Tuesday, December 27, 2011

Belajar dari Perjalan Seorang Hamba

Saya baru selesai membaca buku "Perjalanan Seorang Hamba", kisah perjalanan hidup Romo FX Pranataseputra, Pr. Baru pertama membuka buku ini saya sudah merasa akrab dengan isinya. Sungguh berasa bertemu dengan Romo Frans Pranata sendiri. "Lebih baik salah membaptis daripada salah tidak membaptis," ungkapan ini secara langsung menjawab bagaimana Romo membaptis suamiku dulu. Waktu itu beliau mengingatkan bahwa tanggung jawab baptisan berada di tangan orang yang dibaptis. Menurutnya Romo hanya membantu memperdekat dengan Tuhan sesuai dengan keinginan pacarku. Saya sendiri masih ingat ikut berkata tidak mau terikat karena benar-benar menginginkan bahwa baptisan itu berasal dari keinginan hati pacarku, bukan karena hubungan kami. Romo Frans waktu itu mengatakan bahwa setiap orang memiliki jalan tersendiri untuk bertemu dengan Tuhan. Bagaimana Tuhan memanggil adalah jalan setiap orang. Saya sangat percaya pada perkataan beliau mengingat saya mengetahui betapa berliku jalan yang dilaluinya hingga ke pentahbisan imamatnya. Karena itu membaca kutipan perkataan Romo membuat saya sungguh kembali mengingat beliau, "Lebih baik salah membaptis daripada salah tidak membaptis; lebih baik kalah uang daripada kalah orang; lebih baik salah memberi daripada salah tidak memberi; lebih baik mengalah di hadapan manusia daripada dipersalahkan di hadapan Allah."

Romo Antonius Didit Soepartono, Pr. mengingatkan dalam Apa Kata Mereka, bahwa spiritualitas HAMBA adalah hangat, andal, misioner, bahagia, abdi. Buku ini mengingatkan akan sosok Romo Frans Pranata yang senantiasa tersenyum. Dalam Sekapur Sirih, Mgr. Ignatius Suharyo; Uskup Keuskupan Agung Jakarta; mengatakan bahwa rupanya rencana Allah bagi Rama Pran memang seringkali berbeda dibandingkan rencana Rama Pran sendiri. Beliau mencontohkan Bunda Maria yang sepenuhnya membiarkan Allah menentukan jalan hidupnya, Kemerdekaannya seutuhnya sama dengan ketaatannya. Dicontohkan juga nabi Yeremia yang dituntun, bahkan dipaksa Tuhan untuk berjalan sesuai dengan jalan yang diinginkanNya. Saya sendiri secara langsung teringat pada kisah nabi Yunus yang melarikan diri dari tugasnya di kota Niniwe, dan bagaimana Tuhan tetap melaksanakan kehendakNya. Romo Frans (saya lebih terbiasa memanggil beliau Romo Frans daripada Romo Pran) tidak melarikan diri, tetapi seringkali dia dipaksa untuk pergi dan meninggalkan tugas yang sedang dijalankannya. Tuhan memberi jalan untuk melihat dari jauh, dan bila sekarang dibagikan melalui buku bisa jadi menjadi inspirasi bagi kita untuk mengenali bentuk ketaatan yang diminta Tuhan.

Kabarnya buku ini disusun oleh Romo Frans untuk peringatan ulang tahunnya yang ke 70 di bulan November 2011. Pada awal bulan Agustus flash disk berisi bahan buku ini diberikan kepada Mgr. Ignatius Suharyo untuk dibuatkan catatan pengantar. Tidak disangka akhir bulan Agustus itu beliau dipanggil kembali ke rumah Bapa. Jalan Tuhan seringkali tidak sama dengan rencana manusia, tetapi ketaatan yang merupakan bentuk penghormatan terhadap nilai imamatnya sangat jelas tertera.

Ada beberapa hal menarik yang saya catat dari buku ini. Pertama, pelayanan beliau yang tulus, dan dengan suka hati menyetir sendiri datang untuk melayani ternyata dibagikan pada banyak orang. Kemudian kebingungan saya mengenai kehadiran beliau di Facebook dan BBM terjawab juga dengan adanya catatan Romo mengenai sosial media (juga tentang kesenangan masa kecilnya mengutak-utik benda elektronik). Dunia maya dipandangnya sebagai tempat saling mendukung dan saling menghargai. Beliau tetap lebih menghargai kedatangan atau perjumpaan yang langsung daripada perjumpaan di dunia maya. Itu suatu hal yang sukar kupenuhi. Tetapi bagaimanapun, Tuhan telah memberikan kesan yang mendalam bagiku karena secara kebetulan pada tanggal 20 Agustus 2011 karena kesalahan teknis semua teman di BB saya mendapat pesan test contact. Dan Romo Frans menjawab "test juga," sehingga saya pun minta maf mengganggu malam-malam, tapi kemudian mengirimkan tautan blog ini. Belum ada kabar atau tanggapan mengenai tulisan saya, ketika saya mendengar bahwa Romo sudah berpulang tanggal 21 Agustus 2011 petang. Kaget...tentu saja. Tuhan mengajak saya mengingat Romo melalui cara yang tidak terduga.

