Wednesday, March 30, 2011

Pusat Roda Doa Adalah Tuhan

Ini adalah catatan pendek dari Program Pengajaran 6 minggu Meditasi Kristiani. Tidak semua yang kudapat dari acara ini bisa kutuliskan. Satu hal yang menarik bagiku dari belajar meditasi kristiani ini adalah kehilangan kemampuan untuk merangkai kata. Aku seperti ditarik dalam keheningan, terkadang kehilangan kata dalam berdoa lisan. Mungkin juga semua ini adalah bagian dari proses yang harus kulalui.

Ketika mendapatkan materi Roda Doa, maka satu hal yang menentramkan adalah kenyataan bahwa pusat roda doa itu adalah Tuhan Allah. Meditasi kristiani hanya salah satu dari cara berdoa yang juga berpusat kepada poros utama yaitu Allah. Jadi baik Lectio Divina, Meditasi Kristiani, maupun cara berdoa lainnya semuanya perlu berporos pada satu titik pusat: Tuhan. Cara doa seperti apa yang cocok bagi diri kita selama itu berpusat pada Tuhan, maka akan memberi kekuatan untuk bergulir dan berjalan.

Melepaskan ego merupakan satu hal yang tersulit bagi manusia. Terkadang ego begitu kuat mencengkeram diri manusia. Pengalaman indah bertemu denganNya dalam keheningan malam di kala aku terpuruk dalam kesedihan yang mendalam merupakan hiburan yang sangat menguatkan bahkan walaupun tahun-tahun sudah lama berlalu. Kerinduan untuk kembali bersamaNya yang membawa aku mencari komunitas doa yang menggunakan meditasi sebagai doa. Sekarang aku menyadari ada satu hal yang menjadi penghalang kuat untuk bertemu kembali denganNya, yaitu ego manusiaku. Ketika aku merasakan hadirNya, saat itu aku benar-benar terpuruk, tidak tahu bisa berbuat apa, tidak tahu harus berkata apa. Satu-satunya yang kutahu adalah lari kepada Bunda Maria dan memohon dikuatkan oleh Sang Putra. Pasrah dan tidak memiliki kehendak apa-apa lagi, hanya ingin beristirahat dalam damaiNya. Hanya membutuhkan air kehidupanNya untuk menyegarkan hati. Tidak mudah untuk bisa kembali ke dalam kondisi pasrah yang serupa. Kondisi yang terbentuk ketika terasa semua pintu telah tertutup, semua asa sudah menguap, dan kelelahan jiwa hanya menginginkan untuk bersandar padaNya. Semoga tanpa harus berada dalam situasi serupa kepasrahan dan imanku tetap hanya bersandar padaNya.

Kehadiran bersama komunitas doa Lectio Divina yang sudah bertahun-tahun kami jalani juga merupakan suatu wadah komunitas yang menjadi tempat berbagi. Kalau dalam materi pengajaran 6 minggu disebutkan kegunaan komunitas doa adalah untuk saling menguatkan dan untuk berbagi dalam jatuh bangun membangun doa melalui meditasi, maka hal itu sudah kurasakan selama ini. Kebutuhan untuk berkumpul bersama dan merenungkan kitab suci sudah bagaikan kebutuhan sebuah batere untuk diisi kembali sebelum mampu bekerja kembali dengan optimal.

Saat ini yang menjadi pertanyaan utama saya sebenarnya adalah kembali ke Lectio Divina atau meneruskan Meditasi Kristiani seperti yang diajarkan oleh Pater John Main OSB ini. Ada hal-hal menarik dari Meditasi Kristiani yang sebenarnya mungkin merupakan pelengkap dari hal-hal yang kuterima dari Lectio Divina, tetapi bila berpindah cara maka saya masih merasa gamang. Tatkala Lectio Divina malah mencari keheningan total, tetapi ketika mencoba Meditasi Kristiani malah kesulitan menghalau "monyet-monyet" pengganggu yang berkeliaran di pikiranku.

Lectio Divina membantu aku mengolah masalah kehidupan sehari-hari yang ada, sementara Meditasi Kristiani membantuku untuk melepaskan masalah itu dan meletakkannya ke dalam pangkuanNya. Sementara ini saya juga kebingungan dengan kemampuan multi tasking yang menipis, sepertinya saya dipaksa untuk mencoba fokus satu demi satu hal. Beberapa teman dari komunitas merasakan hal yang sama, tetapi kami sedang mencoba untuk menjalani proses ini terlebih dahulu dengan tetap berpusat pada Tuhan.

