Friday, November 08, 2013

Jodoh atau Pilihan?

Dalam perjumpaan bersama teman-teman kelompok doa, saya mendapati perbincangan seru seputar jodoh atau pilihan. Apakah pasangan hidupmu itu adalah jodoh dari Tuhan, sehingga ditunggu saja pasti akan datang atau pasti akan bertemu, atau ia adalah pilihanmu yang bisa saja salah pilih dan sebenarnya bukan jodoh dari Tuhan. Seru juga perbincangan ini, sebenarnya tidak jauh berbeda dari masalah nasib atau pilihan hidup manusia. Manusia diberi pilihan bebas untuk menentukan jalan kehidupannya, tapi sampai di mana kebebasan manusia itu diberikan? Adakah batasan di mana pilihan manusia dipatahkan oleh nasib yang disuratkan untuknya?

Sebelumnya saya sudah pernah belajar sedikit tentang nasib dan pilihan bebas, dalam tulisan "Pilihan atas kehendak bebas", saya guratkan
"Misteri Allah, Yang Maha Tahu dan Multidimensi, sungguh terletak pada takdir dan nasib Yudas Iskariot. Kehendak bebas menjadi hak pribadi kita, tapi Allah melihat jauh melampaui mata dan pikiran manusia. Pilihan yang diambil Yudas, bisa jadi menjadi pilihan kita juga! Kebinasaan yang dipilih Yudas, mungkin saja menjadi pilihan kita juga bila penyesalan kita tidak disertai penyerahan diri kembali kepadaNya."
Tulisan ini ternyata sangat sesuai dengan bacaan yang saya baca pada hari itu dari Roma 11:33 yaitu:
O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! 
Kembali saya diingatkan betapa saya tidak mampu membaca diri saya sendiri, betapa Allah tahu lebih jauh mengenai diriku, pikiran, dan pilihan-pilihanku.

Dalam setiap perjalanan kehidupan, bukan hanya perjalanan pernikahan, pasti senantiasa ada kerikil dan batu yang menghadang di jalan. Betapa sering saya menjadi tidak sabar dan berpikir pastilah jalan berbatu dan beronak duri adalah kesalahan pilihansaya, tetapi juga tidak sabar karena Tuhan tidak membantu keluar dari kesesakan itu seperti juga bangsa Israel yang bersungut-sungut di padang gurun. Padahal sebenarnya saya tidak perlu takut atau kesal, karena Gembala yang utama tidak akan pernah meninggalkan domba-dombaNya. Ia adalah Gembala yang senantiasa menjaga agar aku tetap hadir di dekatNya.

Kelemahan manusia tidak menjadi penghalang bagiNya untuk menerima anak-anakNya, bukan penghalang bagiNya untuk menyatakan kemuliaanNya. Yang perlu kita kenali adalah talenta yang diberikanNya, dan berusaha untuk senantiasa mengembangkan talenta itu karena Tuhan sendiri yang akan membantu menjadikannya alat untuk memuliakan namaNya. Kemampuan untuk bisa membaca talentaNya adalah karunia yang perlu dikembangkan dengan senantiasa aktif mencari DiriNya.

Jadi jodoh dan pilihan sudah merupakan satu paket yang akan membawa kebahagiaan bila senantiasa dijalani dengan berpegang padaNya. Ia mampu melihat lebih jauh dan lebih dalam dari pilihan-pilihan manusia. Ia akan bekerja melalui pilihan-pilihan yang diambil manusia. Jadi perjumpaan adalah jodoh, tapi keputusan untuk menjalani hidup berumah tangga adalah pilihan yang diberikan secara bebas kepada manusia.

Terkadang ada onak dan duri di jalan tersebut, bukan karena kesalahan pilihan, bukan karena Tuhan tidak merestui pilihan itu. Tetapi karena Ia mengharapkan kita untuk setia pada pilihan yang kita ambil bersamaNya. Dari Lukas 14:14 kutemukan kalimat penguatan:
Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar

Tuhan,
Sungguh tidak mudah untuk mengerti jalanMu
Sungguh tidak gampang untuk mengambil pilihan sesuai dengan kehendakMu
Ketika kami sendiri tidak tahu kehendakMu.
Terima kasih karena Kau berikan Roh Kudus yang menyertai kami menjalani jalan kehidupan ini.
Yang menerangi jalan yang perlu kupilih
Yang mengajakku kembali ketika aku salah melangkah
Yang menguatkanku ketika kelelahan menerpa.
Tuhan, berkati kami dalam membuat pilihan-pilihan kami.
Amin.

Monday, August 05, 2013

Hal Berdoa

Dari pertemuan EJ ke-dua aku juga menemukan bahwa semua perjalanan ini adalah proses pembelajaran. Tidak semua orang mempunyai kecepatan yang sama. Menjadi teman seperjalanan berarti harus tetap menjaga kecepatan langkah agar tetap berjalan bersama. Yesus sudah sangat sabar dalam menanti langkah kita. Betapa sering kita seperti orang-orang Israel yang sudah dibawa ke luar dari Mesir, tetapi justru bersungut-sungut kepada Tuhan karena merindukan kenyamanan hidup di Mesir.

Untuk menjadi teman seperjalanan, perlu untuk saling mendengarkan, saling menghormati, dan belajar satu sama lain. Hanya dengan begitu perjalanan bisa menjadi menyenangkan dan tidak terasa akan sampai ke tujuan.

Dalam sesi 3, saya diingatkan kembali mengenai hal berdoa. Dari Lukas 11:13 saya diingatkan bahwa Bapa di Surga akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepadaNya. Sementara dari Yoh 14:26 saya diberitahukan bahwa salah satu tugas Roh Kudus adalah "mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu."

Dari buku EJ, saya menggaris-bawahi perkataan, "Tuhan menghendaki kita untuk memohon kepadaNya, baik hal-hal yang besar dan penting, maupun hal-hal yang kecil dan sepele," juga perkataan "Berdoalah dengan mengungkapkan secara jelas apa yang kau inginkan, bukan hanya meminta Tuhan 'memberkati' seseorang atau sesuatu.

Hal ini saya percaya karena pengalaman iman yang buat saya bagaikan sebuah teguran. Saya tidak ingat apakah sudah pernah membagikannya di blog ini. Saya merasa sedih ketika mengetahui bahwa sakit Romo Marto, pastur yang memberkati pernikahan saya, semakin parah. Saya ingin menengok dan memberi kata-kata yang menguatkan, tetapi urusan keluarga dan pekerjaan tidak memberikan saya kesempatan. Maka ketika itu saya membuatkan ujud untuk kesembuhannya melalui Novena Roh Kudus. Ketika memasukkan kertas ujud, saya sempat membatinkan keinginan agar Romo tahu bahwa saya mendoakannya.

