Friday, February 26, 2010

Hukum Positif

Dari pertemuan kedua Pendalaman Iman Lingkungan Masa Pra Paskah 2010, saya terkesan pada ajakan fasilitator acara untuk melihat kata-kata Yesus dalam Matius 19: 16-26 dengan menggunakan kacamata positif. Kata-kata yang perlu dilihat dari sudut pandang positf itu ada di ayat 18.

Dalam berbagai sesi pendidikan anak, orang tua selalu diajari untuk mulai menghindari kata "jangan", dan "tidak boleh". Katanya sih, dengan menggunakan kata negatif seperti ini yang akan teringat hanya kata kerjanya, yang justru tidak kita inginkan untuk dilakukan. Jadi kata "jangan nakal" hanya akan mengingatkan anak bahwa ia nakal...

"Jangan membunuh," kata Yesus. Apakah kita adalah pembunuh? Mungkin kita melakukan pembunuhan karakter, pembunuhan semangat, atau pembunuhan lainnya? Tetapi mencoba mendengarkannya dengan terjemahan positif menjadi sangat menyenangkan. "Sudahkah kita memberi kehidupan kepada orang lain?"

"Jangan berzinah," kata Yesus. Apakah kita pernah tidak setia? Dalam pikiran? Dalam perbuatan? Tetapi mencari-cari kelemahan tidak akan memperbaiki diri. Untuk maju ke depan, lebih menyenangkan mendengar: "Sudahkah engkau mencintai dengan sungguh-sungguh?"

"Jangan mencuri," kata Yesus. Apakah kita pernah korupsi? Minimal korupsi waktu seperti aku ketika menulis blog? Rasanya motivasi akan lebih terbangun bila yang terdengar menjadi, "Sudahkan engkau memberikan bagian dari milikmu kepada orang yang membutuhkannya?"

"Jangan mengucapkan saksi dusta," kata Yesus. Apakah kita sudah terbiasa dengan kebohongan kecil? Atau kita menganggap "white lie" itu perlu? Sebenarnya nurani tidak bisa dibohongi. Jadi, lebih baik bertanya, "Sudahkan kita mengikuti suara hati yang murni?"

Pertanyaan-pertanyaan itu rasanya bisa membantuku untuk fokus kepada hasil yang ingin dicapai. Menerapkan pola berbicara yang positif terhadap anak-anak sangat tidak mudah, tetapi dengan bantuan pembalikan fokus dari contoh di atas, rasanya lebih mudah untuk bergerak maju.

Tuhan,
terima kasih karena kami memperoleh kacamata baru,
yang mampu membantu kami untuk melihat dari sisi positif
sehingga dunia bisa tampak lebih indah,
dan tugas kami juga terdengar lebih menyenangkan...
Fokus kami menjadi jelas,
dan jalanMu menjadi lebih terang...
Tetapi Bapa,
kami manusia yang seringkali terjatuh,
bantu kami untuk bangkit kembali,
beri kami Roh KudusMu agar senantiasa mampu melihat dari sisi yang positif
dan mampu mengisi dunia dengan hal-hal yang positif,
amin.

Friday, February 19, 2010

Hal Berpuasa

Jumat ini ada dua bacaan yang kami baca sekaligus, yaitu Yesaya 58: 1-14 "Kesalehan yang palsu dan yang sejati", dan Matius 9: 14- 17 "Hal berpuasa". Tulisan dari kitab Yesaya membuat saya dan teman-teman tergugah, terutama di ayat 6-7.
Berpuasa yang Aku kehendaki ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang-orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tidak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!

Kita bukan hanya diminta untuk melepaskan tali kuk, tetapi juga untuk mematahkan setiap kuk. Seorang teman jadi terpikir betapa kita diminta untuk melepaskan kuk yang terpasang pada orang lain, tentunya lebih tidak boleh lagi memasangkan kuk kepada orang lain.

Seringkali kita memakaikan kuk kepada orang lain dengan prasangka, memandang rendah, ataupun mendiskreditkan orang lain. Dan semakin kita menyebarkan hal buruk tentang orang lain kepada orang-orang di sekitar kita semakin kuat kita menalikan kuk tersebut ke orang itu.

Yesus menegaskan betapa perbuatan benar yang berasal dari hati lebih penting daripada perbuatan yang dilakukan untuk dilihat orang banyak.

Kebetulan esoknya, pada acara pendalaman iman di lingkungan kami, dibahas "Siapakah sesamaku manusia?" (Luk 10:29). Yang menarik, dalam penjelasan fasilitator dijelaskan betapa ada kendala yang dihadapi oleh imam dan orang Lewi kalau mereka harus menolong orang yang dirampok dalam kisah di Lukas 10: 25-37. Jadi dalam menghadapi kendala itu, tetap perbuatan baik harus didahulukan. Menurut saya orang Samaria juga sebenarnya menghadapi kendala yang sama. Sebagai orang asing dari suku yang berbeda bisa saja dia malah terkena berbagai macam prasangka, belum lagi beban biaya yang harus ditanggungkannya bila ternyata orang tersebut menghabiskan biaya lebih dari dua dinar. Tetapi dia tidak memikirkan kemungkinan buruk yang harus dihadapinya, melainkan tetap menolong korban tersebut.

Kesimpulan si akhli Taurat, sesama orang itu adalah orang yang menunjukkan belas kasihan kepadanya. "Pergilah dan perbuatlah demikian!" kata Yesus.

