Saturday, August 20, 2011

Siapakah Aku ini?

Dari Injil Matius 16:13-20 mengenai pengakuan Petrus kepada Yesus, saya sangat tersentuh pada dua ayat. Ayat 15; Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Pertanyaan yang sama, kalau diajukan pada diriku dalam keadaan yang sedang galau, akankah sanggup kujawab dengan lantang, "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" Ataukah mungkin, justru dalam kondisi senang tidak kuingat siapakah Mesias?

Ayat lain yang menyentuhku adalah ayat 17 ketika Yesus berkata kepada Petrus, "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan BapaKu yang di sorga..." Ayat ini menyentuhku karena sesungguhnya itu adalah gambaran pertemuanku dengan Tuhan melalui meditasi Kitab Suci. Aku mengenal Kitab Suci dari kecil, dari orang tua, dari para rohaniwan dan rohaniwati yang kukenal, dari sekolah dan dari guru-guruku. Tapi Ia menyatakan FirmanNya yang hidup itu melalui perjumpaan kami di dalam kelompok meditasi Kitab Suci. Ia datang, menyentuh kami satu per satu sesuai dengan kebutuhan kami masing-masing. Satu ayat yang sama tidak selalu menyapa dengan sapaan yang sama ke setiap anggota kelompok. Satu ayat yang sama bisa menyapa orang yang sama di waktu yang berbeda dengan sapaan yang berbeda.

Mengakui Yesus sebagai Mesias, sebagai penyelamat ketika sedang terpuruk dan tidak bisa bangkit bisa jadi bukan hal yang mudah. Tapi bila kita mampu menjadikanNya Mesias dalam keterpurukan itu, niscaya pertolonganNya akan datang. Bukan dengan meniadakan kesulitan itu, tetapi dengan menguatkan kita untuk melaluinya seperti unta yang mampu lolos dari lubang jarum.

Seorang teman yang sudah menanti di rumah Bapa pernah mengingatkan bahwa tidak ada hal yang kebetulan. Setiap perjumpaan bukan hal yang kebetulan. Setiap peristiwa bukan hal yang kebetulan terjadi. Walaupun mencoba untuk mencariNya melalui meditasi, tetapi hadirNya tidak selalu terasakan. Seperti Nabi Elia yang mencariNya di tengah kemegahan, seringkali tidak mampu kutemukan hadirNya. Tetapi Ia hadir. Ia menuntunku tanpa bunyi genderang dan sangkakala kedatanganNya. Kemarin saya menerima dari seorang teman yang juga masih tetanggaku sebuah buku dari Romo Thomas Hidya Tjaya, SJ. Ph.D. berjudul "Peziarahan HATI". Buku itu bagaikan menjawab beberapa pertanyaan, dan kebimbangan yang sedang kugumuli. Ia yang dahulu kutuding diam, ternyata sekarang begitu rajin menjawab pertanyaanku. Rupanya dahulu aku selalu bertanya dalam keriuhan pikiranku, tidak kubiarkan keheningan membawaNya mendekat padaku.

Dari halaman 45 buku itu kutemukan pertanyaan yang sebenarnya juga menggangguku, "Apakah yang sesungguhnya kita cari?" Penulis buku itu mengatakan bahwa kita lupa kalau tujuan hidup kita yang sebenarnya adalah untuk percaya dan mengasihi Tuhan dalam melakukan setiap kegiatan yang kita lakukan, dan bukan pertama-tama melakukan kegiatan yang sebanyak mungkin. Tentunya juga bukan untuk menjadi yang terbaik di dalam setiap kegiatan yang saya ikuti. Itu adalah nilai-nilai yang kupelajari dari dunia, bukan dariNya. Hal ini memperkuat bisikanNya dalam menjawab kegalauanku mengenai talenta yang sudah kutuliskan di tulisan "Membaca TalentaNya."

