Wednesday, September 21, 2011

Antara Emmaus Journey dan Getsemani Talks

Beberapa teman lebih senang dengan metode Lectio Divina, jadi kami kembali mengadakan meditasi Kitab Suci walaupun tidak setiap minggu. Pertemuan Meditasi Kristiani (MK) akan terus dilangsungkan setiap minggu. Saya sendiri setelah rekoleksi MK kemarin, sudah mulai lebih mantap dengan MK walaupun tetap kehilangan perjumpaan denganNya melalui Lectio Divina. Suster yang dahulu membimbing kami dalam Lectio Divina mengirimkan usulan bahan renungan yaitu dari Lukas 24: 13-35, Yesus menampakkan diri di jalan ke Emaus.

Ada banyak yang kami peroleh dari pertemuan hari itu. Rasa frustrasi dua orang murid yang sedang dalam perjalanan ke Emaus (ayat 13-19) tidak jauh berbeda dengan rasa frustrasi yang kita rasakan ketika merasa jauh dari Allah. Ketika kita mencariNya dalam doa tetapi tidak merasakan sentuhan dan cintaNya. Benarkah Ia tidak menyertai perjalanan kita? Ataukah Ia berjalan bersama kita tetapi sesuatu menghalangi mata kita dan tidak menampakNya?

Sentakan Yesus (ayat 25) mengingatkan, “ Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!” Bukankah kita juga serupa dengan para murid itu yang seringkali membutuhkan bukti baru bisa mempercayai apa yang kita dengarkan dariNya? Para murid sudah tinggal demikian lama dengan Yesus, tapi mereka belum juga mengenaliNya dan perutusanNya. Bukankah tidak jarang kita juga telah dibaptis dari kecil tetapi sampai sekarang masih juga belum sungguh-sungguh mempercayai sepenuhnya apa yang kita imani? Iman yang hanya di bibir, tapi tidak teraba di kedalaman hati.

Dalam ayat 29 murid-murid itu menahan agar Yesus mau tinggal bersama mereka. Yang menarik bagi saya adalah mengapa murid-murid itu menahan agar Yesus mau tinggal, sedangkan bagi teman lain yang menarik adalah dituliskannya bahwa Yesus berpura-pura mau meninggalkan murid-murid itu. Betapa pentingnya bagi kita untuk mengundangNya tinggal bersama-sama dengan kita. Walaupun Ia sebenarnya tinggal bersama dengan kita, tetapi Ia menginginkan kita untuk meminta kesediaanNya hadir bagi kita.

Ayat 32 berkata, “Bukankah hati kita berkobar-kobar ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” Ayat ini mengingatkan saya pada perbedaan yang saya rasakan ketika Lectio Divina dan Meditasi Kristiani. Ketika meditasi Kitab Suci saya bisa merasakan kegembiraan berjalan bersamaNya. Itulah perjalanan kami bersama ke Emaus. Dalam Meditasi Kristiani saya merasakan kesepian dan keheningan Getsemani. Seperti istilah yang digunakan Pastor John Main dalam bukunya “Getsemani Talks”. Kebimbangan saya ketika memasuki keheningan MK adalah kehilangan gandengan tanganNya yang saya rasakan dalam perjalanan ke Emaus. Dalam keheningan malam di Getsemani, murid-murid Yesus belum mampu berjaga bersamaNya, mereka jatuh tertidur. Beberapa bacaan yang saya baca membantu menuntunku untuk mengerti betapa dalam keheningan itu saya menemani perjalananNya di taman Getsemani. Keduanya begitu berbeda, suasananya juga berbeda. Ia tampaknya terus membimbingku untuk keluar dari kebingunganku.

Ayat 30-32 yang menceritakan bagaimana tindakan Yesus yang memecah-mecahkan roti itu mengingatkan murid-murid akan diriNya. Memiliki kebiasaan intim denganNya akan sangat membantu kita dalam mengenali hadirNya. Bukan hanya dalam sakramen Ekaristi, melainkan juga dalam doa. Secara khusus menyediakan waktu bagiNya untuk bisa membangun kebiasaan bersama yang mendekatkan kita padaNya merupakan suatu hal yang sangat penting.

