Sunday, December 30, 2012

Belajar dari Pilatus

Kekosongan blog ini bagaikan menggambarkan padang gurun pengembaraan meditasi yang sedang kulalui. Sejak bulan Juli saya mulai bekerja penuh waktu, dan hal itu mempengaruhi banyak hal dalam manajemen waktuku. Terkadang ada hal yang ingin kucatatkan di sini, tapi tidak sempat, sampai akhirnya terlupakan dan berlalu begitu saja.

Hari ini saya merasa sangat perlu untuk menuliskan catatan dari FirmanNya hari ini. Pagi hari tadi sebenarnya kubuka dengan kemalasan. Kemalasan membuat aku bangun lebih siang, dan tidak pergi misa pagi. Pembenaran diriku adalah perlunya aku menyeimbangkan waktu untuk di rumah dan di luar rumah. Jadi pagi-pagi mengerjakan pekerjaan di rumah dahulu, dan menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak sebelum pergi Meditasi Kristiani (MK) bersama komunitas. Mampir dulu di dokter untuk mengambil nomor antrian untuk konsultasi. Hampir sebulan batuk pilekku tidak kunjung sembuh. Alhasil, tiba di tempat MK terlambat. Tapi beruntung saya belum terlalu terlambat, sehingga masih bisa mengikuti pembacaan Injil Yohanes 18:33-37, Yesus di hadapan Pilatus.

Mungkin, ayat yang paling menyentuhku adalah ayat 34: "Apakah yang engkau katakan itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?" Tapi seperti biasa renungan ayat belum bisa berbicara banyak kalau saya belum memasuki tahapan meditasi. Tapi, karena metode MK yang berbeda dengan Lectio Divina, maka sharing yang keluar pada tahap awal biasanya lebih banyak berasal sebagai tanggapan kepada sharing anggota komunitas lainnya.

Dalam buku Jalan Menuju Kehidupan 2 dari Pater Gerry Pierse CSsR digunakan judul "Kebenaran di Pengadilan". Sekali lagi saya bertemu dengan contoh pilihan bebas manusia. Kalau pilihan bebas Yudas senantiasa membuatku berpikir mengenai takdir, maka pilihan bebas Pilatus baru kali ini terpikirkan. Pertanyaan Pilatus yang tak terjawab di ayat 38a, "Apakah kebenaran itu?", juga sangat menyentuhku. Sebenarnya bagian ini tidak termasuk bagian yang dibacakan untuk Injil minggu ini, tetapi saya seringkali senang membaca ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat yang dibaca, bahkan juga versi pencatatan Injil dari penulis Injil lainnya.

Seringkali kita tidak mengenali kebenaran, karena kebutaan atau ketulian kita terhadap FirmanNya. Terkadang kita tidak mengenali kebenaran karena memang kita tidak berusaha mencari kebenaranNya. Kemaha-tahuan Allah akan pilihan yang akan diambil manusia seringkali membuat saya merasa bahwa itulah takdir. Tanpa peran Yudas dan Pilatus maka tidak akan ada penyaliban, dan tidak akan ada penyelamatanNya. Pilatus yang memilih untuk membasuh tangan, menyerahkan Yesus pada keputusan akhir orang-orang Yahudi. Seringkali kita juga mencoba membasuh tangan agar terhindar dari konsekuensi buruk yang menghadang. Saya teringat akan pesan seorang Romo ketika saya bertemu beliau di dalam sakramen pengakuan dosa. Beliau mengatakan bahwa untuk merubah sistem, dibutuhkan orang yang mau bekerja dari dalam sistem. Sementara ini pengalaman saya membuat saya cenderung untuk keluar dari sistem. Bukankah itu adalah sebuah cara yang dipilih Pilatus? Membasuh tangan, merasa tidak ikut menyalibkanNya, sementara sebenarnya ia merupakan satu mata rantai penting dalam proses penyaliban itu?