Perbuatan baik kepada sesama sebenarnya adalah berbuat untuk diri kita sendiri, demikian kata fasilitator malam itu. Benar juga, saya teringat lagi pada bagian lain dari Yesaya (Yesaya 58:8-12), ketika kita memecah-mecah roti bagi yang lapar, memberi tumpangan kepada yang tidak berumah, dan memberi pakaian kepada yang telanjang, serta tidak menyembunyikan diri dari saudara yang membutuhkan, maka "pada waktu itulah engkau akan memanggil dan Tuhan akan menjawab..."

Ada satu hal yang agak sulit kumengerti dari Matius 9, yaitu ketika Yesus membandingkan hal berpuasa dengan menambalkan kain yang belum susut kepada baju tua, serta menyimpan anggur yang baru di dalam kantong kulit yang tua. Ternyata ini berhubungan dengan pola pikir dan hati kita juga. Tidak ada gunanya berpuasa dan bermati-raga selama perbuatan dan pikiran kita masih tetap dalam pola lama yang belum dipenuhi pertobatan. Kita perlu mengganti diri menjadi baru di hadapan Allah agar pantas menerima kehadiranNya. Panggilan pertobatan menggema dari ayat ini...Sediakanlah hati yang baru agar tidak koyak dalam menerima limpahan anugerah yang kita terima karena puasa kita. Pertobatan adalah jalan untuk memperbaharui kantong kulit tempat menyimpan anggur yang baru itu.

Tuhan,
terima kasih atas berkatMu,
bimbing kami agar mampu memperbaharui hati kami,
bukakan mata kami terhadap kehadiran sesama kami,
karena Dikau hadir di dalam mereka juga...
Berkenanlah hadir melalui diri kami juga,
agar kami dimampukan menjadi sesama yang bagi orang-orang di sekitar kami,
agar kami bisa membantu memuliakan namaMu,
dan menghadirkan kasihMu di dunia ini.
Amin.

Tuesday, February 16, 2010

Waspada Terhadap "Ragi"

Dari Injil Markus 8:14-21 saya temukan perkataan; "Berjaga-jaga dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan ragi Herodes." Terkadang perkataan Yesus mungkin memang membingungkan bagi murid-muridNya, itulah sebabnya mereka menghubungkan ucapannya dengan ketiadaan roti. Pikiran orang yang sedang lapar tentunya tidak jauh dari makanan. Ketika mereka hanya punya sebuah roti, sementara rasa lapar sudah mendera, bisa jadi mereka tidak mampu mengingat dua belas bakul ataupun tujuh bakul yang tersisa dari penggandaan roti yang pernah Yesus lakukan. Yang terekam dalam otak mereka hanyalah makna negatif dari kata "berjaga-jaga dan awaslah". Mungkin dalam benak mereka, Yesus sedang meminta mereka untuk berpuasa, jangan sampai termakan roti dari orang Farisi maupun dari Herodes.

Dari renungan di Cafe Rohani saya temui pararel dari ragi orang Farisi dan ragi Herodes. Orang Farisi katanya kerap kali hanya menekankan segi-segi lahiriah dan hidupnya tidak mendalam. Sementara Herodes hanya tertarik pada hal duniawi dan kuasa.

Cafe Rohani menyoroti kediaman para murid dalam menghadapi teguran Yesus. Mereka merasa malu karena sudah lama mengikuti Kristus tanpa mampu mengenali makna yang lebih dalam dari perkataan dan tindakanNya.

Lama mengikutiNya bukan jaminan untuk mengenaliNya. Sama seperti kisah pemanggilan para pekerja untuk bekerja di ladang, ada yang datang sejak pagi, ada yang baru datang menjelang sore...dan semuanya menerima upah yang sama. Dari beberapa sharing dalam kelompok seringkali saya temui kenyataan betapa banyak orang yang sekarang bergiat di dalam pelayanan Gereja semula sama sekali tidak aktif, bahkan boleh jadi tidak terlalu mengenalNya. PanggilanNya menggema dan berbuah pada pekerja yang baru datang, dan ladangnya tetap terbuka bahkan bagi pekerja yang datang satu jam sebelum pembagian upah berlangsung.

Ragi yang membusukkan roti merupakan bahaya yang perlu kita waspadai. Dalam jumlah dan takaran yang tepat ragi berguna untuk mengembangkan roti, tetapi terlalu berlebihan membuat adonan rusak dan tak terpakai.

Tuhan,
Engkau sudah lama memanggilku datang di ladangMu
dan terkadang aku tercenung memikirkan apa saja yang sudah kukerjakan
cukup rajinkah aku?
Ataukah aku hanya memikirkan upah yang sama yang akan Dikau berikan pada yang datang sesudah aku?
Lalu tak sempat kuperhatikan semaian yang menjadi tugasku?
Tuhan ragi penampilan lahiriah, hal duniawi dan kekuasaan juga menjadi batu sandungan
di ladang yang kugarap,
Bantu daku mengenal kasihMu yang indah
yang memberi kekuatan untuk membuang semua ragi yang siap membusukkan diriku...
Tuhan,
Terima kasih pendampinganMu.
Amin.

Thursday, February 11, 2010

Membaca KehendakNya

Terkadang terasa sangat sulit membaca kehendak Tuhan. Secara garis besar tentunya kehendakNya adalah perbuatan yang baik. Tetapi ketika harus memilih di antara dua (hal/prioritas baik) sebelum melakukan tindakan, rasanya begitu sulit.

Baru hari Minggu yang lalu aku tercenung mendengarkan satu perkataan pastur dalam homili: "Mulailah dalam keluarga." Hanya perkataan itu yang kuingat persis, tapi sepertinya inti perkataannya adalah janganlah melayani ke luar kalau yang di dalam belum terlayani. Itulah persepsi saya hari Minggu itu. Sebelumnya saya juga sering mendengar suster dan teman-teman lain menekankan betapa pentingnya menuntaskan karya di dalam "Yerusalem" (keluarga) sebelum melangkah keluar.

