlah kami dari yang jahat..."
"Kenapa?"
"Jadi mengantuk, Ma. Nanti aku malah ketiduran."
"Mengantuk? Ketiduran? Wah, bahaya itu."
"Memangnya kenapa?"

"Karena Engkaulah yang empunya kerajaan, dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanua..."
"Itu artinya kamu kurang iman."
"..."


Ketika mendengar Reda membacakan cerpen ini saya juga teringat pada konsekrasi di gereja. "Tutup matamu," saya memerintahkan kepada anak-anak, tetapi bagaimana saya bisa tahu bahwa mereka tidak menutup mata mereka? Bukankah itu berarti saya membuka mata saya? "Diamlah dan berdoa," begitu perintah saya pada anakku, tetapi bukankah saat itu saya bersuara dan tidak sedang berdoa? Sesekali mereka masih tergelak dan tidak terasa sebuah cubitan mendarat di paha mereka. "Apakah engkau muridKu?" sebuah suara mendadak terdengar dari balik kalbuku.

Kebiasaan dan contoh merupakan dua hal yang sangat erat hubungannya bagi anak-anak. Bagaimana mengenali kehadiranNya melalui sebuah kebiasaan baik bila kita tidak menanamkannya di dalam rumah? "Berilah contoh, lakukanlah dengan segenap hatimu maka mereka akan mengenalinya," begitu kata hatiku. Hal yang terasa berat tetapi menjadi lebih ringan ketika saya yakin bahwa Ia senantiasa menjadi Guru yang membimbing langkahku. Tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua, tidak ada kursus yang bisa membuat kita mengenal secara rinci anak-anak itu. Mereka adalah makhluk Tuhan yang unik, setiap anak dititipkan dengan karakter mereka masing-masing. Mengenali mereka tidak akan terlalu rumit bila Yang Maha Tahu ada bersama kita.

Satu hal lain yang terasa kemudian adalah betapa sering saya menjadi seperti murid-murid itu yang menginginkan kehadiran Yesus secara nyata, dengan pertanda yang jelas dalam kehidupanku. Tetapi dalam kenyataannya Ia lenyap, dan kita harus berusaha mencariNya di dalam kebaikan hati sesama, di dalam kebiasaan baik yang senantiasa diajarkanNya kepada kita.

Tuhan,
Terima kasih karena senantiasa mengingatkan kami,
perjalanan ke Emaus terasa singkat bersamaMu,
semoga demikian juga perjalanan kami di bumi ini,
senantiasa diisi dengan suasana hati yang berkobar-kobar dalam kedamaian,
karena Engkau hadir bersama kami.
Kami percaya,
dalam saat yang tepat Engkau menyadarkan kami akan kehadiranMu,
semoga kami selalu berbahagia menjadi orang yang percaya walaupun tidak melihat.
Amin.

Monday, April 19, 2010

Pekerjaan yang dikehendaki Allah

Sebuah bacaan menarik dari Injil Yohanes 6:22-31 mengajak saya untuk merenungkan mengapa saya mencari Allah. Apakah saya mencariNya karena roti yang diberikanNya untuk kenyamanan hidup kedagingan saya, atau karena Roti Hidup (Yoh 6:30-35) yang dijanjikanNya?

Yang paling menyentuhku adalah perkataan Yesus,"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku bukan karena melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang. Bekerjalah bukan untuk makanan yang dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meteraiNya."

Sebenarnya sepanjang kehidupan ini, saya merasa bekerja untuk Roti yang Hidup itu. Karena terfokus pada pencapaian rohani, terkadang tidak teringat pada kebutuhan fisik yang juga nyata. Ketika masih sendiri (maupun berdua suami) tidak terasa betapa besar kebutuhan materi itu, tetapi ketika anak-anak hadir dalam kehidupan kami maka keberadaan materi menjadi lebih penting.

Rasanya keseimbangan hidup itulah yang perlu dicari. Suamiku terlalu fokus pada hal materi, sementara saya terlalu fokus pada hal rohani. Keduanya tidak menghasilkan buah yang baik. Keseimbangan dalam hidup dan kepasrahan untuk meletakkannya dalam bingkai kehendak Tuhan merupakan jalan yang diperlihatkanNya kepadaku.

Pertanyaan yang paling sering kumiliki adalah "Pekerjaan apa yang dikehendaki Allah untuk aku lakukan?" Maka jawabNya kepadaku,"Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang diutus Allah."

Sepanjang masa Prapaskah kemarin saya diingatkan untuk mengerjakan perintah hatiku, sekecil apapun kontribusinya terhadap keluarga dan masyarakat. Tuhan yang akan melengkapi pekerjaanku. Seperti salju kecil yang bergulir di padang saljuNya, maka Ia akan menambahkan volume bola salju itu menjadi besar dan tidak terkira pengaruhnya.

Kepercayaan dan iman adalah hal yang senantiasa ditekankan oleh Yesus dalam pemberian mukjizat-mukjizatNya. "Pergilah, imanmu sudah menyelamatkanmu," itulah perkataanNya yang paling sering terucap. Bahkan kalau hanya punya iman sebesar biji sesawi, dijanjikanNya bahwa kita bisa melakukan hal yang tampak mustahil di mata manusia.

Antara mengucapkan "Aku percaya" dari mulut dengan mengucapkan "Aku percaya" dari hati tidak sama. Terkadang mulut mengucapkannya dan menyatakan kepasrahan kepada Tuhan, tetapi hati dan pikiran terus berkutat dengan segala kemungkinan untuk keluar dari masalah yang dihadapi, tanpa memberikan waktu kepadaNya untuk bekerja. Waktu yang perlu kita pakai adalah waktu Tuhan, dan Ia menjanjikan bahwa semua akan indah pada waktuNya.

Tuhan,
anugerahi kami dengan iman yang cukup
agar kami mampu percaya dan pasrah seutuhnya
kepada kerahimanMu.
Berkati kami dengan Roh KudusMu,
agar senantiasa kuat menjalani pergumulan hidup ini.
Amin.

Friday, April 16, 2010

Menjadi Bagian dari KaryaNya

Bacaan hari Jumat ini (Yohanes 6:1-15) membuat saya menggaris bawahi beberapa hal. Pertama, betapa pentingnya melihat hal positif dari sebuah masalah. Kedua, betapa Tuhan membutuhkan kerelaan kita untuk berbagi agar kuasaNya bisa berkarya di dalam diri manusia. Yang ketiga adalah sebuah pertanyaan pribadi, "Mampukah saya mendatangi Yesus tanpa tarikan mukjizatNya? Mampukah saya bertahan bersamaNya dalam jalan salibNya?" Orang-orang itu datang berbondong-bondong ke tempat Yesus karena melihat mukjizat-mukjizat besar yang dilakukanNya. Apakah mereka masih tetap ada dan menginginkan Yesus menjadi raja ketika Ia didera dalam cambukan, ditelanjangi dan dihina dalam proses perjalanannya ke Puncak Golgota? Apakah mereka masih mau memandangNya yang tergantung di kayu salib? Bagaimana dengan diriku, di posisi manakah aku barada?

Yesus menyaksikan orang banyak mengikutinya, dan mengetahui kebutuhan manusiawi mereka akan pangan. Ketika Ia bertanya kepada murid-muridNya, maka ada tiga tipe reaksi. Reaksi pertama dari Filipus yang melihat dari kacamata negatif, "Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini..." Reaksi kedua adalah reaksi Andreas yang menunjukkan keberadaan seorang anak dengan lima roti dan dua buah ikan, walaupun ia juga bersikap pesimis mempertanyakan apa artinya jumlah itu bila ingin dibagikan bagi jumlah lima ribu laki-laki yang hadir. Yang ketiga adalah reaksi murid-murid lain yang diam saja, menantikan apa yang akan terjadi. Andreas mampu melihat peluang yang ada, walaupun tidak mampu melihat cara pemecahan masalahnya. Tuhanlah yang kemudian menyempurnakan pemecahan masalah itu. Saya merasa seringkali bertindak seperti Filipus, alangkah indahnya bila sanggup melihat dari kacamata Andreas yang lebih positif dan meminta Tuhan untuk menyempurnakan jalan keluar permasalahan kita. Terkadang juga saya hanya diam seperti murid-murid yang masuk dalam kategori ketiga, menantikan tindakan Tuhan tanpa ikut serta berpikir atau berusaha. Tuhan menghendaki kita menjadi bagian dari karyaNya.

Kerelaan untuk berbagi dari anak kecil itu juga menyentuh saya. Sebagai anak kecil tentunya bekal yang disediakan ibunya sangat terbatas, dan itu bisa jadi merupakan bekal makan malam itu dan keesokan harinya. Tetapi ia mau memperlihatkan bekalnya kepada orang dewasa yang menanyakan bekal yang dibawa. Kerelaannya berbagi kembali mengingatkan saya kepada kisah kakek pengemis dari Korea Selatan yang karya kecilnya menggelinding menjadi sebuah perkampungan yang begitu nyata pertolongannya bagi orang banyak. Hal kecil yang sederhana menggelinding menjadi besar. Begitu juga dengan kisah koin Prita, dari sekedar uang receh bagi perorangan menjadi bagian dari aksi solidaritas warga yang mampu menembus angka miliar rupiah. Tetapi terus terang ketika menuliskan tulisan ini saya juga jadi teringat pada Koin untuk Bilqis. Bilqis akhirnya sudah mendapatkan tempat di sisiNya. Usaha manusia dan kehendak Allah tidak selalu sejalan, tetapi apa yang terjadi dan pembelajaran apa yang ada di sepanjang kejadian itu merupakan kuasa Allah. WaktuNya tidak selalu merupakan waktu kita, rencanaNya tidak selalu dapat langsung kita maknai. Menjadi bagian dari karyaNya berarti kita bukan saja rela untuk berbagi bagi sesama, melainkan juga rela untuk menerima penderitaan yang mungkin memang harus kita jalani.

Allah Bapa Yang Maha Kuasa,
terima kasih atas semua berkat dariMu,
karuniakanlah Roh Kudus di atas kami,
dan mampukan kami untuk menjadi bagian dari Karya besarMu.
Amin.