Dari buku Pater Gerry, ada hal lain yang menarik perhatianku, yaitu: "Mereka yang dapat memberi tanpa mengingat, dan menerima tanpa melupakan akan diberkati." Seringkali saya mengingat jasa yang sudah saya berikan pada orang lain, padahal seharusnya kebaikan yang kulakukan demi nama Yesus tidak perlu saya ingat-ingat, apalagi untuk menagih balasannya. Sementara itu bisa menerima tanpa melupakan juga berarti saya senantiasa mengingat kehadiran malaikat-malaikat yang nyata dalam kehidupanku. Seringkali terasa berat untuk menerima bantuan orang lain. Mungkin pada saat itu sebenarnya yang ada adalah keterikatan pada teori "mata ganti mata, gigi ganti gigi"...bukan pada aspek ganti rugi kerugian, melainkan justru pada aspek utang budi. Ketika menyadari bahwa kita berutang maka kita merasa perlu untuk membalaskannya, sehingga terasa berat ketika kita merasa tidak mampu untuk itu. Tapi tidak jarang pula kita merasa orang yang bernasib kurang baik, memang harus dibantu oleh orang yang lebih beruntung. Hal ini malah membuat kita menerima kebaikan orang sebagai kewajiban mereka dan hak kita. Kita cenderung melupakannya. Karena itu nasehat untuk memberi tanpa mengingat (tanpa mengharap balasan) dan menerima tanpa melupakan (senantiasa siap berbagi karena kita juga diberkati) merupakan berkat kasihNya yang hidup.

Bapa yang Maha Baik,
terima kasih atas berkatMu hari ini,
Yudas dan Pilatus mengingatkanku akan makna sebuah keputusan,
akan proses yang dijalani dalam kehidupan,
dan akan makna untuk selalu berjalan bersamaMu.
Terima kasih atas pencerahanMu,
peganglah tanganku dan jangan biarkan terlepas ya Bapa...
Karena kasihMu yang besar,
memperkaya kehidupanku,
Bantulah aku membagikannya kepada keluarga, teman, dan lingkunganku.
Jadikanlah pilihan-pilihanku bermakna bagi kemuliaanMu.
Amin.


Sunday, August 19, 2012

Arti kemerdekaan

Sebenarnya renungan ini adalah renungan dari hari kemerdekaan Indonesia yang ke 67, pada tanggal 17 Agustus 2012. Renungan ini tidak berasal dari kegiatan meditasi, melainkan semata-mata renungan setelah misa pagi atas bacaan hari itu. Ada dua ayat dari bacaan yang berbeda yang sangat menarik perhatianku hari itu. Yang pertama adalah bacaan dari 1 Petrus 2:16 "Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalah-gunakan kemerdekaan itu untuk meyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah." Ayat yang kedua adalah dari Kitab Sirakh 10: 3 "Raja yang tidak terdidik membinasakan rakyatnya, tetapi sebuah kota sejahtera berkat kearifan para pembesarnya."

Seringkali kemerdekaan bagi kita adalah kebebasan untuk melaksanakan kehendak sendiri. Sebenarnya apa yang baik dan yang tidak baik senantiasa relatif bila dipandang dari sudut pandang manusia. Hanya nilai-nilai Tuhan yang absolut. Manusia seringkali mencari jalan yang menguntungkan dirinya sendiri. Sementara, jalan Tuhan senantiasa mengenal kedalaman hati manusia, dan membuat jalan keselamatan bagi banyak orang. Bacaan ini mengingatkan kembali akan pergumulanku mengenai discernment. Seringkali sebagai manusia saya tidak mau mengambil keputusan karena menginginkan keputusanNya. sesungguhnya Ia memerdekakan manusia untuk memilih jalan masing-masing, tetapi tetap berjalan di dalam jalanNya. Hiduplah bersamaNya dan kenalilah kehendakNya, maka resiko dari setiap keputusan penting yang diambil bersamaNya tidak akan dibiarkanNya untuk dipikul sendirian.

Kutipan dari Kitab Sirakh mungkin lebih berbicara bagiku karena statusku sekarang ini yang bekerja penuh sebagai guru. Sebuah film mengenai guru dari DAAI TV "Untukmu Bintang" pernah membukakan sudut pandang baru dalam pelayanan. Waktu itu pemeran utamanya mengatakan bahwa anak-anak dari kalangan menengah ke atas ini suatu saat pasti menjadi pemimpin di lingkungan maupun negaranya. Karena itu, sangat penting untuk memberikan mereka pendidikan yang baik, terutama dari segi moral dan sikap dalam kelompok. Ketika itu saya seperti mendapat pencerahan. Tidak selamanya pelayanan itu berarti melayani anak-anak yang kurang pandai, atau kurang mampu. Anak-anak yang pandai dan berasal dari keluarga yang berkecukupan bisa jadi juga sangat membutuhkan pelayanan tersebut. Tuhan sudah membuatkan jatah pelayanan bagi setiap orang. Ada masa-masa yang harus dilalui sebagai proses dalam kehidupan. Pelayanan yang mana yang kita pilih merupakan pilihan dalam kehendak bebas kita, tetapi tanpa melupakan keinginanNya. Tugas untuk mendidik pemimpin-pemimpin yang arif merupakan tugas besar dariNya, dan tidak mudah untuk melaksanakannya. Karena pendidikan bukan hanya sekedar berkata-kata dan mengajarkan, melainkan juga melakukan dan memberi contoh yang terbaik.