Baru saja ingin memantapkan diri dengan fokus ke dalam rumah saja, bacaan tentang perempuan Siro-Fenisia dan sebuah kesaksian dalam acara pertemuan wilayah memberikan masukan yang berbeda lagi. Seorang Ibu memberikan kesaksian mengenai awal mula dia terjaring untuk melayani, selain itu ia memperlihatkan untaian kata yang menurutnya memberikan inspirasi untuk perutusannya. Ketika itu ia juga merasa belum mampu untuk melayani ke luar, anak masih kecil-kecil, kebutuhan rumah tangga juga masih belum berkecukupan. Bacaan yang dibawanya memang memberi inspirasi. Dikatakan di sana untuk menyerahkan semua masalah yang kita punya kepada Tuhan, dan pergilah melayani. Tuhan yang akan menyelesaikan masalah tadi. Kisah perempuan Siro-Fenisia juga memperlihatkan bahwa pelayanan tidak boleh terbatasi hanya di dalam kalangan sendiri saja.

Nah lho...jadi prioritas pertama yang mana lagi nih? Sebenarnya saya juga sudah tahu prinsip yin-yang, prinsip keseimbangan hidup. Keseimbangan itu juga yang kuperlukan dalam melihat karakter Maria dan Marta. Antara kontemplasi/doa dengan perbuatan perlu keseimbangan. Karakter dua bersaudara ini memang senantiasa menarik perhatianku, Maria yang duduk manis mendengarkan Yesus dan Marta yang sibuk melayani Yesus dan tamu-tamunya. Menyediakan waktu yang tepat untuk diam dan mendengarkanNya serta waktu untuk berkarya dalam pelayanan untukNya memang perlu keahlian tersendiri.

Terkadang karakter kuli di dalam diriku terlalu besar. Ya, bukan lagi sekedar hamba, tapi kuli...yang hanya mengerjakan hal-hal yang diperintahkan tuannya. Aku menantikan sabdaNya memberikan rincian detail untuk pilihan dan tindakanku. Aku menginginkan Dia mengendalikan kehidupanku, dan kesal ketika Dia diam saja tidak membantuku memutuskan pilihan-pilihan jalan hidupku. Aku menginginkan Dia menahkodai jiwaku, tetapi bersungut-sungut ketika pilihan jalanku berbadai dan berombak yang memabukkan. Dahulu cukup sering aku membuka Kitab Suci untuk mencari jawaban. Mencari jawaban dengan cara yang salah, mencari jawaban dengan membaca Kitab Suci seakan membaca ramalan bintang.

Buku Gabrielle Bossis, "Lui et moi" yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia "Dia dan aku" membuatku iri akan kedekatan Gabrielle dengan Tuhan. Satu hal dari buku itu yang patut kuiingat adalah pendeknya keterangan Gabrielle dan panjangnya ungkapan Tuhan yang dicatatnya. Aku menyadari pentingnya membuat keheningan yang memampukan kita mendengar dan menangkap suaraNya...

Ada beberapa perkataan yang dalam menegurku dari buku "Dia dan aku", "Tidak, tidak usah engkau melakukan lebih banyak, tetapi engkau harus melakukannya dengan cara yang lain: menerima cobaan-cobaan kecil sehari-hari dengan lebih gembira." Lalu, katanya pula; "Mengertilah, bahwa kesalehan itu terletak dalam cara mengasihi, cara engkau melakukan pekerjaan kecilmu sehari-hari. Perbesarkan kasihmu dengan merenungkan penderitaanKu dan luka-lukaKu. Pakailah segala macam cara yang dapat mendekatkan engkau kepadaKu. Ingatlah akan Zakheus yang memanjat pohon. Keinginannya yang besar untuk bertemu dengan Aku Kuhadiahkan dengan kunjunganKu ke rumahnya. Hiduplah dengan lebih mementingkan kehidupan ke dalam daripada kehidupan ke luar. Karena Aku datang bertamu di hatimu dan setiap kali engkau masuk ke dalam, engkau akan menemukan Aku, karena di sanalah Aku berada."

Sebuah tulisan inspiratif untuk bisnis di halaman iklan Karier juga membuatku tercenung pagi ini. Judul tulisan itu "Misi", dikatakan perlunya kejelasan misi agar seluruh aspek dalam perusahaan bergerak untuk pemenuhan misi itu. Ada satu kutipan ucapan yang menarik di sana:
Kita sesungguhnya bisa mengecek sendiri, apakah di akhir hidup nanti kita bisa berkata: "I did what I was created to do. I contributed to this world in a significant manner."

Mungkin inilah akar permasalahan itu, dunia mengajariku untuk melihat segala sesuatunya dengan ukuran duniawi. Apakah saya sudah mengerjakan hal yang karenanya aku diciptakan? Bukankah Tuhan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah untuk menaklukkan bumi dan berkuasa atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, dan semua binatang yang merayap di bumi? Bukankah manusia diciptakan dengan gambar dan rupa Allah untuk memuliakan namaNya? Jadi ukuran penciptaanNya bukan seberapa banyak taklukan itu, atau seberapa besar kontribusi materi dan tenaga yang kita keluarkan, tetapi seberapa sesuai kita menjalankan misi kita di dunia ini. Jadi seberapa banyak kita menyebarkan kabar bahagianya? Seberapa berhasil kita membuat namaNya dimuliakan orang?