Sejak semula sebenarnya aku sudah tahu bahwa aku mencariNya. Tetapi ketika berhadapan denganNya akankah aku sanggup dengan tegas menjawab "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup"? Dari halaman 88 buku Peziarahan HATI, aku menemukan satu kalimat penting, "Hati sebagai kunci penerimaan segala pemberian." Ketika kita tidak membuka hati untuk menerima pemberianNya, bagaimana pemberian itu bisa kita terima dan miliki?

Pada halaman 100 saya menemukan penguatan atas perjalanan meditasi Kitab Suci yang selama ini menguatkanku. Katanya,
Kitab-kitab suci ditulis pertama-tama bukan untuk dihafalkan sampai ke detail-detailnya, melainkan untuk digunakan sebagai semacam peta perjalanan rohani dan untuk menyadarkan kita betapa Tuhan mengasihi dan menyayangi kita sepanjang zaman. Orang yang mengetahui seluruh isi Kitab Suci, bahkan sampai detail terkecilnya sekalipun belum tentu mengalami perjalanan tersebut, sama seperti orang yang tahu betul peta daerah tertentu belum tentu pernah mengunjungi dan mengelilingi sendiri wilayah tersebut. Demikian pula, orang tahu dari Kitab Suci mengenai karya-karya besar Tuhan pada orang-orang zaman dahulu belum tentu mengalami sendiri karya besar Tuhan dalam dirinya. Untuk mengalami semuanya itu, manusia harus membuka hatinya pada Tuhan. Pada akhirnya hati manusialah yang harus menapaki perjalanan rohani ini. Di sinilah Anda diajak untuk mengalami sendiri perjumpaan pribadi Anda dengan Tuhan melalui hati. Melalui perasaan-perasaan hati, Anda diundang untuk merasakan langsung kasih Tuhan yang memang tersedia bagi semua makhlukNya. Pengalaman seperti ini akan membuat Anda mengenal Tuhan secara langsung karena memang itulah yang Tuhan kehendaki.
Inilah pengalaman batin yang kelompok meditasi Kitab Suci kami alami. Pengalaman itulah yang membuat kami merasakan kehadiran meditasi Kitab Suci menjadi kebutuhan yang mendasar bagi kami. Tanpa meditasi terasa bagai batere yang perlu diisi (charge). Pengalaman ini yang belum terasa melalui meditasi kristiani. Bisa jadi apa yang dikatakan dalam halaman 110-111 buku Romo Thomas ini merupakan jawabannya. Aku belum mampu berdoa menggunakan hati. Ketika berdoa seringkali kita ingin agar doa kita cepat selesai supaya kita dapat melakukan kegiatan-kegiatan lain yang sudah menanti. Ketika kita berdoa dengan hati maka kita berdoa bukan lagi karena keharusan dan kewajiban, juga bukan karena kita membutuhkan hiburan dan bantuan mengingat banyaknya kesusahan yang kita alami, melainkan karena kita rindu pada Tuhan yang mengasihi dan menyayangi kita.

"Siapakah Aku ini?" Bagiku Ia adalah Guru, Sahabat, dan Mesias. Dan aku tidak ingin di akhir perjalanan nanti Ia menjawabku, "Kapan engkau mendengarkan ajaranKu? Kapan engkau menjadi sahabatKu? Mengapa engkau tak mau kuselamatkan?"

Bapa,
temani perjalananku,
temani pergumulanku,
bukakan hatiku bagi hadirMu,
dan biarkan hatiku mengenalMu,
dan mengenal jalan kebenaranMu.
Amin.


Friday, August 12, 2011

Iman yang Benar, Pengharapan yang Teguh, dan Kasih yang Sempurna

Perjalanan meditasi kami Jumat yang lalu menggunakan Injil Matius 15: 21-28 tentang perempuan Kanaan yang percaya. Hal yang sangat menyentuh hatiku adalah kerendahan hati perempuan Kanaan itu. Bagiku, perkataan Yesus kepada perempuan itu sangat keras dan kejam, "Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." Alih-alih tersinggung disamakan dengan anjing, perempuan itu menjawab, "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya." Maka Yesus akhirnya menjawab, "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kau kehendaki." Seketika itu juga anaknya sembuh.