Tuhan, terima kasih sudah memberiku pencerahan...
Membukakan hati dan pikiran terhadap perjalananku...
Melangkah dan melayani dengan menyesuaikan diri pada proses yang kujalani,
Semoga berkatMu senantiasa menguatkan dan memberiku kebijaksanaan ya Tuhan...
Amin.

Saturday, July 14, 2012

Melepaskan kelekatan

Beberapa hari terakhir ini, tampaknya Ia membimbingku untuk lebih mengerti makna dari melepaskan kelekatan. Beberapa perjumpaan, beberapa perbincangan telah mengarahkanku pada pencerahan mengenai melepaskan kelekatan manusiawi. Dan, terakhir adalah dari bacaan Injil untuk hari Minggu nanti "Yesus mengutus kedua belas rasul" (Markus 6:7-13). Dalam ayat 8 telah ditegaskan pesan Yesus bagi murid-muridNya untuk tidak membawa apa-apa dalam perjalanan mereka. Karena sedang terinspirasi pada pelepasan kelekatan maka Injil ini juga sangat mendukung pemahamanku.

Kelekatan manusiawi pertama-tama mungkin adalah harta benda. Sebagai anak kecil, ketika mainannya direnggut maka ia akan menangis. Ketika ibunya atau pengasuhnya pergi maka ia akan menangis. Ketika itu mungkin ia masih memandang ibunya sebagai miliknya seorang. Lambat laun ia akan mengenal perhatian dan kasih dari orang-orang di sekitarnya.

Kemudian muncullah kebutuhan akan mendapatkan perhatian yang lebih besar lagi dari orang-orang di sekitarnya. Perhatian yang tidak diperoleh di rumah akan dicarinya di antara teman-teman atau kenalan lainnya. Menjadi artis cilik seringkali mengakibatkan terjadinya kelekatan terhadap sanjungan dan perhatian ini. Hal ini yang tampaknya membuat depresi banyak mantan artis cilik ketika mereka beranjak dewasa dan kehilangan daya pesona yang pernah menjadikan mereka pusat perhatian.

Kehausan akan ilmu juga bisa menjadi sebuah kelekatan. Biasanya hal ini juga memiliki hubungan dengan perhatian yang diberikan oleh orang lain yang menghormati orang yang pandai. Tidak jarang kelekatan bisa berasal dari pekerjaan atau kesukaan yang dikerjakan secara harian. Sungguh banyak sumber kelekatan manusia.

Di dalam Injil Matius dan Lukas (yang merupakan Injil Sinoptik dari Injil Markus) dikatakan bahwa murid Yesus tidak boleh membawa baju dua helai, kasut, maupun tongkat. Tetapi Injil Markus mengingatkan untuk tidak membawa apa-apa kecuali tongkat. Untuk jalan yang berbatu-batu tentunya dibutuhkan tongkat. Jadi pastilah ada yang melewati jalan datar berdebu, dan ada yang melalui jalan berbukit dan berbatu yang membutuhkan tongkat. Inti dari ketiga Injil ini tetap sama yaitu jangan membawa bekal. Tuhan akan menyediakan kebutuhan para murid melalui orang-orang yang dijumpainya.

Sungguh menguntungkan bila kita bisa terbebas dari kelekatan duniawi, apapun bentuknya, dan hanya berserah pada Tuhan saja.

Tuhan,
sumber segala harta dan kekayaan di dunia,
tiada harta, ilmu, maupun perhatian yang lebih besar dari kasihMu,
yang rela berkorban hingga rejaman, nistaan, dan maut merenggut.
Kuatkan kami untuk melepaskan kelekatan,
Kecuali pada kecintaan pada Hati KudusMu....
Amin.