Tuhan,
anakMu lelah berpikir...
tidak tahu jalan mana yang Kau ingin kujalani,
terkadang bersungut ketika kerikil masuk ke sepatuku...
Terlupa bahwa daku yang turun dari boponganMu
karena ingin mencoba berjalan dan berlari...
menangis ketika terjatuh dan berlari kembali ke dalam pelukanMu,
tetapi sejenak terlupa dan kembali ingin turun berlari...
Tuhan,
berkati kami dengan rahmatMu,
dan curahkanlah kekuatan Roh Kudus untuk membimbing mata hati kami,
agar sungguh dapat memuliakan namaMu.
Amin.

Penyakit dan Kesembuhan

11 Februari 1858 Bunda Maria menampakkan diri kepada Bernadette Soubirous di sebuah gua di Lourdes. Tanggal 11 Februari juga merupakan Hari Orang Sakit Sedunia. Saya teringat pada Prosesi Lilin di Lourdes. Sama seperti yang diungkapkan oleh seorang pembaca tulisan Lourdes Memanggil dari seorang teman di portal jurnalisme warga, saat menjelang senja itu menjadi pemandangan iman yang sangat indah. Orang-orang yang sehat membantu orang-orang yang sakit untuk datang dan mengikuti acara. Orang yang hadir dari seluruh dunia, menyalakan lilin dan berdoa bersama. Pemandangan itu terpatri dalam ingatanku. Orang yang secara fisik sakit berbaur dengan orang-orang yang tampak sehat. Ketika itu saya belum sepenuhnya mengerti kesakitan yang lain...kesakitan rohani! Kini, saya sadar sepenuhnya bahwa bisa saja di antara orang-orang yang tampak sakit tersebut ada juga orang-orang yang sakit secara rohani.

Di sebuah milis non Katolik saya membaca pertanyaan mengapa Bernadette tidak mampu menyembuhkan dirinya sendiri dengan air dari Grotto yang katanya penuh dengan mukjizat penyembuhan. Mengapa Bernadette harus meninggal pada usia yang masih cukup muda, 35 tahun? Rasanya orang yang mengajukan pertanyaan itu hanya melihat kesembuhan dari sisi duniawi, dan melupakan sisi rohani kesembuhan. Bernadette sendiri hampir sepanjang hidupnya menderita sakit, tapi ia tidak mengeluh melainkan mempersembahkan semua penderitaannya kepada Tuhan sebagi silih demi pertobatan orang-orang berdosa.

Terkadang kita tidak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang sedang menderita penyakit. Kisah seorang perempuan yang dua belas tahun lamanya menderita pendarahan hanya terdengar bagaikan penyakit biasa sebelum aku sendiri ikut merasakan betapa menderitanya mengalami pendarahan itu. Ketika darah mengalir bagai air ketuban, dengan waktu pendarahan yang panjang bahkan terasa tak berkesudahan...baru terasa betapa menderitanya perempuan itu. "Asal kujamah saja jubahNya maka aku akan sembuh" (Matius 9:21). Ia begitu yakin akan kesembuhan yang bisa diperolehnya dari Yesus, karena itu Yesus mengatakan bahwa imannya telah menyelamatkannya (Matius 9:22). Kepercayaan dan iman yang dalam ini seringkali sulit tumbuh di hati yang berbatu-batu atau berlumut karena egoisme, keangkuhan, dan keserakahan.

Bacaan Injil di Hari Orang Sakit Sedunia kemarin mengambil kisah Perempuan Sio-Fenisia yang percaya (Markus 7:24-30). Tidak seperti dalam kisah perempuan yang menderita pendarahan selama dua belas tahun di atas, yang hanya dengan membatin dan menjamah jubah Yesus langsung disembuhkan, perempuan Siro-Fenisia ini terus menerus berteriak-teriak minta tolong kepada Yesus dan tidak diindahkan. Dari Matius 15:21-28 bisa kita ketahui betapa murid-murid Yesus meminta Yesus untuk menyuruh perempuan itu pergi. Jawaban Yesus yang menarik untuk disimak: "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel." Jadi, tidak ada kata pengusiran untuk orang-orang yang mengikutiNya. Permintaan untuk mengusir perempuan Siro-Fenisia (Kanaan) itu hanya memiliki satu implikasi bagi Tuhan, yaitu memberikannya kesembuhan yang dimintanya. Karena perempuan itu tidak termasuk dalam kawanan domba Israel, maka Ia tidak bisa memberikannya, tetapi bila perempuan itu hendak terus mengikutiNya maka Ia tidak bisa menyuruhnya pergi. Rupanya hal itu bukan karena Ia memilih umat yang ingin disembuhkanNya, melainkan karena Ia masih menguji iman perempuan itu.

"Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada kepada anjing." Perkataan itu amat pedas menohok perasaan, tetapi seorang ibu yang berjuang bagi kesembuhan putrinya itu tidak terguncang imannya. Ia menjawab: "Benar Tuhan, tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak."

Menjadi bukan siapa-siapa di hadapan Tuhan, sepenuhnya percaya kepada kerahiman Hati KudusNya adalah kunci kesembuhan itu.

Tetapi apakah hanya kesembuhan yang kasat mata yang diberikanNya? Terkadang mungkin bukan itu yang dijanjikanNya. Bernadette memperlihatkan hal tersebut, setelah penampakan Bunda Maria ia justru semakin menderita. Ada kecurigaan dari orang-orang, ada perhatian yang berlebihan...Bernadette tidak memperoleh kesembuhan dunia, ia bahkan menghabiskan sebagian besar dari harinya di atas tempat tidur karena sakit. Bernadette yang memperoleh karunia menemukan sumber mata air kesembuhan di Lourdes bahkan tidak menerima kesembuhan fisik itu sendiri. Tetapi di balik itu, saya bisa merasakan betapa Tuhan menyertainya, menguatkannya, dan membantunya memanggul salib derita itu. KasihNya yang merengkuh dan mengayomi adalah hadiah terindah yang menyembuhkan luka-luka batin dan menguatkan kita dalam menyongsong hari-hari yang baru.

