Tuesday, December 23, 2008

“HIDUPLAH DALAM PERDAMAIAN DENGAN SEMUA ORANG”

(bdk. Rm. 12:18)

Sebelum dan sesudah Perayaan Natal, 25 Desember, ada hari-hari pesta yang erat hubungannya dengan Pesta Natal, antara lain: Hari Kesetiakawanan Nasional/20 Desember, hari Ibu/22 Desember, dan Hari Perdamaian Sedunia/1 Januari. Pesta Natal sendiri antara lain ditandai dengan warta gembira yang disampaikan oleh para malaikat : “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” (Luk 2:14) Maka baiklah saya mengajak anda sekalian merenungkan tema pesan Natal Bersama KWI-PGI di atas dalam rangka merayakan Natal, Kenangan Kelahiran Penyelamat Dunia, ‘Damai Sejahtera’ lahir di tengah-tengah kita.

Situasi yang memprihatinkankan?

“Perubahan nilai-nilai sosial yang sedang terjadi di tengah masyarakat Indonesia membuat tingkat perceraian semakin tinggi. Bahkan akibat kemampuan ekonomi yang terus meningkat di kalangan kaum Hawa, ikut mempengaruhi tingginya gugatan cerai yang diajukan istri terhadap suami. Saat ini begitu mudah pasangan suami-istri yang melakukan cerai dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di rumah tangga. Jumlah perceraian di Indonesia telah mencapai angka yang sangat fantastis. Tercatat pada tahun 2007, sedikitnya 200 ribu pasangan melakukan pisah ranjang alias cerai. Meski angka perceraian di negara ini tidak setinggi di Amerika Serikat dan Inggris (mencapai 66,6% dan 50% dari jumlah total perkawinan), namun angka perceraian di Indonesia ini sudah menjadi rekor tertinggi di kawasan Asia Pasifik.”(http://arifjulianto.wordpress.com/2008/ 5 Juni 2008).

Keluarga adalah dasar hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka memperhatikan jumlah perceraian di atas dan ketegangan atau percekcokan yang terjadi di dalam keluarga, yang kiranya lebih besar jumlahnya dari perceraian, kita dapat mengerti bahwa berbagai macam bentuk ketegangan, permusuhan, tawuran masih marak dalam kehidupan bersama di Indonesia, dan yang cukup memprihatinkan terjadi di kalangan generasi muda, pelajar atau anak-anak. ”KERA KENTOT” = Kenakalan anak karena kenakalan orangtua, demikian jawaban para mahasiswa ketika memperoleh tuduhan bahwa generasi muda kurang ajar. Aneka perbedaan: SARA, jabatan, fungsi, selera, cita-cita, perasaan, dst.. dapat menjadi sumber permusuhan atau tawuran. Kakak-adik dalam satu darah saling membenci, sama-sama katolik dalam suatu territorial tertentu (wilayah/paroki) dapat saling mendiamkan alias ‘jotakan’ (Jawa), bahkan ada pastor, bruder atau suster dalam satu tarekat tak dapat hidup bersama atau berdamai, dst…

“Damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.”

Warta Gembira atau Damai Sejahtera pertama-tama disampaikan kepada atau diterima oleh para gembala, yang dalam tatanan sosial kemasyarakatan masa itu termasuk kelompok yang tersingkir atau tergusur. Mereka adalah orang miskin, pengembara di padang rumput sambil menggembalakan domba-domba, pada malam hari tidur dalam kegelapan beratapkan langit dan bintang-bintang di langit sebagai penerangannya. Gaya hidupnya bertolak belakang dengan orang-orang Betlekem yang telah ‘mapan’ serta tidak bersedia memberi tempat bagi kelahiran Warta Gembira, Penyelamat Dunia. Para gembala adalah simbol kelompok orang yang terbuka atas segala macam kemungkinan serta Penyelenggaraan Ilahi; tiada harapan pada sesamanya yang telah ‘mapan’ maka hanya pada Tuhan, Yang Ilahi saja harapanNya; dengan kata lain para gembala adalah ‘manusia yang berkenan kepadaNya’.

“Yang berkenan kepadaNya” adalah siapapun yang membuka hati, jiwa, akal budi dan tubuh/tenaganya pada Penyelenggaraan Ilahi atau kehendak Tuhan, "Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya." (Luk 8:21).dan untuk mendengarkan dengan baik orang harus terbuka. “Terbuka adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keleluasaan dalam menerima apa saja dari luar, membuka diri terhadap umpan balik, dan mampu memuat informasi apa saja dengan obyektif” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 28). Sedangkan terbuka hemat saya perlu didasari dan diteguhkan dengan keutamaan rendah hati. “Rendah hati adalah sikap yang tidak suka menonjolkan dan menomorsatukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya” (Ibid. hal 24). Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi antara lain berkata: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Fil 2:5-8)

Dalam kehidupan bersama, entah di dalam keluarga atau tempat kerja/kantor, yang paling berkenan bagi semuanya antara lain ‘hamba/pembantu rumah tangga’ yang baik, yang antara lain ditandai ciri-ciri sederhana, ceria/gembira, cekatan, siap-sedia dan terbuka terhadap aneka kemungkinan, tanggap/peka terhadap kebutuhan yang lain, menyerahkan diri seutuhnya pada tugas pekerjaan atau pengutusan, dst... Maka apa yang ciri-ciri hamba/pembantu rumah tangga yang baik ini selayaknya kita hayati dalam rangka merayakan Natal, menyambut kelahiran Penyelamat Dunia.

“Hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” (Rm 12:8)

Marilah ajakan para Gembala kita “ hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” ini kita hayati dan sebarluaskan dengan inspirasi 3 (tiga) hari pesta yang berdekatan dengan pesta Natal: Hari Kesetiakawanan Nasional, Hari Ibu dan Hari Perdamaian Sedunia.

1) Kesetiakawanan

Setia dalam bahasa Latin fidelis memiliki beberapa arti yaitu: yang menepati janjinya, taat, patuh, benar, jujur, dapat dipercaya, sejati, lurus hati, maka setiakawan berarti dalam berhubungan dengan orang lain dijiwai oleh keutamaan-keutamaan yang menjadi arti dari fidelis . Hemat saya kesetiakawanan ini pertama-tama dan terutama harus menjadi nyata atau dihayati dalam komunitas dasar yaitu dalam keluarga, relasi antar anggota keluarga. Pengalaman hidup bersama di dalam keluarga akan sangat mempengaruhi cara hidup dan cara bertindak kita dalam menghayati atau melaksanakan tugas pengutusan atau hidup bersama yang lebih luas daripada keluarga. Pengalaman relasi antara orangtua-anak akan mempengaruhi relasi antara atasan-bawahan, relasi kakak-adik mengengaruhi relasi senior-yunior, relasi anggota keluarga-pembantu rumah tangga mempengaruhi relasi kita dengan mereka yang miskin dan berkekurangan, dst.

Hemat saya kesetiakawanan terjadi dalam relasi antara yang kaya dengan yang miskin, yang pandai dengan yang bodoh, yang berkelebihan dengan yang berkekurangan, yang besar dengan yang kecil, dst.. dan tentu saja harus dimulai dari yang pertama yaitu yang kaya, pandai, berkelebihan dan besar.”Sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka. Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun berbuat demikian. Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka” (Luk 6:31-35) .

Kesetiakawanan sejati sama dengan menghayati perintah Tuhan “Kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka”. Maka marilah mempersiapkan diri untuk merayakan pesta Natal ini kita ingat dan kenangkan ‘musuh-musuh’ kita, mereka yang kurang berkenan di hati kita, yang telah dan sedang menyakiti atau mempersulit hidup kita, dst.. Marilah kita berdamai dengan mereka atau kita doakan mereka. Doa dari St.Fransiskus Assisi ini kiranya sangat baik kita hayati untuk menghayati kesetiakawanan sejati :”Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai. Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cintakasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang” (PS no 221).

2) Ibu

“Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi,tak harap kembali
Bagaikan surya menyinari dunia”,
demikian kutipan dari sebuah syair lagu yang begitu indah. Kasih ibu telah kita terima dan nikmati sejak kita masih berada dalam rahim/kandungan ibu, dan kiranya ibu yang baik senantiasa mengasihi anak-anaknya dalam keadaan atau situasi apapun sampai mati, meskipun harus menghadapi aneka tantangan dan hambatan sebagaimana telah dihayati oleh Bunda Maria, Bunda Yesus, Penyelamat Dunia.

Kasih ibu terhadap anak-anaknya memang bagaikan surya menyinari dunia. St Ignatius Loyola mengatakan bahwa keutamaan ‘kemiskinan’ selain sebagai ‘benteng’ juga ‘ibu’ yang kuat hidup religius/beriman (lihat Konst.SJ no 553), maka jika benteng mulai keropos atau lupa akan kasih ibu pada umumnya hidup religius atau iman orang yang bersangkutan keropos atau lemah alias kurang bersinar.. Menghayati keutamaan kemiskinan berarti menggantungkan atau mengandalkan diri pada belas kasihan orang lain, dan hal ini rasanya telah menjadi pengalaman kita masing-masing ketika kita masih berada didalam rahim, bayi/kanak-kanak yang sepenuhnya tergantung dari ibu, yang penuh belas kasih atau kerahiman, sehingga kita tumbuh berkembang sebagaimana adanya saat ini.

Kesetiakawanan hendaknya menjadi nyata atau terwujud dalam penghayatan ‘belas kasih dan kerahiman’ pada orang lain yang membutuhkannya. Kita dapat meneladan para gembala, yang miskin dan sederhana namun lebih kuat daripada kanak-kanak Yesus, yang “pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.” Mereka mempersembahkan sesuatu kepada Kanak-Kanak Yesus dari kelelamahan dan kekurangannya, makanan dan minuman apa adanya, yang sebenarnya menjadi kebutuhan mereka sendiri. Hal yang sama rasanya terjadi dalam kasih ibu kepada anak-anaknya. Marilah kita wujudkan ‘belas kasih dan kerahiman’ kita kepada mereka yang kurang beruntung daripada kita, yang miskin dan berkekurangan, berani dan rela memberi dari kekurangan bukan kelebihan. Memberi dari kelebihan berarti membuang sampah alias menjadikan orang lain tempat sampah alias menginjak-injak harkat martabat manusia, berlawanan dengan atau musuh dari kesetiakawanan.

3) Perdamaian Sedunia.

“There is no peace without justice, there is no justice without forgiveness” = “Tiada perdamaian tanpa keadilan, tiada keadilah tanpa kasih pengampunan” , demikian pesan Perdamaian Sedunia th 2000 dari Paus Yohanes Paulus II dalam rangka memasuki dan mengarungi millenium ketiga. Kasih pengampunan itulah yang harus kita hayati dan sebarluaskan dalam rangka mewujudkan perdamaian sedunia. Kita dipanggil untuk meneladan cara bertindak Yesus, Penyelamat Dunia, yang di puncak deritaNya di kayu salib mengampuni mereka yang menyalibkanNya :”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat “ (Luk 23:34), demikian doanya bagi mereka yang menyalibkanNya, seusai dengan apa yang pernah Ia ajarkan :”Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;” (Luk 6:27)

Yang sering menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kita adalah aneka macam bentuk perbedaan: beda pendapat/pikiran, beda selera, beda SARA, beda jabatan atau fungsi, dst..Ingat dan sadari bahwa laki-laki dan perempuan saling berbeda satu sama lain namun saling tergerak untuk saling mendekat, bersahabat dan mengasihi, dalam dunia fisika unsur plus (+) bertemu dengan minus (-) menjadi sinar terang yang membahagiakan. Dengan kata lain apa yang berbeda menjadi daya tarik untuk saling mengenal, mendekat dan mengasihi serta besahabat atau bersatu. Maka untuk mewujudkan perdamaian hendaknya menjadikan aneka macam perbedaan menjadi daya tarik dan daya pikat untuk saling mendekat dan berdamai atau bersahabat.

Marilah kita wujudkan ‘damai sejahtera di bumi’ atau perdamaian sedunia dengan mengasihi musuh-musuh kita serta berbuat baik kepada mereka yang membenci kita. Yang disebut ‘musuh atau yang membenci kita’ di dunia ini adalah manusia, makanan/minuman, pekerjaan, suasana, dst.. yang tidak sesuai dengan selera kita atau kurang berkenan di hati kita. Marilah kita ingat dan panggil mereka untuk kita kasihi dan berbuat baik kepadanya, dan sekiranya secara phisik dan sosial tidak mungkin marilah kita kasihi dengan mendoakan mereka, sebagaimana telah dihayati oleh Yesus yang berdoa bagi mereka yang telah menyalibkanNya.

SELAMAT NATAL 2008 dan TAHUN BARU 2009

Jakarta, 20 Desember 2008, Hari Kesetiakawanan Nasional

Kontributor: Ign.Sumarya SJ (email: rmmarya@gmail.com atau rm_maryo@yahoo.com)
Catatan dari Romo Maryo: tulisan ini saya sampaikan kepada para guru SMA Kanisius, 20 Desember 2008

Thursday, December 11, 2008

Mencari Suara Tuhan dan Menggunakan Kehendak Bebas

Entah mengapa kelompok doa yang menggunakan sistem meditasi Lectio Divina selalu lebih mampu dengan cepat membuka kepala dan hatiku terhadap kata-kataNya daripada melakukannya sendirian di rumah. Mungkin juga karena bila dua atau tiga orang berkumpul dan berdoa maka Ia hadir disana.