Dalam surat elektroniknya suster memberikan sedikit panduan renungan sebelum sharing.
Kita pun pernah mengalami situasi frustrasi seperti rasul-rasul itu; entah kehilangan seorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, atau kegagalan beruntun-runtun dalam usaha/pekerjaan. Dalam situasi seperti itu kepada siapa kita pergi? Apakah Yesus teman seperjalanan hidup kita? Di kala sedih/menderita curahkanlah beban batin kepada-Nya maka hati akan diubah, mungkin beban belum hilang namun batin kita dikuatkan oleh rahmat Tuhan untuk mampu menanggungnya. Mt.11:28: ”Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadamu”

Begitu banyak yang mengalami kesepian, berbeban berat, sedih dan gelisah, mereka membutuhkan teman. Biasanya dalam keadaan seperti itu sulit mencari teman, lalu mereka mencarinya di tempat yang kurang kondusif. Inilah peran lingkungan/kelompok bisa menjadi “alter Christi” roti yang dipecah-pecah bagi sesama, ibarat Tubuh Kristus yang dibagikan, atau contoh menjadi tangan-tangan Hati Kudus Yesus yang menjangkau sesama yang sedang butuh. Injil Yoh. 21:15-18 – sampai 3x Yesus bertanya kepada Petrus:”Apakah Engkau mengasihi Aku? “ Jawabnya: Engkau Tuhan tahu segala sesuatu , Engkau tahu bahwa aku mengasihi engkau. Jawab Yesus “Peliharalah domba dombaKu. Gambaran kita: (siapa Tuhan bagi kita masing-masing?) ini sangat penting untuk menentukan penghayatan hidup agama/iman kita kepada Yesus-Allah Tritunggal.

Seorang suami, istri, ketua lingkungan/kategorial adalah gembala. Untuk mewujudkan tugas kegembalaan ini kita perlu menjalin relasi yang akrab dengan Yesus, Relasi yang bukan berdasarkan untung-rugi melainkan relasi tanpa pamrih karena mencintai Yesus yang memberi dan memelihara hidup (life) kita masing dengan penuh kasih sampai menyerahkan hidupnya sendiri pada kayu salib demi kita, agar kita dibebaskan dari belenggu dosa lewat rahmatNya. Murid di Emaus setelah makan bersama Yesus hati mereka berkobar-kobar. Juga sekarang Yesus menguatkan kita dalam mengarungi peziarahan hidup ini lewat Sakramen Ekaristi. Inilah sumber kekuatan dalam hidup kita kalau kita terus menyadari dan menerimanya sebagai perjumpaan denganNya. Yesus teman seperjalan hidup kita yang setia. Dengan mengenali tindakan Yesus (lewat bacaan Injil) kebaikan,kepedulian, pemeliharaan hidup kita, penyembuhan baik rohani maupun jasmani (penyembuhan) kita mencintaiNya. Lewat doa kita menjalin relasi akrab denganNya sebagaimana Yesus sendiri selalu berdoa kepada BapaNya di surga. Lewat doa kita semakin mengenalNya dan mencintaiNya, kita tidak mencintai yang tidak kita kenal/tahu.


Kebetulan memang beberapa dari kami pernah merasakan bahwa mendekat kepadaNya akan membantu meringankan beban di hati. Beban memang tidak hilang, namun batin kita dikuatkanNya untuk mampu menanggung beban itu.

Satu hal yang membuat Meditasi Kitab Suci ini sangat berharga bagi kami, ibu-ibu yang mengikutinya, adalah penguatan batin tersebut. Beban kami bermacam-macam, dari sakit penyakit diri sendiri, keluarga, dan orang tua, masalah pendidikan anak-anak, sampai masalah-masalah lainnya di seputar rumah tangga. Beban itu tidak hilang, tetapi dengan berbagi kita mengetahui betapa orang lain juga memiliki masalah masing-masing. Setiap kuk yang dipasangNya tidak melebihi kemampuan orang yang harus mengangkatnya. Terkadang kami jadi melihat permasalahan dengan lebih jernih. Terkadang kami belajar dari pengalaman teman lain. Yang terutama adalah kami merasakan betapa hidup penyertaanNya dalam Kitab Suci, dan kami belajar bersyukur karena itu.

Meditasi Kristiani tidak secara langsung memberikan perasaan batin yang berkobar-kobar itu, yang ditawarkan justru ketenangan dalam menghadapi masalah. Emosi yang biasanya lebih cepat tercolek tampaknya menjadi lebih mudah dikendalikan. Kesabaran untuk menantikanNya, ketekunan untuk menanti bersamaNya walaupun hasil yang dituju tidak langsung tampak (atau bukan suatu "hasil" dalam ukuran mata manusia).