Tuhan Yang Maha Pengasih,
aku hanyalah manusia biasa yang seringkali jatuh,
yang tidak kuat manahan derita dan sakit,
yang rindu akan mata air penyembuhan yang Dikau tawarkan...
Terima kasih atas kekuatan yang Dikau curahkan melalui KasihMu yang kekal abadi,
atas penghiburan yang Dikau berikan di saat-saat kusedih dan terpuruk,
Jadikanlah aku keceriaanMu,
Kuatkanlah daku dalam menemani jalan salibMu,
BersamaMu kupercaya akan beroleh kesembuhan yang sesungguhnya.
Amin.

Tuesday, February 09, 2010

Kelemahanku bukan penghalang bagi kemuliaanNya

Manusia seringkali lemah dan terjatuh. Yesus sendiri terjatuh tiga kali dalam jalan salibNya ke Golgota. Tentunya kejatuhan Yesus berbeda dari kejatuhan manusia ke dalam dosa, tetapi saya senang mngingatnya sebagai perlambang betapa berat jalan salib kehidupan. Beberapa waktu yang lalu saya sebenarnya tersentak dengan kisah Raja Daud, tapi kesibukan pribadi membuat saya tidak segera menuliskannya. Hampir terlupa...

2 Samuel 11:1-27 bercerita tentang kisah Daud dan Betsyeba. Orang seringkali hanya mengingat bahwa Daud menginginkan istri Uria sehingga mengirimkannya ke medan perang hingga tewas. Setidaknya itu juga yang saya ingat sebelum membaca bacaan ini beberapa minggu yang lalu.

Ternyata sebelum kejadian itu Daud sudah menghamili Betsyeba. Untuk menutupi kesalahannya, Daud menyuruh Uria pulang ke rumahnya dan membasuh kakinya. Tentunya dalam benak Daud, kesempatan itu akan digunakan Uria untuk menghampiri istrinya sehingga kesalahan yang diperbuatnya tidak perlu diketahui orang. Tetapi Uria setia kawan pada teman-temanya yang lain, katanya "Tabut serta orang Israel dan orang Yehuda diam dalam pondok, juga tuanku Yoab dan hamba-hamba tuanku sendiri berkemah di padang; masakan aku pulang ke rumahku untuk makan minum dan tidur dengan istriku? Demi hidupmu dan demi nyawamu, aku takkan melakukan hal itu!"

Begitulah dosa yang skalanya lebih kecil (di mata manusia, di mata Tuhan bisa jadi sama saja) akhirnya mengantarkan Daud pada dosa yang lebih besar lagi...membunuh Uria.

Yang menarik bagi saya adalah kenyataan yang tertulis di dalam Matius 1:6. Dalam asal usul Yesus yang dituliskan oleh Rasul Matius, dikatakan bahwa keturunan Yusuf yang akan memberikan nama keluarga Daud kepada Yesus adalah berasal dari Salomo, anak Daud dan istri Uria.

Pilihan salah Daud menyebabkan Daud memperoleh hukumannya, tetapi rencana Tuhan tetap berjalan sesuai dengan kehendakNya. Dari kacamata manusia saya heran mengapa Tuhan memilih justru keturunan Daud dan Betsyeba. Daud pasti mempunyai istri-istri yang lain dan anak-anak dari mereka. Kisah ini sedikit menghentakkan saya kembali ke kisah Yudas Iskariot...takdir! Tetapi saya salah! Bicara takdir seakan mengatakan bahwa Tuhan memang menghendaki hal itu terjadi. Padahal Tuhan tidak menginginkan hal tersebut terjadi, hanya saja Ia menyerahkannya kepada kehendak bebas manusia.

Kisah Yudas Iskariot terhenti dengan perasaan berdosa karena menyerahkan darah orang yang tidak bersalah. Tetapi penyesalan itu tidak membukakan mata hatinya untuk bertobat. Ia pergi dan menggantung diri.

Kisah Daud berbeda dari kisah Yudas. Ketika Nabi Natan memperingati Daud akan kesalahannya, ia sungguh menyesal. Terlebih lagi karena anak kecil tak berdosa yang dilahirkan Betsyeba baginya harus meninggal dunia. Ia berpuasa untuk meminta belas kasihan Allah ketika anak itu sakit, dan ketika anak itu ternyata tetap harus pergi maka ia menerima bahwa anak itu tidak akan kembali lagi padanya. Untuk menghibur hati Betsyeba yang bersedih, Daud menghampirinya dan memperoleh Salomo. Salomo dikasihi Allah sehingga diberi nama Yedija, oleh karena Tuhan. Rasanya Betsyeba juga sangat menyesal atas segala hal yang terjadi, sehingga penyesalan kedua orang ini memberikan belas kasih Tuhan kepada mereka.

Menyesal saja rupanya tidak cukup, tetapi harus datang kepadaNya dan meminta belas kasihannya. Harus percaya bahwa Ia Maha pengampun dan pemurah, sehingga sungguh terlaksana belas kasihNya.

Kisah Daud memberikan bukti betapa Tuhan Maha mengampuni. Dari garis keturunan Salomo nama keluarga untuk pencacahan jiwa Yesus diberikanNya.