Saturday, April 10, 2010

Ia memantau kita

Dalam bacaan Injil hari Jumat yang lalu, yaitu Injil Yohanes 21:1- 14, terlihat betapa Yesus senantiasa ada mengamati umatNya walaupun terkadang yang diamati tidak mampu melihatNya.

Seorang teman memperhatikan betapa kebutuhan pokok manusia akan makanan juga sangat diperhatikan Yesus. Yoh 21:5 Yesus bertanya kepada murid-muridNya (yang tidak mengenalinya): "Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk pauk?"

Terkadang kita melupakan kehadiran Yesus bersama kita dalam perjalanan kita di dunia ini. Ketika kesengsaraan datang mendera maka kita tidak teringat akan jalan salib Yesus yang begitu sulit dan penuh kesengsaraan. Beban yang kita pikul tidak ada artinya dibandingkan dengan beban yang dipikulNya. Sebagai manusia aku tidak bisa membayangkan betapa memalukan dan menderitanya perjalanan ke bukit Golgota itu. Terus terang kecenderunganku yang lebih besar adalah menolak cawan pahit penderitaan itu. Siapa yang ingin hidup menderita? Siapa yang ingin dihina dan dipermalukan di depan orang banyak? Siapa yang ingin disiksa untuk hal-hal yang tidak pernah dilakukannya? Yesus secara manusiawi merasakan ketakutan itu, tapi Ia berani menjawab Allah Bapa dengan kepatuhan yang penuh "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagiMu, ambillah cawan ini daripadaKu, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki." (Markus 14:36)

Yesus meminta murid-murid itu menebarkan jala mereka ke sebelah kanan perahu, dan mereka berhasil mendapatkan banyak ikan. Yohanes segera teringat pada Tuhan Yesus yang ketika pertama kali memanggil mereka untuk menjala manusia juga melakukan hal yang sama (Luk 5:6). Petrus mendengar hal itu segera berpakaian dan terjun ke dalam danau untuk mendatangi Yesus.

Seorang peserta doa kami terkesan pada ayat 7 Injil ini dimana Petrus yang tidak berpakaian segera mengenakan pakaiannya untuk menemui Yesus. Memang secara logika, jika ingin terjun ke danau tentunya lebih enak tidak berpakaian (apalagi yang model jubah) dan nanti setelah naik ke darat barulah berpakaian yang kering, dan terasa nyaman. Teman kami itu merasakannya sebagai ajakan untuk lebih memperhatikan pakaian kita ketika ingin menghadap kepada Tuhan. Betapa sering kepatutan berpakaian tidak lagi terlihat di gereja. Memang kepatutan yang paling utama adalah kesiapan dan kebersihan hati, tetapi sikap menghormati Tuan rumah biasanya juga terpantul dari cara berpakaian.

Mengapa Petrus yang dipilih oleh Yesus sebagai Paus pertama? Mengapa bukan Yohanes, murid yang dikasihiNya? Tampaknya Petrus senantiasa secara spontan siap mendekati Yesus. Ia yang berani menjawab "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Matius 16:16), ia pula yang (walaupun sambil menyamarkan diri) setia mencari jalan untuk melihat Yesus yang ditangkap...hal yang akhirnya membuatnya menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Petrus sedih karena kesalahan itu sebenarnya sudah diberitahukan sebelumnya oleh Yesus kepadanya (Matius 26:75). Ia kemudian mengingatkan kita untuk menjadikan penderitaan Kristus sebagai teladan (1 Petrus 2:18-25). Ia meminta kita untuk menyerahkan segala kekhawatiran kepada Tuhan karena Ia yang memelihara kita (1 Petrus 5:7). Iblis berjalan mencari orang yang dapat ditelannya, dan Petrus mengajak kita untuk "Lawanlah dia dengan iman yang teguh, sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama. Dan Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaanNya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan, dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya...." (1 Petrus 5:9-10). Ia juga mengingatkan untuk mengabdikan diri bukan karena mencari keuntungan pribadi, tetapi semata karena ingin turut serta mewujudkan kehendak Allah. Peringatan ini bisa untuk rohaniwan, tetapi tidak tertutup juga untuk kita umat biasa yang mendapat panggilan untuk mengabdikan diri melalui sesama dan lingkungan.

Tuhan memantau kita, Ia akan bertindak ketika kita sungguh-sungguh membutuhkan bantuan. Jangan pernah berpikir kita sendirian, karena Ia senantiasa memantau kebutuhan kita.

Tuhan,
Ampuni kami yang sering tidak mengenaliMu,
yang lebih sering menuntut dan menggerutu
daripada berusaha lebih keras lagi.
Terima kasih atas kasih karuniaMu,
Atas pendampinganMu dan pantauanMu,
Karena kami sungguh membutuhkanMu
walau terkadang kami lupa dan terlalu bersandar pada kekuatan manusia...
Tuhan, berkatilah kami...
Amin.

Friday, March 19, 2010

Memberi Dalam Ketiadaan

Rasanya susah benar memikirkan bagaimana caranya memberi kepada sesama yang miskin dan tertindas bila kita sendiri masih diliputi kecemasan akan urusan kehidupan pribadi. Ketika urusan keuangan masih berkutat di dalam masalah urusan rumah tangga sendiri, agak sulit memikirkan urusan orang lain. Karena itu saya sendiri lebih banyak membagikan waktu kepada orang lain dibandingkan memberikan bantuan materi. Tetapi sebuah lampiran kisah yang terdapat di dalam bahan Pendalaman Iman Lingkungan Masa Pra Paskah 2010 "Kkottongnae" sangat menyentuh. Kisah yang berasal dari Korea itu memperlihatkan betapa orang tidak perlu menjadi orang kaya untuk berbagi materi. Kakek Choi Gwi Dong yang dilahirkan dari keluarga kaya, kemudian harus melalui kepahitan perang dan kehilangan semua keluarga dan harta bendanya. Dia tidak meratapi nasibnya, melainkan dia justru mengangkat martabatnya sebagai pengemis dengan membagikan rezeki yang diperolehnya kepada pengemis lainnya.

Kisah itu sungguh menyentuh aku. Terpuruk dalam kehidupan di bawah kolong jembatan sudah cukup parah, tetapi dia pasrah dan malah melakukan kegiatan berbagi yang kemudian menggelinding menjadi besar, menjadi Kkottongnae atau Flower Village. Dia tidak perlu kaya, tidak perlu menjadi selebriti, tetapi ketika dia bekerja bagi Tuhan maka Tuhan yang menggelindingkan dan menggelembungkan hasil pekerjaannya.

Saya pernah melihat kehidupan para tuna wisma di Seoul, jadi terbayangkan betapa tegar kakek Choi ini. Seoul di malam hari, ketika itu dekat dengan stasiun kereta api Seoul, merupakan tempat orang-orang mencari kehangatan di balik kardus-kardus mereka. Ada yang minum minuman yang menghangatkan badan, tetapi bisa jadi kadar alkoholnya cukup tinggi. Ketika itu ada seorang kakek tua yang dengan marah berteriak-teriak kepadaku yang sedang memotret stasiun. Mungkin disangkanya aku memotret kehidupan mereka. Sebenarnya aku sudah terlebih dahulu memotret orang-orang yang tidur di lorong-lorong kereta bawah tanah. Banyak orang tua yang sendirian, entah dimana keluarganya...Jadi kisah kakek Choi ini langsung membuka kembali memoriku mengenai para tuna wisma di Seoul.

Memberi dalam ketiadaan, begitulah keadaan yang digambarkan kisah kakek Choi itu. Karena ia berani memberi dari ketiadaannya (ingatanku melayang kepada janda dengan dua dinarnya) maka Pastur Oh Woong Jin mendapatkan keberanian untuk memulai "House of Love" yang kemudian berkembang dan dikenal sebagai Flower Village.

2 Kor 9:16-12 menggambarkan betapa Paulus mengajak orang-orang di Korintus untuk mau berbagi. Terkadang ketika melihat pengemis di lampu merah kita sudah terlebih dahulu berpikir negatif karena memang dalam kenyataannya ada organisasi-organisasi yang menyalah-gunakan keberadaan pengemis ini. Kisah kakek Choi membuat saya berpikir betapa yang paling penting adalah membiarkan suara hati kita memimpin. Tuhan bekerja dengan tidak kita sangka-sangka. Kakek Choi bekerja tanpa pernah berpikir bahwa suatu hari karyanya akan mampu menyelamatkan orang banyak. Terkadang berpikir dalam skala yang terlalu besar membuat orang takut melangkah. Kisah ini memperlihatkan betapa Tuhan hanya membutuhkan dua ekor ikan untuk dilipat gandakan menjadi bakul-bakul ikan yang tersisa.

Dalam rangkaian Pendalaman Iman masa Pra Paskah 2010 ini yang sangat berkesan bagi diri saya adalah ajakan untuk berpikir positif. Sebagai orang yang senang memulai hari dengan mempertimbangkan segala keraguan, semula berpikir positif bagi saya adalah jalan yang beronak duri. Saya dahulu merasa bila kita tidak pernah melihat sisi negatif suatu masalah maka kita tidak akan siap menghadapi kenyataan buruk yang menghadang. Ternyata, memulai segala sesuatu dengan berpikir positif bisa jadi akan lebih menguatkan ketika hal-hal negatif itu terjadi, karena kita senantiasa mampu melihat hal positif lain yang ada di belakangnya.

Tuhan,
Terima kasih atas semua berkatMu,
bantulah kami untuk lebih mampu lagi bersyukur,
lebih mampu berbagi kasih kepada sesama,
lebih mampu melihat hal-hal positif dalam kehidupan kami,
agar karyaMu bisa terlaksana
dan berkatMu senantiasa memperkaya kami dengan kekayaan hati yang kekal.
Amin.

Mencintai Tuhan Dengan Segenap Kekuatanku

Dari bacaan hari Jumat minggu yang lalu, yaitu dari Markus 12:28b-34, saya sangat terkesan pada kalimat "Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita itu Tuhan yang esa. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatanmu. Dan perintah yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada perintah lain yang lebih utama daripada kedua perintah ini."