Wednesday, April 04, 2012

Mati untuk menghasilkan banyak buah

Renungan dari Minggu Prapaskah V adalah dari Injil Yoh 12:20-33 Yesus meberitakan kematianNya. Ayat 24 mengatakan; Aku berkata kepadamu "Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah..." Ayat ini sangat berarti bagi saya pribadi. Dalam perjalanan kehidupan ini, dengan pilihan untuk lebih mendahulukan keluarga terkadang terasa menguburkan berbagai mimpi dan cita-cita yang di masa remaja kumiliki. Kemudian pilihan untuk melayani keluarga saja atau ikut serta melayani di lingkungan dan masyarakat, juga menjadi pilihan yang seringkali menghabiskan waktu dan tenaga. Di dalam keterbatasan waktu dan tenaga, melayani orang lain bisa jadi menjadi pembunuhan ego kita sendiri. Ketika kita hanya melayani ego kita sendiri maka kita tidak melayani untuk Tuhan. Sama seperti Marta (lukas 10:38-42) yang melayani orang banyak dengan ego sebagai tuan rumah yang sempurna maka pelayanannya menjadi tidak berarti. Demikian pula bila Maria hanya duduk mendengarkan Yesus untuk menghindari pelayanan atau hanya untuk menjadi yang paling pandai di hadapan Yesus maka Firman juga akan terbuang tak berguna. Menjadi biji yang mati, yang tampak tidak berharga, tidak berarti, tetapi dalam kasihNya disirami dan bertumbuh serta berbuah banyak. Itulah yang diajarkanNya dengan pemberitahuan ini.

Ayat 27 mengandung satu perkataan yang sangat dekat dengan kemanusiaanku. "Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini?" Betapa sering dalam pergulatan kehidupan saya memohon padaNya untuk dikeluarkan dari kesukaran itu? Injil-injil sinoptik menceritakan kisah Yesus di Taman Getsemani. "Berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan." (Luk 22:40), "Ya BapaKu, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripadaKu; tetapi bukan kehendakKu, melainkan kehendakMulah yang terjadi."(Luk22:42) Kemanusiaan Yesus memberiNya ketakutan akan penderitaan yang akan dialamiNya, tetapi Ia bertekun ke dalam doa (Luk 22:44). Matius dan Markus mencatat seruan Yesus, "Eloi, eloi lama sabakhtani?" (Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?) Berapa sering kita merasa bahwa Allah meninggalkan kita sendirian? Masalahnya seringkali kita merasa ditinggal sendirian bukan karena Ia tidak ada, melainkan karena Ia yang hadir di dalam hati kita tidak kita perhatikan karena kita mengharapkan kehadiran Mesias yang menyelamatkan, kehadiran Allah yang membebaskan kita dari penderitaan. Kita tidak mengingat Roh Kudus yang menguatkan kita dalam pergumulan kehidupan ini, kita tidak merasakan tanganNya yang membimbing kita berjalan dengan teguh bila kita bertekun dalam doa.

Ibu Teresa dalam buku Come Be My Light menceritakan krisis iman yang dialaminya. Sebagai manusia perasaan ketakutan ketika ditinggalkan sendirian merupakan penghalang terbesar dalam ketekunan melanjutkan pelayanan. Ketakutan akan pilihan langkah yang salah senantiasa menghantui dan membawa keragu-raguan. Padahal, Yesus sudah memberikan contoh yang sangat jelas. Biji harus jatuh dan mati baru dapat tumbuh dan berbuah banyak. Tidak ada panen yang berlangsung dengan instan. Semua petani tahu benar betapa sulitnya menjaga tanah pertanian. Bagaimana ketekunan dalam mengolah tanah dan menebar biji bukan akhir dari suatu proses. Biji yang mati di dalam tanah tetap membutuhkan pupuk dan siraman untuk menjadi besar dan berbuah. Sebuah proses yang panjang dan tidak mudah. Tuhan membentuk pribadi kita masing-masing melalui sebuah proses yang panjang, yang disesuaikanNya dengan kebutuhan kita masing-masing.

Bapa,
terima kasih atas penyertaanMu
dalam kehidupan kami,
dalam masa gembira dan masa sedih,
dalam kejayaan dan penderitaan,
kami percaya bahwa semua itu diberikan agar kami bisa berbuah banyak.
Amin.

Tuesday, March 27, 2012

Jesus Loves Me



Thursday, March 15, 2012

Anak Sulung yang Hilang

Kita sudah terbiasa mendengar kisah anak yang hilang. Tatkala membaca Injil Lukas 15:11-32 mengenai anak yang hilang, yang mencolek kali ini justru kisah si anak sulung. Ayat 29 memperdengarkan kisah si anak sulung "Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersuka cita dengan sahabat-sahabatku..."