Tuhan,
aku selalu takut salah mengambil langkah
lupa akan kemurahan hati dan pengampunanMu,
lupa akan kuasa penyesalan dan pertobatan,
lupa akan besarnya kuasa penyelenggaraanMu...
Tuhan,
mohon bimbinglah daku dalam perjalanan,
beri kebijakan dalam memilih arah di persimpangan jalan,
agar tak tersesat dalam kegelapan dosa
dan tak terhentikan oleh pnyesalan yang tiada sempurna.
Ampuni kesalahan kami ya Bapa...
Biarkan kami tetap menjadi bagian dalam memuliakan namaMu,
Amin.

Saturday, February 06, 2010

Berani Mewartakan Kebenaran

Mewartakan kebenaran tidak mudah. Yohanes Pembaptis membayarnya dengan kepalanya sendiri. Markus 6:14-29 menggambarkan bagaimana Yohanes Pembaptis dibunuh. Raja Herodes tidak senang ditegur oleh Yohanes karena mengambil Herodias istri saudaranya. Tetapi yang terlebih besar dendamnya kepada Yohanes adalah Herodias sendiri. Ia meminta putrinya untuk memohonkan kepala Yohanes sebagai hadiah bagi keindahan tariannya.

Yang menarik saya adalah karakter-karakter yang ada dalam kisah ini. Herodes yang terombang-ambing, antara senang dan benci kepada Yohanes. Dia masih memiliki suara hati tapi ragu untuk melaksanakannya. Ia juga sangat impulsif, ketika terpesona pada keindahan tarian putri Herodias segera dijanjikannya hadiah...apa saja, bahkan setengah dari kerajaannya. Walaupun sebuah janji kaisar memang perlu ditepati tetapi seorang kaisar yang bijaksana tentunya perlu menimbang permintaan yang tidak masuk akal. Permintaan hadiah kepala Yohanes Pembaptis di atas nampan menurut saya pribadi adalah permintaan yang bila dikabulkan akan menurunkan harkat seorang kaisar menjadi seorang pembunuh. Tetapi Herodes lebih malu terhadap orang-orang yang mendengar
janjinya daripada mendengar nuraninya sendiri. Ia tidak ingin kehilangan muka sehingga terpaksa memenuhi permintaan itu.

Karakter lain yang tampak dominan adalah Herodias. Dia pasti cantik dan memikat lelaki. Dan ia tahu mempergunakan kecantikannya. Sayang sekali ia menggunakannya untuk memuaskan ambisi dan egonya sendiri. Kemarahannya kepada Yohanes Pembaptis menunjukkan bahwa ia sukarela menjadi istri Herodes. Menjadi istri kaisar lebih terhormat baginya daripada menjadi istri saudara kaisar. Ia mengenal Herodes, dan tahu akan kebimbangan-kebimbangan Herodes...itulah sebabnya ia senantiasa mencari jalan agar Yohanes Pembaptis tidak bisa lagi menajamkan suara hati nurani Herodes.

Ada juga teman yang tertarik pada karakter anak Herodias yang sama sekali tidak kritis. Anak perempuan ini tanpa merasa bersalah mengorbankan kehidupan orang lain meneruskan permintaan ibunya kepada Herodes. Sebenarnya dia juga bisa bersuara, tapi dia diam saja dan memilih melanjutkan perannya sebagai aktris pembantu.

Karakter yang tidak terlalu muncul tapi sangat kuat terasa kehadirannya adalah karakter Yohanes Pembaptis. Dia adalah orang yang berani mewartakan kebenaran walaupun memiliki resiko kehilangan kepalanya. Ini adalah suatu hal yang sangat sulit untuk dilaksanakan di dunia nyata. Seringkali kita memilih menghindari konflik, dan menghindar dari memberikan kritik karena tahu bahwa orang-orang tersebut tidak senang dikritik. Terkadang kita juga menjadi seperti Herodes dan Herodias yang tidak bisa menerima kritik, lalu menuding orang lain sebagai pembawa kekacauan dalam kehidupan kita.

Banyak orang yang menjadi korban karena membela kebenaran, karena menyuarakan kebenaran. Beranikah kita menjadi pewarta kebenaran? Yesus juga sudah tahu apa yang akan menghadangnya karena mewartakan kebenaran, tetapi Ia tidak gentar menghadapinya.

Tuhan,
tidak mudah menjadi pewarta kebenaranMu,
bukan jalan mulus yang terbentang
tetapi jalan gurun yang tandus dan beronak duri yang tersedia,
Kegentaran seringkali hinggap di hati,
Keinginan untuk kenyamanan hidup menjadi fatamorgana yang menggoda,
Bantulah kami untuk mampu terus melangkah bersamaMu,
terkadang membiarkanMu mendukung diri kami yang terkapar,
terkadang menguatkan diri berjuang ketika Dikau tidak nampak,
karena kami yakin Dikau senantiasa menjaga...
Semoga keyakinan itu berkobar semakin besar dan bukannya meredup atau padam.
"Percaya sajalah," kataMu.
Tuhan, Engkaulah sumber keberanian dan kekuatan kami,
penuhi kami dengan kasihMu
kuatkan kami dalam melangkah mewartakan kabar bahagiaMu.
Amin.

renungan dari bacaan yang sama http://journey-to-his-words.blogspot.com/2009/02/permintaan-anak-perempuan-herodias.html

Tuesday, February 02, 2010

Mencari Kebenaran

Seorang teman mengirimi saya tautan dan isi dari tulisan Menemukan Sendiri Kebenarannya oleh Romo J. Sudrijanta, SJ

Kebanyakan orang mengikuti suatu teori, keyakinan, kepercayaan, dogma, atau ajaran tertentu bukan karena melihat sendiri kebenarannya, tetapi karena bingung batinnya. Karena bingung, orang lari kepada ajaran tertentu dan ajaran yang dipegang erat-erat menambah lebih banyak kebingungan. Ajaran kebenaran yang dijadikan pedoman tingkah-laku lalu dijadikan pegangan untuk menilai ajaran-ajaran lainnya. Batin seperti itu hanya mampu melihat kebenaran sebatas pikiran dan tidak ada satupun pikiran yang mampu menyembuhkan batin dari kebingungan.