Tuhan,
Engkau adalah pusat dari kehidupan kami,
Pusat dari doa-doa kami,
Terima kasih atas semua berkat yang Kau berikan,
yang melalui Lectio Divina
memampukan kami untuk mengenali betapa hidup sabdaMu
dan melalui doa kontemplatif
mengajarkan kami untuk hening dan menghadirkan diri di hadapanMu.
Memampukan kami untuk mengerti betapa dekat keberadaanMu,
Dikau senantiasa menemani di dalam hati kami,
semoga kami mampu menjaga keputihan hati ini....
dan memusatkan roda doa kami pada diriMu saja.
Amin.

Tuesday, March 22, 2011

Pencobaan

Sebenarnya sejak mengikuti meditasi Kristiani (yang sekarang ini) saya agak kehilangan gairah menulis. Takut memanjakan kemalasan, saya memaksakan diri menulis apa yang bisa teringat. Ketika lebih teratur mengikuti Lectio Divina saya merasakan bagaimana kata-kata mengalir begitu saja setelah saya selesai dengan meditasi kitab suci itu. Tetapi saat itu juga ada ketakutan bahwa saya menjadi tidak disiplin dalam meditasi karena begitu merasa inspirasi memenuhi kepala dorongan untuk menulis menjadi sangat besar. Membiarkan semangat menulis itu mengambil alih waktu meditasi saya rasanya juga bukan sebuah solusi yang benar.

Dalam Seminar Meditasi Kristiani yang ke tiga, saya sangat tertarik pada lambang mereka yang menggunakan gambar dua ekor burung merpati. Dijelaskan bahwa kedua burung itu melambangkan sikap kontemplatif Maria dan sikap aktif Marta. Saya selalu tertarik pada karakter Maria dan Marta dalam Kitab Suci. Setidaknya tulisan "Membaca KehendakNya" dan "Kehadiran lebih penting daripada perbuatan" menggambarkan pergumulan saya dengan kedua karakter ini. Dalam penjelasan mengenai logo tersebut dikatakan bahwa kedua karakter itu hadir di dalam diri kita, dan kita perlu menjaga keseimbangan antara bersikap sebagai Maria dan bersikap sebagai Marta. Hal ini sebenarnya sudah juga saya peroleh sebelumnya dan saya tuliskan di sini.

Perasaan kehilangan Lectio Divina membuat kami kembali berkumpul secara khusus untuk memasuki meditasi yang diskursif walaupun hanya sebagai selingan dari Meditasi Kristiani yang sedang kami coba pahami ini.

Bacaan yang kami pakai sebagai pengantar adalah bacaan Hari Minggu Prapaskah I, Matius 4: 1-11, mengenai godaan. Ayat yang sangat berkesan pada hari itu bagi saya adalah ayat 7 yaitu: "Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!"

Beberapa teman tertarik pada ketiga godaan yang ada. Memang pada dasarnya ketiga godaan itu masih hadir sampai saat ini juga. Demikian juga kenyataan bahwa Iblis menggunakan ayat-ayat Kitab Suci untuk menyesatkan manusia. Yesus digoda dalam aspek kemanusiaannya. Godaan itu menunjukkan betapa Yesus sungguh tahu apa yang sesungguhnya dihadapi oleh manusia. Sebagai manusia Dia juga digoda, dan Ia menunjukkan bagaimana caranya menghadapi godaan itu. Baik Yesus maupun Iblis sama-sama menggunakan ayat-ayat Kitab Suci. Bagaimana mengenali yang benar tentunya tidak sukar, Yesus mendasarkan ucapanNya pada kemuliaan Allah, sesuai dengan kehendak Allah. Iblis memberikan saran menggunakan kalimat Kitab Suci tetapi untuk tujuan memuaskan diri, memuaskan ego. Inilah yang kiranya perlu kita cari dalam kehidupan ini untuk menemukan Firman Yang Hidup itu. Lakukanlah semua pelayanan untukNya, bukan untuk diri pribadi atau kelompok kita saja.

Kemungkinan saya sangat tertarik pada ayat 7 tersebut karena seringkali saya bersikap pasrah kepada Tuhan, tetapi ada kemungkinan dalam kepasrahan itu ada terselip keinginan untuk melihat kebesaranNya. Bukankah itu bukti dari lemahnya iman?