Hal yang menarik dari pertemuan kelompok doa saya adalah betapa manusia berbeda. Yang sangat menarik bagi saya adalah perintah pertama. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap kekuatanmu. Saya merasa begitu lemah, begitu banyak kekurangan, dan Tuhan tahu itu sehingga meminta untuk mengasihiNya dengan segenap kekuatanku. Kekuatan manusia yang terbatas, tapi menjadi tidak terbatas ketika Roh Kudus bekerja di dalam kita. Tuhan Yang Esa...Dialah sumber Roh Kudus yang menguatkan itu, kepadaNya kita memohon tambahan kekuatan.

Bagi saya mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri terasa lebih mudah. Seorang peserta doa juga mengamini hal yang sama, menurutnya mengasihi Allah yang tidak terlihat menjadi lebih sulit daripada mengasihi manusia yang bisa berinteraksi secara langsung dengan kita.

Tetapi teman yang lain lebih tertarik kepada mengasihi sesama manusia. Menurutnya lebih sulit mengasihi sesama manusia. Ia memakai perumpamaan pekerjaan sebagai ilustrasi. Mengasihi Allah diumpamakannya sebagai pekerjaan pembukuan, yang ada hanya pekerja pembukuan itu dengan angka-angka di hadapannya. Jadi mengasihi Allah hanya urusan pribadi antara manusia dan Allah. Mengasihi sesama manusia diumpamakannya sebagai pekerjaan personalia, petugas personalia harus berhubungan dengan banyak orang, banyak karakter dan temperamen. Jadi mengasihi sesama manusia memiliki aspek yang lebih kompleks karena banyak perbedaan pandangan ataupun sikap antara manusia yang satu dengan manusia lainnya.

Renungannya membuat saya kembali berpikir betapa memang mengasihi sesama manusia seperti kita mengasihi diri sendiri mungkin belum terlalu tepat. Ada orang yang mampu menerapkan disiplin hidup yang keras terhadap dirinya sendiri, mampu menempatkan tuntutan yang besar untuk dirinya. Kalau kemudian ia menerapkannya untuk orang lain yang berbeda dari dirinya, maka tentunya keributan yang akan terjadi.

Memang menurut suster, ungkapan mengasihi sesama manusia ini disempurnakan dalam Injil Yohanes 15:12 "Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya..." Jalan salib Yesus, penderitaan dan hinaan yang dilaluiNya dalam perjalanan ke Golgota merupakan kerelaan menanggung aib dan sengsara yang seharusnya menjadi milik manusia. Ia rela malakukan hal itu untuk menebus umat manusia. Bila dia mengasihi kita sedemikian rupa, mengapa pula kita masih sering menggunakan hukum "mata ganti mata"? Mengapa terkadang pengampunan begitu sukar kita berikan dengan tulus? Padahal semua kemarahan, semua kebencian itu Ia yang harus menanggungnya.

Tahun berganti abad, tetapi tetap saja manusia bebal terhadap perintah Allah. Ketika menuliskan tulisan ini tiba-tiba saya tersentuh pada kalimat "hai orang Isreal". Sampai hari ini Israel masih terus berperang untuk penguasaan atas tanah. Padahal jelas-jelas ucapan tersebut sangat ditekankan bahwa Allah itu Esa, kasihilah Ia dan kasihilah sesamamu manusia. Perang berarti memutuskan hak hidup orang lain, menghilangkan hak hidup normal bagi banyak orang, menanamkan kebencian dalam sanubari muda yang baru tumbuh...Ketika perang, siapakah sesamamu manusia? Saya jadi teringat pada pertikaian di pulau Kalimantan antara orang Dayak dan Madura. Saya pernah membaca betapa di tengah-tengah pertikaian itu terjadi kepiluan karena di antara mereka sebenarnya sudah ada terjadi perkawinan antar suku. Ketika pertikaian terjadi, siapa yang dibela; suku atau istri/suami/anak? Perang menihilkan arti manusia sebagai sesama kita, dan perang juga menihilkan arti kebaikan Tuhan yang dilimpahkanNya melalui penebusan dosa manusia.

Tuhan,
saya berterima kasih karena pencerahanMu,
betapa manusia begitu beragam,
baik bentuk, pikiran, dan tata cara kehidupannya.
Kami begitu lemah,
seringkali terjatuh dalam kemarahan dan kebencian,
seringkali menuntut hak dan melupakan kewajiban kami,
tolong kami dengan Roh KudusMu ya Bapa,
agar kami mampu mencintaiMu dengan segenap hati,
segenap jiwa dan pikiran, serta segenap kekuatan kami,
karena dengan mencintaiMu kami mencintai sesama kami,
dengan mencintai sesama kami,
cinta kami kepadaMu menjadi nyata...
Amin.

Saturday, March 06, 2010

Jangan Ragu Menjawab "Ya..."

Karena hari Jumat mengikuti sesi doa Lectio Divina bersama kelompok doa, dan hari Sabtu mengikuti Pendalaman Iman Lingkungan Masa Prapaskah 2010, maka ada beberapa catatan yang saling menguatkan yang muncul dari pertemuan-pertemuan tersebut.

Bacaan hari Jumat adalah Injil Matius 21: 33-43, 45-46. Ada dua pola pandang yang muncul dari bacaan ini. Pola pandang negatif adalah melihat keserakahan. Para pekerja di ladang berubah menjadi serakah, menginginkan ladang yang mereka kerjakan menjadi milik mereka sendiri. Semua utusan pemilik tanah untuk meminta hasil dari tanahnya dipukuli, di dilempari batu, bahkan dibunuh. Ketika pemilik tanah mengirimkan anaknya, justru keinginan untuk menguasai tanah itu semakin besar. Mereka yakin dengan meniadakan ahli waris dari tanah tersebut maka tanah itu menjadi lebih mudah mereka kuasai.

Cara pandang yang berbeda saya dapatkan dari buku renungan Cafe Rohani. Yang digaris-bawahi di dalam buku renungan ini adalah kesanggupan menerima utusan Allah yang diberikan untuk membimbing, menasehati, dan menegur kita. Sama seperti para pekerja di ladang yang merasa kenyamanan mereka terganggu karena didatangi oleh utusan tuan tanah, seringkali kita juga merasa terganggu ketika nurani kita diusik oleh perkataan yang bersifat kritik atau nasehat dari orang lain. Dari cara pandang ini yang ditekankan adalah kesanggupan untuk membuka diri, untuk melihat niat baik yang ditawarkan Tuhan melalui orang-orang yang dikirimkanNya dalam kehidupan kita.

Terus terang, hari Jumat kemarin saya teringat pada seorang teman doa kami yang sudah almarhum. Perkataannya yang senantiasa terngiang di telinga adalah bahwa tidak ada hal yang kebetulan bagi Allah. Setiap perjumpaan, setiap kejadian, merupakan alat bagiNya untuk mendekatkan manusia kepadaNya. Sebenarnya kami terkenang akan kehadiran dan kata-kata almarhum teman kami itu, kesediaannya menerima penderitaan dalam penyakitnya. Kenangan indah yang diberikannya karena ia hanya membagikan bagian kehidupannya yang indah kepada kami. Penderitaan adalah tantangan, keputusan untuk suatu langkah di masa depan adalah tantangan. Apakah kita berani menjawab tantanganNya dengan menjawab "Ya, aku bersedia..."? Dan sanggupkah kita konsisten dalam menanggapi tantangan itu?

Terus terang bagi saya terkadang pertanyaan "Kemana Tuhan memanggilku?"
masih merupakan suatu pertanyaan yang belum tuntas terjawab. Saya merasa sedang dalam proses untuk mengetahuinya. Dalam pertemuan lingkungan kami, dengan bacaan Injil Lukas 4:16-21, ada dua hal utama yang muncul. Pertama, jangan ragu untuk menjawab panggilan pelayanan. Tidak ada kata belum siap, belum ada waktu, belum punya dana, untuk mengikuti panggilan pelayananNya. Katakan saja "Ya, aku bersedia..." maka jalanNya akan terbukakan bagimu.

Yang kedua, adalah catatan pribadi saya sendiri. Kita dipanggil untuk ambil bagian bagian dalam misi Yesus mewartakan kabar gembira kepada "orang-orang miskin". Kita dipanggil sebagai dan di dalam komunitas, meskipun setiap pribadi juga punya misinya sendiri.

Saya tahu benar misi ini, mengabarkan kabar suka-cita kepada "orang-orang miskin", bukan sekedar kepada orang yang miskin secara materi, tapi juga kepada mereka yang miskin secara rohani. Kata-kata yang sangat menyentuh saya kemarin adalah kata "miskin". Sudahkah saya sungguh-sungguh peduli pada mereka yang miskin? Ataukah saya malah terjerembab merasa diri "miskin" sehingga tidak mampu menolong?

Dalam kehidupan, saya senantiasa merasa "kaya" sampai kenyataan hidup yang bertubi-tubi menyadarkan betapa materi ikut berperan dalam memberikan posisi "kaya" agar senantiasa mampu menjadi mereka yang memiliki tangan di atas. Tanpa materi saya masih kaya dengan waktu. Tetapi setelah memiliki keluarga, maka waktu menjadi sesuatu yang sangat mahal nilainya. Pilihan antara menggunakan waktu untuk mencari materi atau untuk memberikan pelayanan, merupakan keadaan yang sedikit banyak sedang memenuhi benakku.

Sebenarnya beberapa waktu yang lalu, ketika saya kembali mengajar ke sekolah, saya merasa diberi nasehat oleh Tuhan untuk tidak sombong. Ketika saya berhenti mengajar dahulu, saya berpikir lebih baik memberikan pelayanan yang murni tanpa perlu menerima imbalan. Tetapi ketika kenyataan prioritas waktu untuk anak dan waktu untuk pelayanan total tidak bisa bertemu (ditambah dengan kekuatan fisik yang juga terbatas), maka saya kembali ke pelayanan dimana saya masih menerima upah walaupun dalam hitungan pertukaran waktu merupakan upah yang kecil nilainya.

Renungan singkat dalam buku "Mari Bekerja Sama Melawan Kemiskinan" mengatakan bahwa setiap orang dilahirkan ke dunia dengan suatu misi. Manusia mesti menemukan misiNya. Misi itu ternyata bukan untuk mencari kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri, tetapi demi kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain.