Pada suatu dini hari saya merasa ada ketukan di pintu rumahku. Kebetulan suamiku juga sedang kerja malam. Kukira mungkin kunci rumahnya tertinggal, sehingga saya keluar untuk membukakan pintu. Ternyata tidak ada orang di sana. Yang ada adalah dorongan kuat untuk mendoakan Romo Marto. Maka saya berusaha untuk berdoa, tapi seperti murid-murid yang tertidur, saya hanya berdoa satu kali Bapa Kami dan beberapa kali Salam Maria sebelum kembali tertidur.

Pagi harinya saya menelpon ke rumah orang tuaku untuk menanyakan kabar Romo. Tidak ada kabar apa-apa. Tetapi pukul delapan pagi ada berita bahwa beliau telah berpulang. Hari itu adalah hari Tri Tunggal Yang Maha Kudus. Saya merasa hanya kebetulan saja suara ketukan itu karena waktu berpulangnya tidak sama. Tetapi mengejutkan ketika dalam misa requiem disebutkan bahwa Romo Marto pada dini hari sempat mengumpulkan orang-orang untuk berdoa Salam Maria dalam berbagai bahasa. Saat itu, dari beberapa bahasa yang digunakan, ternyata tidak ada yang mendoakan Salam Maria dalam bahasa Perancis. Tentunya mengejutkan buat saya yang menguasai bahasa Perancis (walaupun terus terang waktu itu sama sekali tidak tahu bagaimana berdoa Salam Maria dalam bahasa Perancis, saya terbiasa hanya membaca saja ketika mengikuti misa dalam bahasa Perancis, yang sangat jarang pula kuikuti).

Kejadian ini kemudian kuceritakan pada sepupuku sambil berkata bahwa aku merasa diingatkan betapa besar kuasa doa. Ia menanggapiku dengan bertanya balik, "Memangnya sebelum ini bagaimana kalau kamu berdoa?" Aku menjawab, "Aku sih fifty-fifty, kalau dikabulkan...terima kasih. Kalau tidak...bukan kehendakNya." Anehnya, ketika mengikuti misa pagi beberapa hari setelah itu, Romo yang mempersembahkan misa sampai mengulang dua kali perkataan, "Mintalah, maka engkau akan mendapatkannya selama engkau percaya." Sesungguhnya ketika berdoa saya tidak pernah meminta dengan rinci. Saya pikir seperti Matius 6:7 Tuhan meminta kita untuk tidak berdoa dengan bertele-tele. Saya pikir Tuhan tahu benar kebutuhan saya, sehingga tanpa memintapun Ia akan memberikan yang kubutuhkan. Tetapi kejadian saat itu membuat aku berpikir, bahwa Tuhan juga menginginkan aku untuk meminta. Ia menginginkan aku tahu persis apa yang kuminta. Aku perlu belajar untuk menjadi dewasa yang mengetahui keinginan dan kebutuhanku.

Lucunya, setelah diingatkan untuk meminta dalam perjalanan bersama EJ, maka keesokan harinya
dalam MK aku diingatkan kembali untuk tidak meminta apa-apa karena Tuhan tahu semua kebutuhan kita. Yang kita butuhkan hanya duduk diam di hadiratNya, seperti Maria yang duduk mendengarkanNya. Roh Kudus yang diberikanNya yang akan mendoakan kita, karena Roh Kudus lebih mengenali kebutuhan kita daripada diri kita sendiri.

Merenungkan kembali semuanya, membawa saya kembali ke kutipan Lukas 11:13, bahwa Tuhan akan memberikan Roh Kudus kepada orang yang meminta dengan percaya. Roh Kudus akan menunjukkan permintaan yang pantas kita majukan, dan akan membantu kita mengenali kebutuhan dan langkah yang perlu kita jalani.

Bapa yang baik,
Terima kasih atas Roh Kudus yang Engkau berikan pada kami,
Dengan kasih dan berkatMu
Kami sanggup melangkah dan berjalan bersamaMu
Semoga kepercayaan kami senantiasa terjaga
Agar bisa memperoleh kebijaksanaan dari Roh Kudus
dalam menyikapi pilihan-pilihan dalam kehidupan.
agar mampu kuat dalam berjalan bersama Yesus
melangkah ke dalam damai sejahtera yang Bapa janjikan.
Amin.

Bacaan terkait http://journey-to-his-words.blogspot.com/2009/07/percaya-dan-mintalah.html
http://journey-to-his-words.blogspot.com/2009/11/berkat-malaikat-pelindung-4.html

Dimensi Marta dan Maria Dalam Proses MenemukanNya

Perjalanan menuju sesi ke-dua membawa saya kembali pada pergumulan Marta dan Maria.Kalau dalam kesempatan membaca perikop ini sebelumnya, saya lebih diingatkan untuk memaknai kehadiranNya di dalam hati, daripada melayani yang bisa jadi untuk kepuasan ego pribadi (baca juga Kehadiran lebih penting daripada perbuatan). Kali ini saya diingatkan untuk menghargai proses dan untuk terus bertahan dalam mendengarkan sabdaNya.

Maria berani mendobrak tradisi yang hanya memungkinkan lelaki untuk duduk menerima tamu dan mendengarkan ucapan-ucapan tamunya. Marta, yang menerima Yesus di rumahnya, dan yang sedang sibuk melayani Yesus, merasa perlu untuk menegur Yesus agar meminta Maria membantunya. Betapa sering saya juga seperti Marta yang mengeluh pada Tuhan ketika beban pelayanan terasa berat dan tidak ada bantuan dari teman-teman lain.

Saya merasa sebagai Marta yang mencoba melayani Yesus. Coba bayangkan ada Yesus yang bertamu di rumahnya dan dia duduk diam bersama Maria menemani Yesus. Tidak ada yang melayani dan memberi Yesus minum. Demikian juga dalam organisasi maupun kegiatan pelayanan lainnya, bila tidak ada yang mau bekerja, lalu siapa yang akan bekerja? Sebenarnya Marta juga ingin seperti Maria. Tetapi ketika keinginan itu menjadi iri hati sehingga ia tidak segan menegur Yesus, maka makna pelayanannya menjadi hilang.

Dari sharing teman-teman MK, kesibukan Marta lebih diartikan sebagai kesibukan bekerja untuk mendapatkan uang atau kebutuhan duniawi lainnya.Tiba-tiba saya merasa sebagai Maria yang lebih berusaha mendahulukan Yesus daripada melakukan pekerjaan yang memberikan hasil. Tetapi akhir-akhir ini terasa kegamangan untuk bertahan dalam jalur pelayanan karena kebutuhan rumah tangga yang semakin meningkat. Waktu yang terbatas yang harus dibagi-bagi menjadi suatu masalah.