Masa Prapaskah ini memang mengajak kita untuk bertobat, seperti anak bungsu yang hilang dan kembali pada Bapanya. Tetapi mungkin tidak terpikirkan dalam benak kita, betapa kita juga seringkali menjadi seperti si anak sulung. Seringkali kita berbuat baik untuk mendapatkan pahala dari Bapa di surga. Bagi saya sendiri keinginan untuk menyenangkanNya rupanya masih banyak berkaitan dengan hadiah pahala di surga ini. Itu yang terbersit ketika aku tiba-tiba menyadari posisi seperti anak sulung yang menuntut Bapa karena tidak memberikan hadiah bagiku yang setia menemaniNya. Padahal seberapa setiakah aku? Seberapa kenalkah aku pada kerahiman HatiNya? SukacitaNya karena anak yang hilang sudah kembali malahan meletupkan cemburu di hati karena orang lain terberkati untuk kembali kepadaNya.

Mengapa aku masih merindukan hadiah? Masih menginginkan diberi dan dilayani, padahal Bapa sudah mengatakan "Anakku, engkau selalu bersama-sama Aku, segala kepunyaanKu adalah kepunyaanmu." Betapa beruntungnya aku karena segala milikNya adalah milikku. Mengapa pula aku menjadi bagaikan hamba sahaya yang menuntut karena tidak mendapatkan hak?

Bapa yang mararahim.
ampunilah anakMu
yang masih menuntut padahal tidak pernah meminta
yang merusak kegembiraan surgawi dengan cemburu dan iri hati
yang menilai orang lain tanpa mampu merefleksikan kekurangan diri.
Tuhan, kasihanilah kami.
Amin.

Membersihkan Hati - Membersihkan Bait Allah

Bulan Februari lalu saya terlalu sibuk untuk menuangkan semua yang saya peroleh dari pertemuan meditasi ke dalam blog ini. Yang paling sering memang terjadi adalah pergumulan antara prioritas yang didahulukan. Kalau tulisan untuk blog ini tidak menjadi prioritas di bulan lalu, bukan karena hasil pertemuan kami tidak menginspirasi, hanya saja kondisi fisik dan kesibukan harian yang mendera tidak memberi waktu untuk berbagi di internet.

Bacaan Hari Minggu Prapaskah III adalah Injil Yohanes 2: 13-25, Yesus menyucikan Bait Allah. Sebagai pengantar dari suster kami mendapat panduan:
Yesus membersihkan bait Allah, rumah Bapa-Nya. Ia membersihkan bait Allah dari para pedagang . Yesus tergerak untuk membersihkan tempat ini setelah Ia melihat bahwa tempat ini tidak hanya dipakai sebagai tempat berjual-beli semata, melainkan juga sebagai tempat kolusi dan korupsi untuk mengeruk kekayaan dan mencari keuntungan pribadi, dan tidak hanya melibatkan awam tetapi juga pemimpin ibadat yg ada di sana. Tindakan tersebut tentunya mencemari dan mengotori bait Allah sebagai tempat suci Itulah alasan Yesus bertindak untuk
membersihkan bait Allah.

Injil hari ini mengingatkan kita dengan berbagai sikap, tindakan dan perbuatan yang tidak berkenan di hadapan Allah. Oleh karena itu dalam masa Prapaskah ini, Tuihan mengajak kita untuk melakukan pembersihan “bait Allah” ( hati kita juga bait Allah yang perlu dipelihara supaya bersih, nyaman untuk kediaman Tuhan dengan menjalini pertobatan secara sungguh-sungguh (cf. 1Kor.3: 16-17). Tuhan akan mempercayakan diri-Nya kepada kita dan tinggal dalam diri kita.
Melalui pertemuan Meditasi Kristiani yang berlangsung hari Jumat sebelumnya, saya sudah mendapatkan sentuhan melalui renungan dari Pater Gerry Pierse CSsR dalam buku Jalan Menuju Kehidupan 2. Ketika itu saya merasa diingatkan betapa hiruk pikuknya pedagang di pelataran Bait Allah yang ada di dalam hatiku. Keheningan yang diminta dalam Meditasi Kristiani memang membuat pikiran-pikiran yang berloncatan dalam benak saya bagaikan para pedagang yang riuh rendah menawarkan dagangan mereka dan mengganggu keheningan doa para pengunjung yang ingin berdoa. Demikian pula hati saya yang ingin hening di hadapanNya menjadi riuh rendah dengan segala permasalahan dan pikiran yang silih berganti datang menggoda. Itulah yang perlu kubersihkan agar dapat berdoa dengan benar.