Melalui meditasi hari ini saya diingatkan kembali akan pentingnya untuk mengetahui apa yang kita kehendaki. Terkadang saya salah menerjemahkan arti perkataan Bunda Maria, "Terjadilah padaku menurut kehendakMu." Perkataan Bunda Maria itu seringkali kuterjemahkan dengan meniadakan kehendakku. Seperti sungai yang mengalir saya berjalan menelusuri kehidupan ini. Satu-satunya muara yang kuketahui hanyalah Tuhan. Kapan kutiba di muara itu hanya Ia juga yang tahu.

Tetapi seperti juga perumpamaan talenta (Matius 25: 14-30) dan orang yang bekerja di kebun anggur (Matius 20: 1-16) Tuhan ingin kita menghasilkan sesuatu dalam kehidupan ini. Sebagai sahabatNya, bukan hambaNya yang senantiasa menantikan perintah. Gandakanlah talentamu, adalah perintah yang diberikanNya tanpa secara khusus memberitahukan apa yang harus dilakukan. Dalam perumpamaan tentang uang mina, penulis Injil Lukas menggunakan perkataan, "Pakailah ini untuk berdagang sampai aku datang kembali," tetapi berdagang punya banyak cara dan juga bisa memilih banyak macam barang atau jasa yang diperdagangkan. HambaNya bukan lagi sekedar budak yang harus menuruti perintah tuannya, melainkan manusia merdeka yang boleh memiliki kehendak dan keinginan sendiri.

Menjadi manusia merdeka harus mengetahui kehendak pribadi kita, yang tetap dalam restu dari Tuhan. Mengenali keinginan pribadi membuat kita mampu meminta kepadaNya. Perempuan dari Kanaan ini seperti yang dikatakan Yesus dalam Injil Lukas 11:8 "Sekalipun ia tidak mau bangun dan memberikannya kepadanya karena orang itu adalah sahabatnya, namun karena sikapnya yang tidak tahu malu itu, ia akan bangun juga dan memberikan kepadanya apa yang diperlukannya."

Satu hal yang perlu kita sadari adalah seringkali kita menginginkan hasil yang instan. Apa yang kita harapkan ingin kita peroleh hari ini juga. Tuhan memiliki jalan dan caraNya sendiri dalam mengabulkan permohonan umatNya. Berlian perlu diasah untuk memperlihatkan kilaunya, demikian juga Ia mengasah kita untuk mendapatkan hasil kilau yang sempurna.

Bukan hanya iman yang besar yang kita butuhkan, melainkan juga iman yang benar. Seorang rekan membagikan permohonan St. Fransiskus Asisi akan iman yang benar, pengharapan yang teguh, dan kasih yang sempurna. Perempuan dari Kanaan itu telah memiliki iman yang benar, dan ia teguh dalam berharap kepada Yesus. Bahkan sesungguhnya permohonan itu disampaikan oleh perempuan dari Kanaan itu karena kasihnya kepada anaknya yang menderita karena kerasukan setan. Mungkin itu adalah juga bentuk kasih yang sempurna, yang membuat dia dengan tabah menerima penghinaan sebagai anjing yang menginginkan rempah-rempah yang jatuh dari meja. Kasih yang tidak memikirkan diri sendiri.

Untuk penutup kali ini saya ingin ikut dengan doa St. Fransiskus Asisi yang saya dapatkan dari portal OFM.

Doa di Hadapan Salib

Allah yang Mahatinggi dan penuh kemuliaan,
terangilah kegelapan hatiku
dan berilah aku
iman yang benar,
pengharapan yang teguh,
dan kasih yang sempurna
berilah aku, ya Tuhan,
perasaan yang peka
dan budi yang cerah,
agar aku mampu melaksanakan perintah-Mu
yang kudus dan yang takkan menyesatkan.

Amin.