Setelah sekian lama absen dari kelompok doa karena masalah waktu, hari ini saya kembali hadir bersama teman-teman. Bacaan hari ini cukup panjang yaitu Kisah Para Rasul 21: 1-34.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya dalam bacaan panjang ini. Roh Kudus dua kali memperingati Paulus untuk tidak pergi ke Yerusalem. Yang pertama melalui para murid yang menasehati supaya tidak ke Yerusalem, kemudian melalui nabi Agabus yang menggambarkan penderitaan yang harus dialami Paulus selama di Yerusalem. Tetapi Paulus menggunakan kehendak bebasnya dan memilih untuk tetap pergi ke Yerusalem. Ia berkata "...Sebab aku ini rela bukan saja utuk diikat, tetapi juga untuk mati di Yerusalem oleh karena nama Tuhan Yesus." (Kis Ras 21:33) Dan karena dia berkeras maka yang lain menyerah dan berkata: "Jadilah kehendak Tuhan!"

Sekali lagi saya tertegun mencari "discernment". Ketika Roh Kudus memberikan nasehat, bagaimana kita tahu yang mana yang sungguh diinginkan Tuhan untuk kita pilih?
Secara teoritis saya tahu bahwa kuncinya terletak dalam doa. Relasi kita dengan Tuhan melalui doa akan menjadi jawaban atas pertanyaan kita sebelum membuat pilihan.

Pertanyaan yang terlontar secara tidak sengaja adalah: "Bila kita tahu kita akan memasuki lingkungan yang kurang sehat bagi kehidupan rohani kita, misalnya dunia kerja yang penuh korupsi, apakah kita tidak boleh mundur?" Jawabannya memang terletak pada kemampuan kita menakar kekuatan iman kita. Discernment bukan sekedar pilihan yang benar tapi juga prediksi akan hasil yang benar. Bila kita masih belum memiliki kemampuan untuk bertahan dalam lingkungan tersebut, maka janganlah masuk atau keluarlah segera! Tetapi bila memiliki kekuatan iman dan hubungan erat dengan Tuhan, bukan tidak mungkin kita memang diutus untuk bekerja di dalamnya dan memperbaiki keadaan yang ada.

Ya Tuhan,
Terima kasih atas kehendak bebas yang kami peroleh
Kasih dan karuniaMu menyelimuti kami dalam dinginnya dunia
cintaMu menghangatkan hati yang bingung mendua
Memampukan memberi pilihan yang terbaik
Tuhan,
Tolong bantu kami mencari kebenaranMu,
Bantu kami mengambil pilihan guna kemuliaan namaMu
dan bersiap menanggung setiap konsekuensinya.
Kekuatan cintaMu menopang kaki kami dalam melangkah
Memasuki jalan terang yang Kau tampilkan.
Amin.

Tuesday, November 18, 2008

Istri yang Cakap

Sebenarnya hari Minggu biasa XXXIII kemarin menekankan untuk setia dalam perkara kecil, sebuah permenungan yang menarik juga untuk disimak. Tetapi bacaan Amsal 31: 10-31 sekali lagi menarik perhatian saya.

Bacaan ini memang selalu menarik perhatian saya, tetapi seperti juga kata Amsal 27:17 "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya" (Saya lebih suka versi bahasa Inggrisnya "Iron is sharpened by iron, one person is sharpened by contact with another"). Perjumpaan dengan orang lain, kisah dari orang lain, senantiasa menajamkan pengertian pribadi saya terhadap ayat-ayat Kitab Suci.

Seorang teman pria yang masih muda dan lajang pernah bertanya mengenai selingkuh. Lucunya dia yang merasa gelisah takut mendapatkan istri yang selingkuh. Rasanya di dunia ini selingkuh masih mayoritas di tangan lelaki, tapi memang tidak sedikit kisah istri yang berselingkuh tertiup ke telinga. Saran saya kepadanya carilah istri yang takut akan Tuhan. Memang Amsal 31:30 mengatakan "Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi istri yang takut akan Tuhan dipuji-puji." Waktu itu kami hanya bertukar pandang sebagai teman, dan saya juga tidak pernah ingat menghafal ayat. Tetapi sesungguhnya memang dengan dekat kepadaNya segala cobaan akan terlalui.

Dari ketakutan mendapat istri yang selingkuh, teman saya bertanya mengenai kemungkinan suami yang selingkuh. Menurut saya sendiri dengan dekat pada Tuhan maka kekuatan untuk menghadapi segala badai sudah ditangan.

Beberapa ayat yang menarik perhatian saya adalah Amsal 31:12 "Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya", Amsal 31: 25-26 "Pakaiannya adalah kekuatan dan kemuliaan, ia tertawa tentang hari depan. Ia membuka mulutnya dengan hikmat pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya."

Kalau ayat-ayat yang lain membuat peran wanita terasa begitu kuat, begitu besar, dan begitu sentral di dalam keluarga, maka ayat yang ini juga menekankan kelembutan dan kebijaksanaan. Justru hal inilah yang tersulit untuk diterapkan dalam posisi yang begitu sentral. Ketika beban dan tanggung jawab yang begitu besar dan melelahkan terletak di pundak maka rasa lelah bisa mengasah lidah menjadi tajam bak sebilah pedang. Karena itu sekali lagi berkat Roh Kebijaksanaan sangat dibutuhkan para ibu rumah tangga. Sementara itu Roh Kudus hanya dapat kita terima bila kita memang bersedia menerima kedatanganNya.

Tuhan,
Bantu daku menjadi istri yang cakap
Yang lebih berharga dari mutiara yang mahal
Yang sanggup membawa keluarga mendekat kepadaMu
Dan sabar menanggung beban dan tanggung jawab dalam keluarga
Hal yang terkadang terlihat kecil dan sepele
Tetapi sebenarnya begitu besar dan berarti
Terima kasih atas Roh Kudus yang membantu menerangi jalanMu
yang meringankan kuk yang terpasang dengan hiburan dan pujian malaikat
Terima kasih Tuhan,
Maafkan bila terkadang aku jatuh
Bantu ku bangkit dan terus berjalan dalam jalanMu.
Amin.

Wednesday, November 05, 2008

Melayani

“Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan” (Flp 2:14-16a)

Kutipan dari renungan harian Romo Sumarya SJ itu menggelitik saya. Sama seperti Martha yang melayani Yesus tapi bersungut kepada Maria yang dianggapnya tidak membantu, seringkali saya juga mungkin kesal hati pada teman-teman yang hanya menunggu pelayanan. Saya lupa bahwa pelayanan itu saya lakukan bukan untuk orang-orang itu tapi untuk Tuhan. Beranikah saya bersungut-sungut kepada Tuhan?

Melayani keluarga merupakan sebuah pilihan yang sudah saya ambil, dan terkadang rasa lelah yang sama dengan pelayanan pada organisasi terasa. Mengapa pelayanan ini terasa satu arah? Saya lagi-lagi lupa bahwa pelayanan itu untuk Tuhan. Beranikah saya minta upah kepadaNya yang telah memberikan kehidupan ini?

Seorang ibu yang sudah sepuh menasihati saya, "Menjadi ibu itu sama dengan meninggalkan keinginan pribadi. Membuang jauh-jauh ego dan menggantikannya dengan pelayanan yang tidak terbatas. Dari semula melayani anak, lalu kemudian melayani anak dan cucu." Rasanya memang benar kita harus berani meninggalkan diri kita sendiri, melupakan keinginan kita sendiri, dan fokus kepada pelayanan itu sendiri. Hanya terkadang saya bertanya apakah pelayanan ini bukan cara saya melarikan diri dari rutinitas keluarga? Ataukah saya harus fokus hanya kepada keluarga? Mencari discernment di dalam hatiku, mencari Tuhan dalam pelayananku kepada keluarga dan kepada masyarakat. Tetapi saya bahagia karena sekarang Ia tidak lagi selalu diam, terkadang Ia menyentil, terkadang Ia memberi hadiah, terkadang Ia diam...membuatku sibuk menebak makna diamNya.

Tuhan,
Berilah Roh KudusMu sebagai penuntunku
Agar kumampu jalani jalanMu
dan daku kuat ikut memikul salibMu
Semoga tiada lagi gerutu dan sungut-sungut
Tapi ketulusan belaka yang berkobar di hati...
Amin.

Tuesday, November 04, 2008

“Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku ia tidak dapat menjadi muridKu.”

(Flp 2:12-18; Luk 14:25-33)

“Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya,jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:25-33), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan ‘Pesta Semua Anggota SJ Yang Mulia Bersama Kristus’ hari ini, saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Hidup terpanggil, entah hidup berkeluarga atau membujang/tidak nikah, antara lain menjadi imam, bruder atau suster, merupakan bentuk tanggapan prositif atas panggilan Tuhan, dan bagi orang Kristen/Katolik, yang beriman pada Yesus berarti ‘mengikuti Yesus dalam perjalananNya” dan secara konkret berani memikul salib serta ‘membenci orangtua, isteri/suami, anak-anak, saudara-saudari dan diri sendiri’ alias meneladan cara hidup dan cara bertindak Yesus serta menghayati sabda-sabda atau ajaran-ajaranNya di dalam hidup sehar-hari. Sebagai yang terpanggil kita diharapkan memiliki cara melihat, cara merasakan, cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak terhadap segala sesuatu sesuai dengan cara Yesus, bukan cara sendiri alias menurut selera pribadi (Jawa: sak penake wudhele dewe). “Memikul salib” antara lain berarti setia pada panggilan dan tugas perutusan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada kita. “Setia adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka-Jakarta 1997, hal 24). Maka marilah kita mawas diri atas perjanjian-perjanjian yang telah kita buat atau kita ikhrarkan: janji baptis, janji perkawinan, janji imamat, kaul, janji kepegawaian, janji pelajar, sumpah jabatan, dst.. Marilah kita kerahkan atau persembahkan seutuhnya diri kita maupun segala milik kita untuk menghayati atau melaksanakan janji-janji yang pernah kita buat atau ikhrarkan. Memang setia pada janji tidak akan pernah terlepas dari aneka macam bentuk perjuangan dan penderitaan sebagai konsewensi kesetiaan kita, sebagaimana telah dihayati oleh Yesus, Penyelamat Dunia, yang rela menderita dan wafat di kayu salib demi keselamatan dunia seisinya.

· “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan” (Flp 2:14-16a), demikian nasihat Paulus kepada umat di Filipi, kepada kita semua orang beriman, yang terpanggil. “Jangan bersungut-sungut dan berbantah-bantah” alias jangan mengeluh, menggerutu dalam menghayati atau melaksanakan panggilan dan tugas perutusan. Mengeluh dan menggerutu berarti berpikir negatif terhadap segala sesuatu, maka yang bersangkutan pasti tidak akan mampu menghayati dan melaksanakan panggilan dan tugas perutusan sebagaimana mestinya. Sebaliknya marilah kita senantiasa berpikir positif terhadap segala sesuatu, senantiasa melihat dan mengakui apa yang baik, mulia, indah dan luhur dalam segala sesuatu alias mengimani Penyelenggaraan Ilahi, karya Tuhan dalam segala sesuatu. Segala sesuatu ada dalam hadirat Tuhan atau Tuhan hidup dan berkarya di dalam segala sesuatu, itulah kebenaran iman yang harus kita hayati. Siapapun tidak menghayati kebenaran iman ini berarti ‘bengkok hatinya dan tersesat’, sebaliknya yang mengimani dan menghayati akan ‘bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia”. Sebagai orang beriman, kehadiran dan sepak terjang kita dimanapun dan kapanpun diharapkan menjadi ‘bintang yang bercahaya’, sehingga membantu siapapun dalam mengusahakan kebenaran-kebenaran dan menghayatinya.

“Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup! Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (Mzm 27:13-14)


Jakarta, 5 November 2008

Note: renungan sebelumnya, buka: www.ekaristi.org. Sebarkan ke teman lain

Kontributor: Ign.Sumarya SJ

Friday, October 24, 2008

Kesiapan Memasuki Kehidupan Kekal

Posting kali ini masih di seputar perpindahan dari kehidupan di dunia ini ke dalam kehidupan kekal di surga. Tanggal 21 Oktober ini saya baru saja ditinggalkan oleh nenek saya. Beliau mencapai usia 95 tahun 8 bulan. Usia yang cukup panjang untuk merasakan kegembiraan dan juga memikul salibnya di dunia.

Sepuluh tahun yang lalu nenek saya dari pihak ibu, yang kami panggil 'Amma' (artinya ibu), sudah pernah sakit parah. Waktu itu saya sedang hamil putra pertama saya. Tidak diduga saat itu nenek saya berhasil sembuh, malahan secara tiba-tiba opa saya (dari pihak ayah saya) yang meninggal dunia. Rencana Tuhan memang senantiasa menjadi misteri bagi manusia.

Ketika Amma baru sembuh dia sempat lumpuh, tapi keinginannya yang kuat untuk menimang cicit (anak saya) membuat dia sanggup duduk kembali dan akhirnya malah sanggup berjalan lagi dengan bantuan tongkat.