Ketika itu seorang teman juga membersitkan tanya akan makna ayat 24 dan 25 "Tetapi Yesus sendiri tidak mempercayakan diri kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua, dan karena tidak perlu seorangpun memberi kesaksian kepadaNya tentang manusia, sebab Ia tahu apa yang ada di dalam hati manusia." Bagi saya pribadi, kalimat ini terasa menyentil karena saya tiba-tiba menyadari bahwa Tuhan tidak perlu mempercayakan apa yang diketahuiNya maupun apa yang diinginkanNya kepadaku, karena hati degil manusiaku cenderung untuk melihat dan mengukur segala sesuatu dengan ukuran manusia. Ia memberikan semua pengalaman secara bertahap karena Ia tahu apa yang ada di dalam hati manusia. Ia mengetahui sampai di mana kesiapan manusia menjalani jalan yang akan dilaluinya.

Dalam pertemuan kami hari Senin ini, saya lebih tertarik pada ayat 18 ketika orang-orang Yahudi bertanya menantang Yesus; "Tanda apakah dapat Kau tunjukkan kepada kami, bahwa Engkau berhak bertindak demikian?" Dalam kehidupanku seringkali aku juga meminta tanda dariNya. Sebagai orang yang peragu, aku senantiasa meminta tanda dariNya untuk melanjutkan langkahku. Baru tersadarkan betapa seringkali aku menantikan tanda besar seperti pembangunan kembali Bait Allah dalam tiga hari, padahal mungkin banyak tanda-tanda kecil yang sudah kulihat sebelumnya dan tidak kuperhitungkan. Bisa juga bahwa Tuhan tidak ingin memberikan tanda, agar aku menjadi dewasa. Dengan berani membuat pilihan dan menanggung resiko atas pilihan itu, aku menjadi lebih dewasa.

Seorang teman tertarik pada ayat 17 yang manyatakan "Cinta untuk rumahMu menghanguskan Aku." Saya pernah membaca bahwa peristiwa Yesus mengusir para pedagang dari Bait Allah ini merupakan tindakan yang paling tidak bisa ditolerir oleh para pemuka agama. Tindakan ini yang menyebabkan mereka benar-benar membenci Yesus dan menginginkan kematianNya. Terkadang ketika kita harus memilih jalan Tuhan, langkah itu terasa menghanguskan keberadaan kita sebagai manusia. Kalau memandang dari sudut pandang manusia maka kita hanya melihat kesengsaraan dan penderitaan. Ketika harus sendirian melawan arus, maka akan terasa betapa berat konsekuensi dari cinta kepada rumahNya. Tetapi di balik itu Tuhan senantiasa mengirimkan Roh KudusNya untuk menemani, menguatkan, dan memberikan penghiburan kepada kita.

Teman-teman juga merupakan malaikat-malaikat yang dikirimkanNya ke dalam kehidupan kita. Bila kita lebih peka kepada kehadiran tanganNya yang membantu akan sangat terasa betapa tidak ada yang kebetulan dalam setiap perjumpaan kita.

Tuhan Yesus,
terima kasih mau memperingatkan kami
untuk menjaga pelataran hati kami agar bersih dari dosa,
bersih dari segala gangguan yang menghalangi doa kami,
menghalangi pertemuan kami dengan Bapa...
Berkati kami dengan Roh KudusMu,
agar dimampukan berjalan di dalam jalanNya.
Amin.

Monday, January 30, 2012

Kuasa Kasih

Kalau hari Jumat merupakan hari Meditasi Kristiani, maka hari Senin merupakan hari Lectio Divina bagi saya. Walaupun masih gamang, tapi sedikit demi sedikit saya mulai mampu mengusir kegelisahan karena perbedaan pola antara dua metode doa ini. Saya masih merasa kehilangan keakraban Lectio Divina yang lama, tetapi saya juga sudah belajar untuk berkawan dengan keheningan pikiran. Saya percaya Tuhan akan membantu saya dalam menemukanNya melalui jeruji-jeruji doa yang kugunakan.