Rasanya perkataan inilah yang paling penting untuk kuingat, "demi kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain." Lingkaran pertama dalam orang lain di luar diriku adalah keluargaku, kemudian membesar ke lingkungan dan masyarakat, lalu ke lingkungan bernegara. Lingkaran terkecil harus penuh terisi sambil mengisi ke lingkaran yang lebih besar di luarnya. Aku percaya Tuhan akan menunjukkan jalanNya.

Tuhan,
Terima kasih atas pengertian yang Dikau berikan pada kami hari ini,
Siramilah kami dengan rahmat dan kasih karuniaMu
agar senantiasa kuat menempuh jalan berbatu yang sedang kita tempuh bersama.
Engkau yang mengangkat salib itu, dan aku membantu dengan tenagaku yang terbatas
dengan ketegaran yang mudah tergores.
BagiMu tiada hal yang mustahil,
ingatkan aku senantiasa ya Tuhan...
karena aku sudah menjawab "Ya..."
tapi seringkali terjatuh dan enggan bangkit kembali...
Jadilah tongkat ketegaran dan kekuatanku,
Jadilah pelita penerang jalanku,
jadilah air penyegar dahagaku,
jadilah manna hidup yang memberiku kehidupan di dalam Engkau...
Amin.

Friday, February 26, 2010

Hukum Positif

Dari pertemuan kedua Pendalaman Iman Lingkungan Masa Pra Paskah 2010, saya terkesan pada ajakan fasilitator acara untuk melihat kata-kata Yesus dalam Matius 19: 16-26 dengan menggunakan kacamata positif. Kata-kata yang perlu dilihat dari sudut pandang positf itu ada di ayat 18.

Dalam berbagai sesi pendidikan anak, orang tua selalu diajari untuk mulai menghindari kata "jangan", dan "tidak boleh". Katanya sih, dengan menggunakan kata negatif seperti ini yang akan teringat hanya kata kerjanya, yang justru tidak kita inginkan untuk dilakukan. Jadi kata "jangan nakal" hanya akan mengingatkan anak bahwa ia nakal...

"Jangan membunuh," kata Yesus. Apakah kita adalah pembunuh? Mungkin kita melakukan pembunuhan karakter, pembunuhan semangat, atau pembunuhan lainnya? Tetapi mencoba mendengarkannya dengan terjemahan positif menjadi sangat menyenangkan. "Sudahkah kita memberi kehidupan kepada orang lain?"

"Jangan berzinah," kata Yesus. Apakah kita pernah tidak setia? Dalam pikiran? Dalam perbuatan? Tetapi mencari-cari kelemahan tidak akan memperbaiki diri. Untuk maju ke depan, lebih menyenangkan mendengar: "Sudahkah engkau mencintai dengan sungguh-sungguh?"

"Jangan mencuri," kata Yesus. Apakah kita pernah korupsi? Minimal korupsi waktu seperti aku ketika menulis blog? Rasanya motivasi akan lebih terbangun bila yang terdengar menjadi, "Sudahkan engkau memberikan bagian dari milikmu kepada orang yang membutuhkannya?"

"Jangan mengucapkan saksi dusta," kata Yesus. Apakah kita sudah terbiasa dengan kebohongan kecil? Atau kita menganggap "white lie" itu perlu? Sebenarnya nurani tidak bisa dibohongi. Jadi, lebih baik bertanya, "Sudahkan kita mengikuti suara hati yang murni?"

Pertanyaan-pertanyaan itu rasanya bisa membantuku untuk fokus kepada hasil yang ingin dicapai. Menerapkan pola berbicara yang positif terhadap anak-anak sangat tidak mudah, tetapi dengan bantuan pembalikan fokus dari contoh di atas, rasanya lebih mudah untuk bergerak maju.

Tuhan,
terima kasih karena kami memperoleh kacamata baru,
yang mampu membantu kami untuk melihat dari sisi positif
sehingga dunia bisa tampak lebih indah,
dan tugas kami juga terdengar lebih menyenangkan...
Fokus kami menjadi jelas,
dan jalanMu menjadi lebih terang...
Tetapi Bapa,
kami manusia yang seringkali terjatuh,
bantu kami untuk bangkit kembali,
beri kami Roh KudusMu agar senantiasa mampu melihat dari sisi yang positif
dan mampu mengisi dunia dengan hal-hal yang positif,
amin.

Friday, February 19, 2010

Hal Berpuasa

Jumat ini ada dua bacaan yang kami baca sekaligus, yaitu Yesaya 58: 1-14 "Kesalehan yang palsu dan yang sejati", dan Matius 9: 14- 17 "Hal berpuasa". Tulisan dari kitab Yesaya membuat saya dan teman-teman tergugah, terutama di ayat 6-7.
Berpuasa yang Aku kehendaki ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang-orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tidak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!

Kita bukan hanya diminta untuk melepaskan tali kuk, tetapi juga untuk mematahkan setiap kuk. Seorang teman jadi terpikir betapa kita diminta untuk melepaskan kuk yang terpasang pada orang lain, tentunya lebih tidak boleh lagi memasangkan kuk kepada orang lain.

Seringkali kita memakaikan kuk kepada orang lain dengan prasangka, memandang rendah, ataupun mendiskreditkan orang lain. Dan semakin kita menyebarkan hal buruk tentang orang lain kepada orang-orang di sekitar kita semakin kuat kita menalikan kuk tersebut ke orang itu.

Yesus menegaskan betapa perbuatan benar yang berasal dari hati lebih penting daripada perbuatan yang dilakukan untuk dilihat orang banyak.

Kebetulan esoknya, pada acara pendalaman iman di lingkungan kami, dibahas "Siapakah sesamaku manusia?" (Luk 10:29). Yang menarik, dalam penjelasan fasilitator dijelaskan betapa ada kendala yang dihadapi oleh imam dan orang Lewi kalau mereka harus menolong orang yang dirampok dalam kisah di Lukas 10: 25-37. Jadi dalam menghadapi kendala itu, tetap perbuatan baik harus didahulukan. Menurut saya orang Samaria juga sebenarnya menghadapi kendala yang sama. Sebagai orang asing dari suku yang berbeda bisa saja dia malah terkena berbagai macam prasangka, belum lagi beban biaya yang harus ditanggungkannya bila ternyata orang tersebut menghabiskan biaya lebih dari dua dinar. Tetapi dia tidak memikirkan kemungkinan buruk yang harus dihadapinya, melainkan tetap menolong korban tersebut.

Kesimpulan si akhli Taurat, sesama orang itu adalah orang yang menunjukkan belas kasihan kepadanya. "Pergilah dan perbuatlah demikian!" kata Yesus.

Perbuatan baik kepada sesama sebenarnya adalah berbuat untuk diri kita sendiri, demikian kata fasilitator malam itu. Benar juga, saya teringat lagi pada bagian lain dari Yesaya (Yesaya 58:8-12), ketika kita memecah-mecah roti bagi yang lapar, memberi tumpangan kepada yang tidak berumah, dan memberi pakaian kepada yang telanjang, serta tidak menyembunyikan diri dari saudara yang membutuhkan, maka "pada waktu itulah engkau akan memanggil dan Tuhan akan menjawab..."

Ada satu hal yang agak sulit kumengerti dari Matius 9, yaitu ketika Yesus membandingkan hal berpuasa dengan menambalkan kain yang belum susut kepada baju tua, serta menyimpan anggur yang baru di dalam kantong kulit yang tua. Ternyata ini berhubungan dengan pola pikir dan hati kita juga. Tidak ada gunanya berpuasa dan bermati-raga selama perbuatan dan pikiran kita masih tetap dalam pola lama yang belum dipenuhi pertobatan. Kita perlu mengganti diri menjadi baru di hadapan Allah agar pantas menerima kehadiranNya. Panggilan pertobatan menggema dari ayat ini...Sediakanlah hati yang baru agar tidak koyak dalam menerima limpahan anugerah yang kita terima karena puasa kita. Pertobatan adalah jalan untuk memperbaharui kantong kulit tempat menyimpan anggur yang baru itu.

Tuhan,
terima kasih atas berkatMu,
bimbing kami agar mampu memperbaharui hati kami,
bukakan mata kami terhadap kehadiran sesama kami,
karena Dikau hadir di dalam mereka juga...
Berkenanlah hadir melalui diri kami juga,
agar kami dimampukan menjadi sesama yang bagi orang-orang di sekitar kami,
agar kami bisa membantu memuliakan namaMu,
dan menghadirkan kasihMu di dunia ini.
Amin.

Tuesday, February 16, 2010

Waspada Terhadap "Ragi"

Dari Injil Markus 8:14-21 saya temukan perkataan; "Berjaga-jaga dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan ragi Herodes." Terkadang perkataan Yesus mungkin memang membingungkan bagi murid-muridNya, itulah sebabnya mereka menghubungkan ucapannya dengan ketiadaan roti. Pikiran orang yang sedang lapar tentunya tidak jauh dari makanan. Ketika mereka hanya punya sebuah roti, sementara rasa lapar sudah mendera, bisa jadi mereka tidak mampu mengingat dua belas bakul ataupun tujuh bakul yang tersisa dari penggandaan roti yang pernah Yesus lakukan. Yang terekam dalam otak mereka hanyalah makna negatif dari kata "berjaga-jaga dan awaslah". Mungkin dalam benak mereka, Yesus sedang meminta mereka untuk berpuasa, jangan sampai termakan roti dari orang Farisi maupun dari Herodes.

Dari renungan di Cafe Rohani saya temui pararel dari ragi orang Farisi dan ragi Herodes. Orang Farisi katanya kerap kali hanya menekankan segi-segi lahiriah dan hidupnya tidak mendalam. Sementara Herodes hanya tertarik pada hal duniawi dan kuasa.

Cafe Rohani menyoroti kediaman para murid dalam menghadapi teguran Yesus. Mereka merasa malu karena sudah lama mengikuti Kristus tanpa mampu mengenali makna yang lebih dalam dari perkataan dan tindakanNya.