Sementara itu, sebagai Maria yang merindukan untuk terus berada di hadirat Tuhan, seringkali tergerus oleh kesibukan harian. Menyediakan waktu secara khusus bagiNya merupakan suatu hal yang diminta Yesus dariku.

Yesus berkata bahwa Maria telah memilih yang terbaik dan tidak akan diambil darinya. Terasa bahwa Yesus berusaha keras menjagaku agar tidak goyah dan menghilang dari hadapanNya. Ia senantiasa menguatkanku ketika aku mulai goyah seperti Petrus yang mulai goyah ketika berjalan di danau. Ia menggapaiku dan membimbingku agar tidak menyimpang dari jalanNya.

Dari 2 Petrus 1:10 saya memperoleh kekuatan baru, "Karena itu saudara-saudara, berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh. Sebab jika kau melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung."

Tuhan,
Terima kasih bahwa Engkau mau menjagaku agar tidak tersandung.
Ketika aku goyah dan terjatuh, Engkau mengangkat dan membangunkanku,
Ketika aku lemas dan tidak bertenaga, Engkau menghibur dan membantu menopangku,
Ketika aku ingin berhenti berusaha, Engkau mendekatiku...menghibur dan menguatkanku.
Terima kasih Tuhan,
Aku ingin terus berusaha dengan sungguh-sungguh menemukan panggilanMu
agar bisa berguna dan memberikan talenta yang sudah dikembangkan dengan bahagia.
Terima kasih untuk pendampingan dan kasih sayangMu.
Terima kasih untuk BundaMu yang senantiasa menjaga dan mendoakanku.
Amin.

Wednesday, July 24, 2013

Melangkah Bersama Yesus ke Emaus

Kerinduan untuk bertemu dengan Sang Firman Yang Hidup tidak bisa kutahankan. Meditasi banyak membantuku dalam bersikap lebih tenang, serta menerima kesalahan-kesalahan yang terjadi entah karena diriku sendiri maupun karena orang-orang di sekitarku. Tetapi perasaan indah bersamaNya tetap kurindukan. Akhirnya kucoba untuk membuat komitmen berjalan bersamaNya dalam Emmaus Journey angkatan ke-13.

Kelompok kami kecil, awalnya bermaksud menyatukan pembina Bina Iman Anak agar bisa berjalan bersama, sekaligus mengisi untuk diberikan kepada anak-anak. Sayangnya, kesibukan masing-masing belum memungkinkan untuk bisa ikut semua. Setidaknya dengan peserta yang ada, kami berusaha untuk sungguh-sungguh berjalan bersamaNya hingga akhir. PenguatanNya memberikan semangat. Pada hari pertama saja, pertanyaan maupun kesan yang muncul dari peserta sudah bagaikan terhubung dengan bahan cetak yang sebelumnya belum pernah kami lihat.

Sebagai orang yang biasa membaca cepat, agak membosankan untuk membaca pesan-pesan yang tercetak di buku I "Perjalanan Menuju Hidup Mendasar." Untungnya Meditasi Kristiani sudah mengajarkanku untuk menurunkan ritme, memperlambat ego yang ingin segera meloncat lebih jauh dan lebih cepat (tapi ada juga saat aku ngintip ke halaman belakang).

Yang paling menarik bagiku dari sesi I ini adalah masalah komitmen dan ketekunan. Mungkin karena akan melangkah selama kurang lebih 9 bulan, terasa bahwa komitmen dan ketekunan menjadi sangat berarti, tetapi mungkin juga karena menyadari bahwa saya masih sangat membutuhkan disiplin diri.

Yesus,
Terima kasih mau berjalan bersama kami ke Emaus
Seperti murid-murid yang tidak mengenaliMu,
Terkadang kami tidak sadar kalau Engkau berjalan bersama kami,
Tetapi kasihMu senantiasa melingkupi kami,
dan menguatkan dalam perjalanan panjang ini.
Amin.


Sunday, May 19, 2013

Jadilah Dirimu Sendiri

Sebuah renungan pagi dari buku "Bebaskan hatimu" Seri 30 hari bersama Mahaguru Spiritual Fransiskus dari Sales terasa sangat menyentuh.
Jangan buang-buang waktu untuk berangan-angan menjadi orang lain. Jangan berusaha untuk menjadi orang lain. Bekerja dan berdoalah supaya menjadi diri sendiri. 
Jadilah siapa sesungguhnya dirimu, di tempat engkau berada. Konsentrasilah pada masalah kecil setiap hari dan luka yang menimpamu. Keluarkan upaya terbaikmu, curahkan energi batinmu pada apa yang ada di hadapanmu. Inilah yang diminta Allah darimu. Hanya itu yang Dia minta darimu: bahwa engkau hidup dan menanggapi berkatNya di sini dan saat ini.
Melakukan yang lainnya hanya membuang-buang waktumu. Dengarkan baik-baik. Hal inilah yang sangat penting-dan sangat salah dipahami-karena kita semua lebih suka melakukan apa yang kita sukai sendiri. Sangat sedikit dari kita yang memilih mendahulukan tugas, atau kehendak Allah.
Jangan menanami kebun orang lain. Bertumbuhlah di mana engkau ditempatkan."
Pesan di atas sangat bertautan dengan catatan Cafe Rohani bulan Mei untuk hari Sabtu, 18 Mei 2013, Pekan VII Paskah, diingatkan bahwa manusia itu unik adanya. Masing-masing orang diciptakan secara khusus, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita dilengkapi dengan karakter, talenta, latar belakang, dan kebiasaan yang berbeda-beda. Keajaiban Tuhan sungguh terasa dalam kehidupan manusia. Sebagai seorang ibu yang mengandung dan melahirkan tiga orang anak (dua di antaranya adalah anak kembar identik yang ternyata masing-masing memiliki keunikan mereka sendiri), sangat terasa betapa ajaib kuasaNya.

Sejak dari janin kecil yang bertumbuh semakin besar, kemudian lahir menjadi bayi yang semakin lama semakin besar, dan sekarang bahkan mungkin sudah sama besar atau bahkan lebih besar dari ibunya. Rasanya hanya keajaibanNya yang memenuhi hari-hari pertumbuhan anak tersebut.

Melihat bagaimana mereka belajar berbicara, bagaimana mereka menyerap semua pengetahuan dengan indera yang mereka miliki, merupakan bagian dari keajaiban Tuhan. Itulah keajaiban terbesar yang tidak akan habis tergali walaupun manusia terus menerus melakukan berbagai penelitian ilmiah. Saat ini saya sedang membaca buku mengenai Otak Lelaki dan Otak Perempuan dari penelitian Louann Brizendine, sekali lagi saya terhenyak memikirkan bagaimana pemetaan genetik bisa terlaksana secara turun temurun. Dari dua buku Louann itu saya mengerti betapa besar pengaruh hormon terhadap manusia. Hal itu juga yang membuat semua orang berbeda, karena sejak dalam kandungan semua faktor itu terterakan dalam pembentukan seorang anak, sampai akhirnya hormon-hormon dalam tubuhnya juga bekerja memberikan warna tersendiri pada setiap tindakannya.