Beberapa tahun terakhir ini beliau kembali lumpuh, kali ini lumpuh total. Beliau tidak bisa lagi bangun dari tempat tidurnya. Tetapi saat-saat inilah rasanya imannya dikuatkan. Saya tidak ingat persis kapan Amma menerima sakramen baptis. Nama baptis yang dipilih mendekati nama aslinya, jadilah namanya Bernadette. Nama ini yang mendekatkannya pada sosok Bunda Maria. Salah satu lagu kesayangannya adalah "Di Lourdes...di gua...sunyi terpencil..., ... Ave, ave, ave Maria,ave,ave, ave Maria". Lagu ini berulang kali kami nyanyikan dalam acara perpisahan dengan raga duniawinya.

Rasanya pergulatan untuk menjadi Katolik memang pada awalnya masih dimilikinya. Tetapi semakin hari, terlihat beliau semakin gembira menyanyikan lagu Ave Maria dan semakin memaknai kehadiran prodiakon yang membawakan komuni suci. Kami berharap Bunda Maria membantu mengantarnya kepada Yesus dan kekekalan Bapa di Surga.

Saya rasa memang saat itu Amma sudah siap untuk memasuki kehidupan yang kekal. Terus terang saya sedikit kecolongan karena sudah terlalu sering beliau keluar masuk Rumah Sakit, sehingga ketika orang-orang menelpon minta didoakan, saya sama sekali tidak merasa saatnya sudah tiba. Padahal kami sudah bersiap sejak bulan Agustus kemarin, bahkan awal bulan ini Amma mengisi hari lebaran di Rumah Sakit Pertamina. Ketika saya sibuk menemani tamu dan kemudian juga melayat temanku Yanti, Amma sedikit dinomor duakan. Tetapi beliau bahkan masih memberi waktu kembarku untuk berulang tahun dahulu. Tanggal 21, yang di bulan April lekat dengan nama Ibu Kartini -salah satu lagu kesukaannya juga- menjadi tanggal dimana secara tiba-tiba dia meninggalkan kami.

Saya pernah bertanya-tanya "mengapa?" atas pilihanNya terhadap orang yang dipanggilNya memasuki kehidupan kekal. Mempertanyakan pilihan waktuNya..., ternyata bulan Oktober ini Tuhan memanggil temanku dan juga nenekku. Kepergian mereka berdua terasa mengejutkan, walaupun saya sudah tahu adanya kemungkinan itu. Semua ini mengingatkan kepada perintahnya: "Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, agar kalian tahan berdiri di hadapan Anak Manusia."

Dari Lukas 12: 35-38 bisa kita baca bagaimana Yesus memperingati para murid untuk senantiasa berjaga-jaga. "Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala. Hendaklah kalian seperti orang yang menanti-nantikan tuannya pulang dari pesta nikah, supaya jika tuannya datang dan mengetuk pintu, segera dapat dibukakan pintu..."

Tuhan,
Dalam kehilangan orang-orang terkasih ini aku tersadar
betapa masih banyak lubang yang belum tertutup di dalam hatiku
betapa masih belum siap hatiku memasuki Rumah Bapa yang suci
kesiapan yang pernah kupikir kumiliki.
Kini Dikau tunjukkan padaku
noda-noda yang masih perlu dibersihkan dan disapu
jalan-jalan yang perlu dihias untuk memuliakan namaMu
agar sungguh siap menerima hadirMu
dalam kekekalan hidup abadi yang Dikau janjikan.
Amin.

Rahasia Kematian

Satu setengah bulan yang lalu, warga lingkungan saya ada yang meninggal dunia di Rumah Sakit Pluit Jakarta. Saya termasuk tim sibuk, mulai dari mendampingi isterinya sampai mengiring mobil jenasah "Santo Yoseph" ke Rumah Duka & Kremasi Oasis Tangerang. Kebetulan saya mempunyai waktu yang lebih longgar sehingga ditunjuk sebagai tim jemput Romo yang akan memimpin misa tutup peti di Oasis.

Dalam kotbahnya yang singkat romo Laurent mengatakan biasanya orang selalu menanyakan: “Kenapa orang yang baik mati dalam usia muda, dan sebaliknya yang jahat umurnya panjang? Kenapa bayi tidak berdosa yang baru dilahirkan juga bisa mati?” Kebiasaan mengandai-andai tersebut menurut romo Laurent kurang bijak.

Sepanjang zaman manusia berusaha menyelidiki rahasia kematian, manusia ingin tahu terutama ada apa sesudah kematian.Tetapi yang jelas setiap manusia pada suatu saat nanti pasti mati, suatu ketetapan Allah yang tidak dapat dihindari.Kematian itu wajar, sebab tidak ada seorangpun yang dapat hidup kekal. Yang menjadi persoalan ada apa sesudah kematian itu.Hanya Kitab Suci yang bisa memberikan jawaban seperti ada tertulis: "…dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi" ( Ibr.9:27 ). Jadi ada penghakiman sesudah kematian.

Persoalan sekarang ialah, mungkinkah kita dapat lolos dari penghakiman itu? Marilah kita perhatikan lebih dulu firman Tuhan tentang manusia: "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak" (Roma 3:10). Sebab upah dosa ialah maut, tetapi karunia Allah ialah hidup kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita." (Roma 6:23) Adakah engkau sangka bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah?" (Roma 2:3b)

Ia (Tuhan) akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan, tetapi murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingannya sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan taat kepada kelaliman" ( Roma 2: 6-8).

"Langkah kaki orang orang yang dikasihiNya dilindungiNya, tetapi orang orang fasik akan mati binasa dalam kegelapan, bukan karena kekuatannya sendiri seorang berkuasa (1 Sam2:9)." Dari pernyataan ayat ayat firman Tuhan, kita pasti mengerti tidak seorangpun akan terlepas dari penghukuman/penghakiman. Tetapi karena kemurahanNya saja, Dia telah memberi kita jalan supaya selamat, yaitu dengan menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi.

Kitab Suci dengan tegas mengatakan: "Dan keselamatan tidak ada dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab dibawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang olehNya kita dapat diselamatkan" ( Kis4:12).

Kontributor: JM Kummala

Thursday, October 09, 2008

RencanaNya Tidak Selalu Bisa Diduga

Saya baru saja kehilangan seorang teman, tidak sangat dekat secara fisik karena kami hanya bertemu untuk berdoa, meditasi dalam FirmanNya, seminggu sekali. Itupun kalau jadwal sekolah anak-anak, dan jadwal pribadi kami memungkinkan.

Pertama kali bertemu dengannya, saya merasa dia orang yang sangat beruntung karena memiliki kebahagiaan yang begitu besar. Suami yang tampaknya senantiasa saling mendukung, anak-anak manis dan berprestasi, dan kegiatan sosial yang masih memampukan dia mengeksplorasi talentanya. Semuanya terlihat begitu sempurna, sampai tiba-tiba ‘gong’ kejutan berbunyi…KANKER!

Tapi kejutan itu sebenarnya terasa bagaikan kerikil tajam saja, ada kisah Rima Melati yang sembuh dari penyakit itu, ada kisah temanku yang lain yang juga sembuh dari kanker stadium yang lebih tinggi. Apalagi teman ini tidak pernah menunjukkan kecemasan, keloyoan, maupun tidak adanya harapan. Optimismenya selalu tinggi, kepercayaannya pada Tuhan begitu mendalam. Apapun yang Tuhan berikan pasti baik adanya.

Pernah kami menengoknya ketika dia baru menjalani kemoterapi dan terdengar kabar kondisinya buruk. Setiba di rumahnya, dengan wajah ceria ia menyambut dengan penuh tawa. Terus terang rombongan yang datang sedikit bingung karena memang bukan seperti itu biasanya sambutan yang diberikan oleh orang sakit yang sedang ditengok. Apalagi di balik kimononya dia masih terikat dengan kantong yang menampung sisa cairan yang keluar.

Kupikir ia pasti akan sembuh, Tuhan ingin menjadikannya pewarta yang lebih khusus lagi. Perjuangannya melawan sakitnya akan menjadikannya lebih mampu mendekati sesama yang menderita sakit untuk menguatkan mereka dan memberikan harapan kesembuhan bagi mereka.

Senyum cerianya memang merupakan satu hal yang ternyata mengesankan semua orang yang pernah kenal dengannya. Setidaknya begitulah kesan yang saya dengar dari sharing teman-temannya semalam, ketika misa peringatan tujuh hari berpulangnya teman terkasih ini. Senyum itu juga yang membuat foto yang dipajang di rumah duka juga begitu berkesan, karena memang seperti itulah dia yang kami kenal.

Suaminya berbagi kisah, kebingungan yang terutama dirasakannya adalah kehilangan teman berbagi cerita. Rasanya bukan hanya dia yang kehilangan hal itu. Hampir semua teman yang dekat dengannya akan merasakan hal yang sama. Entah darimana energi yang dimiliki teman ini untuk berbagi kasihNya…rasanya, pasti dari Roh Kudus! Sebuah kado terindah yang tiba-tiba diambil kembali…

Ketika saya membawa teman dari Tabloid Rumah ke rumahnya, saya juga belajar hal lain lagi. Saat itu dia bercerita dengan antusias tentang sejarah keluarga yang terekam di dalam kebunnya, atau tentang bunga-bunga dan tanaman lain yang juga dijadikan bibit, terasa benar betapa semuanya dikerjakan dengan cinta. Passion. Ia mengenal semuanya itu dengan hatinya, secara mendalam. Ia bukan sekedar menjadi ibu rumah tangga biasa, tetapi ia menjadi ibu yang profesional yang sungguh-sungguh menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dengan prioritas yang jelas.

Terus terang saya bingung bagaimana dia sanggup membagi waktu untuk semua kegiatannya, membagi waktu untuk semua teman-teman yang membutuhkan ‘curhat’ dengannya. Membagi waktu antara keluarga dan kegiatan pelayanan selalu menjadi kendala bagi semua yang bergiat melayani di luar rumah. Bahkan tiga atau empat bulan lalu dia masih sempat bersama rekan-rekan koornya memenangkan lomba se KAJ. Siapa yang menyangka dia akan pergi secepat ini…

Imannya sungguh luar biasa. “Jika kalian yang jahat tahu memberikan yang baik kepada anakmu, betapa pula Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada siapapun yang meminta kepadaNya.” (Lukas 11:13). Hari ini saya membaca dari Café Rohani tulisan mengenai “Iman yang Gila”: “Abraham juga salah satu tokoh ‘gila’. Selain dikenal sebagai Bapa Bangsa-bangsa, ia adalah Bapa Iman. Pada usianya yang sudah renta, Tuhan memintanya pergi dari negeri kaum kerabatnya ke suatu tempat asing. Tak ada jaminan kepastian. Hanya berbekal janji Tuhan (yang belum sepenuhnya ia kenal), Abraham pun pergi.” Teman saya jauh lebih beruntung, dia sudah mengenalNya dengan baik, dan percaya sepenuhnya pada janji keselamatanNya. Tapi sebagai ibu, ada anak-anak yang senantiasa menjadi inti dari kehidupan kami di dunia. Pembelajaran yang pertama dan utama, katanya berasal dari rumah. Dan bila dua kaki penyangga yang berasal dari ibu tidak ada, bagaimana ke depannya? Temanku ini memiliki iman ‘yang gila’, yang membantunya percaya sepenuhnya akan penyalenggaraan Tuhan terhadap keluarga yang ditinggalkannya.

Selama ini saya menganggap kematian adalah kebahagiaan, perjumpaan denganNya, juga akhir dari penderitaan ragawi dan awal kehidupan yang kekal. Tapi kepergian teman saya ini menyentakkan saya, karena tiba-tiba saya tersadar betapa saya belum siap melepaskan keluarga saya, terutama anak-anak saya, betapa masih banyak dosa-dosa tersembunyi yang belum kubersihkan dari sudut-sudut hatiku. Siapkah aku pergi ke rumahNya? Ternyata tidak sesiap dugaan awalku…

Teman saya ini siap, dia mungkin mengulang kata-kata St. Theresia Lisieux, “Aku menyerah kepada Allah. Dengan kepercayaan buta aku berani meloncat ke dalam tangan Allah yang kuat dan menyelamatkan.”

Temanku sering berkata tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Perjumpaan kami mungkin termasuk di dalamnya. Kemarin juga sebenarnya saya sangat repot, asisten rumah tangga mudik lebaran dan belum juga kembali. Suami diminta pulang cepat untuk menjaga anak-anak selama saya menghadiri misa, tidak bisa pulang cepat. Ketika saya hampir melupakan acara di gereja itu, tiba-tiba saya diingatkan melalui blog ini (saya tidak sengaja masuk dan membaca tulisan terakhir saya). Akhirnya anak-anak ikut ke misa, sedikit mengganggu orang-orang yang duduk di sekitar kami mungkin. Tapi kemudian (setelah acara) menyaksikan mereka bermain dengan anak temanku yang terkecil, yang masih di Taman Kanak-Kanak, kelas yang sama dengan anak kembarku bila mereka bersekolah di sekolah yang sama, kurasa memang temanku menginginkan mereka datang bersamaku dan berkenalan dengan anaknya. Sebuah niatan yang selama ini tidak pernah kami tuntaskan.

Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, rencana Tuhan tidak selalu terang dan jelas di mata manusia. Misteri rencanaNya membutuhkan ‘kepercayaan buta’ untuk pasrah kepadaNya. Kalau anda secara kebetulan membaca tulisan ini, luangkan waktu sejenak untuk diam dan mencari sabdaNya di dalam hati anda, mungkin Dia ingin mengatakan sesuatu melalui hatimu. Demikian juga ketika membaca Kitab Suci, luangkan waktu sejenak untuk memeriksa batinmu karena disana ada pesanNya yang khusus hanya ditujukan padamu seorang!

Bapa yang baik,
Kupercaya Engkau memanggil anakMu dan memberinya tempat yang nyaman di sisiMu,
Tolonglah kami yang masih dalam perjalanan ziarah kami di bumi ini,
Berikanlah Roh Kudus sebagai penguat diri kami,
Hadirlah melalui diri kami untuk sesama yang membutuhkan hadirMu,
Kuatkan kami untuk senantiasa berkata dan menyelami perkataan:
“Bukan kehendakku, melainkan kehendakMu lah yang terjadi Tuhan.”
Amin.

Sunday, October 05, 2008

Surat untuk seorang teman di surga

Yanti yang terkasih,

Kupercaya dikau sudah bersama Bapa di surga. Bunda Maria menjemputmu di hari Jumat pertama di bulan Oktober ini. Satu hari setelah hari para malaikat Kudus. Menurut Romo Widyo kemarin, hari itu juga diapit oleh hari peringatan dari Santo Fransiscus dari Asisi yang juga menemui Bapa pada usia 44 tahun.

Keluargamu tampak tabah, tapi aku malah terisak terus. Pasti kau tersenyum melihat kebodohanku. Aku tahu, aku seharusnya tersenyum, dikau sudah bersamaNya. Dahulu Romo Ben Tentua OFM pernah menegur: "Jangan bersedih, almarhumah sudah di surga. Ayo kita menyanyi lagu semua bunga ikut bernyanyi..." Itu kejadian waktu omaku meninggal. Mungkin beliau juga tersenyum melihat kecengenganku.

Sebenarnya aku biasanya lebih cengeng di bioskop daripada di rumah duka. Entah mengapa dua hari ini aku begini..., bahkan ketika masih di Anyer aku juga bertanya-tanya kepada gelombang...mengapa? Kupikir Ia akan memakaimu di ladangNya yang baru, penguatan bagi orang-orang yang menderita sakit...Memang benar itu terjadi tapi hanya dalam hitungan singkat.

Mau tahu apa yang paling mengesankan di rumah duka? (Pertanyaan wajibmu kan?!) Yang paling berkesan adalah fotomu yang ceria tersenyum, wajah yang selalu kau tunjukkan pada kami. Bahkan dalam sakitmu, engkau masih terus menguatkan teman-temanmu. Wajah di foto itu begitu hidup, begitu ceria, dikelilingi bunga-bunga indah...

Masih ingat foto untuk hadiah Suster? Bunga-bunga yang dipeliharaNya dengan baik dengan caraNya. Aku sedang mencari kata-kata yang kukutip dahulu ketika foto kita menyembul.Aku tidak berhasil menemukan kutipan itu, tapi sebuah kutipan Kitab Suci menarik perhatianku: "In the beginning was the Word and the Word was with God, and the Word was God" (Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah, Yoh 1:1) Mungkin engkau ingin kami tetap berjalan dengan Firman itu...bukankah itu pesan terakhir yang kau kirim padaku akhir Agustus kemarin? Ketika itu engkau mengirimkan SMS: "Kuatkanlah hatimu dalam segala tantangan serta persoalan dalam kehidupan karena Tuhan yang kita sembah dalam Yesus adalah Tuhan yang tidak pernah mengecewakan, rencananya indah Bagi kita (Yer 29:11 - Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan yang ada padaKu mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan)."

Aku tidak habis berpikir dan mengingat dongeng kanak-kanak yang pernah kubaca. Betapa sang malaikat yang bertugas menjemput seorang ibu yang harus meninggalkan dua orang anaknya yang masih kecil menghadap Tuhan, merasa kasihan pada ibu itu. Malaikat melalaikan tugasnya, dan dia lalu terhukum harus tinggal di dunia. Ia kemudian menyaksikan bagaimana anak-anak itu tumbuh dengan baik.

Aku masih juga belum mampu menghayati lagu "Semua Baik", lagu itu mengalun bersama derai air mataku:
"Dari semula t'lah Kau tetapkan
Hidupku dalam tanganMu
Dalam rencanaMu Tuhan

Rencana indah t'lah Kau siapkan
Bagi masa depanku yang penuh harapan

S'mua baik, s'mua baik
Apa yang t'lah Kau perbuat
di dalam hidupku

S'mua baik
Sungguh teramat baik
Kau jadikan hidupku berarti."

Hidupmu sudah berarti, begitu banyak orang yang datang, masing-masing dengan kenangan istimewa mereka. Dalam waktu yang singkat engkau sudah menanam begitu banyak kenangan, begitu banyak kerinduan untuk mendekat pada FirmanNya sepertimu.

Lagu "Pelangi KasihNya" bagaikan nasehatmu yang sebenarnya sudah sangat sering kudengar:
"Apa yang kau alami kini
Mungkin tak dapat engkau mengerti
satu hal tanamkan di hati
Indah semua yang Tuhan b'ri

TuhanMu tidak akan memberi
Ular beracun pada yang minta roti
Cobaan yang engkau alami
Tak melebihi kekuatanmu

Tangan Tuhan sedang merenda
Suatu karya yang agung mulia
Saatnya kan tiba nanti
Kau lihat pelangi kasihNya."

Lagu-lagu pujian yang kau panjatkan lewat kegiatan koor seringkali menjadi penguatan bagi kami juga. Sekarang bila tidak ada suster tidak ada lagi teman yang membantu memandu, sebulan terakhir kita tidak bersua karena kesibukan masing-masing. Satu hal yang kutahu bahwa engkau ingin dikenang ceria dan hidup, semuanya ingin kau simpan di dalam hati seperti Bunda Maria menyimpan perkara-perkara itu di dalam hatinya. Aku belum mampu seperti itu, dan aku juga seringkali memandang gelas setengah kosong...bukan setengah penuh sepertimu. Dan gelasmu memang tidak pernah kosong...ia selalu terisi dengan kasihNya.

Selamat jalan teman, engkau kembali ke RumahNya...rumahmu juga sekarang. Dahulu aku berharap engkau akan mengisi artikel di blog ini. Atau mungkin sebuah blog untuk menguatkan dan memberikan pencerahan pada orang lain. Tapi, kupercaya dengan doa, pencerahan dan penguatan itu tetap hadir...hadir dalam diri semua orang yang sudah memperolehnya melalui engkau sebagai alatNya. Setiap alat memiliki cara penggunaan yang berbeda, biarkan Dia yang mengaturnya, begitu barangkali pesanmu.

Bapa, terima kasih atas seorang teman yang begitu berarti. Terima kasih karena semua kekuatan yang Dikau berikan baginya selama penderitaannya di dunia dan bagi keluarga yang kini kehilangan orang tercintanya. Amin.

Monday, September 22, 2008

MisteriNya

Terkadang penderitaan itu sulit ditebak.
Entah apakah ia selalu untuk menguatkan, atau untuk menguji...
Entah apakah kisahnya untuk disimpan sendiri, atau untuk dibagikan...
Tetapi rencana dan kuasaNya senantiasa menjadi misteri.

Dua orang yang kukenal terkena kanker,
Mereka berjuang melawan penyakitnya sambil terus berusaha tersenyum,
Rambut rontok terkena kemoterapi,
Kulit menghitam terkena racun obat...
Tetapi mereka terus memuji namaNya...
Semoga mereka kuat bertahan.

Kulihat nenekku yang terbaring lumpuh,
Sembilan puluh lima tahun.
Terkadang ingatannya bersembunyi di balik senyum,
Terkadang sakitnya terumbar lewat kemarahan.
Tapi tak jelas kapan waktunya tiba...
Usia tua dan kepasrahan keluarga menyertainya,
Tapi waktunya belum tiba...

Kulihat teman-teman dengan penyakit mereka,
Belum setengah abad usianya, mungkin yang seorang belum lagi empat puluh...
Dan anak terkecilnya masih lebih muda dari usia kembarku...
Akankah mereka kehilangan kehangatan sang ibu?
Aku menangis memikirkannya,
Entah apakah sang ibu sanggup berpasrah pada kehendakNya...

Terkadang penderitaan membuat kita mendesak Tuhan,
Mengapa harus begini?
Kurang apalagi pelayanan mereka Tuhan?
Mengapa cobaan berat ini Dikau berikan pada mereka Tuhan?
Tapi rencanaNya adalah kebesaranNya...
Ada kesembuhan yang menguatkan...
Ada kekekalan yang dijanjikan...
Ada kekuatan yang menemani langkah umatNya...
Kupercaya Kau menyayangi kami anak-anakMu Tuhan...

Sunday, September 21, 2008

Membaca Penderitaan

Umat Israel adalah umat yang sangat sering menderita, terutama ketika mereka diperbudak di Mesir, dibuang ke Babilonia dan dijajah bangsa-bangsa lain. Karena itu dapat dipahami bahwa Kitab Perjanjian Lama mengungkapkan berbagai ungkapan penderitaaan maupun renungan tentang asal usul penderitaaan manusia.

Secara garis besar penulis Kitab Perjanjian lama terutama memahami penderitaan sebagai hukuman Allah atas dosa dosa umat Israel sebagai individu maupun sebagai kelompok umat.
Kitab Kejadian 3, misalnya, mengatakan bahwa rasa sakit yang diderita setiap wanita waktu melahirkan anak dan susah payah setiap pria waktu mencari nafkah dilihat sebagai hukuman Allah
atas dosa Hawa dan Adam.

Pandangan itu terungkap juga dalam Kejadian 7 dan 11. Disana banjir besar dan kekacauan bahasa dilihat sebagai hukuman Allah atas dosa dosa seluruh umat manusia didunia saat itu.

Barulah pada abad abad menjelang kelahiran Yesus beberapa penulis kitab Perjanjian Lama mempunyai pandangan yang agak berbeda dari pandangan tradisional tersebut. Kitab Ayub mengungkapkan suatu pandangan baru bahwa penderitaaan juga dapat berasal dari prakarsa iblis yang ingin mencobai iman manusia, tetapi prakarsa iblis itu disetujui Allah.

Penulis Perjanjian Baru secara garis besar tetap mempertahankan pandangan tradisionil dari penulis Perjanjian Lama. Karena itu para penulis injil sinoptik beberapa kali menekankan, bahwa Yesus mengampuni dosa seseorang sebelum mereka disembuhkanNya. Sebab penyakit atau cacat dilihat sebagai hukuman Allah atas dosa sipenderita atau orang tuanya (bdk.Matius 9:1-8 ).

Penyaliban dan Kebangkitan Yesus tampaknya membuat pandangan para rasul tentang penderitaaan berubah.Mereka melihat, bahwa Yesus ternyata juga menderita walaupun Ia tidak berdosa. Mereka juga ingat akan Sabda Yesus bahwa mereka harus mau menderita agar mereka pantas menjadi pengikut Yesus.

Penderitaan demi kepentingan orang lain ternyata tidak sia sia, melainkan mendapat keselamatan dari Allah. Kesadaran baru itu tampak pada surat surat Paulus. Beberapa kali Paulus menegaskan bahwa ia senang menderita, karena dengan demikian ia "menggenapi penderitaaan Yesus". Kita bisa melihat misalnya dalam 1 Kor 12:26, Rm 12:15 dan 2 Kor 1:7. Kesadaran itu juga terungkap dalam Injil Matius 16:24 dan Lukas 14:27.

Kita mendapat keistimewaan diperbolehkan lebih mengerti dari pada generasi yang lalu tentang Kitab Suci. Berita yang sebenarnya dapat lebih jelas bagi kita sekarang. Kitab Suci tidak berubah tetapi kemampuan memahami yang berubah kendati masih ada tersisa misteri . . .

Kontributor: JM Kummala

Wednesday, September 17, 2008

Membaca Kebutaan

Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya.
Murid-murid Yesus bertanya kepadaNya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yoh. 9 : 1-2)

Kalimat seperti ini, walaupun dalam konteks yang berbeda sering kita jumpai dalam percakapan dan pergaulan kita sehari-hari, dimana ada kecenderungan untuk menghakimi terhadap sesama kita, dan khususnya yang dilakukan oleh para murid Yesus, hanya ada satu kata, yaitu: “Keterlaluan”. Mereka sudah tidak lagi berbicara secara kemanusiaan, berbicara tanpa memperhatikan nurani dari si buta, padahal si buta ada dekat mereka.

Orang buta tersebut pastilah sudah sangat menderita karena kebutaannya, tetapi malah di sekelilingnya para murid berdebat dengan suara yang keras dan mempermasalahkan dan mencurigai apakah kebutaan yang dideritanya adalah hasil dari perbuatan dosa yang dilakukan oleh orang tua si buta!!! Murid-murid lupa bahwa mereka sendiri adalah orang yang berdosa (bdk. Roma 3:23).

Kesombongan rohani inilah yang dimiliki oleh para murid saat itu, kalau orang buta yang mereka lihat adalah buta jasmani, tetapi mereka lebih parah lagi, yaitu mengalami kebutaan rohani.

