Thursday, October 09, 2008

RencanaNya Tidak Selalu Bisa Diduga

Saya baru saja kehilangan seorang teman, tidak sangat dekat secara fisik karena kami hanya bertemu untuk berdoa, meditasi dalam FirmanNya, seminggu sekali. Itupun kalau jadwal sekolah anak-anak, dan jadwal pribadi kami memungkinkan.

Pertama kali bertemu dengannya, saya merasa dia orang yang sangat beruntung karena memiliki kebahagiaan yang begitu besar. Suami yang tampaknya senantiasa saling mendukung, anak-anak manis dan berprestasi, dan kegiatan sosial yang masih memampukan dia mengeksplorasi talentanya. Semuanya terlihat begitu sempurna, sampai tiba-tiba ‘gong’ kejutan berbunyi…KANKER!

Tapi kejutan itu sebenarnya terasa bagaikan kerikil tajam saja, ada kisah Rima Melati yang sembuh dari penyakit itu, ada kisah temanku yang lain yang juga sembuh dari kanker stadium yang lebih tinggi. Apalagi teman ini tidak pernah menunjukkan kecemasan, keloyoan, maupun tidak adanya harapan. Optimismenya selalu tinggi, kepercayaannya pada Tuhan begitu mendalam. Apapun yang Tuhan berikan pasti baik adanya.

Pernah kami menengoknya ketika dia baru menjalani kemoterapi dan terdengar kabar kondisinya buruk. Setiba di rumahnya, dengan wajah ceria ia menyambut dengan penuh tawa. Terus terang rombongan yang datang sedikit bingung karena memang bukan seperti itu biasanya sambutan yang diberikan oleh orang sakit yang sedang ditengok. Apalagi di balik kimononya dia masih terikat dengan kantong yang menampung sisa cairan yang keluar.

Kupikir ia pasti akan sembuh, Tuhan ingin menjadikannya pewarta yang lebih khusus lagi. Perjuangannya melawan sakitnya akan menjadikannya lebih mampu mendekati sesama yang menderita sakit untuk menguatkan mereka dan memberikan harapan kesembuhan bagi mereka.

Senyum cerianya memang merupakan satu hal yang ternyata mengesankan semua orang yang pernah kenal dengannya. Setidaknya begitulah kesan yang saya dengar dari sharing teman-temannya semalam, ketika misa peringatan tujuh hari berpulangnya teman terkasih ini. Senyum itu juga yang membuat foto yang dipajang di rumah duka juga begitu berkesan, karena memang seperti itulah dia yang kami kenal.

Suaminya berbagi kisah, kebingungan yang terutama dirasakannya adalah kehilangan teman berbagi cerita. Rasanya bukan hanya dia yang kehilangan hal itu. Hampir semua teman yang dekat dengannya akan merasakan hal yang sama. Entah darimana energi yang dimiliki teman ini untuk berbagi kasihNya…rasanya, pasti dari Roh Kudus! Sebuah kado terindah yang tiba-tiba diambil kembali…

Ketika saya membawa teman dari Tabloid Rumah ke rumahnya, saya juga belajar hal lain lagi. Saat itu dia bercerita dengan antusias tentang sejarah keluarga yang terekam di dalam kebunnya, atau tentang bunga-bunga dan tanaman lain yang juga dijadikan bibit, terasa benar betapa semuanya dikerjakan dengan cinta. Passion. Ia mengenal semuanya itu dengan hatinya, secara mendalam. Ia bukan sekedar menjadi ibu rumah tangga biasa, tetapi ia menjadi ibu yang profesional yang sungguh-sungguh menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dengan prioritas yang jelas.