Lama mengikutiNya bukan jaminan untuk mengenaliNya. Sama seperti kisah pemanggilan para pekerja untuk bekerja di ladang, ada yang datang sejak pagi, ada yang baru datang menjelang sore...dan semuanya menerima upah yang sama. Dari beberapa sharing dalam kelompok seringkali saya temui kenyataan betapa banyak orang yang sekarang bergiat di dalam pelayanan Gereja semula sama sekali tidak aktif, bahkan boleh jadi tidak terlalu mengenalNya. PanggilanNya menggema dan berbuah pada pekerja yang baru datang, dan ladangnya tetap terbuka bahkan bagi pekerja yang datang satu jam sebelum pembagian upah berlangsung.

Ragi yang membusukkan roti merupakan bahaya yang perlu kita waspadai. Dalam jumlah dan takaran yang tepat ragi berguna untuk mengembangkan roti, tetapi terlalu berlebihan membuat adonan rusak dan tak terpakai.

Tuhan,
Engkau sudah lama memanggilku datang di ladangMu
dan terkadang aku tercenung memikirkan apa saja yang sudah kukerjakan
cukup rajinkah aku?
Ataukah aku hanya memikirkan upah yang sama yang akan Dikau berikan pada yang datang sesudah aku?
Lalu tak sempat kuperhatikan semaian yang menjadi tugasku?
Tuhan ragi penampilan lahiriah, hal duniawi dan kekuasaan juga menjadi batu sandungan
di ladang yang kugarap,
Bantu daku mengenal kasihMu yang indah
yang memberi kekuatan untuk membuang semua ragi yang siap membusukkan diriku...
Tuhan,
Terima kasih pendampinganMu.
Amin.

Thursday, February 11, 2010

Membaca KehendakNya

Terkadang terasa sangat sulit membaca kehendak Tuhan. Secara garis besar tentunya kehendakNya adalah perbuatan yang baik. Tetapi ketika harus memilih di antara dua (hal/prioritas baik) sebelum melakukan tindakan, rasanya begitu sulit.

Baru hari Minggu yang lalu aku tercenung mendengarkan satu perkataan pastur dalam homili: "Mulailah dalam keluarga." Hanya perkataan itu yang kuingat persis, tapi sepertinya inti perkataannya adalah janganlah melayani ke luar kalau yang di dalam belum terlayani. Itulah persepsi saya hari Minggu itu. Sebelumnya saya juga sering mendengar suster dan teman-teman lain menekankan betapa pentingnya menuntaskan karya di dalam "Yerusalem" (keluarga) sebelum melangkah keluar.

Baru saja ingin memantapkan diri dengan fokus ke dalam rumah saja, bacaan tentang perempuan Siro-Fenisia dan sebuah kesaksian dalam acara pertemuan wilayah memberikan masukan yang berbeda lagi. Seorang Ibu memberikan kesaksian mengenai awal mula dia terjaring untuk melayani, selain itu ia memperlihatkan untaian kata yang menurutnya memberikan inspirasi untuk perutusannya. Ketika itu ia juga merasa belum mampu untuk melayani ke luar, anak masih kecil-kecil, kebutuhan rumah tangga juga masih belum berkecukupan. Bacaan yang dibawanya memang memberi inspirasi. Dikatakan di sana untuk menyerahkan semua masalah yang kita punya kepada Tuhan, dan pergilah melayani. Tuhan yang akan menyelesaikan masalah tadi. Kisah perempuan Siro-Fenisia juga memperlihatkan bahwa pelayanan tidak boleh terbatasi hanya di dalam kalangan sendiri saja.

Nah lho...jadi prioritas pertama yang mana lagi nih? Sebenarnya saya juga sudah tahu prinsip yin-yang, prinsip keseimbangan hidup. Keseimbangan itu juga yang kuperlukan dalam melihat karakter Maria dan Marta. Antara kontemplasi/doa dengan perbuatan perlu keseimbangan. Karakter dua bersaudara ini memang senantiasa menarik perhatianku, Maria yang duduk manis mendengarkan Yesus dan Marta yang sibuk melayani Yesus dan tamu-tamunya. Menyediakan waktu yang tepat untuk diam dan mendengarkanNya serta waktu untuk berkarya dalam pelayanan untukNya memang perlu keahlian tersendiri.

Terkadang karakter kuli di dalam diriku terlalu besar. Ya, bukan lagi sekedar hamba, tapi kuli...yang hanya mengerjakan hal-hal yang diperintahkan tuannya. Aku menantikan sabdaNya memberikan rincian detail untuk pilihan dan tindakanku. Aku menginginkan Dia mengendalikan kehidupanku, dan kesal ketika Dia diam saja tidak membantuku memutuskan pilihan-pilihan jalan hidupku. Aku menginginkan Dia menahkodai jiwaku, tetapi bersungut-sungut ketika pilihan jalanku berbadai dan berombak yang memabukkan. Dahulu cukup sering aku membuka Kitab Suci untuk mencari jawaban. Mencari jawaban dengan cara yang salah, mencari jawaban dengan membaca Kitab Suci seakan membaca ramalan bintang.

Buku Gabrielle Bossis, "Lui et moi" yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia "Dia dan aku" membuatku iri akan kedekatan Gabrielle dengan Tuhan. Satu hal dari buku itu yang patut kuiingat adalah pendeknya keterangan Gabrielle dan panjangnya ungkapan Tuhan yang dicatatnya. Aku menyadari pentingnya membuat keheningan yang memampukan kita mendengar dan menangkap suaraNya...

Ada beberapa perkataan yang dalam menegurku dari buku "Dia dan aku", "Tidak, tidak usah engkau melakukan lebih banyak, tetapi engkau harus melakukannya dengan cara yang lain: menerima cobaan-cobaan kecil sehari-hari dengan lebih gembira." Lalu, katanya pula; "Mengertilah, bahwa kesalehan itu terletak dalam cara mengasihi, cara engkau melakukan pekerjaan kecilmu sehari-hari. Perbesarkan kasihmu dengan merenungkan penderitaanKu dan luka-lukaKu. Pakailah segala macam cara yang dapat mendekatkan engkau kepadaKu. Ingatlah akan Zakheus yang memanjat pohon. Keinginannya yang besar untuk bertemu dengan Aku Kuhadiahkan dengan kunjunganKu ke rumahnya. Hiduplah dengan lebih mementingkan kehidupan ke dalam daripada kehidupan ke luar. Karena Aku datang bertamu di hatimu dan setiap kali engkau masuk ke dalam, engkau akan menemukan Aku, karena di sanalah Aku berada."

Sebuah tulisan inspiratif untuk bisnis di halaman iklan Karier juga membuatku tercenung pagi ini. Judul tulisan itu "Misi", dikatakan perlunya kejelasan misi agar seluruh aspek dalam perusahaan bergerak untuk pemenuhan misi itu. Ada satu kutipan ucapan yang menarik di sana:
Kita sesungguhnya bisa mengecek sendiri, apakah di akhir hidup nanti kita bisa berkata: "I did what I was created to do. I contributed to this world in a significant manner."

Mungkin inilah akar permasalahan itu, dunia mengajariku untuk melihat segala sesuatunya dengan ukuran duniawi. Apakah saya sudah mengerjakan hal yang karenanya aku diciptakan? Bukankah Tuhan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah untuk menaklukkan bumi dan berkuasa atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, dan semua binatang yang merayap di bumi? Bukankah manusia diciptakan dengan gambar dan rupa Allah untuk memuliakan namaNya? Jadi ukuran penciptaanNya bukan seberapa banyak taklukan itu, atau seberapa besar kontribusi materi dan tenaga yang kita keluarkan, tetapi seberapa sesuai kita menjalankan misi kita di dunia ini. Jadi seberapa banyak kita menyebarkan kabar bahagianya? Seberapa berhasil kita membuat namaNya dimuliakan orang?

Tuhan,
anakMu lelah berpikir...
tidak tahu jalan mana yang Kau ingin kujalani,
terkadang bersungut ketika kerikil masuk ke sepatuku...
Terlupa bahwa daku yang turun dari boponganMu
karena ingin mencoba berjalan dan berlari...
menangis ketika terjatuh dan berlari kembali ke dalam pelukanMu,
tetapi sejenak terlupa dan kembali ingin turun berlari...
Tuhan,
berkati kami dengan rahmatMu,
dan curahkanlah kekuatan Roh Kudus untuk membimbing mata hati kami,
agar sungguh dapat memuliakan namaMu.
Amin.

Penyakit dan Kesembuhan

11 Februari 1858 Bunda Maria menampakkan diri kepada Bernadette Soubirous di sebuah gua di Lourdes. Tanggal 11 Februari juga merupakan Hari Orang Sakit Sedunia. Saya teringat pada Prosesi Lilin di Lourdes. Sama seperti yang diungkapkan oleh seorang pembaca tulisan Lourdes Memanggil dari seorang teman di portal jurnalisme warga, saat menjelang senja itu menjadi pemandangan iman yang sangat indah. Orang-orang yang sehat membantu orang-orang yang sakit untuk datang dan mengikuti acara. Orang yang hadir dari seluruh dunia, menyalakan lilin dan berdoa bersama. Pemandangan itu terpatri dalam ingatanku. Orang yang secara fisik sakit berbaur dengan orang-orang yang tampak sehat. Ketika itu saya belum sepenuhnya mengerti kesakitan yang lain...kesakitan rohani! Kini, saya sadar sepenuhnya bahwa bisa saja di antara orang-orang yang tampak sakit tersebut ada juga orang-orang yang sakit secara rohani.

Di sebuah milis non Katolik saya membaca pertanyaan mengapa Bernadette tidak mampu menyembuhkan dirinya sendiri dengan air dari Grotto yang katanya penuh dengan mukjizat penyembuhan. Mengapa Bernadette harus meninggal pada usia yang masih cukup muda, 35 tahun? Rasanya orang yang mengajukan pertanyaan itu hanya melihat kesembuhan dari sisi duniawi, dan melupakan sisi rohani kesembuhan. Bernadette sendiri hampir sepanjang hidupnya menderita sakit, tapi ia tidak mengeluh melainkan mempersembahkan semua penderitaannya kepada Tuhan sebagi silih demi pertobatan orang-orang berdosa.