Tuesday, August 09, 2011

"Jangan takut, datanglah kepadaKu"

Perayaan Misa Kudus hari Minggu, 7 Agustus 2011 menjadi istimewa bagiku sekeluarga karena hari itu adalah peringatan 45 tahun pernikahan orang tuaku. Dari bacaan I, Kitab I Raja-raja 19:9a, 11-13a, yang paling menarik dari bacaan ini adalah pertanyaan Tuhan kepada Nabi Elia, "Apakah kerjamu di sini, Elia?" Elia merasa bekerja hanya demi Tuhan, tetapi apa yang dikerjakannya bukan apa yang Tuhan inginkan ia kerjakan. Kata Tuhan kepadanya, "Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan Tuhan."

Lalu angin besar dan kuat membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit batu. Tidak ada Tuhan di situ. Lalu datanglah gempa, tetapi tidak ada juga Tuhan di situ. Kemudian muncullah api, dan tetap tidak ada Tuhan di situ. Ketika angin sepoi-sepoi basa berhembus, Elia bisa merasakan kehadiranNya. Kita seringkali mencari Tuhan dalam perbuatan yang besar dan menakjubkan, tetapi seperti Elia, kita tidak akan menemukanNya di sana. Ia datang dalam hal-hal yang tampak sederhana, tidak bombastis, dan terlihat biasa. Angin sepoi basa yang berhembus itu membawa rasa nyaman, begitulah hadirNya membawa rasa nyaman di hati. Bagaimana kita mengenali kehendakNya, bagaimana ketakutan kita disirnakan merupakan karunia dariNya. Tetapi kita perlu memiliki kemauan untuk datang padaNya.

Injil Matius 14:22-33 menceritakan bagaimana Petrus dengan imannya mampu berjalan di atas air menuju pada Yesus. Di tengah jalan kebimbangan menggayutinya dan memberatkan langkahnya. Tiupan angin kemudian membuatnya tenggelam sehingga ia berteriak, "Tuhan, tolonglah aku!" Iman kita terkadang seperti Petrus yang mengalami kebimbangan dan kehilangan kepercayaan dalam menjalankan perintah-perintahNya. Padahal Ia memanggil dengan sangat menguatkan, "Tenanglah! Ini Aku, jangan takut!" , lalu disambungNya, "Datanglah."

Dalam dua kesempatan yang berdekatan ini saya diberikan penguatan dengan ucapanNya, "Jangan takut!" Kehidupan di zaman ini terkadang memang penuh dengan ketakutan. Kehadiran kehidupan modern yang canggih dan serba cepat membuat hidup terasa semakin kencang berlari. Tuntutan kehidupan seakan menghabiskan waktu dan energi kita yang berlari di dalamnya. Kekhawatiran akan masa depan, terutama bagi anak-anak yang dipercayakanNya. Kekhawatiran akan ketidak mampuan menyenangkan orang tua yang sudah menghidupi dan membesarkan. Kekhawatiran akan kehabisan waktu tanpa pernah melakukan sesuatu apapun yang berarti. Semua itu terkadang mendera kehidupan manusia.

Dua bacaan di atas menyapaku dengan mengingatkan betapa Tuhan tidak selalu hadir dalam kemegahan, kebesaran, dan tindakan-tindakan yang luar biasa. Ia hadir dengan sederhana tapi menyejukkan. Menjadi berarti bisa jadi menjadi orang yang tidak berarti tetapi mampu membagikan rasa nyaman pada sesama.

"Jangan takut, datanglah kepadaKu," merupakan penguatan bahwa Ia yang memanggil dan Ia akan membantu kita menjalani perjalanan itu, semustahil apapun tampaknya, selama kita senantiasa percaya kepadaNya.

Bapa Yang Maha Baik,
Besar kasihMu bagi kami,
manusia yang senantiasa meragu dan ketakutan,
Indah cintaMu yang menguatkan,
menghalau keraguan dan ketakutan,
Tumbuhkanlah terus iman kami,
agar tiada tenggelam kami karena kurang percaya
hapuskan kebimbangan kami
ulurkan tanganMu dan bimbing kami,
Amin.

Friday, August 05, 2011

"Berdirilah, jangan takut!"