Dalam keadaan seperti diatas, Yesus tidak mau terjebak dalam segala obrolan yang destruktif, Dia memilih untuk melakukan suatu tindakan yang nyata, yaitu: ”Menyembuhkan mata orang yang buta itu”, bukan itu saja, bahkan Yesus berujar: “ Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (Yoh.9 : 3).

Si buta yang telah melek tentu sangat terkejut dan bersuka cita, karena pekerjaan Allah harus dinyatakan dalam atau melalui dirinya! Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa dirinya yang cacat, buta, mempunyai perasaan rendah diri, hampa tidak berguna, tak ada yang peduli, apalagi melibatkan dirinya dalam aktivitas, akan mengalami perubahan nasib. Tetapi...segalanya berubah setelah berjumpa Yesus Sang Terang Dunia. Yesus bukan hanya menyembuhkan dari kebutaannya, bahkan Dia juga melibatkan mantan si buta dalam pekerjaan Allah yang besar!

Nah…saudaraku, daripada kita mempergunjingkan dosa dan kesalahan orang lain, marilah kita melakukan pekerjaan di ladang Tuhan dengan kesungguhan hati, selama Ia masih berkenan

Salam hangat...

Phil Lea

Monday, August 11, 2008

SabdaNya Adalah Nyanyian Jiwaku

Ketika kita mempelajari sebuah lagu baru, pertama-tama kita pelajari melodinya, notasinya, mencoba menggumamkannya perlahan-lahan sampai menguasai seluruh notasi. Lalu kita mulai mengenal lagu itu, dapat menyanyikan lagu itu secara keseluruhan, kita coba liriknya, kita ulang lagi dan lagi sampai hafal liriknya.

Kita nyanyikan lagi berulang ulang, sampai akhirnya kita lagukan dengan "menyanyi", menyanyi dengan jiwa (penjiwaaan ) seakan lagu tsb merupakan bagian dari kita. Lagu itu menggema dalam jiwa kita.

Sabda Allah yang kerap kita dengar dipertemuan, atau dalam misa sering kita lupakan karena hanya kita dengar, bukan mendengarkannya. Maklum banyak distorsi dalam kehidupan sehari hari yang lebih menarik hati kita atau perlu perhatian serius seperti: mengurus anak-anak, dll. Sabda itu timbul tenggelam dalam hati kita, Sabda tidak mengakar dalam jiwa kita. Kita jarang seperti penyanyi yang berusaha menguasai Sabda, mengulang-ulang sampai Sabda itu menggema dalam jiwa kita, menjadi bagian kita atau menjadi hidup kita sendiri. SabdaNya adalah nyanyian jiwaku (Lukas 11:28)

Bunda Maria disebut berbahagia karena tatapannya hanya tertuju pada kehendak Allah, Allah menjadi tujuan hidupnya. Perkenankan saya mengutip reffrain lirik Soli Deo:
Soli Deo semboyan hidup mulia, hanya untuk Tuhan saja.
Dalam Doa dan karya maupun mencinta
Semua tersembah hanya untuk Tuhan....aaaaaaaaaaaaa aaaaaaa
aaaa(TB voice )mmmpun


(My Comment for your posting August 8, 2008)
Kontributor: Jm Kummala

Wednesday, August 06, 2008

Soli Deo

Sebenarnya saya tidak paham benar arti kata Soli Deo. Deo artinya Tuhan, tapi arti kata ‘Soli Deo’ itu apa? Hanya untuk Tuhan, atau hanya ada Tuhan saja? Kelompok koor lingkungan kami sedang belajar menyanyikan lagu berjudul “Soli Deo” ciptaan Sr. M Robertin SND ini. Menarik juga mendengar kata-katanya (walaupun belajar nyanyinya minta ampun he…he…he…).

“Untukku rahmat Tuhan tlah melimpah. Dengan cuma-cuma sebagai anugrah. Agar hidupku bertumbuh dan berbuah. Mencintai yg lemah dan susah”.
Itu bait pertamanya…

Benar juga pilihan kata-katanya, "yang lemah dan susah…" bukan yang “miskin”. Dari Café Rohani Agustus 2008, kaum miskin katanya bisa dikelompokkan dalam 4 jenis:
1. Miskin harta benda
2. Miskin martabat
3. Miskin pengetahuan
4. Miskin karena kerajaan Allah (seperti rohaniwan yang berkaul kemiskinan)
Katanya orang beriman mesti menyerahkan kemiskinannya kepada kehendak Allah. Miskin di hadapan Allah merupakan sikap hidup dan penyembahan total kepada Allah. Tentunya miskin martabat bukan jenis kemiskinan yang patut diserahkan kepada Allah. Atau setidaknya dilihat alasan dia menjadi miskin martabat. Koruptor yang miskin martabat tentunya bukan jenis kemiskinan yang menjadi bagian dari sikap hidup dan penyembahan total kepada Allah. Mereka bukan sejenis manusia yang disebut Yesus “bahagia sebagai yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5:3), yang disebutkan dalam Injil sebagai “orang yang miskin di hadapan Allah”.

Rasanya bait kedua dan ketiga lagu Soli Deo lebih menerangkan arti “orang yang miskin di hadapan Allah”:
“Hidupku dari Tuhan Untuk Tuhan. Kuberbakti melayani dalam Tuhan. Biar karya Tuhan nyata terlaksana. Hidup jadi semakin bermakna.”(bait 2) “Soli Deo membuat hati bebas. Dalam melaksanakan segala tugas. Saat gagal hati tak terlalu cemas. Percaya berjuang tiada batas” (bait 3).


Bagi orang yang miskin biasanya tiada harta kekayaan yang dimiliki, dan satu-satunya yang bisa dikerjakan adalah pasrah dan berharap. Sikap pasrah ini mungkin bagi orang beriman akan berbeda dengan yang tidak beriman. Pasrah dalam Tuhan bukan berarti berhenti berjuang, hanya saja semua perjuangan berlangsung dalam namaNya. Percaya bahwa Tuhan akan menyertai dan menguatkan sampai kita bisa berbuah banyak. Pengharapan adalah satu hal yang paling penting dalam iman, karena tanpa pengharapan padaNya maka kita hanya mengandalkan kekuatan manusia kita belaka.

Dalam banyak peristiwa terlihat betapa seringkali hal yang mustahil bagi kita ternyata bisa terjadi karena kuasaNya. Mukjizat-mukjizat kecil terjadi di dalam kehidupan kita dan biasanya sesama menjadi perantara kuasaNya.

Hanya mengandalkan diri sendiri seringkali mengakibatkan kita frustrasi ketika gagal dan jatuh, kita marah dan benci ketika ditipu dan terperdaya. Seringkali kita juga lemah dan mudah menyerah kepada keadaan. Menyertakan Tuhan dalam langkah kita dan menjadikanNya satu-satunya pegangan dan sumber kekuatan akan membawa damai sejahtera di dalam hati walaupun kita berada dalam keadaan yang sangat terpukul, jatuh, dan tidak berdaya.

Seorang teman yang suaminya terbelit masalah dan kehilangan semangat untuk bekerja, terpaksa harus berjuang sendirian untuk meneruskan hidup di pinggir Jakarta ini. Satu setengah tahun yang lalu dia berkata: “Entah apa jadinya kami besok, entah kemana kami harus pergi…” Lebih dari satu tahun berlalu, dia masih ada disini, masih berjuang…masih memperoleh kesempatan untuk terus berjuang! Hanya rahmat Tuhan yang bisa memberikan dia kekuatan dan jalan untuk keluar dari masalah-masalahnya. Tidak ada yang mudah! Teman tadi mencoba segala cara yang bisa dilakukannya untuk mencari nafkah bagi keluarga. Dia juga harus berjuang untuk membebaskan diri dari kemarahan kepada suaminya dan kesalahan-kesalahan suaminya. Tidak ada yang mudah, tapi selama kita menyadari bahwa hidup kita dari Tuhan untuk Tuhan, maka perjuangan apapun yang kita persembahkan akan mendapat nilai dariNya. Kita tidak berjuang sendirian, Dia selalu membantu dan menemani kita.

Karena itu berbahagialah orang yang miskin, berduka, lemah lembut, lapar, haus, bahkan dianiaya, difitnah dan dicela. Sebab dalam keadaan tersebut seringkali lebih mudah untuk pasrah dan berharap sepenuh hati kepada Tuhan. Soli Deo…untuk Tuhan saja segala segala jerih payah, pengorbanan dan cinta yang kita bagikan!

Tuhan,
Ajari kami untuk percaya dan berserah diri padaMu saja,
Memperhatikan sesama sebagai persembahan kami untukMu,
Semua perbuatan kami untuk Tuhan saja.
Amin.

Sunday, August 03, 2008

Arti Salib

Akhir-akhir ini saya suka membaca Café Rohani, sebuah buku kecil berisi renungan harian dari Institut Karmel Indonesia (IKI) dari Malang. Bacaan kemarin dan hari ini berasal dari Matius 14: 13-21.

Ada yang menarik dari renungan yang berjudul Belas Kasih (3 Agustus 2008) dan Hidup Peduli dan Berbagi (4 Agusutus 2008). Saya ambil kutipan renungan dari Belas Kasih:
Apa yang "hanya 5 roti dan 2 ikan" bagi Yesus bukan berarti sedikit. Itu cukup bila diberikan dengan melibatkan Allah (ayat 19). Yang para murid butuhkan ialah hati yang berbelas kasih. Meski "hanya 5 roti dan 2 ikan", namun mereka mau memberikan dengan rela dan cinta yang besar. Allah turut bekerja bahkan jauh lebih banyak dari apa yang mereka pikirkan sebelumnya (ayat 20)

Miskin bukan alasan untuk tidak berbagi dengan orang lain. Hati yang berbelas kasih menjadi dasar pelayanan kita. Karena itu, jika hati kita berbelas kasih, maka apa yang ada pada kita akan Tuhan gandakan dan menjadi berkat bagi orang lain.

Dalam "Hidup Peduli dan Berbagi" renungan mengajak pembacanya untuk melatih sikap peka dan peduli sejak dini. "Jangan sampai kita menjadi kerdil karena terlalu berorientasi pada diri sendiri."

Kedua renungan ini mengingatkan saya pada arti salib dalam hidup kita. Bukan salib sebagai beban berat yang perlu ditanggung, tetapi salib sebagai tanda hubungan antara manusia dan Tuhan (vertikal) dan hubungan antara manusia dan manusia (horisontal).

Seringkali kita mendahulukan Tuhan dalam kehidupan kita, merasa akrab dengan diriNya. Tapi, kita hanya berorientasi pada diri sendiri. Bersyukur untuk apa yang kita peroleh hari ini dan kemarin, memohon untuk hal-hal yang kita butuhkan atau inginkan di hari esok. Hubungan yang ada adalah hubungan vertikal semata. Kemiskinan seringkali bisa menjadikan kita hanya berorientasi pada diri sendiri. Merasa kekurangan dan seringkali hubungan vertikal itupun terganggu karena merasa Tuhan tidak membantu dengan takdir yang lebih baik. Padahal seperti yang dikatakan dalam renungan pertama, apa yang terihat "kecil" atau "sedikit" di mata manusia bisa menjadi bibit unggul yang tidak habis-habisnya digandakan Tuhan.

Hanya berorientasi pada diri sendiri membuat kita tidak peka pada penderitaan dan masalah orang lain di sekitar kita. Mengasihani diri sendiri seringkali membuat kita "buta" pada situasi di sekitar kita. Kaya atau miskin sebenarnya sangat relatif. Bila saya terbiasa dengan gaya hidup menengah ke atas maka saya akan menjerit ketakutan ketika harus hidup dengan standar kehidupan yang lebih rendah daripada kehidupan lamaku. Membiarkan diri terlarut dalam penyesalan akan penurunan tingkat kehidupan itu hanya akan membuat manusia berhenti dan meratap, bahkan bisa jadi kehilangan kepercayaan pada Tuhan.

Membiarkan Dia yang menata ketakutan kita menghadapi masa depan memang sulit. Buah yang dimakan oleh Adam dan Hawa terlanjur membuat mata kita "terbuka" akan kepandaian kita sendiri. Tubuh yang telanjang dipakaikan pakaian, usaha pertama manusia yang mengandalkan kepandaiannya. Dan seringkali kita tidak tenang bila tidak bisa memprediksi atau mengusahakan solusi terbaik bagi permasalahan kita. Padahal ada masanya Tuhan bekerja tanpa bisa kita ketahui caranya. "Hanya 5 roti dan 2 ikan", otak kita tidak akan pernah bisa memberikan jalan keluar bagaimana memberikan makan 5000 orang hanya dengan roti 5 buah dan ikan 2 ekor. Tetapi Yesus bisa...

Keseimbangan hubungan dalam salib itu sangat penting untuk membentuk sebuah salib yang utuh. Ketika hubungan vertikal terbina baik, tentunya hubungan horisontal perlu juga terbina dengan baik. Dan disanalah karyaNya akan bekerja. Dengan sedikit talenta yang kita miliki, selama ada belas kasih ketika memberikannya dalam pelayanan maka Dia akan melipat gandakan talenta itu. Ketika orang dengan satu talenta ketakutan kehilangan talentanya yang hanya satu itu, maka talenta itu diminta kembali. Ketika teman-temannya yang memiliki talenta lebih banyak berusaha untuk mengembangkan talenta itu tanpa memikirkan resiko kehilangan semua talenta itu, ternyata talenta mereka berlipat ganda.