Terkadang kita tidak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang sedang menderita penyakit. Kisah seorang perempuan yang dua belas tahun lamanya menderita pendarahan hanya terdengar bagaikan penyakit biasa sebelum aku sendiri ikut merasakan betapa menderitanya mengalami pendarahan itu. Ketika darah mengalir bagai air ketuban, dengan waktu pendarahan yang panjang bahkan terasa tak berkesudahan...baru terasa betapa menderitanya perempuan itu. "Asal kujamah saja jubahNya maka aku akan sembuh" (Matius 9:21). Ia begitu yakin akan kesembuhan yang bisa diperolehnya dari Yesus, karena itu Yesus mengatakan bahwa imannya telah menyelamatkannya (Matius 9:22). Kepercayaan dan iman yang dalam ini seringkali sulit tumbuh di hati yang berbatu-batu atau berlumut karena egoisme, keangkuhan, dan keserakahan.

Bacaan Injil di Hari Orang Sakit Sedunia kemarin mengambil kisah Perempuan Sio-Fenisia yang percaya (Markus 7:24-30). Tidak seperti dalam kisah perempuan yang menderita pendarahan selama dua belas tahun di atas, yang hanya dengan membatin dan menjamah jubah Yesus langsung disembuhkan, perempuan Siro-Fenisia ini terus menerus berteriak-teriak minta tolong kepada Yesus dan tidak diindahkan. Dari Matius 15:21-28 bisa kita ketahui betapa murid-murid Yesus meminta Yesus untuk menyuruh perempuan itu pergi. Jawaban Yesus yang menarik untuk disimak: "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel." Jadi, tidak ada kata pengusiran untuk orang-orang yang mengikutiNya. Permintaan untuk mengusir perempuan Siro-Fenisia (Kanaan) itu hanya memiliki satu implikasi bagi Tuhan, yaitu memberikannya kesembuhan yang dimintanya. Karena perempuan itu tidak termasuk dalam kawanan domba Israel, maka Ia tidak bisa memberikannya, tetapi bila perempuan itu hendak terus mengikutiNya maka Ia tidak bisa menyuruhnya pergi. Rupanya hal itu bukan karena Ia memilih umat yang ingin disembuhkanNya, melainkan karena Ia masih menguji iman perempuan itu.

"Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada kepada anjing." Perkataan itu amat pedas menohok perasaan, tetapi seorang ibu yang berjuang bagi kesembuhan putrinya itu tidak terguncang imannya. Ia menjawab: "Benar Tuhan, tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak."

Menjadi bukan siapa-siapa di hadapan Tuhan, sepenuhnya percaya kepada kerahiman Hati KudusNya adalah kunci kesembuhan itu.

Tetapi apakah hanya kesembuhan yang kasat mata yang diberikanNya? Terkadang mungkin bukan itu yang dijanjikanNya. Bernadette memperlihatkan hal tersebut, setelah penampakan Bunda Maria ia justru semakin menderita. Ada kecurigaan dari orang-orang, ada perhatian yang berlebihan...Bernadette tidak memperoleh kesembuhan dunia, ia bahkan menghabiskan sebagian besar dari harinya di atas tempat tidur karena sakit. Bernadette yang memperoleh karunia menemukan sumber mata air kesembuhan di Lourdes bahkan tidak menerima kesembuhan fisik itu sendiri. Tetapi di balik itu, saya bisa merasakan betapa Tuhan menyertainya, menguatkannya, dan membantunya memanggul salib derita itu. KasihNya yang merengkuh dan mengayomi adalah hadiah terindah yang menyembuhkan luka-luka batin dan menguatkan kita dalam menyongsong hari-hari yang baru.

Tuhan Yang Maha Pengasih,
aku hanyalah manusia biasa yang seringkali jatuh,
yang tidak kuat manahan derita dan sakit,
yang rindu akan mata air penyembuhan yang Dikau tawarkan...
Terima kasih atas kekuatan yang Dikau curahkan melalui KasihMu yang kekal abadi,
atas penghiburan yang Dikau berikan di saat-saat kusedih dan terpuruk,
Jadikanlah aku keceriaanMu,
Kuatkanlah daku dalam menemani jalan salibMu,
BersamaMu kupercaya akan beroleh kesembuhan yang sesungguhnya.
Amin.

Tuesday, February 09, 2010

Kelemahanku bukan penghalang bagi kemuliaanNya

Manusia seringkali lemah dan terjatuh. Yesus sendiri terjatuh tiga kali dalam jalan salibNya ke Golgota. Tentunya kejatuhan Yesus berbeda dari kejatuhan manusia ke dalam dosa, tetapi saya senang mngingatnya sebagai perlambang betapa berat jalan salib kehidupan. Beberapa waktu yang lalu saya sebenarnya tersentak dengan kisah Raja Daud, tapi kesibukan pribadi membuat saya tidak segera menuliskannya. Hampir terlupa...

2 Samuel 11:1-27 bercerita tentang kisah Daud dan Betsyeba. Orang seringkali hanya mengingat bahwa Daud menginginkan istri Uria sehingga mengirimkannya ke medan perang hingga tewas. Setidaknya itu juga yang saya ingat sebelum membaca bacaan ini beberapa minggu yang lalu.

Ternyata sebelum kejadian itu Daud sudah menghamili Betsyeba. Untuk menutupi kesalahannya, Daud menyuruh Uria pulang ke rumahnya dan membasuh kakinya. Tentunya dalam benak Daud, kesempatan itu akan digunakan Uria untuk menghampiri istrinya sehingga kesalahan yang diperbuatnya tidak perlu diketahui orang. Tetapi Uria setia kawan pada teman-temanya yang lain, katanya "Tabut serta orang Israel dan orang Yehuda diam dalam pondok, juga tuanku Yoab dan hamba-hamba tuanku sendiri berkemah di padang; masakan aku pulang ke rumahku untuk makan minum dan tidur dengan istriku? Demi hidupmu dan demi nyawamu, aku takkan melakukan hal itu!"

Begitulah dosa yang skalanya lebih kecil (di mata manusia, di mata Tuhan bisa jadi sama saja) akhirnya mengantarkan Daud pada dosa yang lebih besar lagi...membunuh Uria.

Yang menarik bagi saya adalah kenyataan yang tertulis di dalam Matius 1:6. Dalam asal usul Yesus yang dituliskan oleh Rasul Matius, dikatakan bahwa keturunan Yusuf yang akan memberikan nama keluarga Daud kepada Yesus adalah berasal dari Salomo, anak Daud dan istri Uria.

Pilihan salah Daud menyebabkan Daud memperoleh hukumannya, tetapi rencana Tuhan tetap berjalan sesuai dengan kehendakNya. Dari kacamata manusia saya heran mengapa Tuhan memilih justru keturunan Daud dan Betsyeba. Daud pasti mempunyai istri-istri yang lain dan anak-anak dari mereka. Kisah ini sedikit menghentakkan saya kembali ke kisah Yudas Iskariot...takdir! Tetapi saya salah! Bicara takdir seakan mengatakan bahwa Tuhan memang menghendaki hal itu terjadi. Padahal Tuhan tidak menginginkan hal tersebut terjadi, hanya saja Ia menyerahkannya kepada kehendak bebas manusia.

Kisah Yudas Iskariot terhenti dengan perasaan berdosa karena menyerahkan darah orang yang tidak bersalah. Tetapi penyesalan itu tidak membukakan mata hatinya untuk bertobat. Ia pergi dan menggantung diri.

Kisah Daud berbeda dari kisah Yudas. Ketika Nabi Natan memperingati Daud akan kesalahannya, ia sungguh menyesal. Terlebih lagi karena anak kecil tak berdosa yang dilahirkan Betsyeba baginya harus meninggal dunia. Ia berpuasa untuk meminta belas kasihan Allah ketika anak itu sakit, dan ketika anak itu ternyata tetap harus pergi maka ia menerima bahwa anak itu tidak akan kembali lagi padanya. Untuk menghibur hati Betsyeba yang bersedih, Daud menghampirinya dan memperoleh Salomo. Salomo dikasihi Allah sehingga diberi nama Yedija, oleh karena Tuhan. Rasanya Betsyeba juga sangat menyesal atas segala hal yang terjadi, sehingga penyesalan kedua orang ini memberikan belas kasih Tuhan kepada mereka.

Menyesal saja rupanya tidak cukup, tetapi harus datang kepadaNya dan meminta belas kasihannya. Harus percaya bahwa Ia Maha pengampun dan pemurah, sehingga sungguh terlaksana belas kasihNya.

Kisah Daud memberikan bukti betapa Tuhan Maha mengampuni. Dari garis keturunan Salomo nama keluarga untuk pencacahan jiwa Yesus diberikanNya.

Tuhan,
aku selalu takut salah mengambil langkah
lupa akan kemurahan hati dan pengampunanMu,
lupa akan kuasa penyesalan dan pertobatan,
lupa akan besarnya kuasa penyelenggaraanMu...
Tuhan,
mohon bimbinglah daku dalam perjalanan,
beri kebijakan dalam memilih arah di persimpangan jalan,
agar tak tersesat dalam kegelapan dosa
dan tak terhentikan oleh pnyesalan yang tiada sempurna.
Ampuni kesalahan kami ya Bapa...
Biarkan kami tetap menjadi bagian dalam memuliakan namaMu,
Amin.

Saturday, February 06, 2010

Berani Mewartakan Kebenaran

Mewartakan kebenaran tidak mudah. Yohanes Pembaptis membayarnya dengan kepalanya sendiri. Markus 6:14-29 menggambarkan bagaimana Yohanes Pembaptis dibunuh. Raja Herodes tidak senang ditegur oleh Yohanes karena mengambil Herodias istri saudaranya. Tetapi yang terlebih besar dendamnya kepada Yohanes adalah Herodias sendiri. Ia meminta putrinya untuk memohonkan kepala Yohanes sebagai hadiah bagi keindahan tariannya.