Injil Matius 17:1-9 menceritakan tentang Yesus dimuliakan di atas gunung. Ayat emas yang menyentuhku hari ini ada di ayat 7 ketika Yesus berkata, "Berdirilah, jangan takut!" Petrus dan murid-murid lain yang menyaksikan Yesus dalam kemuliaan sedang bercakap-cakap dengan Musa dan Elia menginginkan agar kebahagiaan itu tidak berlalu. KemuliaanNya yang bersinar membawa kedamaian yang nyaman di hati murid-murid itu.

Rasa damai itu pula yang kucari dalam perjalanan mencariNya. Tetapi kehidupan senantiasa memiliki kebahagiaan dan kesedihan, sementara manusia senantiasa memiliki kekhawatiran. Manusia seringkali jatuh ke dalam kesedihan karena terlalu memperhatikan kekhawatirannya. Pikiran yang khawatir akan mengakibatkan pilihan tindakan yang salah. Seorang teman mengirimkan renungan harian yang mengatakan bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Menganggap kegembiraan itu kekal akan menjadikan manusia menjadi sombong dan lupa diri. Sebaliknya, bila mengira kesedihan itu langgeng maka iri hati, putus asa, dan tidak berpengharapan menjadi teman seperjalanan. Dalam kebahagiaan kita bisa jatuh, dalam kesedihan kita juga bisa terpuruk. Yesus datang menawarkan kekuatan, "Berdirilah, jangan takut!"

Sebagai manusia seringkali kita terjatuh ke dalam dosa, baik yang tidak sengaja maupun yang sengaja. Rasa bersalah, rasa takut, kekhawatiran, semuanya dihapuskanNya dengan ajakan untuk berdiri kembali. Berdirilah, tinggalkan ketakutan itu, bersiaplah melangkah kembali. Bukan kebahagiaan semata yang dijanjikanNya, karena Ia sendiri berkata bahwa Anak Manusia akan menderita, tetapi penyertaanNya dalam kehidupan kita akan menemani dan menguatkan kita.

Seorang ibu yang mempunyai anak kecil sangat tahu arti perkataan ini, "Berdirilah, jangan takut!" Ketika anak baru mulai belajar berdiri, mereka sangat ketakutan akan jatuh. Ibu biasanya membantu memberi semangat, terkadang membantu menopangnya. Ketika anak itu mulai belajar berjalan, sekali lagi ia takut terjatuh. Kembali lagi pengasuhnya memberi semangat untuk berdiri dan mencoba lagi, terkadang membantu menitahnya. Lalu, anak itu mulai belajar naik sepeda...dan jatuh kembali menjadi momok yang menakutkan. Semangat untuk bangkit kembali dan mencoba lagi menjadi sumber kekuatan untuk meneruskan pembelajaran bersepeda hingga mahir. Hampir semua keahlian memerlukan kegagalan sebelum mencapai keberhasilan.

SentuhanNya yang menguatkan, dan ajakanNya untuk kembali berdiri menjadi sumber kekuatan bagi kita untuk senantiasa bangkit kembali. Dalam perjalanan ke bukit Golgota, Yesus juga terjatuh tiga kali, tetapi Ia tidak membiarkan kesakitanNya menghentikan langkahNya yang sudah direncanakan Bapa. Ketika kita jatuh, ingatlah bahwa tanganNya senantiasa ada di sana, menawarkan bantuan sambil menguatkan, "Berdirilah, jangan takut!"

Bapa yang Maharahim,
terima kasih atas pengampunanMu,
atas kekuatan dan bantuan yang senantiasa Dikau berikan
atas contoh dan ketabahan yang luar biasa dari PutraMu,
temani kami anakMu...
agar berani dan mampu untuk senantiasa bangkit kembali,
Amin.

Thursday, August 04, 2011

Apakah yang kamu cari?

Dari bacaan Injil Yohanes I: 35-39, saya terkesan pada dua orang murid Yohanes Pembaptis yang pergi mengikuti Yesus. Yohanes hanya berkata, "Lihatlah Anak Domba Allah!" Kedua murid mendengar apa yang dikatakannya dan mereka pergi mengikuti Yesus. Hal yang pertama saya jadikan catatan adalah suara hati. Yohanes tidak menyuruh kedua orang itu mengikuti Yesus, tetapi mereka tergerak untuk pergi mengikutiNya. Suara hati merupakan sesuatu yang sangat penting dalam mencari discernment.