Sebenarnya dari renungan Fransiskus dari Sales, saya sangat tertarik pada perkataan, "Jangan menanami kebun orang lain. Bertumbuhlah di mana engkau ditempatkan."

Saya selalu merasa siap untuk datang kepadaNya, tetapi terkadang saya ragu akan apa yang diinginkanNya dari diriku. Tetapi sesungguhnya, dengan tetap mencariNya, dan menjadikan kasihNya sebagai pohon kehidupan tempatku betumbuh, entah sebagai cabang, entah sebagai ranting, maka saya akan menemukan makna diriku. Tanpa pokok kehidupan itu cabang dan ranting akan kering dan layu. Jadi jika ingin mekar berbunga dan berbuah, saya perlu senantiasa tinggal bersamaNya dan mengambil sari kehidupan dan kekuatan dariNya.

Tuhan yang maha rahim,
Ampuni anakMu yang sering bimbang dan ragu,
sering takut dan kalah dalam menghadapi masalah.
Terima kasih atas pengampunanMu,
kerahimanMu sungguh tak terbatas,
Seringkali rencanaku jauh melebihi kehendakMu,
Seringkali kukatakan ingin mengikuti kehendakMu,
tapi tak berusaha mencari tahu apa kehendakMu.
Tuhan, mampukan aku untuk mengenali kehendakMu,
Kuatkan aku dalam menjalani hari ini,
dan berpasrah pada penyelenggaraanMu,
tetapi tetap aktif berusaha untukMu.
Amin.






Gembala yang Menjaga

Sudah cukup lama saya tidak menyempatkan diri untuk menulis. Sebenarnya banyak hal yang terjadi, dan banyak hal yang ingin kubagikan. Pada hari Minggu Paskah IV, dari bacaan Yoh 10:27-30, saya sangat tertarik pada perkataan "...seorangpun tidak akan merebut mereka dari tanganKu." Entah mengapa saat itu saya lagi-lagi teringat pada Yudas Iskariot. Sesungguhnya saya mengerti benar makna pilihan atas kehendak bebas, tapi sering saya tersentak bertanya antara kelemahan manusia dengan takdir. Entah mengapa bacaan ini juga menyentakkan saya kembali soal takdir. Walaupun sadar benar betapa Tuhan lebih mengenal diriku daripada aku sendiri mengenal pikiran dan kehendakku, tetap saja terpikir seakan-akan ada orang-orang yang memang sudah diberikan kepada Tuhan dan tidak seorangpun (tidak juga Iblis) yang bisa merebut mereka.

Salah seorang teman mengingatkan akan ayat 27 di mana dikatakan: "Domba-dombaku mendengarkan suaraKu dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, ..." Intinya, kita juga perlu untuk terus mendengarkan suaraNya dan mengikutiNya. Itulah pilihan bebas yang diberikanNya, karena kita bukan benda mati. Kita milikNya tetapi kita bukan benda mati, bukan hamba, melainkan sahabat-sahabatNya yang bebas untuk mengikutiNya atau pergi dariNya. Ketika kita sendiri yang memilih untuk meninggalkan diriNya, maka tidak ada seorangpun yang merebut kita dariNya.

Seperti menghargai berlian, kita juga perlu mengisi hubungan ini dengan 4 C, hanya saja dalam Tuhan yang dipentingkan adalah Care (perhatian), Compassion (belas kasih), Communication (komunikasi), Competence (kecakapan). Yesus sendiri memberikan contoh. Dia bukan sekedar menjadi gembala atau pemimpin yang meminta kepatuhan, tetapi Ia terlebih dahulu memberikan perhatian dan belas kasihNya. Ia senantiasa menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan kita. Ia tidak hanya sekedar menjanjikan penolong, melainkan sungguh-sungguh membantu menguatkan kita dalam menjalani kehidupan. Ia tidak menghilangkan segala bentuk kesengsaraan tapi senantiasa mendampingi kita dalam menjalani cobaan dan kejatuhan kita.

Ada satu hal lain yang juga diingatkan melalui tulisan Pastur Gerry Pierse CSsR yaitu kelemah-lembutan. Hal ini pernah sekali kudapatkan dalam salah satu sesi meditasi yang lampau, tetapi kali ini diingatkan kembali. Ketika kita percaya bahwa Allah memelihara kita setiap hari dengan lemah lembut, maka kita juga melakukannya kepada orang-orang yang kita jumpai. 

Allah Bapa yang maha baik,
terima kasih atas segala cinta dan belas kasihanMu,
ajarilah kami untuk lemah lembut kepada sesama kami,
untuk senantiasa mewartakan kasih suka citaMu 
Kuatkan kami untuk terus berjalan bersamaMu, mendengarkan suaraMu,
dan ikut memuliakan namaMu.
Amin.

Saturday, April 06, 2013

Percaya dan Setia

Terkadang panggilanNya bisa datang melalui saat yang bagi orang lain merupakan musibah. Begitulah, kehidupan manusia tidak bisa kita perhitungkan. Suamiku mengalami kecelakaan dan terpaksa harus istirahat di rumah. Hal ini berarti saya tidak bisa melaksanakan rencana-rencana yang sudah tersusun. Tapi, hal itu juga menyebabkan saya memiliki kesempatan untuk menghadiri pertemuan mingguan Meditasi Kristiani.

Sebenarnya hari Sabtu kemarin saya memiliki kegiatan yang bagi saya cukup berarti, baik dalam segi menambah ilmu, maupun untuk memperluas jaringan perkenalan. Semua acara sudah saya atur, jadwal lain saya tunda, termasuk jadwal untuk menghadiri pertemuan mingguan Meditasi Kristiani. Pada pertemuan Sabtu sebelumnya saya sudah pamit. Sejak saya bekerja penuh, waktu untuk pertemuan mingguan agak terpinggirkan prioritasnya. Ada saja tugas dan seminar yang harus saya hadiri. Pada libur Paskah kemarin saya memaksakan untuk hadir, tapi dengan berat hati minta izin untuk tidak hadir lagi di hari Sabtu berikut.

Ternyata, justru akhirnya saya bisa hadir (walaupun terlambat, tapi tidak terlambat untuk sesi meditasinya). Banyak hal dari pertemuan hari itu yang kemudian juga dikuatkan dengan bacaan lain yang saya baca pada hari yang sama di kesempatan berbeda.