Meskipun orang hafal kata-kata Yesus, Buddha, Mohamad, Krishna atau guru-guru spiritual lainnya, batin orang tidak akan berubah secara fundamental selama tidak mengenal dirinya sendiri, termasuk bagaimana berhubungan dengan ajaran-ajaran yang diikuti atau ditolaknya. Untuk bisa melihat yang palsu sebagai palsu dan yang benar sebagai benar, maka batin musti bebas dari beban pengaruh ajaran atau otoritas apapun. Kebenaran yang sesungguhnya tidak melekat pada ajaran atau otoritas apapun. Kebenaran ini begitu halus, tidak bisa dikenali oleh batin yang tidak bebas dari segala opini, penilaian, pembandingan, kesimpulan.

Jangan menerima begitu saja suatu ajaran hanya karena semata-mata sudah lama didengar, telah menjadi tradisi turun-temurun. Jangan menerima semata-mata karena telah banyak diperbincangkan atau diikuti banyak orang. Jangan menerima begitu saja hanya karena dikatakan dalam Kitab Suci Anda. Jangan menerima semata-mata karena keyakinan atau kepercayaan, karena bujukan atau paksaan dari luar, karena cocok dengan persepsi pikiran Anda dan selaras dengan perasaan Anda, karena alasan kepantasan, tampaknya bisa diterima atau baik untuk diterima, karena pembawa ajaran memiliki teladan hidup yang saleh, tokoh, panutan.

Begitu pula jangan menolak begitu saja ajaran yang baru Anda dengar hanya karena tidak datang dari tradisi Anda. Jangan menolak semata-mata karena ajaran itu ditolak olah banyak orang atau diikuti oleh sedikit orang. Jangan menolak begitu saja karena tidak tertulis dalam Kitab Suci Anda. Jangan menolak semata-mata karena Anda sudah terlanjur tidak percaya, karena takut dicap buruk oleh orang lain, karena tidak cocok dengan persepsi pikiran dan perasaan Anda, karena pembawa ajarannya tidak menarik, bukan tokoh atau bukan panutan.

Ketika kita mendengar suatu ajaran, kita perlu melihat isinya, melihat ajaran sebagai ajaran. Kita perlu menyelami atau menyelidiki dengan batin yang bebas. Batin tidak boleh cepat-cepat menerima atau cepat-cepat menolak. Percaya bahwa suatu ajaran mengandung kebenaran tidak membuat Anda mengalami langsung kebenarannya.

Batin yang bebas tidak cepat-cepat percaya pada apa yang dikatakan orang lain. Ia tidak menganggap orang lain memiliki otoritas dan apa yang dikatakan selalau benar. Lihatlah ajarannya, bukan pribadi yang menyampaikan ajaran. Kalau pribadi yang memberi ajaran memukau atau menarik, janganlah dibutakan oleh penampilannya.

Batin yang bebas juga tidak cepat-cepat menolak ajaran yang dikatakan orang lain. Ia tidak mudah menerima atau menolak hanya dengan mengkaitkannya dengan latar belakang si pembawa ajaran. Kalau si pemabawa ajaran tidak memukau atau tidak menarik, janganlah mudah menolak ajarannya hanya karena penampilannya yang tidak menarik.

Batin yang bebas tidak terjebak pada anggapan bahwa seorang spesialis lebih tahu tentang suatu kebenaran daripada seorang non-spesialis. Begitu pula sebaliknya. Seorang non-spesialis bukan berarti kurang tahu daripada seorang spesialis. Akan tetapi Kebenaran musti ditemukan sendiri. Ia tidak bisa didapat dari seorang spesialis atau non-spesialis.

Semakin banyak pengalaman atau pengetahuan yang kita lekati, semakin tidak mudah kita melihat kebenaran. Semakin banyak pengetahuan, semakin besar kita dibuat ragu-ragu. Semakin kita bebas dari belenggu pengetahuan, semakin besar kemungkinan kita bebas dari belenggu keraguan. Oleh karena itu, kita musti siap bukan meragukan apa yang tidak kita ketahui, tetapi siap meragukan apa saja yang telah kita ketahui.

Kebenaran yang sesungguhnya berada di luar lingkup apa saja yang dikenal. Perjumpaan dengan kebenaran ini menghabisi keragu-raguan. Pengalaman perjumpaan ini memberikan suatu cita-rasa kepastian yang bukan dari pikiran. Kalau Anda mengalami ini, Anda tidak membutuhkan persetujuan orang lain atau mencari pembenaran dengan doktrin tertentu.

Pikiran berhenti selama perjumpaan dengan kebenaran ini berlangsung dan pikiran hanya bisa mengenalinya setelah jeda perjumpaan itu berakhir. Pengalaman akan kebenaran ini tidak perlu disimpan sebagai doktrin baru karena semua doktrin justru menghalangi perjumpaan dengan kebenaran. Oleh karena itu, lebih bijaksana bersikap terus-menerus tidak tahu dan batin selalu terbuka akan pewahyuan kebenaran setiap saat. Sebaliknya, sikap merasa sudah tahu akan membatasi perjumpaan dengan kebenaran.