Bacaan hari Jumat kemarin dan bacaan yang kami gunakan hari Senin ini kebetulan sama, diambil dari Injil hari Minggu yakni Markus 1:21-28. Hari Jumat kemarin ayat yang sangat memikat saya adalah ayat 22; "Mereka takjub mendengar pengajaranNya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat," Ketika itu saya terutama ingin sekali mengenal wibawa Yesus, bagaimana Ia mengajar, mengapa pengajaranNya berbeda dengan para ahli Taurat. Seperti biasa, bila melakukan Meditasi Kristiani maka kejernihan itu tidak pernah langsung muncul. Seperti sirup yang dimasukkan ke dalam gelas berisi air dan diaduk-aduk, maka butuh waktu sejenak agar tampak jernih.

Hari Jumat itu saya memperoleh betapa Yesus tidak mempertunjukkan kuasaNya dengan sok kuasa. Hari itu saya sungguh ingin tahu bagaimana resep mengajar untuk menghadapi anak-anak di rumah, dan anak-anak di sekolah. Bagaimana mengajar tanpa sok kuasa, tanpa sok otoriter tapi mereka bisa sungguh-sungguh bisa belajar dengan disiplin pribadi. Kemudian, pada homili hari Minggu di gereja, saya kembali diberikan pencerahan bahwa Yesus bukan sekedar mengajar saja. ia mengajar dengan perbuatan. Hal ini yang membedakanNya dengan para ahli Taurat. Para ahli Taurat mengajarkan isi kitab Taurat tapi tidak melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Yesus mengajarkan tapi melaksanakannya. Hari Senin ini semuanya itu dilengkapi dengan sharing dari suster pembimbing Lectio Divina yang kami peroleh melalui surat elektronik. Yesus mengajarkan dengan Kuasa Kasih. Yesus mengajarkan cinta kasih dan tidak sekedar mengajarkannya, melainkan melaksanakan ajaran kasihNya itu.

Suster mangatakan bahwa Yesus menunjukkan kuasa kasih. Ia berusaha membebaskan kita dari kuasa jahat. Kita semua masih terbelenggu dengan pelbagai kuasa dalam hidup sehari-hari misalnya:
menbanggakan diri karena berhasil berkat kepandaian, kecerdasan, popular, disanjung umat, dsb. Intinya, percaya diri yang berlebih-lebihan sehingga tidak menyadari adanya kuasa yang melebihi kuasaku sebagai manusia, yaitu kuasa Tuhan. Kuasa yang Tuhan lakukan adalah kuasa kasih, ingin membagikan bahagia dan damai pada kita yang berbeda dengan konsep duniawi  yang lebih mengutamakan materi; kekuasaan, uang, keserakahan, dll.

Hari Senin ini hampir semua peserta meditasi Kitab Suci terpanggil untuk aktif. Seorang teman membuka perbincangan kami dengan mengajukan ayat 21 sebagai ayat yang menyentilnya. Sabat mulai Yesus segera masuk ke rumah ibadat dan mengajar. Ia merasa diingatkan untuk tetap setia dalam melakukan meditasi harian. Seringkali menyediakan waktu khusus untuk diam dalam kehadiranNya merupakan hal yang sangat sulit kami sediakan. Kemajuan zaman bahkan seringkali menjadi kuasa jahat yang menggapai. Begitu bangun tidur maka yang dijangkau adalah Blackberry. Ada yang mungkin memeriksa chatting anaknya, ada yang memeriksa jadwal sehariannya nanti.... Akhirnya pagi sudah menjadi terlalu siang untuk meditasi. Doa singkat atau doa sembari berjalan kembali menjadi jalan keluar. Menyadari godaan dan kuasa-kuasa gelap yang rajin menggoda kami merupakan satu hal penting yang akan membantu di masa depan.

Dari percakapan mengenai memeriksa chatting anak, kami masuk ke dalam pemikiran akan makna berserah pada Allah. Sebenarnya sudah sewajarnya kami memberikan keleluasaan pribadi bagi anak-anak remaja kami. Begitu juga perasaan was-was yang terkadang memenuhi batin karena situasi zaman ini yang jauh begitu berbeda dari situasi di masa kami dahulu. Ketika kami harus tugas semalam suntuk di rumah teman, maka kami hanya akan mengerjakannya di rumah teman itu. Anak zaman ini terkadang tidak lagi sekedar bekerja di rumah teman, tetapi mengungsi ke tempat umum yang menyediakan Wifi. Kekhawatiran ibu-ibu akan pergaulan dan keamanan anak menjadi mencuat. Melalui ayat 27 kami diingatkan bahwa kuasa Yesus lebih besar daripada kuasa kegelapan. Dan bila kita mengingat betapa Yesus mengingatkan kita bahwa dengan iman yang sebesar biji sesawipun kita akan mampu membuat mukjizat seperti diriNya, maka dengan iman kepadaNya kita pasti sanggup mengusir roh jahat itu keluar dari tubuh kita. Roh kecemasan, roh keragu-raguan, roh ketidak-percayaan, roh ketakutan, dll.

