Ada satu hal yang akhir-akhir ini menjadi pemikiranku, terutama setelah membaca kembali buku "Kesaksian Bertemu dengan Malaikat" tulisan Joan Wester Anderson. Kehadiran malaikat yang ajaib, yang datang dan menghilang secara fisik tidak pernah aku rasakan. Hanya saja beberapa cerita sebenarnya mengingatkanku akan beberapa kejadian masa lalu dimana boleh jadi malaikat pelindungku telah bekerja tanpa pernah aku ketahui.
Allah mendengar suara anak itu, lalu malaikat Allah berseru dari langit kepada hagar, kataNya kepadanya "Apakah yang engkau susahkan, Hagar? Janganlah takut, sebab Allah telah mendengar suara anak itu dari tempat ia terbaring..." (Kej 21:17)
Ketika aku masih kecil dahulu, aku sering stuip, yaitu kejang demam ketika sedang demam tinggi. Pernah pula gegar otak karena terjatuh dari kursi. Sebenarnya ksiah masa kecilku tidak terlalu banyak yang melekat di memori otakku. Hanya saja bagi orangtuaku kesembuhan dan kehidupanku memang merupakan anugerah Tuhan. Ada banyak orang yang ikut berperan dalam membantu kesembuhanku, dan buat aku mereka juga termasuk dalam jajaran malaikat-malaikat yang dikirim Tuhan.
Manusia menjadi malaikat bagi sesamanya terasa biasa bagiku, tapi kisah malaikat bersayap? Atau kisah malaikat yang sangat fantastis bagai mujizat? Rasanya seperti sebuah dongeng saja...
Buku "Kesaksian Bertemu dengan Malaikat" ini sepertinya sudah pernah kubaca dahulu, tapi sekarang ketika membaca ulang ada dimensi lain yang berbeda yang kutemukan.
Beberapa pengalaman yang telah lalu tiba-tiba berbicara dalam bingkai berbeda. Memang saya tidak bertemu dengan malaikat pelindungku, tapi karya nyata yang terjadi adalah mujizat yang tidak bisa saya sangkal.
Kisah yang paling tidak terlupakan adalah kisah ketika saya masih di bangku kelas 3 Sekolah Dasar. Waktu itu di sekolahku baru di kelas tiga kami dapat belajar berenang di sekolah. Saya baru satu atau dua kali ikut latihan ketika itu. Saya ingat pelajaran yang terakhir diajarkan padaku adalah "meluncur". Saya juga sebenarnya belum pandai "meluncur" saat itu.
Ketika itu aku bersama adik lelakiku ada di Puncak Pass Hotel. Ayah dan ibu sedang bertemu dengan keluarga kami yang menginap disana di salah satu bungalow. Aku berdua dengan adikku (dia mungkin masih di TK saat itu) sedang berjalan di dekat kolam renang hotel. Di salah satu sisi kolam renang, ada anak remaja yang menolak mati-matian untuk turun ke air. Melihat "anak besar" yang menangis ketakutan, aku berbisik ke adikku: "Malu-maluin, kan ada ban...Aku aja udah bisa berenang." Adikku mendengar perkataanku malah meledek: "Masa udah bisa? Mana buktinya?" Lalu kujawab lagi: "Iya, bener, nggak ada pakaian renang sih...coba ada..."
Tahu apa yang dilakukan oleh adikku? Dengan tiba-tiba dia mendorongku ke kolam renang sambil berkata: "Buktikan..." Itu kolam renang yang dalam, bukan kolam cetek tempat aku biasa belajar berenang. Lagipula airnya sedingin es batu. Ketakutan yang mendalam menguasai pikiranku. "Tuhan aku ingin selamat..."
Tidak ada seorangpun dari rombongan anak remaja tadi yang sadar kalau ada seorang anak yang sedang tenggelam di kolam dalam itu. Mereka masih membujuk anak gadis yang menangis tadi untuk mencoba berenang di dalam kolam yang lebih pendek itu.
Adikku juga mungkin tidak merasa bersalah. Dia juga tidak merasa perlu berteriak minta tolong. Entahlah, sebenarnya aku tidak tahu persis apa yang terjadi di luar sana karena orang tuaku juga tidak ada disana, jadi tidak ada yang pernah bercerita kepadaku.
Yang aku ingat, aku berjuang untuk bisa berenang. Aku mencoba meluncur mencari sisi kolam terdekat. Beruntung, aku mencapai sisi kolam dimana ada tangga yang menjulur ke bawah. Dari situ aku kemudian naik ke atas sendiri dan menangis tersedu-sedu, mempersalahkan adikku. Barulah orang-orang gempar karena hampir saja ada anak tenggelam di depan mata mereka tanpa mereka sadari.
Kejadian yang amat tidak masuk akal sebenarnya, apalagi sampai duduk di bangku SMP aku masih juga belum bisa berenang. Trauma hari itu di dalam kegelapan air kolam memang selalu menghantuiku, bahkan setelah bisa berenang di kemudian hari.
Sekarang ketika aku merefleksikan kembali kisah ini setelah membaca buku perjumpaan dengan malaikat pelindung, aku yakin bahwa malaikat pelindungku telah membantu aku di dalam air itu.
Tuhan,
terima kasih sudah mendengarkan suaraku
memberikan aku waktu untuk lebih lama lagi bersama keluargaku
semoga aku juga bisa menjadi malaikat bagi orang lain
Amin.
Siapa yang nakal Kak Retty? Saya pernah 'menuduh' diri saya tidak pandai secara motorik.. :) Saya sendiri belum tuntas dengan masalah mentalitas :) GBU...
ReplyDeletehehehe namanya anak kecil, saya usia 8 atau 9 tahun, berarti adik saya baru 6 atau 7 tahun...bukan nakal sebenarnya, masih bodoh...hehehe
ReplyDelete