Saturday, December 04, 2010

Tersenyumlah Untuk Yesus

Bagi orang-orang yang mengenal tradisi Sinterklaas maka nanti malam seharusnya adalah malam kedatangan Sinterklaas dan Piet Hitam. Suasana perayaan Natal mulai terasa. Lagu-lagu Natal mulai dikumandangkan, acara Pendalaman Iman dalam rangka Adven mulai diadakan, dan sebentar lagi gereja juga dipenuhi antrian orang-orang yang akan menerima Sakramen Pengakuan Dosa. Yesus akan datang, bersihkanlah rumahmu, bersihkanlah hatimu untuk menyambutNya.

Satu hal yang menarik bagi saya selama mengikuti doa meditasi bersama suster adalah pengalaman berbagi dengan rekan-rekan komunitas. Betapa begitu banyak ragam masalah di dunia ini. Betapa begitu banyak ragam rahmat yang dicurahkanNya bagi kami masing-masing.

Dari buku Ibu Teresa "Come be My Light" saya menemukan satu hal yang sangat sulit untuk aku tiru. Ibu Teresa berusaha untuk terus tersenyum bagi Yesus, walaupun dia berada dalam kegelapan dan kehausan akan cintaNya yang sangat mendalam. Dia tidak pernah ingin mengeluh. Itulah satu hal yang sangat berbeda dengan diriku dan sangat sulit untuk kutirukan. Belajar untuk tidak mengeluh, belajar untuk menerima jalanNya dan tersenyum.

Seorang dari peserta meditasi kami membagikan pengalamannya Jumat pagi kemarin. Ketika meditasi ia merasa wajahnya diarahkan untuk tersenyum. Tentu saja saya langsung teringat pada contoh dari Bunda Teresa. Tersenyumlah untuk Yesus!

Natal sejak saya masih kecil merupakan hari yang khusus. Sebagai anak kecil saya dan adik-adik terutama sangat gembira dengan hadiah Natal yang diletakkan di bawah pohon Natal. Kami tidak terlalu mengenal Sinterklaas yang turun dari cerobong tapi kami mengenal hadiah-hadiah Natal. Ada cerita Sinterklaas dan Piet Hitam, tapi di rumah kami tidak ada cerobong. Yang ada tentunya pergi menemui Sinterklaas di luar rumah. Pernah suatu ketika saya langsung sakit panas ketika seorang teman ayahku yang kebetulan berkulit hitam legam datang ke rumah dan saya dipaksa untuk bersalaman dengannya.

Hadiah Natal kami dahulu mulai muncul di awal-awal Adven, setiap kali ada yang berbuat baik maka hadiahnya di bawah pohon itu bertambah. Sebaliknya, bila yang dilakukan adalah kenakalan, maka hadiahnya akan menghilang kembali. Sebenarnya hadiahnya tidak mahal, bisa sugus satu bungkus atau pensil dan penghapus. Masa kecilku kami tidak punya banyak tuntutan. Tanpa iklan televisi, tanpa kehidupan konsumtif, tanpa permainan elektronik yang mahal tidak banyak godaan bagi kami. Hadiah terindah buat saya tentunya adalah buku cerita atau album perangko.

Dalam masa remajaku ada kebiasaan baru yang muncul, yakni membersihkan kamarku menjelang Natal dan Paskah. Menata kamar pada hari Natal sangat menyenangkan karena banyaknya sahabat pena yang mengirimiku kartu Natal. Semua kartu-kartu itu akan kupajang di atas almari, menambah warna-warni ceria dalam kamarku. Ketika kamarku sudah bersih dan teratur maka tentunya giliran hatiku yang perlu dibersihkan...jadilah saya ikut dalam antrian umat yang akan menerima Sakramen pengakuan dosa. Sayang sekali kehadiran internet yang secara ekonomi lebih murah daripada berkirim surat, dan lebih efisien dari segi waktu membuat saya berhenti berkirim surat lewat pos. Jadi kartu-kartu Natal yang indah itu tidak lagi menghias rumahku, dan tidak lagi menjadi rutinitas menjelang Natal yang kuturunkan ke anak-anakku.

Ketika Maria menerima kabar gembira dari malaikat Gabriel, seharusnya kabar itu bukanlah kabar gembira yang bisa membuat seorang perawan tersenyum. Bayangkan bagaimana rasanya seorang gadis yang belum menikah bila menerima kabar akan mengandung dan melahirkan seorang bayi? Seistimewa apapun bayi yang akan dikandungnya, rasanya pasti di hatinya ada guncangan yang hebat. Itu adalah pilihan yang diberikan kepada Perawan Maria, dan itu bukan suatu pilihan yang mudah. Hukuman untuk wanita yang hamil tanpa suami adalah hukum rajam. Bagaimana orang lain bisa mengetahui bahwa dirinya mengandung anak Allah? Tetapi Maria tetap tersenyum dan menjawab, "Terjadilah padaku menurut perkataanMu...."