Ketika Yesus menengok ke belakang dan melihat mereka mengikutiNya, Ia bertanya: "Apakah yang kamu cari?" Pemimpin meditasi hari ini membacakan sepenggal catatan Romo Siriakus Maria Ndolu, OCarm. yang diambil dari bukunya "Meditasi Kristiani, Jalan Sederhana Menjumpai Allah." Renungan dari Romo Siriakus kebetulan mempertegas pertanyaan yang sebelumnya sudah menjadi pemikiranku, "Apa yang aku cari dalam kehidupan ini?"

Saya kutipkan tulisan Romo Siriakus yang menarik perhatian saya pagi ini.
"Apakah yang kamu cari pagi ini?" Tidak mudah memang untuk dijelaskan dengan kata-kata. Tetapi ini adalah pertanyaan yang mengosentrasikan kita; pertanyaan yang memfokuskan perhatian kita - yang membuat Anda berefleksi, yang membuat Anda bertanya diri, tentang nilai-nilai Anda, tentang jalan hidup Anda, tentang bagaimana Anda menggunakan waktu atau uang Anda atau relasi-relasi Anda. Apakah itu adalah nilai-nilai yang real, prioritas-prioritas yang nyata di dalam kehidupan Anda? Jadi pertanyaan Yesus ini bukanlah pertanyaan yang Anda jawab satu kali untuk selamanya. Ini adalah pertanyaan yang perlu Anda dengarkan setiap hari.
Yohanes Pembaptis tahu siapa yang dicarinya ketika ia bertemu dengan Yesus. Ia tidak mempermasalahkan bahwa muridnya kemudian pergi menjadi murid Yesus. Ia tidak terjebak pada kebanggaan diri yang berlebih. Ia yang membaptis Yesus dengan air, tetapi Bapa di surga yang membaptis Yesus dengan Roh Kudus, "Lihatlah Anak Domba Allah."

"Apa yang kamu cari?" Itu adalah pertanyaan yang akhir-akhir ini juga terus menjadi pemikiranku. Ketika manusia lebih mengukur segala sesuatu dengan keberhasilan duniawi, maka tidak jarang benturan antara idealisme dan kebutuhan menjadi sesuatu yang lazim. Keinginan melayani melalui pendidikan, seringkali berbenturan dengan nilai penghargaan yang diberikan sekolah bagi guru-gurunya. Kehadiran blog yang membantu untuk berbagi, terkadang juga menyimpan jebakan dengan keinginan untuk dikenal, atau bisa juga untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Bagaimanapun manusia tidak hanya membutuhkan Roti yang Hidup, melainkan juga membutuhkan roti harian yang duniawi. Ketika kita memiliki sebuah keluarga, maka kebutuhan pribadi yang masih bisa ditekan terkadang tertutupi oleh kebutuhan anak-anak yang sulit untuk ditolak. Belum lagi kebutuhan akan eksistensi diri merupakan sesuatu yang manusiawi tetapi tidak jarang merupakan batu sandungan dalam ketulusan pelayanan.

Pelayanan bagi lingkungan yang seringkali hanya memunculkan wajah pengurus lingkungan yang itu-itu saja, tidak lepas dari benturan kebutuhan waktu untuk keluarga. "Apa yang kamu cari?" Ketika pelayanan di rumah belum juga sempurna, apakah kita perlu melayani ke luar? Adakah kesempurnaan itu?

Aku mencariMu Bapa,
Mencari kedamaian di pangkuanMu,
Ketika rasa haus dan lelah mendera....
Aku mencariMu,
Ke seberang benua daku mencari,
Ke balik lembar-lembar buku daku menelisik,
HadirMu
Bagai mata air yang menyejukkan jiwa,
Ada di balik hati terdalam
Di seberang detakan jantungku,
dalam keheningan diam....
Ketika kepasrahanku membuatMu membelai dan menyapaku...
Terima kasih Tuhan.
Amin.