Dari buku Jalan Menuju Kehidupan 3 saya merasa sangat tertarik membaca kupasan renungan yang menggambarkan betapa murid-murid Yesus berlari meninggalkanNya ketika Ia harus memasuki jalan penderitaan. Digambarkan betapa seorang murid bahkan meninggalkan segalanya-termasuk pakaiannya sendiri- untuk melepaskan diri dari Kristus.

Masih terkenang pada anak sulung dari perumpamaan Anak yang Hilang, saya merasakannya sebagai peringatan untuk tetap setia padaNya. Ketika cobaan dan masalah datang jangan pernah berlari meninggalkanNya.

Agak siang, saya mampir di toko buku Avilla. Saya tertarik pada sebuah buku kecil mengenai Lectio Divina. Saya masih juga terobsesi untuk sungguh-sungguh mengenal perbedaan antara Lectio Divina dengan Meditasi Kristiani. Rasanya harga buku tersebut yang terlalu mahal untuk saya beli, tetapi beruntung saya diperbolehkan untuk membuka plastik pembungkus buku dan membacanya. Ada satu kalimat yang tiba-tiba terbaca, dan bagaikan sebuah pesan yang harus kuingat, terjemahan bebasnya adalah, "Bukan kesuksesan yang diminta daripadamu, melainkan kesetiaan."

Ini mengingatkan saya akan penutup dari renungan di buku Jalan Menuju Kehidupan 3 untuk Hari Minggu Paskah II, "Kemampuan untuk mengasihi seseorang yang telah melakukan kegagalan adalah semata-mata anugerah Roh Kudus." Masih dari renungan Romo Gerry Pierse CSsR di buku yang sama, dikatakan bahwa penerima pertama anugerah Roh Kudus ini adalah diri kita sendiri. Kegagalan-kegagalan dalam kehidupan bisa juga dianalogikan pada kegagalan kita untuk setia pada mantra "Ma-ra-na-tha" dalam perjalanan meditasi kita. Ketika kita menyadari betapa sering kita gagal, tetapi Tuhan tetap setia menantikan kita kembali kepadaNya, mengapa kita harus berlari meninggalkanNya?

Kesuksesan dalam kehidupan sangat tidak jelas definisinya. Kesuksesan bagi seseorang belum tentu berarti kesuksesan di mata orang lain. Tetapi kesetiaan pada kebenaran dan kemanusiaan, kesetiaan pada kasihNya, adalah jalan untuk tetap berada bersamaNya. Bukti kasihNya adalah pengampunan, dan bukti kasih kita bagiNya juga tidak bisa berbeda, pengampunan kepada sesama yang bersalah pada diri kita.

Tuhan Allah dan Bapaku,
Terima kasih atas kasihMu,
Bimbing kami untuk tetap setia padaMu,
Ampuni kami anakMu yang sering gagal dalam pencobaan,
Kuatkan dan bimbing kami ya Bapa,
Anugerahkan Roh KudusMu agar kamipun mampu mengampuni.
Amin.

Saturday, March 30, 2013

Mengosongkan Diri

Dari suasana Tri Hari Suci tahun 2013, dan Meditasi Kristiani tadi pagi, saya merasakan satu hal yang sangat  kuat menghampiri memoriku, "mengosongkan diri." Kata emas yang kupilih menjadi judul ini ternyata dalam kata yang berasal dari bahasa Yunani adalah KENOSIS. Ada perbincangan mengenai Kenosis dari kupasan asal katanya (bisa dibaca di sini), tetapi yang lebih dalam menggurat di batinku adalah pengosongan diri sebagai manusia. Dalam perjalanan ke bukit Golgota, Ia telah melepaskan semua kemegahan yang diterimaNya dalam lambaian palma di hari Minggu sebelumnya. Kemegahan, kekuasaan, dan pengharapan yang tinggi kepadaNya tiba-tiba pupus dan terganti dengan sumpah serapah, serta deraan penyiksaan.

Pergulatanku sekarang ini juga tidak jauh dari kata ini. Mengosongkan diri, mengosongkan keinginan dan harapan pribadi, membiarkan kehendakNya dan jalanNya yang menguasai hidupku. Sebenarnya sudah lama saya merasa membiarkan kehendakNya yang terjadi, dan membiarkan langkahku berjalan di jalan yang kukira adalah jalanNya. Tetapi, dalam satu titik balik kehidupan, ketika merasa ditegur dengan talenta yang dikubur, atau keengganan untuk meminta seperti anak yang sulung dalam kisah anak yang hilang, saya merasa dia juga menginginkan saya untuk memiliki kehendak. Dan saya terbawa arus the Secret, atau Mestakung (semesta mendukung) sehingga bertanya-tanya, "Apakah saya salah tidak menginginkan dan tidak melangkah ke suatu arah yang kuinginkan?" Keinginanku adalah menjalankan keinginanNya, tetapi keinginanNya terkadang tidak mudah kubaca.

Ketika menjalani kehidupan berkeluarga, dan terus mencoba menjadi garam di tengah masyarakat (walaupun tetap dalam skala terbatas) terkadang terasa betapa kehidupan ini sungguh bukan milik kita sendiri. Jadwal yang penuh dan harus diatur begitu rupa, terkadang tidak tahu mana yang lebih penting dan menjadi prioritas bagiNya. Ketika komunitas doa menginginkan waktu bersama, sementara rumah belum juga beres, yang mana yang menjadi prioritas? Ketika pekerjaan atau komunitas kerja membutuhkan waktu tambahan sementara rumah atau doa juga menantikan pembagian waktu, yang mana yang harus didahulukan? Ketika manusia harus sanggup membagikan diri, tentunya perlu memiliki sesuatu baru bisa berbagi...

Manusia terbiasa melihat kesuksesan sebagai suatu hasil perjuangan. Tetapi terkadang ada perjuangan yang tidak ada akhirnya. Pekerjaan rumah tangga dalam keluarga merupakan satu contoh jelas mengenai perjuangan yang tiada akhirnya. Baru selesai dengan satu macam pekerjaan, maka pekerjaan yang lain sudah menanti, tidak ada hentinya. Padahal bila tinggal sendirian tentunya lebih mudah untuk mengatur pekerjaan rumah tangga itu. Pendidikan anak juga terkadang menjadi perjuangan yang terasa tak berkesudahan. Anak-anak yang diberi pengajaran tampak bagaikan tak menghasilkan buah-buah prestasi. Bahkan kalau dipikirkan lebih dalam, sebagai anak, saya juga masih tidak kurang menyusahkan orang tua. Apalagi kalau melihat anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, bagaimana orang tua membutuhkan berkat berlebih untuk tetap tegar dalam berjuang bersama anak-anak mereka.