Ketika saya menghadapi masalah dalam kehidupan, masalah dalam berkeluarga, maka reaksi pertama adalah keluarnya sebuah keluhan. Reaksi selanjutnya adalah mencari jalan keluar yang logis untuk memecahkan masalah tersebut. Dari sharing dalam Pendalaman Iman di lingkungan kami serta dari pengalaman seorang teman doa yang sedianya harus menjalani operasi jantung minggu ini, saya belajar betapa jalan keluarNya tidak selalu memiliki penjelasan yang masuk akal. Seringkali jalanNya tampak sangat tidak masuk akal. Kebetulan kedua contoh yang saya dengar berhubungan dengan penyakit jantung. Yang pertama di lingkungan adalah kisah anak kecil yang sudah siap di operasi di Singapura ketika tiba-tiba alat yang seharusnya akan digunakan ditarik oleh produsennya karena adanya kekurang sempurnaan pada produk. Yang kedua, dari teman doaku, adalah kisah penundaan operasi jantung karena secara mendadak terjadi perbaikan kondisi jantung setelah yang bersangkutan berserah diri dalam meditasi-meditasinya.

Mengeluh dalam menghadapi masalah seringkali berkaitan dengan tuntutan kepada Tuhan untuk memperhatikan kita, untuk memperbaiki nasib kita. Betapa Ibu Teresa merasa tersiksa karena merasa kering dan hampa, tetapi dia dengan tersenyum terus bekerja bagi Tuhan. Ia menjadikan dirinya mempelai Yesus. Dan menjadi mempelai Yesus tidak berarti senantiasa menerima dukungan dan siraman kasih yang besar dan nyata di dalam hatinya.

Sebuah kisah dari renungan Pater Anthony de Mello SJ saya temukan di portal Keluarga Katolik Indonesia (KKI) Amsterdam. Walaupun sudah pernah membacanya sebelumnya, tapi kali ini kisah ini lebih menyentuh saya karena saya sekarang bisa merasakannya. Kisah ini bercerita tentang pemuda yang mencari suara seribu lonceng yang tenggelam ke dasar laut. Ia tidak mampu mendengar suara lonceng itu, suara gemuruh lautan memenuhi seluruh indera pendengarannya. Ketika ia menyerah dan menyangka bahwa ia tidak ditakdirkan untuk mengenal suara lonceng dalam legenda itu, tiba-tiba lonceng-lonceng itu berdenting dengan sangat jelas.
Pada hari itu ia tidak berusaha menutup telinganya terhadap suara laut, melainkan menyerahkan dirinya sendiri kepadanya. Dan ia pun menemukan suara yang lembut dan menyegarkan di dalam gelora gelombang laut. Segera ia begitu tenggelam dalam suara itu, sehingga ia hampir tidak menyadari dirinya lagi. Begitu dalam keheningan yang ditimbulkan suara gelombang dalam hatinya.

Di dasar keheningan itu, ia mendengarnya ! Dentang bunyi satu lonceng disambut oleh yang lain, oleh yang lain lagi dan oleh yang lain lagi ...dan akhirnya seribu lonceng dari kuil itu berdentangan dengan satu melodi yang agung berpadu. Dalam hatinya meluap rasa kagum dan gembira.

Jika engkau ingin mendengar lonceng-lonceng kuil, dengarkanlah suara laut.

Jika engkau ingin melihat Tuhan, pandanglah ciptaan dengan penuh perhatian. Jangan menolaknya, jangan memikirkannya. Pandanglah saja.


Dalam upaya mencari Yesus seringkali saya terlalu fokus kepada figur Yesus yang ada dalam benakku, atau menutup mata terhadap apa yang tersaji di hadapanku guna menemukan Ia yang bagiku tersembunyi. Ibu Teresa mencari kehangatan cintaNya tapi ia tidak membiarkan dirinya jatuh ke dalam kekosongan itu, ia membiarkan dirinya masuk dan lebur ke dalam karyaNya. Dan ia membiarkan dirinya selalu tersenyum sehingga orang luar hanya melihat kebesaranNya.

Yesus,
saya ingin tersenyum bagiMu
menerimaMu dalam penginapan di hatiku
lebur dalam kehangatan cintaMu
dan berbuah banyak karena sentuhan kasihMu.

Yesus,
betapa besar kasihMu
betapa besar kekuatanMu yang Engkau berikan untuk menopang kami,
Berikan kami kemampuan untuk mengenalMu
untuk mengenal jalanMu
untuk melangkah bersamaMu
untuk berpasrah tapi tidak pasif
untuk berusaha tapi tidak mengatur
karena Engkau begitu besar
seperti alam semesta yang tak terkira luasnya
begitu dalam
seperti dalamnya samudra yang tak terselami
dan logika tidak mampu menyentuhMu
tidak mampu mengenal kehendakMu
ketika jalanMu dan takdir bagai bersatu
ketika kehendak bebas menjadi batu sandunganku
ajari daku cinta kasihMu...
ajari daku untuk tersenyum bagiMu....