Saya membutuhkan keseimbangan antara keduanya, penguatan yang mengobarkan semangat dari perjalanan ke Emaus, dan penguatan yang menenangkan batin dari kecemasan dan ketakutan yang sedang menghadang seperti yang dialami Yesus di Taman Getsemani.

Bapa,
Engkau menuntun kami, anakMu, dalam setiap langkah kami,
Menemani kami ketika kami jatuh terpuruk
Mencari kami ketika kami tersesat dalam kehidupan,
Menguatkan kami ketika kami lemah dan ketakutan.
Adakalanya suaraMu tak terdengar.
Ada masanya kami harus belajar percaya saja,
Bahwa semua akan berlalu, dan semua akan indah pada waktuMu.
Amin.

Belajar jeruji-jeruji doa "meditasi"

Saya merasa beruntung karena Tuhan menuntun dengan buku-buku yang mencoba menjawab seribu satu tanya dan kebimbangan di benakku. Ketika menghadiri acara Rekoleksi Meditasi Kristiani bersama Sr. Pia Sawir OSU saya melihat sebuah buku milik teman yang berjudul “The Prayer of the Priest” (William F. Eckert, dkk.). Ternyata buku ini memberikan banyak penguatan yang menjembatani kebimbangan saya antara Meditasi Kitab Suci dan Meditasi Kristiani.

Renungan Pastor William Eckert yang menyentil saya mengatakan, “Terlalu mudah kita beranggapan bahwa pekerjaan kita adalah doa kita, sehingga keheningan dianggap sebagai kemewahan yang tidak dapat kita peroleh dalam hidup kita.” Ya, seringkali pekerjaan harian bagi saya adalah sebuah doa, tetapi saya melupakan bahwa saya membutuhkan waktu tenang untuk mengisi batere tenaga yang akan saya gunakan untuk pelayanan itu.

Satu hal yang memberatkan bagi saya dalam perjalanan dari meditasi Kitab Suci memasuki meditasi Kristiani adalah kebingungan karena bedanya jeruji doa yang dijalani. Semua orang mengatakan bahwa keduanya berbeda, dan kita perlu memilih yang paling cocok. Terkadang saya merasa seperti seorang yang sudah menggenggam mutiara(lectio divina)dan mau melepaskannya karena memimpikan mutiara yang lebih indah(MK). Kesaksian para pastor yang terdapat di buku ini membantuku melihat dengan lebih jernih. Bagaimanapun pengalamanku dengan meditasi masih sangat dangkal,sehingga kebingungan itu sungguh mengganggu.

Selain beberapa sharing pastor dari Australia yang sedikit menyinggung meditasi diskursif ataupun meditasi Ignatian, sharing dari Pastor Brian V. Johnstone (Roma, Italia) sangat membantu saya mengenali perbedaan antara metode diskursif dengan meditasi hening MK. Beruntung sebagai awam saya tidak banyak mendapat hambatan untuk membayangkan adegan Kitab Suci, ataupun membayangkan mengambil peran di dalam kisah itu. Sebagai orang yang tidak mempelajari sejarah penulisan Kitab Suci, buat saya bagaimana para penulisnya menuliskannya bukan masalah. Yang penting suasana itu nyata dan bisa terjadi pada diriku sendiri. Ketika Petrus berjalan di atas danau menuju Yesus dan tiba-tiba keragu-raguan menerpanya, bukankah saya juga seringkali begitu? Awalnya percaya bahwa jalan pilihanku adalah kehendak Tuhan, tetapi ketika di tengah jalan situasi tidak seindah yang kudambakan, maka keraguan apakah saya sudah membuat keputusan yang benar mulai datang. Berarti keraguan akan hadirNya juga mulai timbul. Sangat nyata bagiku....

Renungan Pastor Brian sangat bermanfaat terutama ketika ia menerangkan bahwa ketika meditasi MK kita tidak merenungkan isi Kitab Suci. Dengan buah dari ketenangan batin yang kita peroleh dari meditasi hening ini, kita akan lebih terbimbing untuk peka akan makna sebuah kutipan di saat yang lain (bukan pada saat meditasi). Hal inilah yang merupakan kehilangan saya. Berbeda dengan Pastor Brian, saya sangat menikmati metode diskursif itu. Melalui meditasi Kitab Suci saya menemukanNya. Meditasi Kitab Suci memampukanku mendengarkan suaraNya yang membimbingku dalam pergumulan kehidupan harian. Yang paling berkesan adalah ucapan Pastor Brian berikut ini, "Bermeditasi itu sendiri merupakan tanggapan atas kehadiran rahmat Allah. Tetapi cara kita menanggapi rahmat itu berbeda-beda,...Allah dapat memilih untuk hadir dalam kesadaran kita melalui teks, imajinasi, pengertian intelektual atau dengan tidak memakai konsep sama sekali." Itulah jeruji doa berbeda yang setiap orang berhak mencari melalui jeruji mana ia ingin bertemu dengan Tuhan.

