Tuesday, December 27, 2011

Belajar dari Perjalan Seorang Hamba

Saya baru selesai membaca buku "Perjalanan Seorang Hamba", kisah perjalanan hidup Romo FX Pranataseputra, Pr. Baru pertama membuka buku ini saya sudah merasa akrab dengan isinya. Sungguh berasa bertemu dengan Romo Frans Pranata sendiri. "Lebih baik salah membaptis daripada salah tidak membaptis," ungkapan ini secara langsung menjawab bagaimana Romo membaptis suamiku dulu. Waktu itu beliau mengingatkan bahwa tanggung jawab baptisan berada di tangan orang yang dibaptis. Menurutnya Romo hanya membantu memperdekat dengan Tuhan sesuai dengan keinginan pacarku. Saya sendiri masih ingat ikut berkata tidak mau terikat karena benar-benar menginginkan bahwa baptisan itu berasal dari keinginan hati pacarku, bukan karena hubungan kami. Romo Frans waktu itu mengatakan bahwa setiap orang memiliki jalan tersendiri untuk bertemu dengan Tuhan. Bagaimana Tuhan memanggil adalah jalan setiap orang. Saya sangat percaya pada perkataan beliau mengingat saya mengetahui betapa berliku jalan yang dilaluinya hingga ke pentahbisan imamatnya. Karena itu membaca kutipan perkataan Romo membuat saya sungguh kembali mengingat beliau, "Lebih baik salah membaptis daripada salah tidak membaptis; lebih baik kalah uang daripada kalah orang; lebih baik salah memberi daripada salah tidak memberi; lebih baik mengalah di hadapan manusia daripada dipersalahkan di hadapan Allah."

Romo Antonius Didit Soepartono, Pr. mengingatkan dalam Apa Kata Mereka, bahwa spiritualitas HAMBA adalah hangat, andal, misioner, bahagia, abdi. Buku ini mengingatkan akan sosok Romo Frans Pranata yang senantiasa tersenyum. Dalam Sekapur Sirih, Mgr. Ignatius Suharyo; Uskup Keuskupan Agung Jakarta; mengatakan bahwa rupanya rencana Allah bagi Rama Pran memang seringkali berbeda dibandingkan rencana Rama Pran sendiri. Beliau mencontohkan Bunda Maria yang sepenuhnya membiarkan Allah menentukan jalan hidupnya, Kemerdekaannya seutuhnya sama dengan ketaatannya. Dicontohkan juga nabi Yeremia yang dituntun, bahkan dipaksa Tuhan untuk berjalan sesuai dengan jalan yang diinginkanNya. Saya sendiri secara langsung teringat pada kisah nabi Yunus yang melarikan diri dari tugasnya di kota Niniwe, dan bagaimana Tuhan tetap melaksanakan kehendakNya. Romo Frans (saya lebih terbiasa memanggil beliau Romo Frans daripada Romo Pran) tidak melarikan diri, tetapi seringkali dia dipaksa untuk pergi dan meninggalkan tugas yang sedang dijalankannya. Tuhan memberi jalan untuk melihat dari jauh, dan bila sekarang dibagikan melalui buku bisa jadi menjadi inspirasi bagi kita untuk mengenali bentuk ketaatan yang diminta Tuhan.

Kabarnya buku ini disusun oleh Romo Frans untuk peringatan ulang tahunnya yang ke 70 di bulan November 2011. Pada awal bulan Agustus flash disk berisi bahan buku ini diberikan kepada Mgr. Ignatius Suharyo untuk dibuatkan catatan pengantar. Tidak disangka akhir bulan Agustus itu beliau dipanggil kembali ke rumah Bapa. Jalan Tuhan seringkali tidak sama dengan rencana manusia, tetapi ketaatan yang merupakan bentuk penghormatan terhadap nilai imamatnya sangat jelas tertera.

Ada beberapa hal menarik yang saya catat dari buku ini. Pertama, pelayanan beliau yang tulus, dan dengan suka hati menyetir sendiri datang untuk melayani ternyata dibagikan pada banyak orang. Kemudian kebingungan saya mengenai kehadiran beliau di Facebook dan BBM terjawab juga dengan adanya catatan Romo mengenai sosial media (juga tentang kesenangan masa kecilnya mengutak-utik benda elektronik). Dunia maya dipandangnya sebagai tempat saling mendukung dan saling menghargai. Beliau tetap lebih menghargai kedatangan atau perjumpaan yang langsung daripada perjumpaan di dunia maya. Itu suatu hal yang sukar kupenuhi. Tetapi bagaimanapun, Tuhan telah memberikan kesan yang mendalam bagiku karena secara kebetulan pada tanggal 20 Agustus 2011 karena kesalahan teknis semua teman di BB saya mendapat pesan test contact. Dan Romo Frans menjawab "test juga," sehingga saya pun minta maf mengganggu malam-malam, tapi kemudian mengirimkan tautan blog ini. Belum ada kabar atau tanggapan mengenai tulisan saya, ketika saya mendengar bahwa Romo sudah berpulang tanggal 21 Agustus 2011 petang. Kaget...tentu saja. Tuhan mengajak saya mengingat Romo melalui cara yang tidak terduga.