Yang menarik saya adalah karakter-karakter yang ada dalam kisah ini. Herodes yang terombang-ambing, antara senang dan benci kepada Yohanes. Dia masih memiliki suara hati tapi ragu untuk melaksanakannya. Ia juga sangat impulsif, ketika terpesona pada keindahan tarian putri Herodias segera dijanjikannya hadiah...apa saja, bahkan setengah dari kerajaannya. Walaupun sebuah janji kaisar memang perlu ditepati tetapi seorang kaisar yang bijaksana tentunya perlu menimbang permintaan yang tidak masuk akal. Permintaan hadiah kepala Yohanes Pembaptis di atas nampan menurut saya pribadi adalah permintaan yang bila dikabulkan akan menurunkan harkat seorang kaisar menjadi seorang pembunuh. Tetapi Herodes lebih malu terhadap orang-orang yang mendengar
janjinya daripada mendengar nuraninya sendiri. Ia tidak ingin kehilangan muka sehingga terpaksa memenuhi permintaan itu.

Karakter lain yang tampak dominan adalah Herodias. Dia pasti cantik dan memikat lelaki. Dan ia tahu mempergunakan kecantikannya. Sayang sekali ia menggunakannya untuk memuaskan ambisi dan egonya sendiri. Kemarahannya kepada Yohanes Pembaptis menunjukkan bahwa ia sukarela menjadi istri Herodes. Menjadi istri kaisar lebih terhormat baginya daripada menjadi istri saudara kaisar. Ia mengenal Herodes, dan tahu akan kebimbangan-kebimbangan Herodes...itulah sebabnya ia senantiasa mencari jalan agar Yohanes Pembaptis tidak bisa lagi menajamkan suara hati nurani Herodes.

Ada juga teman yang tertarik pada karakter anak Herodias yang sama sekali tidak kritis. Anak perempuan ini tanpa merasa bersalah mengorbankan kehidupan orang lain meneruskan permintaan ibunya kepada Herodes. Sebenarnya dia juga bisa bersuara, tapi dia diam saja dan memilih melanjutkan perannya sebagai aktris pembantu.

Karakter yang tidak terlalu muncul tapi sangat kuat terasa kehadirannya adalah karakter Yohanes Pembaptis. Dia adalah orang yang berani mewartakan kebenaran walaupun memiliki resiko kehilangan kepalanya. Ini adalah suatu hal yang sangat sulit untuk dilaksanakan di dunia nyata. Seringkali kita memilih menghindari konflik, dan menghindar dari memberikan kritik karena tahu bahwa orang-orang tersebut tidak senang dikritik. Terkadang kita juga menjadi seperti Herodes dan Herodias yang tidak bisa menerima kritik, lalu menuding orang lain sebagai pembawa kekacauan dalam kehidupan kita.

Banyak orang yang menjadi korban karena membela kebenaran, karena menyuarakan kebenaran. Beranikah kita menjadi pewarta kebenaran? Yesus juga sudah tahu apa yang akan menghadangnya karena mewartakan kebenaran, tetapi Ia tidak gentar menghadapinya.

Tuhan,
tidak mudah menjadi pewarta kebenaranMu,
bukan jalan mulus yang terbentang
tetapi jalan gurun yang tandus dan beronak duri yang tersedia,
Kegentaran seringkali hinggap di hati,
Keinginan untuk kenyamanan hidup menjadi fatamorgana yang menggoda,
Bantulah kami untuk mampu terus melangkah bersamaMu,
terkadang membiarkanMu mendukung diri kami yang terkapar,
terkadang menguatkan diri berjuang ketika Dikau tidak nampak,
karena kami yakin Dikau senantiasa menjaga...
Semoga keyakinan itu berkobar semakin besar dan bukannya meredup atau padam.
"Percaya sajalah," kataMu.
Tuhan, Engkaulah sumber keberanian dan kekuatan kami,
penuhi kami dengan kasihMu
kuatkan kami dalam melangkah mewartakan kabar bahagiaMu.
Amin.

renungan dari bacaan yang sama http://journey-to-his-words.blogspot.com/2009/02/permintaan-anak-perempuan-herodias.html

Tuesday, February 02, 2010

Mencari Kebenaran

Seorang teman mengirimi saya tautan dan isi dari tulisan Menemukan Sendiri Kebenarannya oleh Romo J. Sudrijanta, SJ

Kebanyakan orang mengikuti suatu teori, keyakinan, kepercayaan, dogma, atau ajaran tertentu bukan karena melihat sendiri kebenarannya, tetapi karena bingung batinnya. Karena bingung, orang lari kepada ajaran tertentu dan ajaran yang dipegang erat-erat menambah lebih banyak kebingungan. Ajaran kebenaran yang dijadikan pedoman tingkah-laku lalu dijadikan pegangan untuk menilai ajaran-ajaran lainnya. Batin seperti itu hanya mampu melihat kebenaran sebatas pikiran dan tidak ada satupun pikiran yang mampu menyembuhkan batin dari kebingungan.

Meskipun orang hafal kata-kata Yesus, Buddha, Mohamad, Krishna atau guru-guru spiritual lainnya, batin orang tidak akan berubah secara fundamental selama tidak mengenal dirinya sendiri, termasuk bagaimana berhubungan dengan ajaran-ajaran yang diikuti atau ditolaknya. Untuk bisa melihat yang palsu sebagai palsu dan yang benar sebagai benar, maka batin musti bebas dari beban pengaruh ajaran atau otoritas apapun. Kebenaran yang sesungguhnya tidak melekat pada ajaran atau otoritas apapun. Kebenaran ini begitu halus, tidak bisa dikenali oleh batin yang tidak bebas dari segala opini, penilaian, pembandingan, kesimpulan.

Jangan menerima begitu saja suatu ajaran hanya karena semata-mata sudah lama didengar, telah menjadi tradisi turun-temurun. Jangan menerima semata-mata karena telah banyak diperbincangkan atau diikuti banyak orang. Jangan menerima begitu saja hanya karena dikatakan dalam Kitab Suci Anda. Jangan menerima semata-mata karena keyakinan atau kepercayaan, karena bujukan atau paksaan dari luar, karena cocok dengan persepsi pikiran Anda dan selaras dengan perasaan Anda, karena alasan kepantasan, tampaknya bisa diterima atau baik untuk diterima, karena pembawa ajaran memiliki teladan hidup yang saleh, tokoh, panutan.

Begitu pula jangan menolak begitu saja ajaran yang baru Anda dengar hanya karena tidak datang dari tradisi Anda. Jangan menolak semata-mata karena ajaran itu ditolak olah banyak orang atau diikuti oleh sedikit orang. Jangan menolak begitu saja karena tidak tertulis dalam Kitab Suci Anda. Jangan menolak semata-mata karena Anda sudah terlanjur tidak percaya, karena takut dicap buruk oleh orang lain, karena tidak cocok dengan persepsi pikiran dan perasaan Anda, karena pembawa ajarannya tidak menarik, bukan tokoh atau bukan panutan.

Ketika kita mendengar suatu ajaran, kita perlu melihat isinya, melihat ajaran sebagai ajaran. Kita perlu menyelami atau menyelidiki dengan batin yang bebas. Batin tidak boleh cepat-cepat menerima atau cepat-cepat menolak. Percaya bahwa suatu ajaran mengandung kebenaran tidak membuat Anda mengalami langsung kebenarannya.

Batin yang bebas tidak cepat-cepat percaya pada apa yang dikatakan orang lain. Ia tidak menganggap orang lain memiliki otoritas dan apa yang dikatakan selalau benar. Lihatlah ajarannya, bukan pribadi yang menyampaikan ajaran. Kalau pribadi yang memberi ajaran memukau atau menarik, janganlah dibutakan oleh penampilannya.

Batin yang bebas juga tidak cepat-cepat menolak ajaran yang dikatakan orang lain. Ia tidak mudah menerima atau menolak hanya dengan mengkaitkannya dengan latar belakang si pembawa ajaran. Kalau si pemabawa ajaran tidak memukau atau tidak menarik, janganlah mudah menolak ajarannya hanya karena penampilannya yang tidak menarik.

Batin yang bebas tidak terjebak pada anggapan bahwa seorang spesialis lebih tahu tentang suatu kebenaran daripada seorang non-spesialis. Begitu pula sebaliknya. Seorang non-spesialis bukan berarti kurang tahu daripada seorang spesialis. Akan tetapi Kebenaran musti ditemukan sendiri. Ia tidak bisa didapat dari seorang spesialis atau non-spesialis.

Semakin banyak pengalaman atau pengetahuan yang kita lekati, semakin tidak mudah kita melihat kebenaran. Semakin banyak pengetahuan, semakin besar kita dibuat ragu-ragu. Semakin kita bebas dari belenggu pengetahuan, semakin besar kemungkinan kita bebas dari belenggu keraguan. Oleh karena itu, kita musti siap bukan meragukan apa yang tidak kita ketahui, tetapi siap meragukan apa saja yang telah kita ketahui.

Kebenaran yang sesungguhnya berada di luar lingkup apa saja yang dikenal. Perjumpaan dengan kebenaran ini menghabisi keragu-raguan. Pengalaman perjumpaan ini memberikan suatu cita-rasa kepastian yang bukan dari pikiran. Kalau Anda mengalami ini, Anda tidak membutuhkan persetujuan orang lain atau mencari pembenaran dengan doktrin tertentu.

Pikiran berhenti selama perjumpaan dengan kebenaran ini berlangsung dan pikiran hanya bisa mengenalinya setelah jeda perjumpaan itu berakhir. Pengalaman akan kebenaran ini tidak perlu disimpan sebagai doktrin baru karena semua doktrin justru menghalangi perjumpaan dengan kebenaran. Oleh karena itu, lebih bijaksana bersikap terus-menerus tidak tahu dan batin selalu terbuka akan pewahyuan kebenaran setiap saat. Sebaliknya, sikap merasa sudah tahu akan membatasi perjumpaan dengan kebenaran.

Siapa yang melihat ajaran sebagai ajaran, melihat kebenaran. Kebanyakan orang tidak melihat kebenaran ini dan melekat pada pengalaman, teori, organisasi, agama, metode doa, teknik meditasi, ritual, dogma, kepercayaan. Orang buta hanya bisa mengikuti metode doa, ritual dan dogma, tetapi tidak melihat kebenaran. Banyak orang mempunyai mata, tetapi tidak melihat; memiliki telinga tapi tidak mendengar.