Dalam kelelahan perjuangan itu terkadang terasa betapa semua mencoba menyerap energi kita, dan kita serasa kosong tidak memiliki ruang untuk diri sendiri. Mengosongkan diri tanpa menjadi kosong, rasanya itu yang lebih tepat untuk dijalani. Mengosongkan diri bagi kemuliaan namaNya, tetapi tidak akan pernah kosong karena Ia sendiri yang senantiasa mengisi kekosongan itu, entah dengan kekuatan ketika kita merasa lemah, atau dengan ketabahan ketika kita merasa terhempas, serta kedamaian yang menjadi sumber sukacita bahkan di dalam kesedihan terdalam.

Bapa,
Ampuni kami orang berdosa,
Dosa-dosa kami yang menyalibkan Kristus,
yang membuatNya didera dan diejek,
yang membuatNya terjatuh dan tak bertenaga,
yang membuatNya dicaci dan ditikam,
yang membuat kehidupanNya nampak bagai kegagalan di mata dunia,
tetapi bagai benih kehidupan yang jatuh...mati...dan berbuah banyak,
Kuatkan kami ya Bapa,
agar mampu meneladani Yesus Kristus, Sang Penebus,
yang setia sampai akhir perjalanan,
yang tiada pernah memalingkan wajah dari BapaNya,
Allah ampunilah kami orang berdosa,
Amin.


Thursday, March 14, 2013

Habemus Papam

Paus yang baru sudah terpilih! Paus yang akan menggantikan Paus Benediktus XVI ini memilih nama Fransiskus I. Semoga dalam perjalanannya beliau senantiasa dikuatkan. Nilai-nilai yang ingin disampaikannya  melalui nama Fransiskus ini sangat penting dalam pergerakan zaman yang semakin cepat. Kehidupan di era internet ini semakin cepat bergerak meninggalkan sifat rendah hati dan sederhana. Saya belajar banyak dari sosial media dan kehidupan blogger. Untuk bisa tampil di dunia maya, membuat orang harus belajar mempromosikan diri sendiri. Pergerakan ini terkadang bisa menyeret menjauh dari tujuan awal untuk berpihak pada orang miskin dan terpinggirkan.

Dalam setiap pelantikan pemimpin baru, saya melihat bagaimana para pemimpin ini menjadi aus tergerus masalah-masalah yang setiap hari harus dihadapinya. Pemimpin yang idealis terkadang teriris idealismenya dan terpaksa ikut ke dalam arus kehidupan yang membuatnya menjauh dari orang-orang yang semula menjadi konstituennya.

Paus, merupakan pemimpin yang sedikit berbeda. Orang Katolik percaya bahwa Tuhan ikut ambil bagian dalam pencapaian kata sepakat dalam konklaf. Umat Katolik di seluruh dunia berdoa agar pilihan para kardinal merupakan hasil yang dicapai dengan bantuan Roh Kudus.

Walaupun Paus Fransiskus I tidak lagi muda, setidaknya tugas terberatnya adalah menjalin komunikasi dengan kaum muda gereja. Saya masih ingat ketika Paus Yohanes Paulus II baru terpilih, saya begitu antusias untuk membaca tulisan-tulisannya yang ditujukan kepada kaum muda. Tetapi kaum muda saat ini sudah jauh berbeda dengan generasi angkatan saya. Kaum muda yang tergerus arus globalisasi ini, terkadang tidak lagi memiliki benteng pertahanan yang kuat untuk membendung arus yang tidak sesuai dengan prinsip dasar agama Katolik. Kaum muda urban, yang dibesarkan oleh orang tua sibuk karena tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, dan seringkali tidak sempat mendapatkan akar yang mendalam. Bahkan bagi saya sendiri yang bergiat di dalam pembinaan anak-anak dan remaja, untuk menjamin pertumbuhan nilai Katolik yang ada pada anak-anak saya sendiri, mungkin tidak bisa saya berikan. Kondisi saat ini membuat mereka lebih kritis dan lebih mandiri dalam membuat pilihan-pilihan kehidupan. Satu-satunya bekal yang mampu kami, orangtua, berikan adalah pengertian mendasar. Selebihnya tidak bisa dipaksakan. Kalau mereka merasa bosan dengan liturgi yang menurut mereka monoton, tidak ada lain yang bisa kami lakukan selain memperkenalkan maknanya secara lebih mendalam. Tapi, pada akhirnya mereka sendiri yang membuat keputusan dalam mengembangkan iman Katolik mereka.

Saya juga masih tidak melupakan rasa kasihan saya melihat Paus Yohanes Paulus II gemetar ketika memberikan berkat Urbi et Orbi (to the city and to the world). Betapa Tuhan menggunakan beliau hingga ke ujung jalan salibnya. Semoga Tuhan senantiasa membimbing Paus Fransiskus I dalam perjalanan pelayanannya.

Bapa,
kuatkan hamba-hambaMu
supaya mereka setia dalam kaul sucinya,
dan mampu membimbing kami dalam perjalanan kami,
Terutama berkatilah Bapa Suci Paus Fransiskus I
agar beliau diberi kebijaksanaan dan kekuatan untuk
menjadi batu karang Gereja,
dan memimpin kami menuju terangMu yang abadi.
Amin.




Wednesday, March 13, 2013

Janji Bagi Bunda

Pada hari Selasa, 12 Maret 2013, ketika teman-teman yang beragama Hindu memasuki tahun baru Saka dalam keheningan Nyepi, saya juga memasuki suatu langkah baru dalam kehidupan rohaniku. Hari itu pertama kalinya saya mengikuti Misa Acies, dan memberikan janji kepada Bunda, "Aku adalah milikmu, ya Ratu dan Bundaku dan segala milikku adalah kepunyaanmu."

Sebenarnya Bunda Maria adalah Ibu yang paling dekat bagiku. Ketika kegelapan menghampiriku dan aku tidak mampu menemukan Yesus, maka Bunda Maria yang datang mempertemukanku dengan Putranya. Keheningan yang kuperoleh dalam adorasi ekaristi di Lourdes menjadi sumber mata air yang menguatkan di kala kehidupan rohaniku diterpa badai padang gurun. Keheningan di dalam hadiratNya menjadi sumber cahaya dalam kegelapan yang menerpa.