Pastor Bernie Owens (Michigan, USA) bahkan secara jelas menerangkan mengenai meditasi yang diajarkan oleh St. Ignatius Loyola yang tampaknya merupakan gaya meditasi yang kami gunakan dalam meditasi Kitab Suci kami. Pastor Bernie menggambarkan bagaimana Meditasi ini semakin lama akan semakin mengurangi kata-kata dalam doa, melainkan menjadikan doa kita semakin sederhana, dan kita terpusat untuk menjadi semakin hening. Sebenarnya peran seorang pembimbing meditasi sangat kami butuhkan untuk mampu bertekun dan memetik buah-buah meditasi kami. Kehadiran seorang pembimbing bukan untuk mengkultuskan seorang individu, melainkan kehadiran seorang pembimbing yang mampu hadir tanpa menonjolkan dirinya sendiri merupakan rahmatNya yang terbesar.

Kami sedang belajar mencari jeruji doa yang paling sesuai dengan diri kami masing-masing. Bukan untuk menonjolkan diri, ataupun menonjolkan kemampuan berdoa melainkan untuk dimampukan semakin dekat denganNya.

Bapa yang maha baik,
Terima kasih atas berkatMu,
yang memampukan kami mencariMu,
menemukan hadirMu di hati kami.
Bukakanlah hati kami untuk terus menerima berkatMu,
memampukan kami memandang wajahMu,
dan berjalan dengan menggenggam tanganMu.
Amin.

Thursday, September 01, 2011

Pentingnya menjadi gadis yang bijaksana

Gadis-gadis yang bijaksana senantiasa bersiap dengan minyak dan pelitanya (Matius 25:1-13). Tulisan terakhir yang kutuliskan di blog sedikit terendap daripada biasanya, sehingga bisa jadi sudah terjadi tambahan pemikiran yang lain di luar apa yang sebenarnya kudapatkan pada waktu itu. Keinginan untuk menuliskan tentang ayat yang menarikku berpikir tentang reinkarnasi telah membawaku melintasi dunia maya untuk mencari pandangan agama Katolik tentang hal ini.

Ada dua bacaan yang menarik yang kuperoleh dari portal Katolisitas.org, yang pertama adalah mengenai kehadiran New Age Movement yang terdapat dalam tulisan satu ini. Lalu ada sebuah lagi mengenai Gereja Katolik Bebas yang bisa dibaca di tulisan yang ini. Tulisan-tulisan seperti ini berguna untuk menjadi peringatan dalam perjalanan kita agar tidak salah dalam mendengarkan dan mengartikan kehendakNya.

Menjadi gadis yang bijaksana harus senantiasa membawa pelita hati yang menyala dengan kebenaran FirmanNya, dan tetap siap sedia dengan minyak untuk mempertahankan nyala pelita itu. Membaca kedua tulisan di atas membuatku lebih berhati-hati dengan apapun yang kualami dan kuperoleh melalui pengalaman seharianku agar minyak yang kubawa adalah minyak yang benar untuk menyalakan pelitaNya. Terkadang keingin-tahuan dan keinginan berlebihan untuk dekat denganNya juga bisa mengandung jebakan setan yang berbahaya.

Tuhan, temani kami putra putriMu,
dalam perjalanan kehidupan,
berikan kami minyak yang Kau berkati,
agar mampu menyalakan pelita hati kami,
dengan sinar kebenaranMu,
agar sanggup kami memuliakanMu,
menyambut kedatanganMu
untuk masuk bersama-sama denganMu
ke dalam ruang perjamuanMu.
Amin.


Menyangkal diri, mengenal kehendakNya.

Bacaan Kitab Suci dari hari Minggu biasa XII adalah dari Injil Matius 16:21-27, tetapi dalam bacaan sebelum meditasi kami menggunakan buku Jalan Menuju Kehidupan dimana digunakan Injil Matius 16:21-28. Secara pribadi ada dua ayat yang menarik perhatianku pada hari Jumat itu. Ayat yang pertama adalah ayat 24 dimana Yesus bersabda," Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku." Sesungguhnya dari ayat 23-26 semuanya mengingatkan akan satu hal yaitu betapa manusia perlu mengenal kehendakNya.