Terus terang saya bingung bagaimana dia sanggup membagi waktu untuk semua kegiatannya, membagi waktu untuk semua teman-teman yang membutuhkan ‘curhat’ dengannya. Membagi waktu antara keluarga dan kegiatan pelayanan selalu menjadi kendala bagi semua yang bergiat melayani di luar rumah. Bahkan tiga atau empat bulan lalu dia masih sempat bersama rekan-rekan koornya memenangkan lomba se KAJ. Siapa yang menyangka dia akan pergi secepat ini…

Imannya sungguh luar biasa. “Jika kalian yang jahat tahu memberikan yang baik kepada anakmu, betapa pula Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada siapapun yang meminta kepadaNya.” (Lukas 11:13). Hari ini saya membaca dari CafĂ© Rohani tulisan mengenai “Iman yang Gila”: “Abraham juga salah satu tokoh ‘gila’. Selain dikenal sebagai Bapa Bangsa-bangsa, ia adalah Bapa Iman. Pada usianya yang sudah renta, Tuhan memintanya pergi dari negeri kaum kerabatnya ke suatu tempat asing. Tak ada jaminan kepastian. Hanya berbekal janji Tuhan (yang belum sepenuhnya ia kenal), Abraham pun pergi.” Teman saya jauh lebih beruntung, dia sudah mengenalNya dengan baik, dan percaya sepenuhnya pada janji keselamatanNya. Tapi sebagai ibu, ada anak-anak yang senantiasa menjadi inti dari kehidupan kami di dunia. Pembelajaran yang pertama dan utama, katanya berasal dari rumah. Dan bila dua kaki penyangga yang berasal dari ibu tidak ada, bagaimana ke depannya? Temanku ini memiliki iman ‘yang gila’, yang membantunya percaya sepenuhnya akan penyalenggaraan Tuhan terhadap keluarga yang ditinggalkannya.

Selama ini saya menganggap kematian adalah kebahagiaan, perjumpaan denganNya, juga akhir dari penderitaan ragawi dan awal kehidupan yang kekal. Tapi kepergian teman saya ini menyentakkan saya, karena tiba-tiba saya tersadar betapa saya belum siap melepaskan keluarga saya, terutama anak-anak saya, betapa masih banyak dosa-dosa tersembunyi yang belum kubersihkan dari sudut-sudut hatiku. Siapkah aku pergi ke rumahNya? Ternyata tidak sesiap dugaan awalku…

Teman saya ini siap, dia mungkin mengulang kata-kata St. Theresia Lisieux, “Aku menyerah kepada Allah. Dengan kepercayaan buta aku berani meloncat ke dalam tangan Allah yang kuat dan menyelamatkan.”

Temanku sering berkata tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Perjumpaan kami mungkin termasuk di dalamnya. Kemarin juga sebenarnya saya sangat repot, asisten rumah tangga mudik lebaran dan belum juga kembali. Suami diminta pulang cepat untuk menjaga anak-anak selama saya menghadiri misa, tidak bisa pulang cepat. Ketika saya hampir melupakan acara di gereja itu, tiba-tiba saya diingatkan melalui blog ini (saya tidak sengaja masuk dan membaca tulisan terakhir saya). Akhirnya anak-anak ikut ke misa, sedikit mengganggu orang-orang yang duduk di sekitar kami mungkin. Tapi kemudian (setelah acara) menyaksikan mereka bermain dengan anak temanku yang terkecil, yang masih di Taman Kanak-Kanak, kelas yang sama dengan anak kembarku bila mereka bersekolah di sekolah yang sama, kurasa memang temanku menginginkan mereka datang bersamaku dan berkenalan dengan anaknya. Sebuah niatan yang selama ini tidak pernah kami tuntaskan.

Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, rencana Tuhan tidak selalu terang dan jelas di mata manusia. Misteri rencanaNya membutuhkan ‘kepercayaan buta’ untuk pasrah kepadaNya. Kalau anda secara kebetulan membaca tulisan ini, luangkan waktu sejenak untuk diam dan mencari sabdaNya di dalam hati anda, mungkin Dia ingin mengatakan sesuatu melalui hatimu. Demikian juga ketika membaca Kitab Suci, luangkan waktu sejenak untuk memeriksa batinmu karena disana ada pesanNya yang khusus hanya ditujukan padamu seorang!

Bapa yang baik,
Kupercaya Engkau memanggil anakMu dan memberinya tempat yang nyaman di sisiMu,
Tolonglah kami yang masih dalam perjalanan ziarah kami di bumi ini,
Berikanlah Roh Kudus sebagai penguat diri kami,
Hadirlah melalui diri kami untuk sesama yang membutuhkan hadirMu,
Kuatkan kami untuk senantiasa berkata dan menyelami perkataan:
“Bukan kehendakku, melainkan kehendakMu lah yang terjadi Tuhan.”
Amin.

No comments:

Post a Comment