Baru-baru ini seorang teman melalui akun Facebooknya menyarankan untuk menyumbang dana bagi seorang penulis yang cukup punya nama. Penulis itu ingin membeli tanah guna memperbesar taman bacaan yang sudah dirintisnya sejak lama. Kebetulan himbauan itu dituliskan ketika akhir bulan sudah di depan mata. Tentunya kantong pribadi juga sudah sangat menipis. Saya tersentuh akan permintaan sumbangan melalui transfer sebesar Rp. 10.000,-. Sumbangan tersebut sangat kecil, kalau untuk jajan anak-anak saya yang tiga orang saja cuma dapat jajanan pinggir jalan yang satu kali makan sudah habis. Kalau untuk makan di warteg, cuma bisa untuk satu orang sekali makan (normal). Ketika mentransfer dana tersebut sebenarnya terbersit keinginan untuk melebihkan dari jumlah sepuluh ribu itu, tetapi saat itu juga terpikir betapa kantong sendiri sedang kacau, dan kewajiban lain yang masih harus dibayarkan. Jadilah transfer terlaksana sambil menantikan keajaiban dari Tuhan. Keajaiban, karena penulis itu sebenarnya masih membutuhkan dana yang besar sekali untuk uang muka yang hampir tujuh puluh lima juta rupiah, dan waktunya tinggal satu hari untuk mengumpulkan uang muka itu. KeajaibanNya, karena sepuluh ribu itu tidak ada apa-apanya di antara bilangan puluhan juta...Dan keesokan harinya di layar Facebook yang ada berita konfirmasi bahwa keajaiban itu terjadi, sumbangan yang mengalir memungkinkan jumlah uang muka itu terkumpul. Di satu pihak saya senang karena mukjizatNya terlaksana, di lain pihak saya tiba-tiba merasa menjadi Thomas Didimus yang meminta bukti kepada Yesus.

Perasaan yang muncul itu, ditambah ayat yang menghentakkan saya ini menjadi dasar refleksi diri dalam perjalananku dari sekarang. Saya berharap tidak akan mencobai Tuhan walaupun dengan tidak sengaja. Mencoba untuk percaya sepenuhnya dan tidak akan mencobaiNya dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatan. Saya tahu Ia mencintai domba-dombaNya, dan tidak akan dibiarkan satu dombapun hilang. Tetapi cinta yang sejati harus senantiasa bersifat timbal balik, saya juga perlu mencintaiNya dengan sepenuh hati dan dengan segenap akal budi.

Tuhan,
Jauhkanlah kami dari yang jahat,
Bebaskanlah kami dari pencobaan,
karena lemahlah kami,
terkadang daging lebih kuat daripada roh,
dan kegelapan lebih membuai tidur daripada Sang Surya yang bersinar membangunkan,
godaan adalah bagian dari kehidupan manusia,
jadikanlah kami kuat dan bijaksana dalam menghadapi godaan,
karena hanya Engkau yang memampukan kami,
hanya Engkau yang menguatkan dan membimbing kami dalam kegelapan,
Engkaulah terang yang menyinari hati kami,
Air kehidupan yang menyegarkan hidup kami,
dan Gembala yang menatang kami ketika kami terluka dalam dosa.
Tuhan,
ampuni kami,
dampingi kami senantiasa,
Amin.

Saturday, March 12, 2011

Belajar melepaskan diri

Hari ini adalah minggu ke dua dari program pengajaran 6 minggu Meditasi Kristiani. Minggu pertama saya tidak bisa hadir, tetapi minggu ini saya memaksakan diri untuk hadir. Hari ini topik bahasannya adalah John Main, OSB.

Ada hal menarik yang saya peroleh hari ini dari Bapak Andreas yang membawakan materi pengajaran hari ini. Ketika menerangkan mengenai Pater John Main, OSB. dikatakan bahwa pada saat beliau memutuskan memasuki biara Benediktin, dan diketahui memiliki kebiasaan meditasi yang dipelajarinya dari Swami Satyananda, beliau diminta menghentikan kebiasaan itu. Sebagai biarawan beliau mengikuti perintah pembesar ordonya.

Ketika pertama kali mendengar kisah ini, sebenarnya hal itu tidak terlalu menarik perhatian saya. Tetapi ketika kami selesai dengan acara tanya jawab, baru terasa betapa pentingnya kisah tersebut.

Dalam sesi tanya jawab, ada beberapa pertanyaan yang diajukan. Mulai dari sikap duduk ketika meditasi, hingga pengaturan nafas. Mengenai meditasi dan kontemplasi sebenarnya ada uraian yang cukup mendalam di blog yang satu ini. Saya sendiri akhirnya kembali menanyakan pergumulan saya antara lectio divina dan metoda meditasi kristiani pater John Main ini. Berdasarkan pengalaman saya, kalau saya baru menggunakan cara meditasi lectio divina yang lebih bersifat diskursif, maka keesokan harinya sulit bagi saya untuk memasuki keheningan meditasi kristiani. Sebaliknya, bila hari ini saya menggunakan metode meditasi kristiani, maka keesokan harinya ketika mencoba memasuki kontemplasi yang diskursif saya cenderung mengarah ke keheningan total.

