Monday, May 11, 2009

Menjadi Ananias, Menjadi Paulus...

Terus terang, masalah duniawi seringkali menyita waktu sehingga hanya kesibukan belaka yang ada. Padahal untuk bisa mendengar sabdaNya dan mengerti kehendakNya seringkali juga dibutuhkan keheningan. Ada beberapa hal yang menarik perhatian saya tetapi tidak pernah sempat tertuliskan. Kesibukan Tri Hari Suci dan semua kesibukan harian memang sungguh-sungguh mendera. Belum lagi masalah batin yang banyak mempertanyakan kehendakNya...

Seorang kenalan yang saya kenal dan menderita kanker baru saja kehilangan suaminya. Sebuah ironi bahwa sang suami terlebih dahulu dipanggil menghadap Sang Pencipta, sementara pasca operasi belum lama dilaluinya. Selain itu seorang tetangga yang hanya punya anak gadis semata wayang harus menghadapi kenyataan putrinya kecelakaan dan tampaknya mempengaruhi batang otak sehingga perlu terapi panjang untuk kesembuhan seperti semula. Mereka adalah orang-orang yang rajin beribadah dan ikut melayani dengan cara mereka masing-masing. Terus terang dalam hal penderitaan maka saya tidak bisa tidak, pasti menengok pada ketabahan Ayub. Semoga teman-teman saya ini juga dikuatkan seperti Ayub.

Minggu-minggu terakhir ini saya juga sering mendengar tentang pertobatan Saulus. Seorang pastur mengingatkan adanya kesamaan antara Saulus dan Paulus, yaitu keduanya mencintai Allah dan ingin membela Allah. Perbedaannya adalah cara Saulus yang salah, karena ia mengira membela Allah dengan mempertahankan kemurnian Taurat sehingga pengikut Yesus adalah musuh-musuh Allah. Dia kemudian membela Allah dengan mengangkat senjata dan membunuh "musuh-musuh" tersebut. Paulus yang sudah benar-benar mengenal Allah dan mengetahui apa yang harus dikerjakannya melaksanakan perlawanan dengan cara yang berbeda, cara yang dipenuhi dengan cinta kasih.

Satu hal menarik dari pertanyaan sang pastur ketika itu adalah: "Mengapa Allah membutuhkan kehadiran Ananias untuk mengakhiri kebutaan sementara Saulus?" Berakhirnya kebutaan Saulus menjadi lambang perubahan dirinya menjadi Paulus. Rupanya Allah memang menginginkan interaksi aktif manusia dalam memberitakan kabar keselamatan bagi sesamanya. Kehadiran Ananias menjadi perlambang keberanian untuk menjadi pewarta bagi Allah, menjadi perantara kabar bahagiaNya.

Di lain pihak, menjadi Paulus berarti harus bisa mengakui kesalahan diri dan bersiap menerima tantangan masa depan, menghadapi orang-orang yang mungkin awalnya akan meragukan ketulusan dirinya. Menghadapi keraguan, stigma dan label yang sudah terlanjur melekat pada dirinya. Menjadi Paulus berarti berani membangkitkan cinta kasih Allah dalam dirinya dan merubah diri sesuai dengan kehendakNya.

Terus terang kehidupan meditasiku sedang terganggu. Tidak ada waktu yang bisa kusediakan untuk sungguh-sungguh hening dan membaca FirmanNya. Tidak ada waktu yang bisa kusediakan untuk mengosongkan berbagai macam isi kepalaku dan hanya mencoba mencari sabdaNya. Tetapi beruntung bahwa dalam segala keriuhan dunia yang harus saya jalani masih juga saya menjumpai orang-orang seperti Ananias yang memberitakan kabar sukacita.

Kemarin saya mengikuti Pelatihan Cara Mendongeng bagi divisi Bina Iman Anak KAJ. Materi "Mendongeng dengan Kitab Suci" dari Romo Indra Sanjaya Pr. serta "Berkatakese melalui Dongeng" dari mbak Yayi membuat saya kembali diingatkan akan tugas perutusan utama seorang ibu (dan orang tua pada umumnya) yaitu untuk membangun pondasi iman anak-anaknya.

Siapapun bisa menjadi Ananias. Kak Agus DS, seorang muslim, yang mengajarkan teknik dan ketrampilan mendongeng, dengan cerdik memberikan contoh kasus bagaimana ia bisa bertindak sebagai pendidik (dia juga seorang kepala sekolah) terlepas dari agama yang dianutnya. Dia mencontohkan kisah seorang anak yang tidak mau ke sekolah Minggu. Dia mencari tahu bagaimana mengalahkan kekerasan hati anak tersebut. Akhirnya dia mengajak anak tersebut bermain tali. Ketika seutas tali tipis direntangkan maka tali itu bisa diputuskan dengan mudah. Ketika kemudian tali itu membelit ke badan maka satu lilitan masih agak mudah untuk dibuka. Ketika lilitan bertambah banyak maka tidak lagi gampang untuk melepaskan diri ikatan tali itu. Dan...itulah perlambang dosa yang melilit dan mengikat kita. "Apakah dosa itu?" tanya anak lelaki kecil tadi. "Mari kita tanya kepada guru sekolah minggumu," jawab Kak Agus. Kisah yang universal, setiap agama mengajarkan bahwa dosa itu memang melilit dan mengikat manusia sehingga manusia akan sulit terlepas dari jeratannya. Tapi, bagaimana mengajak seorang anak merasa tertarik untuk mengetahui perbuatan apa yang dianggap dosa dan ingin menghindarinya, apalagi dengan latar belakang agama yang berbeda tentunya membutuhkan keahlian tersendiri. Mungkin saja kisahnya ini rekaan untuk menggugah kami, tetapi kisah itu begitu menyentuh, terutama karena ia sendiri menekankan betapa sekolah minggu adalah bukan hal yang dikenalnya karena ia berbeda keyakinan. Kisah tentang lilitan dosa rasanya sudah pernah saya dengar, tetapi dengan caranya berkisah maka terasa sangat hidup dan menyentuh. Semoga kami yang mengikuti acara itu mampu juga menggugah anak-anak melalui dongeng dari Kitab Suci.

Menjadi Ananias, menjadi Paulus, atau mungkin menjadi Petrus yang baru tersadar oleh kokok ayam jantan yang ketiga kalinya di pagi hari itu...bisa jadi menjadi bagian dari takdir dan pilihan hidup. Rasanya saya percaya ada takdir yang sudah menunggu kita, tetapi dengan berjalan dalam panduanNya maka takdir itu tidak akan pernah membawa kita ke dalam kehancuran abadi, sama seperti Paulus yang sanggup bangkit dan kembali membela Allah dengan cara yang benar, dengan semangat cinta kasih...

Allah,
Ampunilah kami orang berdosa,
Ajarilah kami untuk mengenal kehendakMu,
Bimbinglah kami untuk berjalan di jalanMu,
Jangan biarkan kami menjadi domba-domba yang hilang,
Latihlah kami menjadi anak-anak gembala yang membantuMu di padang rumput
Amin.