Hidup adalah anugerah Tuhan. Mari kita saling membantu, saling mengisi, dan saling melengkapi. Mencari dan memberi arti bagi kehidupan ini. Mengembangkan talenta yang diberikanNya dan menghargai setiap detik yang diberikanNya. Mari menghargai setiap perjumpaan yang kita lewati dan bersikap taat dengan spiritualitas hangat, andal, misioner, bahagia, abdi...HAMBA yang senantiasa menghargai berapapun talenta yang diberikanNya.

Sunday, December 04, 2011

Tuhan Senantiasa Menyertai Kita

Bacaan harian hari ini adalah Lukas 5:17-26, tetapi judul tulisan ini kuambil dari renungan harian yang ditulis Deddy Kusbiyanto untuk Cafe Rohani edisi Desember dimana dikatakan:
Sering kita lupa bahwa Tuhan selalu campur tangan dalam setiap peristiwa hidup kita sehari-hari. Tuhan senantiasa menyertai kita (bdk. Mat 28:20). Itu berarti, dalam segala keadaan hidup kita: suka, duka, untung, malang, sehat maupun sakit, Ia selalu menyertai kita. Kita merasa bahwa Tuhan tidak ada, manakala hati tertutup bagi kehadiranNya.

Renungan di atas sangat berharga karena baru beberapa hari yang lalu saya diberi kesempatan untuk merasakan betapa Ia ikut bekerja dalam pilihan-pilihan yang kubuat tanpa kusadari. Masa depan memang tidak terbaca oleh kita manusia, dan campur tanganNya yang tidak kita sadari terkadang memang membawa kita pada jalan yang kita pilih sekarang untuk kebaikan kita. Terkadang dalam jalan pilihan ini juga ada onak dan duri, tetapi justru kemampuan untuk melaluinya yang membuat kita lebih tangguh. Bila kita tidak melepaskan pandangan padaNya maka onak dan duri itu justru akan mendekatkan kita lebih dekat kepadaNya.

Renungan Injil hari ini (Lukas 5:17-26) mengenai orang lumpuh yang disembuhkan, membawa saya pada refleksi diri yang berbeda-beda. Di satu sisi saya bisa merasakan menjadi orang lumpuh yang sangat rindu bertemu dengan Yesus tapi tidak memiliki kemampuan untuk mendekatiNya. Beruntung bahwa ada teman-teman yang begitu setia dan begitu kreatif yang berhasil membawanya kepada Yesus. Orang-orang dalam kehidupan kita terkadang adalah orang-orang yang membawa kita lebih dekat kepada Yesus.

Di sisi berbeda, saya juga bisa merasakan menjadi teman-teman orang lumpuh yang diajak menjadi kreatif dalam mendekatkan orang lumpuh itu pada Yesus. Dalam memperkenalkan Tuhan kepada suami dan anak-anak memang terasa betapa perlunya menjadi lebih kreatif dan cerdik. Kecerdikan dan kreativitas itu hanya akan hadir bila kita juga tidak memalingkan wajah daripadaNya. Ia yang memberikan kekuatan, inspirasi, dan semangat untuk tidak menyerah dalam perjuangan mendekatiNya.

Menjadi orang Farisi dan Ahli Taurat yang terlalu sibuk dengan kebenaran dan pikiran mereka bisa jadi menjadi batu sandunganku yang terbesar. AnugerahNya bagiku adalah pikiran kritis yang senang bermain dengan analisa. Kekuatan adalah juga kelemahan bila tidak bisa dikuasai dengan nurani yang bening. Dunia yang semakin melaju ke dalam globalisasi dan tuntutan teknologi tinggi seringkali memudarkan kehadiranNya dalam pandangan yang tidak fokus padaNya (masih ingat kisah melihat wajah Kristus?)

Orang-orang yang mengerumuni Yesus dan kehilangan kepekaan untuk memberi jalan bagi orang-orang yang membawa orang lumpuh itu adalah kelemahan lain yang bisa menjebak kita untuk tidak merasakan hadirNya. Terlalu terfokus pada kebutuhan diri sendiri, walaupun itu untuk mendekatkan kita pada Yesus, terkadang bisa membuat kita melupakan untuk memberi pelayanan termudah bagi orang lain...memberi jalan bagi orang lain yang ingin bertemu denganNya juga.

Dua hal terakhir ini sebenarnya bersumber dari satu hal, kesombongan diri. Terkadang dengan melayani kita juga bisa terjatuh ke dalam kesombongan diri. Seperti ahli Taurat yang merasa paling pandai, atau orang-orang dalam kerumunan yang merasa paling pantas untuk dekat dengan Yesus. Belajar untuk rendah hati merupakan pembelajaran utama yang kita terima dari Yesus pada saat malam Kamis Putih menjelang perjamuan terakhir, dengan rendah hati Ia melayani murid-muridNya dengan membasuh kaki mereka.

Tuhan, terima kasih
Engkau memberi begitu banyak kasih
tanpa pernah kusadari
Engkau menyertaiku dalam setiap pilihan hidupku
tanpa pernah kulihat
Engkau membisikkan kata-kata penguatan
tanpa pernah kudengarkan
Kau tempa diriku
Kau bentuk kekuatanku
Semoga kesabaran dan kerendahan hatiMu
menjadi teladan yang memberiku kehidupan
dalam namaMu.
Amin.