Dari meditasi kali ini saya merasa terpanggil untuk membaca kitab Yesaya 31:1-9 yang intinya mengatakan bahwa Tuhanlah penolong yang satu-satunya. Seringkali kita kehilangan kekuasaan duniawi, artinya kita tidak memiliki kekuasaan, tidak memiliki uang atau ketenaran yang cukup untuk mengubah situasi secara duniawi. Tetapi bila kita senantiasa berserah kepadaNya maka kita akan mengerti betapa kuasa Tuhan adalah satu-satunya penolong bagi kita.

Langkah pertama kami barangkali hanya sederhana, memperbaiki hubungan doa kami denganNya. Bila kami merasa kurang memberi prioritas bagi waktu khusus bersamaNya, maka akan kami usahakan. Bila kami merasa memerlukan banyak percakapan singkat denganNya melalui setiap aktivitas harian kami, maka kami akan selalu mengundangNya hadir. Kemudian kami ingin belajar untuk berserah sepenuhnya kepada kerahimanNya, memasrahkan suami, anak-anak, dan keluarga lainnya kepada Tuhan, karena Ialah satu-satunya penolong kami.

Tuhan,
terima kasih atas kasihMu,
atas contoh dan ajaranMu yang penuh kuasa,
yang memampukan kami mengusir kegelapan dari diri kami,
dan memberi cahaya pengharapan bagi kehidupan kekal.
Amin.













Thursday, January 26, 2012

Mamon Modern

Hari ini saya tertarik untuk berbagi renungan yang berhubungan dengan Lukas 16:13, "Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."

Dari pergumulan yang terjadi dalam proses perkenalan dengan Meditasi Kristiani, saya belajar lebih mengenal diri sendiri. Kalau selama ini saya menganggap tidak memiliki Mamon karena merasa tidak mengejar materi, kedudukan, maupun nama, ternyata saya masih salah. Ada satu hal yang rupanya menjadi Mamon tanpa saya sadari... Kehausan akan ilmu pengetahuan bisa jadi menjadi Mamon yang bisa menjatuhkan. Tadi pagi tiba-tiba terpikir betapa tidak jauh posisi saya dengan Hawa. Hawa menginginkan buah yang dilarang untuk dimakan karena ia mengira dengan memakannya ia akan mendapatkan pengetahuan, pengertian tentang baik dan buruk.

Ketika harus meninggalkan semua pikiran dalam proses meditasi hening dengan kalimat mantra Marantaha, maka terjadi kekacauan dalam kehidupanku. Bayangkan saja, bagaimana seorang yang ikut menganut pandangan, "Saya berpikir karena itu saya ada," harus melepaskan semua pikiran yang datang silih berganti mengganggu. Pikiran yang sangat aktif tiba-tiba harus berhenti walau hanya dalam waktu yang sangat singkat sebenarnya, tetapi menjadikan waktu begitu terasa berharga.

Belajar disiplin untuk setia dalam perkara kecil. Setia mengadakan waktu untuk diam dan tinggal di hadapanNya tanpa memunculkan "diri" merupakan hal yang terasa berat. Inilah Mamon modern bagi saya. Keinginan untuk mengetahui banyak hal dan mengerti banyak hal. Padahal seperti yang dikatakan oleh St. Agustinus dalam kisahnya mengenai anak kecil yang menimba air laut untuk dipindahkan ke lubang pasir di tepi pantai, otak manusia tidaklah memiliki kemampuan untuk menyerap kebesaranNya. Belajar untuk menerima kehidupan apa adanya, merupakan suatu karunia yang diajarkanNya melalui keheningan.

Bapa,
Biarkan saya setia kepadaMu saja,
dan senantiasa sadar memandang wajahMu semata,
membiarkan tanganMu menuntunku,
dan langkahMu membawaku ke jalanMu.
Membuka hatiku untuk merasakan kasihMu,
dan dengan suka rela membagikan kasihMu kepada sesama.
Amin.