Saya cukup paham bahwa Lectio Divina dan Meditasi Kristiani ini berbeda. Ketika berganti pimpinan doa dan berganti metode membuat saya sedikit terguncang. Lectio Divina yang sudah saya ikuti selama bertahun-tahun sudah menjadi kebutuhan hidup yang menyegarkan dahaga saya akan kehadiranNya. Saya juga bisa merasakan kesegaran lain yang ditawarkan Meditasi Kristiani, tetapi saya menjadi gamang karena kehilangan sabdaNya yang hidup.

Sebenarnya saya sudah pernah mendapatkan apa yang hari ini saya peroleh dari seminar ini, dan saya sudah pernah mengutip tulisan "Menemukan Sendiri Kebenarannya" oleh Romo J. Sudrijanta, SJ di tulisan yang ini.

Bermacam cara doa itu hanyalah kendaraan untuk menjalin kedekatan denganNya. Satu hal itu yang harus saya ingat benar. Sebenarnya kedatangan saya pertama kali ke kelompok doa lectio divina adalah karena mencari rasa bahagia yang pernah hadir dalam keheningan ketika saya menangis kepadaNya. Pada saat itu saya sama sekali tidak menggunakan metoda ajaran apapun. Tentunya saya pernah mendapat bekal meditasi dalam retret-retret di sekolah Katolik tempat saya belajar dulu, tetapi saat itu yang saya lakukan sebenarnya hanyalah menangis kepadaNya. Sebenarnya saya tidak terlalu ingat lagi detail peristiwa itu, yang saya ingat adalah saya mencoba menghadirkan keheningan tempat adorasi kepada Sakramen Mahakudus di Lourdes sana. Awalnya saya menangis kepada Bunda, tetapi terasa benar perasaan bahagia itu datang dari Sang Putra. Dia merengkuh putriNya yang bersedih, dan memberikan kebahagiaan yang tidak sanggup kulukiskan dengan kata-kata. Perasaan bahagia itu memabukkan, dan saya mencoba mencarinya lagi. Itulah yang membuat saya ikut dalam kelompok Lectio Divina.

Hadir dalam kelompok Lectio Divina awalnya terasa tidak sesuai dengan kebutuhanku. Saya mencari keheningan itu, pertemuan denganNya dalam keheningan seperti saat yang lalu itu. Tetapi kemudian saya menemukan betapa Kitab Suci terasa begitu hidup. Belum pernah dalam kehidupan rohaniku saya membaca Kitab Suci dan bisa merasakan betapa isinya tidak pernah lapuk dimakan zaman, betapa FirmanNya begitu hidup untuk keseharianku yang kini.

Kalau membaca uraian dari blog Katolisitas.org, terbaca betapa saya sudah dibimbingNya untuk memasuki Prayer of Recollection, dan sekarang saya sedang diarahkan untuk masuk ke dalam Prayer of Quiet.

Pelajaran paling berharga yang saya peroleh hari ini adalah belajar melepaskan diri dari ketergantungan pada suatu metode atau suatu zona kenyamanan. Sama seperti Pater John Main, OSB belajar untuk mengikuti perintah pembesarnya. Sama seperti Ibu Teresa yang juga harus mematuhi prosedur dalam biaranya sebelum akhirnya diperbolehkan memiliki kongregasinya sendiri. Yang penting bukan kendaraan yang kita gunakan, melainkan kehadiranNya yang menyertai kita, apapun kendaraan yang kita gunakan.

Kemarin saya baru saja mulai membaca buku "Di Dalam Keheningan Hati", renungan Ibu Teresa bersama kerabat kerjanya. Dan mungkin kutipan renungannya yang berasal dari I Korintus 10:31 merupakan panduan utama dalam setiap aktivitas mendatang "Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah." Pembuka renungannya berkata, "Kita tidak dapat mengerjakan pekerjaan besar-hanya pekerjaan kecil dengan cinta kasih yang besar."

Terima kasih Tuhan,
Saya ingin belajar melepaskan diri dari ketergantungan
terhadap rasa nyaman
terhadap rasa dibutuhkan
terhadap rasa berguna
terhadap kesuksesan
terhadap kegembiraan
biarlah saya belajar menggantungkan diri pada hadirMu saja,
hadirlah di dalam hatiku,
terangi sudut-sudut gelap di hatiku,
dan pancarkan sinarMu ke luar hatiku,
karena kehangatanMu menyejukkan,
dan kehadiranMu membahagiakan...
Amin.