Kita tidak bisa mengusir keragu-raguan dengan mempertebal kepercayaan. Kita tidak bisa melihat sendiri kebenaran yang sejati kalau kita sudah melekat pada tradisi, kata-kata Kitab Suci, kepercayaan atau keyakinan. Hanya batin yang bebas yang barangkali mampu melihat kebenaran; kebenaran inilah yang mengubah, bukan upaya kita untuk berubah. Kalau kita telah berjumpa dengan kebenaran ini, barulah barangkali kita tahu apa artinya hidup beriman.

Kebenaran yang sejati hanya bisa dialami secara langsung, bukan lewat orang lain, bukan lewat pengetahuan atau kepercayaan. Bisakah kita melihat sendiri kebenaran ini dari saat ke saat?*


Agama bagi saya adalah sesuatu yang sudah diberikan kepada saya sejak saya masih bayi. Kata-kata
"Untuk bisa melihat yang palsu sebagai palsu dan yang benar sebagai benar, maka batin musti bebas dari beban pengaruh ajaran atau otoritas apapun. Kebenaran yang sesungguhnya tidak melekat pada ajaran atau otoritas apapun. Kebenaran ini begitu halus, tidak bisa dikenali oleh batin yang tidak bebas dari segala opini, penilaian, pembandingan, kesimpulan"
dari tulisan di atas sedikit menggangguku, karena berarti sejak bayi batin saya sudah tidak bebas lagi. Orang tua, lingkungan Gereja dan sekolah telah ikut membentuk batin saya.

Kemudian sebuah bagian lagi mengatakan
"Kita tidak bisa mengusir keragu-raguan dengan mempertebal kepercayaan. Kita tidak bisa melihat sendiri kebenaran yang sejati kalau kita sudah melekat pada tradisi, kata-kata Kitab Suci, kepercayaan atau keyakinan."
Kata-kata ini sedikit banyak mengingatkan saya pada keragu-raguan para murid yang terkadang dalam sesi meditasi saya rasakan sangat manusiawi. Ketika merasakan hal itu yang terpikir adalah "Bagaimana sebenarnya menumbuhkan iman walaupun hanya sebesar biji sesawi, tapi mampu berbuah banyak?" Keraguan merupakan sifat dasar manusia. Terkadang bersikap skeptis pada awalnya membantu kita untuk menemukan sendiri kebenaran itu. Tetapi Tuhan meminta kita untuk percaya seratus persen kepadaNya. "Percaya saja. Jangan takut!" Kita tidak mungkin bisa mempertebal kepercayaan bila kita tidak memiliki pengalaman batin yang mendukung.

Meditasi dengan menggunakan Kitab Suci (Lectio Divina) membantu saya untuk memiliki pengalaman batin yang memampukan saya untuk mencoba menggapai pemahaman tentang kebenaran itu. Membuka percakapan denganNya melalui Kitab Suci sungguh mencengangkan. Memiliki kebiasaan rutin untuk datang kepadaNya dan mendengarkanNya melalui Kitab yang sudah ditulis begitu lama berselang tapi isinya selalu masuk ke dalam kehidupan yang nyata sekarang ini, amat menyegarkan batin saya.

Dahulu saya sering mencari jawabanNya dengan membuka Kitab Suci. Ketika sedang resah dalam suatu masalah saya mencoba membuka Kitab Suci, berharap bertemu dengan nasihatNya. Kala itu Dia diam...membisu...Saya benar-benar merasa bagaikan rusa yang merindukan air, kehausan...mencariNya di gurun fatamorgana.

Rupanya kita juga perlu ketenangan batin untuk bisa mengenali suaraNya. Ketika perasaan terfokus pada masalah pribadi, maka suaraNya tidak akan pernah bisa terdengar di dalam relung batin kita. Ketika kita mencoba untuk fokus kepadaNya, memberikan waktu bagi Dia untuk menjamah kita, maka saat itu pintu kebenaran akan terkuak sedikit. Sedikit demi sedikit, dan mungkin tidak akan pernah penuh, karena Kebenaran yang sejati bisa jadi baru bisa kita lihat dengan jelas ketika berjumpa denganNya di akhir zaman nanti.

Bacaan Lukas 2: 22-32 hari ini membawa saya kembali kepada kisah Yesus dipersembahkan di Bait Allah. Seringkali, kita seperti Maria dan Yosef yang sangat mengenal Yesus tetap saja terheran-heran mendengar apa yang dikatakan tentang Dia. Bunda Maria senantiasa menyimpan pertanyaannya di dalam hati dan membiarkan waktu Tuhan yang menjawabnya.

Tuhan,
Terima kasih atas kebenaran yang Kau kuakkan bagi kami,
sedikit demi sedikit
Dikau memberikan pencerahan dalam batin
karena percaya memang tidak bisa hanya diucap bibir,
atau dihitung dengan logika,
karena percaya terukir dalam batin yang terdalam.

Tuhan,
Sungguh besar karuniaMu
memampukan kami membuka mata batin
agar mampu melihat, mampu bersaksi, dan mampu berbuat...
untuk kemuliaan namaMu.

Engkaulah sumber kekuatanku,
tanpaMu aku seperti Petrus yang ragu-ragu berjalan di atas air,
dalam bimbingan tanganMu aku berani
menapak laut luas dalam gelombang badai yang mengepung.
Amin.

Thursday, January 28, 2010

Belajar Bersyukur

Ada satu hal penting yang sejak beberapa waktu lalu terus menerus terpikir untuk saya tuliskan di blog ini, yaitu sikap syukur dan berterima kasih atas segala rahmatNya. Ini suatu hal yang cukup penting bagi saya karena dalam kenyataannya kehidupan sedang sulit bagi saya, tapi justru dalam kondisi ini kesadaran akan rasa syukur itu bisa lebih terasakan.

Mungkin hal ini sesuai dengan Barukh 2:17-18 "Sudilah kiranya, ya Tuhan, membuka mataMu dan memandang. Memang bukan orang dari dunia orang mati yang nyawanya sudah dicabut dari batinnya itulah yang menyampaikan kemuliaan yang menjadi hak Tuhan, melainkan yang menyampaikan kemuliaan yang menjadi hak Tuhan ialah orang hidup yang amat pilu hati sekali dan yang berjalan sambil membungkuk dengan tidak berdaya dan juga mereka yang kusam matanya dan yang lapar..." Hanya orang berpasrah diri sepenuhnya kepada Tuhan yang dapat bersyukur kepada Tuhan dan memuliakan namaNya.

Tentu saja tidak perlu sampai sangat harafiah seperti "membungkuk tidak berdaya, kusam mata dan lapar" tetapi dengan merasa tidak berdaya di hadapan Tuhan, letih dalam berjuang bersamaNya, dan lapar akan kabar bahagiaNya yang akan memberikan warna cerah pada rasa syukur kita.

Dalam kehidupan seringkali kita hanya memandang ke atas saja. Akibatnya kita semakin merasakan kemalangan yang sedang kita terima. Mungkin kita lupa bahwa kehidupan adalah roda yang berputar, ada kalanya di atas dan ada kalanya harus menanggung beban terhimpit di bawah.

Berbagi dengan teman juga merupakan suatu cara untuk mengajak orang lain bersyukur. Saya teringat ketika beberapa waktu yang lalu seorang teman dengan malu-malu bercerita bagaimana dia memaksakan diri untuk terbang sendirian ke Singapura tanpa membawa anak-anak dan suaminya (karena keterbatasan biaya) sekedar untuk pemenuhan cita-citanya dari kecil untuk pergi ke luar negeri. Itulah saat pertama kali ia pergi ke luar negeri, dalam usia yang sudah sekitar empat puluh tahun. Sejak bekerja ia harus mendahulukan keluarganya, bahkan kemudian selain kesibukan bekerja dan mengurus rumah tangga, ia juga harus mengurus kedua orang-tuanya yang sakit. Setelah orang-tuanya berpulang, dan ada kesempatan untuk terbang murah ke Singapura...pergilah ia menuntaskan mimpinya.

Hmm, rasanya seperti mendapat jeweran halus Tuhan di telingaku ketika mendengar kisahnya. Sementara aku bermimpi untuk mengulang perjalanan ke luar negeri, aku melupakan bahwa betapa besar karunia yang sudah pernah kuperoleh sebelumnya. Betapa sebelumnya Singapura merupakan negara tetangga yang sangat dekat bagiku, bahkan lebih sering kukunjungi daripada pulang ke kampung halamanku di Makassar. Belum lagi perjalanan ke Eropa, dan juga perjalanan gratis dengan undangan ke Singapura dan Korea Selatan yang juga pernah kuperoleh. Rupanya aku perlu juga melihat dari posisi yang berbeda. Posisi orang-orang yang hanya mampu bermimpi dan belum sekalipun merasakan mimpinya menjadi kenyataan.

Kemampuan bersyukur memang seringkali perlu dipelajari lagi. Saya bukan tidak pernah bersyukur kepada Tuhan. Rasanya syukur merupakan hal pertama yang selalu saya ucapkan dalam setiap doa saya. Tapi kadar rasa syukur itu sendiri sekarang jauh berbeda.

Ketika melihat anak-anak yang aktif dan sulit diatur, saya teringat pada teman-teman yang mendambakan anak dan belum juga beroleh berkat dan kepercayaan untuk merawat anak mereka sendiri. Begitu juga teman-teman yang memiliki anak tapi memiliki lebih banyak masalah dengan anaknya, entah secara fisik maupun secara mental. Dan yang mungkin paling unik adalah kenyataan bahwa bersama Tuhan segala beban akan terasa lebih ringan. Kesedihan dan permasalahan tidak akan lenyap begitu saja, tetapi kekuatan untuk menanggungkannya menjadi lebih besar.

Tuhan,
Terima kasih tak terhingga bagiMu
yang memberi pencerahan bagi hatiku
untuk lebih dekat kepadaMu
untuk lebih mensyukuri nikmat yang Dikau sediakan,
dan memampukanku menanggung salib kecil yang tidak sebanding dengan salibMu.
Tuhan, ajari aku untuk terus mampu bersyukur
Karena kutahu berkatMu tiada henti tercurah...
Amin,