Siapa yang melihat ajaran sebagai ajaran, melihat kebenaran. Kebanyakan orang tidak melihat kebenaran ini dan melekat pada pengalaman, teori, organisasi, agama, metode doa, teknik meditasi, ritual, dogma, kepercayaan. Orang buta hanya bisa mengikuti metode doa, ritual dan dogma, tetapi tidak melihat kebenaran. Banyak orang mempunyai mata, tetapi tidak melihat; memiliki telinga tapi tidak mendengar.

Kita tidak bisa mengusir keragu-raguan dengan mempertebal kepercayaan. Kita tidak bisa melihat sendiri kebenaran yang sejati kalau kita sudah melekat pada tradisi, kata-kata Kitab Suci, kepercayaan atau keyakinan. Hanya batin yang bebas yang barangkali mampu melihat kebenaran; kebenaran inilah yang mengubah, bukan upaya kita untuk berubah. Kalau kita telah berjumpa dengan kebenaran ini, barulah barangkali kita tahu apa artinya hidup beriman.

Kebenaran yang sejati hanya bisa dialami secara langsung, bukan lewat orang lain, bukan lewat pengetahuan atau kepercayaan. Bisakah kita melihat sendiri kebenaran ini dari saat ke saat?*


Agama bagi saya adalah sesuatu yang sudah diberikan kepada saya sejak saya masih bayi. Kata-kata
"Untuk bisa melihat yang palsu sebagai palsu dan yang benar sebagai benar, maka batin musti bebas dari beban pengaruh ajaran atau otoritas apapun. Kebenaran yang sesungguhnya tidak melekat pada ajaran atau otoritas apapun. Kebenaran ini begitu halus, tidak bisa dikenali oleh batin yang tidak bebas dari segala opini, penilaian, pembandingan, kesimpulan"
dari tulisan di atas sedikit menggangguku, karena berarti sejak bayi batin saya sudah tidak bebas lagi. Orang tua, lingkungan Gereja dan sekolah telah ikut membentuk batin saya.

Kemudian sebuah bagian lagi mengatakan
"Kita tidak bisa mengusir keragu-raguan dengan mempertebal kepercayaan. Kita tidak bisa melihat sendiri kebenaran yang sejati kalau kita sudah melekat pada tradisi, kata-kata Kitab Suci, kepercayaan atau keyakinan."
Kata-kata ini sedikit banyak mengingatkan saya pada keragu-raguan para murid yang terkadang dalam sesi meditasi saya rasakan sangat manusiawi. Ketika merasakan hal itu yang terpikir adalah "Bagaimana sebenarnya menumbuhkan iman walaupun hanya sebesar biji sesawi, tapi mampu berbuah banyak?" Keraguan merupakan sifat dasar manusia. Terkadang bersikap skeptis pada awalnya membantu kita untuk menemukan sendiri kebenaran itu. Tetapi Tuhan meminta kita untuk percaya seratus persen kepadaNya. "Percaya saja. Jangan takut!" Kita tidak mungkin bisa mempertebal kepercayaan bila kita tidak memiliki pengalaman batin yang mendukung.

Meditasi dengan menggunakan Kitab Suci (Lectio Divina) membantu saya untuk memiliki pengalaman batin yang memampukan saya untuk mencoba menggapai pemahaman tentang kebenaran itu. Membuka percakapan denganNya melalui Kitab Suci sungguh mencengangkan. Memiliki kebiasaan rutin untuk datang kepadaNya dan mendengarkanNya melalui Kitab yang sudah ditulis begitu lama berselang tapi isinya selalu masuk ke dalam kehidupan yang nyata sekarang ini, amat menyegarkan batin saya.

Dahulu saya sering mencari jawabanNya dengan membuka Kitab Suci. Ketika sedang resah dalam suatu masalah saya mencoba membuka Kitab Suci, berharap bertemu dengan nasihatNya. Kala itu Dia diam...membisu...Saya benar-benar merasa bagaikan rusa yang merindukan air, kehausan...mencariNya di gurun fatamorgana.

Rupanya kita juga perlu ketenangan batin untuk bisa mengenali suaraNya. Ketika perasaan terfokus pada masalah pribadi, maka suaraNya tidak akan pernah bisa terdengar di dalam relung batin kita. Ketika kita mencoba untuk fokus kepadaNya, memberikan waktu bagi Dia untuk menjamah kita, maka saat itu pintu kebenaran akan terkuak sedikit. Sedikit demi sedikit, dan mungkin tidak akan pernah penuh, karena Kebenaran yang sejati bisa jadi baru bisa kita lihat dengan jelas ketika berjumpa denganNya di akhir zaman nanti.

Bacaan Lukas 2: 22-32 hari ini membawa saya kembali kepada kisah Yesus dipersembahkan di Bait Allah. Seringkali, kita seperti Maria dan Yosef yang sangat mengenal Yesus tetap saja terheran-heran mendengar apa yang dikatakan tentang Dia. Bunda Maria senantiasa menyimpan pertanyaannya di dalam hati dan membiarkan waktu Tuhan yang menjawabnya.

Tuhan,
Terima kasih atas kebenaran yang Kau kuakkan bagi kami,
sedikit demi sedikit
Dikau memberikan pencerahan dalam batin
karena percaya memang tidak bisa hanya diucap bibir,
atau dihitung dengan logika,
karena percaya terukir dalam batin yang terdalam.

Tuhan,
Sungguh besar karuniaMu
memampukan kami membuka mata batin
agar mampu melihat, mampu bersaksi, dan mampu berbuat...
untuk kemuliaan namaMu.

Engkaulah sumber kekuatanku,
tanpaMu aku seperti Petrus yang ragu-ragu berjalan di atas air,
dalam bimbingan tanganMu aku berani
menapak laut luas dalam gelombang badai yang mengepung.
Amin.