Pertama kali saya tersentuh pada kehadiran sebuah kebiasaan baik yang membuat murid-murid itu mengenali kehadiran Yesus. Yang teringat pada saat itu adalah perlunya memberikan kebiasaan baik yang sama kepada anak-anakku agar mereka juga bisa merasakan kehadiran Yesus. Kemudian teringat juga betapa seringkali dalam saat konsekrasi saya harus berjuang antara keinginan untuk menasehati anak-anak (yang sibuk bermain atau bercanda) atau tetap berusaha mendekatkan diri dalam diam kepada kehadiranNya.
Seorang penulis, Reda Gaudiamo pernah juga menyentilku melalui tulisannya "Minggu Pagi" di dalam buku kumpulan cerpennya "Bisik-bisik". Saya kutipkan sebagian di bawah ini.
"Bapa Kami yang ada di Surga, dimuliakanlah namaMu. Datanglah kerajaanMu, Jadilah kehendakMu, di bumi seperti juga di dalam surga..."
"Ssst..."
"Hah, kenapa?"
"Kok begitu?"
"Apanya?"
"Matamu itu. Kalau berdoa, ditutup. Rapat."
"Ah."
"Kalau diberi tahu selalu ah, ah, ah."
"Berilah kami pada hari ini, makanan kami yang secukupnya..."
"Tutup matamu."
"Kenapa, Ma?"
"Karena memang begitu aturannya."
"(A)turan di mana?"
"Di mana-mana."
"Di gambar-gambar, orang berdoa dengan mata terbuka. Malah menengadah ke langit."
"Itu gambar. Kalau di gereja lain. Mau menengadah ke mana? Langitnya tertutup genteng. Ayo tutup mata!"
"..."
"Dan ampunilah kesalahan kami seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami..."
"Eh, tutup mata!"
"Tidak bisa."
"Harus bisa. Apa susahnya menutup mata?"
"Tidak mau."
"Harus mau."
"Ah."
"Ah, ah terus. Ini doanya sudah setengah jalan, hampir amin, kamu masih terus melotot. Tutup mata!"
"Ah."
"Memangnya kenapa kalau matamu di tutup? Semua orang tidak punya masalah dengan menutup mata waktu berdoa?"
"..."
"Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, melainkan lepaskanlah kami dari yang jahat..."
"Kenapa?"
"Jadi mengantuk, Ma. Nanti aku malah ketiduran."
"Mengantuk? Ketiduran? Wah, bahaya itu."
"Memangnya kenapa?"
"Karena Engkaulah yang empunya kerajaan, dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanua..."
"Itu artinya kamu kurang iman."
"..."
Ketika mendengar Reda membacakan cerpen ini saya juga teringat pada konsekrasi di gereja. "Tutup matamu," saya memerintahkan kepada anak-anak, tetapi bagaimana saya bisa tahu bahwa mereka tidak menutup mata mereka? Bukankah itu berarti saya membuka mata saya? "Diamlah dan berdoa," begitu perintah saya pada anakku, tetapi bukankah saat itu saya bersuara dan tidak sedang berdoa? Sesekali mereka masih tergelak dan tidak terasa sebuah cubitan mendarat di paha mereka. "Apakah engkau muridKu?" sebuah suara mendadak terdengar dari balik kalbuku.
Kebiasaan dan contoh merupakan dua hal yang sangat erat hubungannya bagi anak-anak. Bagaimana mengenali kehadiranNya melalui sebuah kebiasaan baik bila kita tidak menanamkannya di dalam rumah? "Berilah contoh, lakukanlah dengan segenap hatimu maka mereka akan mengenalinya," begitu kata hatiku. Hal yang terasa berat tetapi menjadi lebih ringan ketika saya yakin bahwa Ia senantiasa menjadi Guru yang membimbing langkahku. Tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua, tidak ada kursus yang bisa membuat kita mengenal secara rinci anak-anak itu. Mereka adalah makhluk Tuhan yang unik, setiap anak dititipkan dengan karakter mereka masing-masing. Mengenali mereka tidak akan terlalu rumit bila Yang Maha Tahu ada bersama kita.
Satu hal lain yang terasa kemudian adalah betapa sering saya menjadi seperti murid-murid itu yang menginginkan kehadiran Yesus secara nyata, dengan pertanda yang jelas dalam kehidupanku. Tetapi dalam kenyataannya Ia lenyap, dan kita harus berusaha mencariNya di dalam kebaikan hati sesama, di dalam kebiasaan baik yang senantiasa diajarkanNya kepada kita.
Tuhan,
Terima kasih karena senantiasa mengingatkan kami,
perjalanan ke Emaus terasa singkat bersamaMu,
semoga demikian juga perjalanan kami di bumi ini,
senantiasa diisi dengan suasana hati yang berkobar-kobar dalam kedamaian,
karena Engkau hadir bersama kami.
Kami percaya,
dalam saat yang tepat Engkau menyadarkan kami akan kehadiranMu,
semoga kami selalu berbahagia menjadi orang yang percaya walaupun tidak melihat.
Amin.
No comments:
Post a Comment