Punya sedikit atau punya banyak, bila diberikan dengan hatu yang penuh belas kasih, maka dengan kuasa Allah, akan berbuah banyak. Banyak orang yang menikmati, tidak mungkin kita yang akan memakan sendiri semua hasil penggandaan roti dan ikan itu. Sisa yang dikumpulkan 12 bakul penuh (ayat 20), padahal mereka semua sudah kenyang. Kuasa Allah akan mememnuhi kebutuhan kita dan memperkaya kita bila kita bersedia membagikan diri kita. Itulah arti utama salib yang perlu kita ingat dalam kehidupan ini. Bukan beratnya, bukan nilainya sebagai penghukuman, tapi arti hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan antar manusia sendiri yang dipersatukan dengan pengorbanan Kristus di Golgota.

Tuhan,
Salib seringkali kami pakai sebagai hiasan belaka,
Di rumah, di mobil, di perhiasan kami,
Tapi kami melupakan arti dari salib itu sendiri.
Jangan biarkan kami menjadi kerdil ya Tuhan,
Bantulah kami menggandakan talenta kami dan menjadi berkat bagi orang lain.
Semoga salib yang menghiasi diri kami senantiasa menjadi lambang penguatan kami,
Lambang kasihMu yang tidak terhingga,
Lambang kuasaMu yang tidak terbatas,
Semoga kami bisa menjadi alatMu,
Sampai kami beroleh tempat di sisiMu,
Amin.

Saya kan bukan malaikat...

Suatu hari Mo Sety kirim sms: "Nge, nanti aku misa di blok Q jam 16.30. Besok berangkat, ke Malay dulu baru terus ke Roma"

Dia dipersilahkan oleh Romo Paroki untuk mempersembahkan misa sebelum berangkat studi S3 di Roma.

Bagian menarik dari tiap misa buat saya adalah pada bagian homili. Mungkin karena bagian-bagian lainnya adalah sekedar ritual yang sudah baku, hanya terkadang terjadi perubahan disana sini tergantung siapa Komisi Liturginya.

Dalam kothbahnya, Mo Sety cerita tentang anekdot yang saya masih ingat sampai sekarang.

Suatu ketika di sebuah kapal laut, orang-orang berebut berdesakan ingin melihat pemandangan laut dari atas dek. Termasuk seorang Ibu yang menggendong bayinya. Tiba-tiba karena desakan dari penumpang yang terlalu kuat, bayi itu terjatuh ke laut... Lalu Kapten Kapal mengumumkan bahwa siapa yang berani menolong bayi itu akan diberi hadiah. Tapi ditunggu-tunggu tidak ada yang menceburkan diri, sampai kemudian seorang kakek menceburkan diri ke laut dan menyelamatkan bayi itu. Ketika sampai kembali di atas kapal dan orang-orang memberi selamat pada si Kakek, si Kakek malah bertanya: "Siapa tadi yang dorong-dorong gue sampai tercebur ke laut?"


Artinya... :) dalam kesusahan kita masih bisa menolong orang lain...

Tapi mungkinkah kita berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat jahat kepada kita? Jangankan berbuat baik, kadang kalau sedang merasa susah pun rasanya saya ingin semua orang memperhatikan saya, mengajak bercanda dan bertanya:
"Apakah kamu masih sedih Inge?"

Jadi sungguh sulit ajaran Yesus yang satu ini:

"Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu." (Mat 5: 39)

Pada Mas Kris (panggilan saya untuk Yesus Kristus), rasanya saya ingin berkata:

"Kalau ditampar sebelah aja udah sakit masak mesti kasih sebelah lagi, tambah sakit dong... hiks... suilitnyaaa...Kalo bisa saya hanya ingin berbaik hati pada orang baik sama saya aja... lebih gampang, Mas Kris, hehehe"

"Mengapa Mas Kris ingin saya jadi orang baik terus? Kok mintanya susah banget sih... Manusia 'kan ada sisi baik dan jahatnya, Mas Kris ngerti kan. Dan lagi saya kan bukan malaikat... Ga janji ya Mas Kris, tapi akan saya usahakan ya."

Kontributor:
Rediningrum Setyarini (Inge)

Thursday, July 10, 2008

Datanglah PadaKu Kalian yang Lelah dan Berbeban Berat!

Minggu yang lalu ketika memasuki gereja, terucap dalam doa pertamaku rasa penat dan lelah dalam menjalani kehidupan ini. Anak-anak yang bertambah besar dengan kebutuhan ekonomi untuk membiayai kepentingan pendidikan dan pengembangan jasmani rohani mereka terasa sebagai beban berat di tengah krisis ekonomi yang menghimpit.

Perbedaan pola pikir dengan pasangan seringkali juga membuat kesulitan yang ada terasa harus dipikul sendirian. Dan perasaan itulah yang aku tumpahkan hari itu...

Tentu saja aku bersyukur atas segala rahmat dan karunia yang diberikanNya, tapi hari itu rasa lelah membuatku sujud dengan kata pertama penuh tekanan beban: "Tuhan, aku datang karena lelah dan berbeban berat. Bantulah aku!"

Sungguh ajaib rasanya ketika bacaan hari itu dan juga kothbah pastur mengambil topik yang sama: "Marilah kepadaKu, kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadamu" (Mat 11:28).

Kemarin pagi, ketika mengikuti misa pagi, lagi-lagi saya mendengar perkataan yang berhubungan dengan "orang-orang yang letih lesu dan berbeban berat". Tapi sekali ini yang terdengar adalah ajakan untuk ikut serta meringankan beban orang-orang yang letih lesu dan berbeban berat. Sekali lagi saya diingatkan untuk membagikannya dengan cuma-cuma karena saya telah memperolehnya dengan cuma-cuma (baca juga Mat 10: 7-15). Memang benar banyak orang di luar saya yang terus membantu menguatkan saya dalam setiap permasalahan kehidupan, dari orang tua, saudara, tetangga, dan teman...Semuanya saya peroleh dengan cuma-cuma, tanpa pamrih...

Beberapa hari yang lalu saya mengantar anak saya mengikuti kompetisi Olimpiade Robotik. Saya melihat betapa besar pengaruh "materi" dalam membantu pendidikan anak, dan saya bisa merasakan kesenjangan sosial yang masih berat menghantui Indonesia sehingga tidak setiap anak Indonesia bisa bergembira mengenal lebih jauh teknologi mutakhir ini.

Kemudian dalam beberapa kali perjalanan dengan shuttle bus, saya melihat anak sang sopir yang baru duduk di kelas tiga SD setiap hari menemani ayahnya menjalani tiga kali rute pulang pergi mengantar penumpang masuk dan keluar kota Jakarta. Ironis sekali dengan tayangan televisi yang menyiarkan berbagai acara liburan untuk anak-anak, yang saat itu saya saksikan selama perjalanan Jakarta-Serpong. Ada anak-anak yang bergembira mengikuti jambore Si Bolang, ada yang mencoba menjadi koki handal dengan bantuan chef terkenal, atau sekedar berjalan-jalan ke tempat wisata lainnya.

Kegalauan akan kesenjangan sosial ini sempat dijawab oleh seorang kenalan yang juga penginjil Kristen: "Mereka yang menikmati kelebihan itu juga bukan tanpa perjuangan. Jadi jangan hanya melihat perbedaan yang ada, karena ada juga perjuangan lain untuk mencapai posisi itu."

Sebuah teguran kecil dari kothbah pastur mengingatkanku akan pentingnya menjaga kedekatan hubungan dengan Tuhan, katanya: "Manusia mudah datang kepada Tuhan ketika sedang susah, tetapi seringkali lalai mengingat Tuhan ketika sedang bahagia dan puas dengan kehidupannya."

Dalam kehidupan memang perlu perjuangan tersendiri. Yesus mengingatkan keduabelas murid ketika memanggil mereka, sama seperti Ia sekarang juga mengingatkan kita melalui sabdaNya: "Aku mengutus kalian seperti domba ke tengah-tengah serigala! Sebab itu hendaklah kalian cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati." (Mat 10:16)

Cafe Rohani edisi Juli 2008, sebuah terbitan dari IKI (Institut Karmel Indonesia), mengambil renungan dari Hosea 14:2-10 dan mengingatkan betapa manusia bisa menyembah buatan tangannya sendiri. Kalau buku renungan harian ini berkisah tentang televisi sebagai buatan manusia yang memperhamba pembuatnya, maka saya pribadi banyak merenung terhadap selebritas dan pemaknaan pencapaian karya pribadi. Jangan sampai hal ini memperhamba kita sebagai manusia dan melupakan kuasaNya. Kita memang diminta untuk cerdik dan berjuang di tengah kesemrawutan dunia, tapi tidak pernah boleh lupa betapa besar bantuan Allah yang dicurahkannya kepada diri kita melalui sesama kita. Maukah kita menjadi alat bagiNya dalam membagikan kasih dan meringankan beban berat dari sesama kita yang juga letih lesu dan berbeban berat?

Tuhan Allah yang mahabaik,
aku percaya karena karunia dan rahmatMu bagi kami,
kami akan mampu berkarya bagi kemuliaan namaMu,
menjadi alatMu dalam menyegarkan sesama yang letih lesu dan berbeban berat,
menjadi perpanjangan tanganMu dalam menuntun mereka yang limbung dalam kebimbangan.

Allah,
jadikan kami pembawa damai sejahteraMu,
bantu mulut, hati, dan pikiran kami dalam perjuangan di dunia ini,
bersihkanlah mulut, hati, dan pikiran kami...
agar Roh KudusMu mampu berkarya di dalam diri kami.

Bapa, kami percaya akan kasih dan karuniaMu...
yang besar dan dalam melebihi lautan,
yang akan menjadi pegangan bagi kami bila kami sungguh percaya,
dan sungguh menyerahkan diri kepada kerahimanMu,
Amin.

Misteri Ilahi yang Memeliharaku

Di televisi sekarang banyak reality show mulai dari tontonan yang mengundang rasa ngeri, lucu, belas kasihan, mengundang kekaguman atau sekadar mengumbar cerita pribadi seseorang...

Saya masih senang menonton pertunjukan sulap. Pertunjukan yang melampaui pikiran manusia, meski katanya itu kecepatan tangan atau tipuan mata, tetap meninggalkan senyum di bibir penonton.

Dalam film the Prestige, ada tahap-tahap utama dalam formula pertunjukkan sulap. Semua tahap ada alasan logisnya entah hal itu dapat dengan mudah diketaui umum atau tersimpan rapat dalam peti pikiran sang pesulap. Semua penjelasan di belakang rumusan rahasia yang mereka buat merupakan konsekuensi logis dari skenario besar sang pesulap...

Tapi dalam hidup, saya belajar bahwa pada akhirnya tidak semua hal ada penjelasan logisnya, akhirnya, karena kita tidak dapat melampaui segala sesuatu. Pada akhirnya tidak semua pertanyaan ada jawabannya (misteri hidup?)

Pada umur 10 tahun, saya diminta mengikuti kaderisasi dalam organisasi koor cilik. Seorang senior membacakan: Yesus Berjalan di Atas Air.

Pada akhir sesi itu dia berbisik pada saya,
"Kamu merasakan sesuatu 'ga?"
"Apa?"
"Bahwa yang dimaksud itu kamu, kamu punya kelebihan, intelligentia, tapi kamu tidak percaya diri, Inge"

Lewat seorang sahabat (saat ini dia ambil S3 Teologi di Roma, seorang pastor), saya dibukakan mata akan masalah mendasar dalam diri saya yang harus cepat-cepat saya selesaikan. Salah satu kado yang berarti buat saya sepanjang hidup. Meskipun pada saat saya berumur 22 tahun ternyata masalah itu belum selesai, karena boss saya masih menulis dalam appraisal form: kurang percaya diri... hiks ...

Dalam hati, untuk menyembuhkan luka yang satu ini, saya selalu mengingat: "Jika Engkau itu Yesus, panggillah aku, maka aku akan datang padaMu, berjalan di atas air" sebab saya harus ingat-ingat dalam 1 Ptr 5: 7:"Serahkanlah kekuatiranmu padaNya, sebab Ia yang memelihara kamu."

Kontributor:
Rediningrum Setyarini (Inge)

Sunday, June 22, 2008

Lebih Berharga Daripada Banyak Burung Pipit

Kesibukan lain seringkali membuat saya menunda komunikasi dengan Tuhan. Minggu lalu saya diingatkan bahwa semua ini kudapatkan dengan cuma-cuma. Tuhan tidak pernah meminta bayaran akan udara yang menghidupiku, air yang menyegarkanku, bahagia yang menyambangiku. Keinginan untuk segera menuliskan refleksi itu tertunda karena masih begitu banyak hal lain yang ingin kutuliskan.

Kemarin kembali saya diingatkan betapa besar kasihNya padaku...pada umat manusia. Dari Matius 10:28-31, saya mendengarkan sabdaNya "Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh dalam neraka. Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun daripadanya tidak akan jatuh ke bumi id luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga daripada banyak burung pipit."