Keinginan untuk ikut Legio Maria sebenarnya sudah sering samar-samar terdengar di batinku. Tetapi ketakutan akan sulitnya membagi waktu senantiasa membuatku takut berkomitmen. Saat inipun sesungguhnya saya hanya ikut sebagai anggota auksilier. Bahkan untuk datang mengikuti misa acies ini sudah melalui godaan besar untuk melewatkannya. Pekerjaan di rumah bertumpuk, dan anak-anak yang sendirian dan harus belajar untuk ulangan umum menjadi pembenaran untuk tidak perlu hadir. Tetapi sesungguhnya hal yang mendasar adalah ketidak pantasan untuk hadir. Selama ini saya belum sanggup sungguh-sungguh disiplin dalam menjalankan doa tesera harian. Untunglah akhirnya saya sampai juga dan mengikuti seluruh rangkaian misa, termasuk mengucapkan janji bagi Bunda. Janji adalah utang, semoga Bapa memberikan rahmatNya bagiku untuk dimampukan setia dalam pelaksanaan janjiku.

Yang lucu, namaku yang tercatat di Presidium salah. Seharusnya Maria Margaretta, karena mengikuti nama permandianku yang berasal dari Marguerite Marie Alacoque, tetapi sekretaris presidium mengira namaku Marta. Rasanya memang saya terlalu banyak meniru Marta daripada Maria. Sudah saatnya untuk lebih bijaksana dalam membagi waktu (walau tidak mudah rasanya, karena lingkungan yang terus dipecah ini membuat tugas lingkungan bertumpuk pada kelompok kecil sehingga terkadang terasa tidak mungkin untuk bergerak ke luar).

Salah satu pendorong utama langkahku menjadi anggota auksilier Legio Maria ini adalah kepergian seorang teman. Kepergiannya di usia yang masih muda, meninggalkan anak-anak dan suaminya, sungguh mengguncang batinku. Kebetulan dia sejak muda menjadi anggota Legio Maria. Ketika mengantar kepergiannya, kami menyanyikan lagu, " Jikalau gandum tak jatuh di tanah, tetap sebiji tak banyak buahnya..." (baca juga Mati untuk Menghasilkan Buah). Karena kepergiannya di bulan Oktober bertepatan dengan jadwal rosario lingkungan, maka doa rosario kami dimasukkan ke dalam bagian doa tesera teman-teman Legio Maria. Saat itulah keinginan untuk menjadi buah bagi kesaksian hidupnya terasa. Dan ternyata saya tidak sendirian, seorang tetangga dekatnya juga merasakan hal yang sama, dan kami bertemu kembali dalam misa acies ini. Semoga kami sanggup sungguh-sungguh menjadi buah yang pada waktunya juga akan mati dan berbuah kembali.

Bapa yang Maha Baik,
Semoga kasihMu menguatkan kami,
dan rahmatMu membantu kami disiplin dalam melaksanakan doa,
dan menguatkan untuk berpasrah dalam janji kepada Bunda.
Agar kami dengan perantaraan Bunda dihantarkan kepada Tritunggal Yang Maha Kudus,
dan dimampukan untuk berjuang bagi kebenaranMu.
Amin.



Mengikut Bapa Sebagai AnakNya

Bacaan Injil mengenai Anak yang Hilang tentunya sudah sangat dikenal oleh orang Kristiani. Sangat menarik bahwa kisah ini memiliki berbagai dimensi yang 'berbicara' pada saat yang berbeda. Ketika pertama kali membaca kisah ini, tokoh yang sangat dekat dengan diri saya adalah si bungsu. Perasaan menjadi si bungsu yang dengan sembrono menuntut haknya sebagai anak, dan kehilangan pegangan dan kasih sang Bapa, sangat lekat menyapa.

Kemudian suatu ketika di tengah meditasi Kitab Suci, tiba-tiba tertegur akan kelekatanku pada figur anak sulung Bapa (Baca: Anak Sulung yang Hilang). Anak yang merasa sebagai anak Bapa, tetapi berlaku tidak lebih dari hamba sahayaNya. Ia mengabdikan kehidupannya pada Bapa karena mengharapkan upah dari Bapa, dan merasa kecewa ketika Bapa memotong kambing dan berpesta untuk adiknya yang pulang ke rumah. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa ia adalah anak Bapa, dan segala milik Bapa boleh dipergunakannya. Iri hati menutupi matanya. Kesombongan akan pengabdiannya membuat ia tidak mau masuk ke dalam rumah Bapa untuk menyambut adiknya yang pernah hilang.

Kali ini beberapa kali mendengarkan bacaan ini menjelang hari Minggu Prapaskah, baik dalam meditasi, dalam pertemuan Pendalaman Iman Prapaskah, dan di dalam misa hari Minggu, saya tersentil akan kebaikan Bapa. Dalam kehidupan berumah tangga, menjadi orangtua memang lebih mendekatkan pada peran Bapa. Kemampuan untuk bersikap bijaksana, dan adil kepada semua anak. Kerendahan hati untuk menerima kembali anaknya yang hilang. Ia tidak ragu untuk keluar menjemput anak bungsu yang sudah bersikap durhaka, dan Ia juga tidak ragu untuk keluar menemui si sulung yang tidak mau masuk ke dalam rumah. Ia tidak memperdulikan otorita sebagai orangtua.

Kalau biasanya saya merasa dekat pada tokoh-tokoh dalam kisah ini karena mengingatkan akan kedekatan mereka dengan diri saya, maka kali ini kedekatan dengan tokoh Bapa lebih karena Ia mengingatkan saya akan kekurangan saya sebagai orangtua. "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna." (Mat 5:48) Ketika saya tidak mampu untuk bersikap seperti Bapa di dalam rumah, bagaimana mungkin saya bisa meniruNya di luar rumah?

Membaca Injil Matius 5:43-48 membawa saya lebih dalam pada kerahiman Ilahi. Ia menerbitkan matahari bagi orang yang baik dan orang yang jahat, menurunkan hujan bagi orang yang benar dan yang tidak benar. FirmanNya menanyakan, "Apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?"

Rasanya sungguh sulit untuk dapat menjadi seperti Bapa, tetapi sebagai anakNya tentu kita boleh berharap memperoleh rahmatNya agar dimampukan mendekati kesempurnaan Bapa.

Bapa yang Maha Baik,
Terima kasih atas pencerahanMu bagi kami,
Mohon rahmatMu agar kami dimampukan untuk bersikap sepertiMu
untuk sungguh-sungguh menjadi anakMu
dan mewarisi kesempurnaanMu.
Amin.

Bebaskan Hatimu

Buku doa Fransiskus dari Sales ini sangat sesuai dengan kebutuhanku saat ini. Salah satu dari buku serial doa 30 Hari Bersama Mahaguru Spiritual ini membawaku membuka lembaran-lembaran baru di awal tahun 2013.