Perkenalan dengan meditasi mengajarkan aku akan satu hal yang penting, yaitu mengosongkan diri. Menyangkal semua keinginan pribadi yang mungkin muncul karena tuntutan duniawi manusia. Seringkali kita berpikir bukan dalam kerangka pikir Allah, melainkan lebih dalam kerangka pikir manusia. Pergumulan itu terus berlangsung karena seperti yang disimpulkan oleh dalam pemikiran Kierkegaard, pergumulan manusia untuk terus membuat pilihan-pilihan hidup akan berlanjut terus hingga mereka dipanggil kembali kepadaNya.

Meditasi juga mengajarkan bagaimana berdoa dari hati. Seperti yang diingatkan oleh Nabi Yeremia dalam bacaan pertama di hari Minggu XII ini, ketika ia tidak mau mengingatNya dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi namaNya, maka dalam hatinya ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangnya, dan tiada sanggup ia menahankannya (baca Yer 20:9). Ia hadir di dalam hati kita, karena itu kembali ke dalam hati dan berbincang denganNya dalam keheningan dan kebeningan hati merupakan hal yang paling mendasar untuk mampu menyangkal diri.

Surat Rasul Paulus kepada umat di Roma (Rm 12:1-2) mengingatkan agar kita mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah. "Janganlah menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." Seringkali kita terikat pada cara pandang dunia, melihat kesuksesan dan keberhasilan hidup dengan mata manusiawi yang dibesarkan dunia. Tetapi bersama persembahan yang hidup, kehidupan kita, maka Tuhan akan mengajarkan untuk mengenali kehendakNya.

Kebetulan bacaan ini datang pada saat rekan-rekan Muslim sedang menjalankan ibadah puasa. Pada saat bulan suci ini, mereka menjaga tubuh dan hati mereka agar terarah sepenuhnya kepada Allah. Seringkali saya terkagum-kagum kepada kemampuan mereka menahan hawa nafsu, baik dari godaan makanan dan minuman jasmani maupun dari goda amarah dan nafsu lainnya. Kalau saya perhatikan, maka semuanya itu juga tidak bisa dilalui tanpa pembelajaran dan tekad yang kuat. Berani menyangkal diri, tidak mengikuti keinginan dunia melainkan memilih hadirNya akan menguatkan perjalanan ini.

Yeremia mengingatkan kita bahwa di luar kandungan ibu, kita akan berhadapan dengan kesusahan dan kedukaan (Yer 20:18). Kita bisa mengurangi kesusahan dan kedukaan itu bukan dengan meniadakannya, melainkan dengan hadirNya yang menutupi semua rasa duka dan susah itu. Iman yang teguh memampukan rekan-rekan saya yang muslim untuk sanggup menahan rasa lapar dan haus. Kesulitan duniawi yang dengan sengaja dimasukinya tidak menjadi beban dalam perjalanan mereka. Iman yang besar menyelamatkannya dari penderitaan atas rasa lapar dan haus. Saya bisa melihat bagaimana orang-orang yang sungguh-sungguh beriman mampu menjalankan puasanya walaupun harus tetap hidup di dalam dunia dimana orang lain ada yang tidak berpuasa. Ibu-ibu yang berpuasa mampu tetap berpuasa walaupun ia menyuap makan anaknya yang masih kecil dan belum mampu berpuasa.

Ada satu ayat lain yang menarikku pada hari Jumat lalu itu, tapi tidak mampu kucernakan. Mat 16:28 "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Anak Manusia datang sebagai Raja dalam kerajaanNya." Entah kenapa ayat ini seakan mengingatkan aku akan adanya reinkarnasi. Tetapi ini hanya datang bagai selintas komet yang bercahaya dan menghilang. Entah akankah menjadi lebih jelas dalam perjalanan yang lainnya atau tidak.

Tuhan,
banyak hal yang tidak kumengerti,
kepadaMu kukembali mencari,
di dalam Engkau kepenuhanku meruah,
dan kedangkalanku digali lebih mendalam>
Bagai rusa haus yang mereguk di mata airMu,
jiwaku memuliakan kehangatan cintaMu Tuhan,
Bimbing perjalanan kami dalam lintasan perjalanan jiwa,
hingga berakhir di hadiratMu yang maha kasih dan pengampun.
Amin.