Kecemasan akan masa mendatang memang seringkali datang menerpa. Kecemasan itu tidak selalu untuk diriku pribadi, lebih kepada masa depan anak-anakku. Aku teringat pada sebuah kisah yang kubaca di masa kecilku. Seorang malaikat ragu-ragu ketika diperintahkan untuk mengambil nyawa seorang ibu karena anak-anak ibu itu masih kecil-kecil. Malaikat itu kemudian dihukum menjadi bisu dan melihat bagaimana anak-anak itu tetap bisa bertumbuh dengan baik. Setiap dia menyaksikan kebesaran Tuhan maka dia akan semakin bercahaya, sampai akhirnya hukumanannya selesai karena dia sudah kembali percaya sepenuhnya kepada kerahiman Tuhan. Mungkin aku tidak mengingat cerita itu dengan detail tapi kisah itu memang sangat banyak mengingatkan akan kebesaran dan kasihNya.

Surat gembala Mgr. Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ. dalam rangka 25 tahun tahbisan uskup beliau juga menyinggung betapa kesulitan ekonomi akan mendatangkan kecemasan dan ketakutan. Saling membantu dan saling menguatkan akan sangat dibutuhkan agar kita semua kuat menghadapi kemungkinan resesi dunia secara global ini. Teringat kembali sabda yang terdengar minggu lalu, perintah untuk memberi tanpa meminta bayaran karena kita juga menerima semua yang kita miliki dengan cuma-cuma dari Tuhan.

Terkadang terasa sulit untuk pasrah sepenuhnya kepada Tuhan. Sifat manusiaku membuat aku sibuk berpikir jauh ke depan, mencemaskan hal-hal yang belum tentu terjadi, mencari jalan untuk melaksanakan hal belum tentu diinginkanNya terjadi...

Bunda Maria selalu memberikan teladan kepasrahan yang sempurna, yang menguatkanku di kala kecemasan melanda. Sama seperti ketika Bunda menenangkan para pegawai yang mengurusi anggur pada pesta perkawinan di Kana untuk percaya kepada perkataan Putranya.

Bunda Maria,
Bunda tercinta yang selalu diam menemaniku...
Yang menyediakan pangkuan untukku menangis...
Ketika ragu, cemas, bahkan kemarahan padaNya memenuhi sanubari,
Elusan tanganmu menyejukkan hati, menurunkan emosiku...
Mengingatkan kembali untuk menghitung berkat yang sudah kuterima,
Bunda, doakan kami semua putra putrimu...
Semoga melalui jalan yang dibukakan oleh Yesus Kristus...
Bisa berjalan menuju ke rumah Bapa yang abadi.
Amin.

Tuesday, May 27, 2008

Makanan Untuk Kehidupan Kekal.

Hari ini sedikit menjelajah Kitab Suci sekedar untuk mendengar kata-kataNya tentang makanan untuk kehidupan yang kekal. Semuanya berawal ketika aku menemukan kitab Yehezkiel 2:8 "Dan engkau, anak manusia, dengarkanlah apa yang Kufirmankan kepadamu, janganlah memberontak seperti kaum pemberontak ini. Ngangakanlah mulutmu dan makanlah apa yang kuberikan kepadamu."

Seringkali ya Tuhan, kami melupakan kemurahan hatiMu. Bunga-bunga bakung dan burung-burung pipit lebih pandai dalam bersikap pasrah kepadaMu daripada kami manusia. Merasa memiliki kepandaian, merasa memiliki pilihan bebas, kami berusaha keluar dari permasalahan kami sendiri. Padahal Bapa, Engkau selalu ingin menolong kami, anak-anakMu yang seringkali lupa akan hadirMu.

Matius 4:4; Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." Makanan bagi manusia bukan sekedar makanan untuk jasmani semata melainkan juga untuk rohaninya. Dan terkadang makanan rohani ini terlupakan ketika kita terlalu sibuk mencari makanan jasmani.

Kehidupan menjadi semakin sulit, kenaikan harga-harga akan menambah beban keluarga. Dengan biaya kehidupan dan biaya sekolah yang semakin hari semakin tinggi, seringkali kita berputus asa dan melupakan hadirNya. Yesus memberi makan kepada orang banyak tidak hanya sekali tertulis di dalam Kitab Suci. Matius 14 dan Markus 6 bercerita tentang Yesus memberi makan kepada lima ribu orang, kemudian dalam Matius 15 dan Markus 8 sekali lagi diberitahukan bahwa Yesus memberi makan kepada empat ribu orang. Peristiwa pertama yang lebih besar memang diberitakan oleh ke empat penulis Injil, sementara peristiwa kedua hanya dituliskan oleh dua penulis Injil.

Dalam Injil Yohanes 6: 27 dikatakan: Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada kehidupan yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meteraiNya.

Lebih lanjut Yohanes menyampaikan perkataan Yesus mengenai roti kehidupan. Kata Yesus: "Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah dagingKu, yang akan kuberikan untuk hidup dunia." (Yoh 6: 51)

Yehezkiel kemudian diminta Allah untuk memakan sebuah gulungan kitab, sebelum pergi berbicara kepada bangsa Israel. Makanan rohani kita berasal dari Kitab Suci yang juga senantiasa memenuhi jiwa yang kehausan dengan air pengharapan.

Makanan jasmani yang menjadi lambang dari makanan untuk hidup yang kekal adalah Sakramen Maha Kudus, dalam roti dan anggur yang berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus kita percaya kepada keselamatan kekal yang diberikan Allah kepada kita melalui perantaraan putraNya Yesus Kristus.

Dialah air kehidupan yang mengalir deras membersihkan relung-relung jiwaku yang kelam, memberikan pemuas dahaga dan kesegaran dalam perjalananku. Yang mengalir mendorongku ke arah cahaya kebenaran dan memberikan cahaya pengharapan di saat-saat terkelam yang aku lewati.

Bapa,
Terima kasih atas semua pendampinganMu,
Jangan biarkan kami terlepas dari Air Kehidupan ini,
Biarkan kami senantiasa berada bersamaNya,
Dalam kebimbangan dan kesesakan, bimbinglah kami,
Dalam kegelapan dan keputus-asaan, jangan lepaskan genggaman tanganMu.
Dalam kemarahan dan emosi yang tak tertahankan, sabarkanlah kami.
Dalam kegirangan dan sukacita, sadarkanlah kami.
Dalam kebanggaan diri dan kebahagiaan hidup, dampingi kami...
Agar kami senantiasa ingat betapa semua ini milikMu jua...
Dan tidak pernah lupa mencari Roti Kehidupan sebagai bekal kami menuju rumah Bapa.
Amin.

Sunday, May 18, 2008

Tri Tunggal Mahakudus.

Betapa kecil kemampuan manusia untuk mengerti misteri Allah. KehadiranNya dalam tiga pribadi: Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus seringkali menjadikan manusia bingung ingin menyelaminya. Kebesaran Allah lebih dalam dari samudra luas dan dalam untuk bisa diselami manusia. Begitu kecil kemampuan otak kita untuk mencerna misteriNya.

Rasa ingin tahu memang sesuatu yang sangat manusiawi, lihatlah Hawa ketika digoda untuk mencoba buah pengetahuan. Kata setan kepadanya : “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” (Kejadian 3: 4-5). Buah dari pohon pengetahuan, bukan sekedar pengetahuan akan yang baik dan yang jahat yang terbuka, tapi mungkin juga kehausan akan pengetahuan yang jauh lebih mendalam lagi, yang menarik manusia untuk terus mencari dan memperdalam pengetahuannya.

Bila semua pengetahuan akan hal baik dan buruk, serta pencarian akan pengetahuan yang menggebu adalah untuk memuliakan Allah maka hal itu tidak akan menjadi buruk. Yang menjadi masalah, seringkali manusia lupa bahwa manusia bukan Allah. Hawa memakan buah itu karena ingin pengertian, ingin menyamai pengetahuan Allah. Padahal Allah adalah satu-satunya sumber kearifan itu.

Yohanes 3: 8 mengatakan: “ Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu darimana ia datang atau kemana ia pergi…” lebih lanjut dalam ayat 12 dikatakan: “Kamu tidak percaya , waktu Aku berkata-kata dengan kamu tentang hal-hal duniawi, bagaimana kamu akan percaya, kalau Aku berkata-kata dengan kamu tentang hal-hal sorgawi?”

Seringkali kita yang serba tidak tahu ini juga tidak mau mendengar kata-kata Allah, malahan sibuk mencariNya terus. Dia berkata-kata dalam hati kita, berkata-kata melalui Kitab Suci kita, dan kita tidak juga mendengarNya karena sibuk mencari jawaban akan hal yang jauh melampaui daya tangkap pikiran kita.
Lihatlah kita sudah menjelajah ke dasar laut, membuang sampah-sampah di angkasa, dan mungkin bahkan sedang berusaha untuk memindahkan kehidupan ke planet lainnya. Dan kita merasa bangga bahwa manusia yang menemukan semua itu. Kita melupakan hal yang utama, Sang Pencipta, Bapa yang Maha Pengasih. Dialah yang menciptakan semua ini, dan Dia melihat kehancuran manusia yang diciptakanNya lalu mengutus PutraNya untuk menebus dosa manusia. Salib Kristus merupakan lambang penebusan dan kelahiran kembali dalam Roh. Roh Kudus yang akan mendampingi manusia baru yang telah ditebus ini dalam mengarungi perjalanan menuju ke rumah Bapa yang kekal.

Bapa yang Maha Kasih,
Terima kasih atas anugerah yang tetap Kau limpahkan pada kami,
Bahkan setelah kami melanggar laranganMu.
Aku merindukan kehangatan kasihMu,
Dan tinggal di dalam kedamaian surgawi bersamaMu,
Tapi aku masih harus menempuh semua jalan beronak duri di dunia,
Jalan Salib yang masih lebih ringan dari Jalan Salib Kristus,
Terutama karena Roh Kudus terus menuntun dan menguatkan kami.
Tuhan, ajarilah kami untuk memahamiMu dalam keterbatasan kami,
Ajarilah kami untuk mencintaiMu dan berkarya bagi kebesaran namaMu,
Agar damai di bumi juga bisa terwujud,
Dan namaMu berkumandang dari setiap penjuru, dari setiap jalan,
Mengarahkan kami semua ke rumahMu yang besar dan penuh kedamaian.
Kehidupan kekal bagi anak-anakMu.
Amin.

Friday, May 09, 2008

Berjaga-jagalah!

Berjaga-jagalah, sebab Ia akan datang seperti pencuri ! Berbahagialah dia, yang berjaga-jaga dan yang memperhatikan pakaiannya, supaya ia jangan berjalan dengan telanjang dan jangan kelihatan kemaluannya (Wahyu 16:15). Pakaian apakah yang dimaksud, bila dalam I Timotius 6:7 dikatakan bahwa manusia tidak membawa sesuatu apapun ke dalam dunia dan juga tidak dapat membawa apa-apa keluar?

I Timotius 6: 10 mengingatkan bahwa akar dari segala kejahatan adalah cinta uang. Karena memburu uang manusia bisa menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai duka.

Melalui surat Paulus pertama kepada Timotius ini kita diingatkan akan hal-hal yang perlu dikejar: KEADILAN, IBADAH, KESETIAAN, KASIH, KESABARAN, dan KELEMBUTAN (I Timotius 6:11). Ini adalah pertandingan iman untuk memperebutkan kehidupan yang kekal.

Akhir zaman adalah sesuatu yang belum terjangkau dalam pikiran manusia (Daniel 12:1-13), tapi berjaga-jaga senantiasa perlu karena Ia akan datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Hal ini berulang kali dikatakan Yesus dalam perumpamaan-perumpamaan yang disampaikanNya. Dalam Injil Lukas 12: 35- 48 diberikan contoh mengenai kewaspadaan. Setiap orang mendapat pemberian dan kepercayaan yang diharapkan akan dijaga dan dikembangkan karena akhirnya daripadanya akan diminta hasil yang diperolehnya.

Menjaga pakaian iman adalah bekal utama dalam perjalanan ke rumah Bapa. Sudahkah kita menggunakan pakaian keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran, dan kelembutan itu?

Buat saya pribadi, bukan hanya uang yang menjadi perusak pakaian iman, melainkan juga ego. Mungkin juga keduanya bersaudara kembar uang dan ego…
Kekuatan tidak kumiliki tanpa bantuan sang penghibur, karena itu kumemohon kepadaNya untuk senantiasa menguatkan daku, menguatkan kita semua.

Mohon Tujuh Karunia Roh Kudus.

Datanglah, ya Roh Hikmah, turunlah atas diri kami, ajarilah kami menjadi orang bijak terutama agar dapat menghargai, mencintai, dan mengutamakan cita-cita surgawi, dan semoga kami Kau lepaskan dari belenggu dosa dunia ini.

Datanglah, ya Roh Pengertian, turunlah atas diri kami. Terangilah budi kami, agar kami dapat memahami ajaran Yesus, Sang Putra, dan melaksanakannya dalam hidup sehari-hari.

Datanglah, ya Roh Nasehat, dampingilah kami dalam perjalanan hidup yang penuh gejolak ini; semoga kami selalu melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat.

Datanglah, ya Roh Keperkasaan, kuatkanlah hambaMu yang lemah ini, agar tabah menghadapi segala kesulitan dan derita. Semoga kami Kau kuatkan dengan memegang tanganMU yang senantiasa menuntun kami.

Datanglah, ya Roh Pengenalan akan Allah. Ajarlah kami mengetahui bahwa semua yang ada di dunia ini sifatnya sementara saja. Bimbinglah kami agar tidak terbuai oleh kemegahan dunia. Bimbinglah kami agar dapat menggunakan hal-hal duniawi untuk kemuliaanMu.