Di hari pertama, doanya sudah sangat menyentil diriku, "Jangan tergesa-gesa, langkah yang tergopoh-gopoh bisa tersandung." Tapi, yang paling berkesan adalah hadirnya teguran Yesus kepada Marta, "Marta, Marta, engkau terlalu khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak persoalan." Teguran ini langsung terasa sebagai teguran bagi diriku, yang tampaknya lebih sering mengikuti langkah Marta daripada langkah Maria. Teguran di awal tahun ini memang seperti khusus diberikan untuk refleksi bagi diriku,

Pesan di hari kedua adalah "Biarkan Allah melakukan bagianNya. Bersabarlah." Terkadang sebuah proses tidak tampak mengarah pada hasil yang berdampak baik, tetapi di balik itu ada rencana Allah. Dan, sering kali kita tidak cukup pandai untuk membaca rencanaNya, atau mungkin juga Ia membiarkan kita untuk mencoba meletakkan segala harapan dan kekhawatiran kepadaNya. Ia menginginkan pengakuan iman kita.

Bacaan harian yang reflektif dari buku ini sangat membantu untuk membawa pembaca ke dalam keheningan hati dan membantu melihat ke dalam hati yang lebih bening.


Tuesday, January 01, 2013

Belajar dari Keluarga Kudus

Hal yang menjadi panutan bagi keluarga Katolik dalam pernikahan tentunya adalah Keluarga Kudus dari Nazareth. Bagaimana keluarga yang sederhana ini menjalankan kehendak Tuhan sejak sebelum Maria dan Yosep membentuk keluarga. Maria menerima kabar dari Malaikat Gabriel sebagai kabar suka cita walaupun saat itu ia belum lagi bersuami. Yosep yang sempat ingin meninggalkan Maria, dengan taat dan rela hati menjaga keluarga kudus yang dipercayakan kepadanya.

Tanggal 26 Desember kemarin saya berkesempatan menghadiri pernikahan kudus seorang teman. Menghadiri sakramen pernikahan, selain memberikan selamat kepada keluarga baru, juga memberi peneguhan akan janji pernikahan yang pernah kuucapkan dahulu. Homili dari pastur hari itu mengingatkan untuk senantiasa mengingat faktor positif/kebaikan yang membuat pasangan memutuskan untuk menjelang hari depan sebagai satu pasangan. Tidak bisa disangkal bahwa kehidupan pernikahan senantiasa penuh dengan gejolak naik dan turun. Tidak jarang grafik turun yang melorot drastis juga menghampiri pernikahan. Terkadang hal yang menarik dari pasangan, yang biasanya merupakan sifat yang bertolak belakang dengan sifat kita, malah menjadi bumerang dalam kehidupan bersama. Pasangan yang baik dan ramah, yang semula menjadi faktor pendekat, bisa menjadi sumber kecemburuan di kemudian hari. Itulah pentingnya untuk senantiasa mengingat faktor positif yang kita temui di dalam diri pasangan, dan mengingatnya pada saat hubungan sedang sulit.

Sebenarnya pernikahan Katolik yang satu dan tak terceraikan terkadang menimbulkan tanya di benakku. Beberapa teman yang tampaknya membuat pilihan yang salah, ketika menikah kembali malah mendapatkan pasangan yang lebih sesuai, dan tampak lebih bahagia. Salahkah bila orang mencari kebahagiaannya? Demikian juga dengan para rohaniwan yang tidak lagi setia pada kaulnya. Bukankah ini sama dengan pasangan yang berselingkuh? Atau bahkan bercerai? Maria dan Yosep sudah bertunangan, bahkan belum menikah ketika diketahui bahwa Maria mengandung dari Roh Kudus. Suatu bencana yang besar tentunya, tetapi Yosep yang mendengarkan kehendak Allah kembali setia kepada kehendakNya sehingga dapat mewujudkan rencana penyelamatan. Inilah inti dari pesan Allah bagi kita, "Carilah dahulu kerajaan Allah..." Pilihan-pilihan yang hendak dilakukan dalam setiap fase kehidupan hendaknya bersandar pada kehendakNya, mencari kerajaan Allah. Dan ketika badai menerjang bahtera pernikahan, bertahanlah dengan kepasrahan kepada kehendakNya.

Mengetahui kehendak Allah tidaklah mudah. Bacaan Injil di Hari Raya Keluarga Kudus mengingatkan akan hal ini. Dalam Injil Lukas 2:41 -52 diceritakan bagaimana Yesus tertinggal di Bait Allah. Ketika Maria menegurNya, "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? BapaMu dan aku dengan cemas mencari Engkau." Jawab Yesus, "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah BapaKu?" Dikatakan dalam ayat selanjutnya, "Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakanNya kepada mereka." Begitulah sulitnya mengetahui kehendak Allah. Ketika manusia tercekam dalam dalam kecemasan dan ketakutan, atau terobsesi pada tujuan hidup yang diinginkannya, maka sering kali kehendakNya tidak lagi terlihat jelas. Dalam buku "Bebaskan Hatimu" dari seri 30 hari bersama mahaguru spiritual Fransiskus dari Sales, dikatakan bahwa kecemasan batin yang berlebihan membuat kita mudah marah dan panik. Itulah yang dialami Petrus yang hampir tenggelam, itulah yang juga sering kali membuat hambatan komunikasi antar pasangan. Serahkan semua kecemasan kepada Tuhan, saksi utama pernikahanmu, dan biarkan keajaibanNya membimbing bahteramu berjalan menempuh lautan kehidupan, di saat teduh, berombak, maupun berbadai besar. Kecemasan Yosep dan Maria ketika kehilangan Yesus selama 3 hari tentunya membuat mereka tidak mengerti kehendak Allah pada saat itu.

Dalam sebuah bacaan yang lain saya membaca bahwa badai di tengah laut menambah keterampilan seorang pelaut. Sang penulis mempertanyakan hal itu, menurutnya di saat yang teduh dan tenangpun seorang pelaut bisa bertambah terampil. Yang terpikir saat itu, adalah kenyataan dalam kehidupan, bahwa saat badai mengamuk dan pelaut bersusah payah mengendalikan kapal atau perahunya, adanya kepasrahan pada kehendakNya akan membawa ketenangan batin yang memandu sang pelaut untuk menggunakan keterampilan terbaiknya. Dalam keadaan tenang, seringkali manusia mendahulukan egonya, dan melupakan kehadiranNya. Ego sebagai orangtua seringkali membuat ayah atau ibu bersikap otoriter terhadap anak. Kita  seringkali lupa bahwa kita hanyalah busur yang membantu melontarkan anak panah sesuai kehendakNya.

Tuhan,
Terima kasih atas kehadiran keluarga kudus,
yang mengingatkan kami akan kesederhanaan,
akan makna membaca kehendakMu,
dan ketaatan pada kehendakMu.
Berkatilah keluarga-keluarga yang telah Kau persatukan,
semoga buah-buah cinta kasih senantiasa tumbuh dan berkembang
membangun dunia yang penuh damai sejahteraMu.
Amin.