Datanglah, ya Roh Kesalehan, bimbinglah kami untuk terus berbakti kepadaMu. Ajarilah kami menjadi orang yang tahu berterima kasih atas segala kebaikanMu; dan berani menjadi teladan kesalehan bagi orang-orang di sekitar kami.

Datanglah, ya Roh Takut akan Allah, ajarilah kami untuk takut dan tunduk kepadaMu dimanapun kami berada, tegakkanlah kami agar selalu berusaha melakukan hal-hal yang berkenan kepadaMu.

Terima kasih atas semua berkat Roh Kudus yang Kau berikan bagi kami sebagai penolong, penghibur, dan penguat kami dalam perjalanan, amin.

Thursday, April 24, 2008

Tinggallah di Dalam KasihKu!

Bacaan meditasi kami kemarin diambil dari kitab Yohanes 15: 9-17, ada satu ayat yang mengetuk hati beberapa orang dari kami yang mengikuti meditasi kitab suci tersebut; "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu."

Buat saya pribadi sempat terpikir betapa kontras perkataan bahwa bukan kita yang memilihNya dengan ajakannya untuk tinggal di dalam kasihNya. Ajakan itu memberikan gambaran akan pilihan dan kehendak bebas yang juga diberikan kepada manusia. Tapi dari sharing kelompok bisa saya simpulkan betapa sering manusia melenceng keluar dari naungan kasihNya dan Dia terus menerus berusaha mencari dan membawa kita kembali ke rumah BapaNya.

Hari ini saya lelah sekali karena pagi-pagi sudah berargumentasi dengan anak saya yang kecil. Sulit sekali untuk mengajak dia bangun pagi dan bersiap ke sekolah, apalagi dia masih harus makan sedikit supaya bisa minum obat. Lagi-lagi saya kalah terhadap emosi, karena itu saya mencoba mencari Kitab Suci untuk meredakan kekacauan batin yang bisa merusak satu hari ini.

Yang terbuka adalah kitab Yesaya yang berkisah tentang keselamatan dari Tuhan. Yesaya 55 dan 56 memang berkisah tentang ajakan untuk memperoleh keselamatan dan juga bahwa keselamatan adalah bagi semua orang! Tapi yang menarik perhatian saya adalah pembukaan Yesaya 55: "Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran! Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah kerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan? Dengarkanlah Aku maka kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat. Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepadaKu; dengarkanlah, maka kamu akan hidup!"

Stefan Leks dalambuku Percakapan Jiwa Dengan Tuhan (Misteri Hidup Spiritual Gabrielle Bossis) menuliskan bahwa penyangkalan diri adalah menghilangkan diri dalam diriNya maka Ia akan tampil dalam diri kita. Betapa sering emosi dan kedagingan memintakan pemuasan terhadap ego pribadi dan melupakan kasih. Ketika saya merasa sudah memberikan segalanya kepada anak-anak, dan mereka tidak memberikan kepatutan sikap terhadap orang tua maka emosi dengan mudah menggelegak. Saya lupa betapa sering saya bersikap sama seperti anak-anak itu, melecehkan perintah dan larangan Tuhan. Dia tetap sabar dan memaafkan...

Tuhan,
Terima kasih atas sabarMu yang tidak terhingga,
Terima kasih atas kasihMu yang penuh maaf dan cinta,
Berkatilah hari ini Tuhan,
Agar kami semua bisa berbuah banyak dalam namaMu,
Agar kami tidak keluar dari naungan kasihMu.
Agar kami tidak membelanjakan waktu kami dengan sesuatu yang tidak berasal dariMu,
Agar kami tidak membuang percuma kasih yang Dikau sodorkan bagi kami,
Agar keselamatan yang Dikau tawarkan tetap menjadi milik kami,
KepadaMu kami memohon bantuan dan kekuatan, Amin.

Sunday, April 06, 2008

Alegori "GUBUK TERBAKAR"

Alegori "GUBUK TERBAKAR"


Shalom Aleikhem saudaraku.!!

Saya mengajak untuk membaca serta merenungkan artikel renungan singkat ini, semoga bisa berguna bagi kita semua.

Demikian ceritanya………

Satu-satunya orang yang selamat dari kecelakaan sebuah kapal terdampardi pulau yang kecil dan tidak berpenghuni., adalah seorang pria, dan pria ini segera berdoa supaya Tuhan menyelamatkannya, setiap hari dia mengamati langit sertamengharapkan pertolongan, tetapi tidak ada sesuatupun yang datang.

Minggu-minggu telah berlalu, dalam perjuangan dan capenya , akhirnya dia berhasil membangun gubuk kecil dari kayu apung untuk melindungi dirinya dari cuaca, dan untuk menyimpan beberapa barang yang masih dia punyai.
Suatu hari, setelah dia pergi mencari makan, dia mendapati gubuk kecil miliknya itu terbakar dan asapnya mengepul membumbung ke langit.Dan yang paling parah pria itu kehilangan semua miliknya.
Dia sedih dan marah pada Tuhan dan berseru: "Tuhan, teganya Engkau melakukan ini padaku?" dia menangis dengan amat sangat sampai tertidur dalam tangisannya

Pagi-pagi keesokan harinya, dia terbangun oleh suara kapal yang mendekati pulau itu, dan kapal itu datang untuk menyelamatkannya.
"Bagaimana kamu tahu bahwa aku di sini?" tanya pria itu kepadapenyelamatnya.
"Kami melihat tanda asap mengepul yang berasal dari pulau ini", jawab mereka.


Saudaraku,mudah sekali bagi kita untuk menyerah ketika keadaan menjadi buruk.!!!

Tetapi kita tidak boleh goyah dan menyerah, karena Tuhan tetap bekerja didalam hidup kita, jugaketika kita dalam kesakitan, problem rumah tangga dan kesusahan.
Ingatlah, ketika gubukmu terbakar, itu adalah "tanda asap" bagi kuasa Tuhan untuk bekerja. Pada saat kejadian negatif terjadi dalam hidup ini, yakinlah bahwa tangan Tuhan akan mengubahnya menjadi positif

Saya berkata : Itu tidak mungkin.
Allah berfirman : Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil (Lukas 1:37).

Saya berkata : aku terlalu capai dan lesu.
Yesus berkata : Marilah kepadaKU semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu (Matius 11:28).

Saya berkata : Tidak ada seorangpun yang mencintai aku.
Firman Tuhan berkata : … Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setiaKu kepadamu (Yer. 31 : 3).

Saya berkata : Aku tidak bisa melakukannya.
Firman Tuhan berkata : Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku (Fil.4 :13).

Saya berkata : Aku tidak berharga.
Yesus berkata : Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit (Mat.10 : 31).

Saya berkata : Aku tidak bisa memaafkan dan mengampunimu
Yesus berkata : Karena jika kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang disorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu (Mat. 6: 14-15).

Saya berkata : Aku tidak bisa mengatasi segala keperluanku.
Firman Tuhan berkata : Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaanNya dalam Kristus Yesus (Filipi 4:19) .

Saya berkata : Aku selalu kuatir dan frustrasi.
Firman Tuhan berkata : Serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaNya, sebab Ia yang memelihara kamu. (I Petrus 5:7).

Saya berkata : Aku tidak pandai.
Firman Tuhan berkata : Karena TUHAN-lah yang memberikan hikmat, dari mulutNya datang pengetahuan dan kepandaian.

Saya berkata : Aku merasa sendirian.
Firman Tuhan berkata : … dan Ia tidak meninggalkan orang-orang yang dikasihiNya. Sampai selama-lamanya mereka akan terpelihara,…(Maz. 37 : 28).

Nah….saudara-saudariku yang terkasih, wartakan berita ini untuk setiap rekan, teman dan saudara yang mengalami penderitaan “GUBUK TERBAKAR”, serta yakinlah bahwa dibalik asap yang tebal itu, tangan Tuhan akan segera menolong dan memberi kepada kita jalan keluar yang terbaik. Amin..!!!

Special Thank's to Nell


Phil Lea.
(Serpong, 06 April 2008) ____________________________________________________________________________________Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search. http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping

Thursday, March 20, 2008

Mengosongkan Diri Dan Melayani

Kamis Putih memiliki inti yang sangat mendalam. Betapa Tuhan Yesus Kristus mau merendahkan diri dengan melayani murid-muridNya. Ia mau membasuh kaki dua belas rasul-rasulNya, termasuk Yudas Iskariot yang jelas-jelas akan mengkhianatiNya.

Saya memasukkan tulisan Meidy dalam blog ini karena posisi duduk Yudas yang ditempatkan sebagai tamu kehormatan menggambarkan dilema terberat yang dialami Yudas. Di satu sisi dia memperoleh kebaikan dan kerahiman Yesus, kesempatan untuk berbalik dari rencana pengkhianatanNya. Dilain pihak bisa juga tempat kehormatan itu menjadikan dia semakin mantap merasakan bahwa itulah tugas yang diperolehnya agar Yesus dapat menyatakan kemuliaan diriNya.

Mata manusia tidak sama dalam melihat persoalan di dunia ini, dari Kitab Roma 12: 9-21 terdapat nasihat untuk hidup dalam kasih. Nasihat yang ada mungkin berbeda dengan yang menjadi nasihat duniawi.

Lihatlah ayat 14: Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!

Suatu tindakan yang di mata manusia mungkin tindakan pengecut, membiarkan diri ditekan dan ditindas. Tapi Tuhan ingin kasih yang disebarkan agar semakin banyak yang diselamatkan.

Ayat 17-18: Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung kepadamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!

Ayat 19: Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kau sendiri yang menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hakKU. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.

Ayat 21: Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!

Yesus memberikan pelayanan bagai seorang hamba. Pastur malam ini dalam homilinya mengatakan melayani pada dasarnya adalah mengosongkan diri, memberikan diri sepenuhnya kepada pelayanan. Yesus memberikan diriNya bagi pelayanan umatNya, tapi dia tidak kehilangan jati diriNya yang asli sebagai Putra Allah.

Pada malam setelah perjamuan terakhir ketika kebimbangan dan kesesakan mendera Yesus juga, dia kembali kepada BapaNya dalam doa. Ketika itu berlangsung, murid-murid tertidur. Terkadang kita tidak sanggup ikut berjaga-jaga bersamaNya.

Malam yang menyesakkan ini akan segera berlalu dan berganti dengan penderitaan panjang di dalam jalan salib Kristus.

Saya bersyukur pernah merasakan jalan salib seorang diri di Lourdes. Pada salah satu tempat tertulis "Naiklah dengan berlutut", dan saya menaikinya sendirian dengan berlutut. Orang-orang yang lewat seakan-akan melihat saya dengan pandangan mata aneh, anak-anak ada yang menunjuk-nunjuk. Mungkin hanya perasaan yang terlalu sensitif, merasa terlihat seperti orang gila di tengah hutan di Lourdes. Keinginan terbesar saat itu adalah berdiri dan pergi dari tempat itu. Tapi saya sudah berniat ingin menyelesaikan jalan salib itu walaupun dengan resiko paha dan lutut saya pegal bukan alang kepalang serta muka terasa setebal tembok. Untung kemudian ada juga yang bergabung di bawah saya sehingga muka tembok saya tidak lagi seberat awalnya.

Pengalaman ini sangat berharga bagi saya karena saya bisa merasakan siksaan dan penderitaan terberat yang dialami Yesus, Maria, dan para rasul. Bukan penderitaan fisik yang menjadi penderitaan utama, tapi penderitaan mental! Dan ketika Yesus seorang diri, Dia tidak tahu berapa banyak jiwa yang Dia menangkan, karena Allah memberikan juga kehendak bebas bagi manusia untuk memilih kebaikan atau kejahatan. Dia menjalani semua penderitaan dan penghinaan itu walaupun semua itu bukan kesalahanNya. Dan ironisnya semua itu terjadi karena pilihan orang Yahudi, bangsa yang dipilih Allah.

Mengosongkan diri, melepaskan cita-cita dan keinginan diri sendiri dalam pelayanan bukan berarti menghilangkan jati diri kita sebagai manusia. Dalam Dia kita akan berbuah dan menjadi banyak. Selama tiga hari suci ini kita akan menerima banyak sekali biar kita mau mendengar.

Yesus, Tuhanku...
Di dalam kemelut hati ini, aku tidak ingin menuntut hidup mulus tanpa gelombang.
Memanggul salib itulah tugasku sebagai pengikutMu, bukannya lari menghindar.
Namun Tuhan, saat-saat aku tidak mengerti jalanMu, tunjukkanlah jalanku ke arah rencanaMu.
Waktu kebingungan dan kekhawatiran melanda diriku, janganlah lepaskan tanganku.
Mampukan aku berdiri tegap melawan gelombang perasaanku yang tidak menentu seperti saat ini. Bantulah aku untuk bersabar, penuh kasih dan kerendahan hati. Jangan biarkan aku hanyut melawanMu, menyerah dalam arus percobaan.
Biarlah dekapan kasihMu menguatkan aku untuk berjuang. Menyadarkan aku bahwa aku tidak sendirian, tetapi Engkau tidak pernah lena dan tetap memangku, mendekapku dalam segala suasana yang gelap gulita dan membosankan ini.
Tuhan, biarlah aku semakin murni dalam genggaman kuasa dan kasihMu

(Doa Dalam Kesesakan, imprimatur: J. Harjoyo, Pr.)