Hidup adalah anugerah Tuhan. Mari kita saling membantu, saling mengisi, dan saling melengkapi. Mencari dan memberi arti bagi kehidupan ini. Mengembangkan talenta yang diberikanNya dan menghargai setiap detik yang diberikanNya. Mari menghargai setiap perjumpaan yang kita lewati dan bersikap taat dengan spiritualitas hangat, andal, misioner, bahagia, abdi...HAMBA yang senantiasa menghargai berapapun talenta yang diberikanNya.

Sunday, December 04, 2011

Tuhan Senantiasa Menyertai Kita

Bacaan harian hari ini adalah Lukas 5:17-26, tetapi judul tulisan ini kuambil dari renungan harian yang ditulis Deddy Kusbiyanto untuk Cafe Rohani edisi Desember dimana dikatakan:
Sering kita lupa bahwa Tuhan selalu campur tangan dalam setiap peristiwa hidup kita sehari-hari. Tuhan senantiasa menyertai kita (bdk. Mat 28:20). Itu berarti, dalam segala keadaan hidup kita: suka, duka, untung, malang, sehat maupun sakit, Ia selalu menyertai kita. Kita merasa bahwa Tuhan tidak ada, manakala hati tertutup bagi kehadiranNya.

Renungan di atas sangat berharga karena baru beberapa hari yang lalu saya diberi kesempatan untuk merasakan betapa Ia ikut bekerja dalam pilihan-pilihan yang kubuat tanpa kusadari. Masa depan memang tidak terbaca oleh kita manusia, dan campur tanganNya yang tidak kita sadari terkadang memang membawa kita pada jalan yang kita pilih sekarang untuk kebaikan kita. Terkadang dalam jalan pilihan ini juga ada onak dan duri, tetapi justru kemampuan untuk melaluinya yang membuat kita lebih tangguh. Bila kita tidak melepaskan pandangan padaNya maka onak dan duri itu justru akan mendekatkan kita lebih dekat kepadaNya.

Renungan Injil hari ini (Lukas 5:17-26) mengenai orang lumpuh yang disembuhkan, membawa saya pada refleksi diri yang berbeda-beda. Di satu sisi saya bisa merasakan menjadi orang lumpuh yang sangat rindu bertemu dengan Yesus tapi tidak memiliki kemampuan untuk mendekatiNya. Beruntung bahwa ada teman-teman yang begitu setia dan begitu kreatif yang berhasil membawanya kepada Yesus. Orang-orang dalam kehidupan kita terkadang adalah orang-orang yang membawa kita lebih dekat kepada Yesus.

Di sisi berbeda, saya juga bisa merasakan menjadi teman-teman orang lumpuh yang diajak menjadi kreatif dalam mendekatkan orang lumpuh itu pada Yesus. Dalam memperkenalkan Tuhan kepada suami dan anak-anak memang terasa betapa perlunya menjadi lebih kreatif dan cerdik. Kecerdikan dan kreativitas itu hanya akan hadir bila kita juga tidak memalingkan wajah daripadaNya. Ia yang memberikan kekuatan, inspirasi, dan semangat untuk tidak menyerah dalam perjuangan mendekatiNya.

Menjadi orang Farisi dan Ahli Taurat yang terlalu sibuk dengan kebenaran dan pikiran mereka bisa jadi menjadi batu sandunganku yang terbesar. AnugerahNya bagiku adalah pikiran kritis yang senang bermain dengan analisa. Kekuatan adalah juga kelemahan bila tidak bisa dikuasai dengan nurani yang bening. Dunia yang semakin melaju ke dalam globalisasi dan tuntutan teknologi tinggi seringkali memudarkan kehadiranNya dalam pandangan yang tidak fokus padaNya (masih ingat kisah melihat wajah Kristus?)

Orang-orang yang mengerumuni Yesus dan kehilangan kepekaan untuk memberi jalan bagi orang-orang yang membawa orang lumpuh itu adalah kelemahan lain yang bisa menjebak kita untuk tidak merasakan hadirNya. Terlalu terfokus pada kebutuhan diri sendiri, walaupun itu untuk mendekatkan kita pada Yesus, terkadang bisa membuat kita melupakan untuk memberi pelayanan termudah bagi orang lain...memberi jalan bagi orang lain yang ingin bertemu denganNya juga.

Dua hal terakhir ini sebenarnya bersumber dari satu hal, kesombongan diri. Terkadang dengan melayani kita juga bisa terjatuh ke dalam kesombongan diri. Seperti ahli Taurat yang merasa paling pandai, atau orang-orang dalam kerumunan yang merasa paling pantas untuk dekat dengan Yesus. Belajar untuk rendah hati merupakan pembelajaran utama yang kita terima dari Yesus pada saat malam Kamis Putih menjelang perjamuan terakhir, dengan rendah hati Ia melayani murid-muridNya dengan membasuh kaki mereka.

Tuhan, terima kasih
Engkau memberi begitu banyak kasih
tanpa pernah kusadari
Engkau menyertaiku dalam setiap pilihan hidupku
tanpa pernah kulihat
Engkau membisikkan kata-kata penguatan
tanpa pernah kudengarkan
Kau tempa diriku
Kau bentuk kekuatanku
Semoga kesabaran dan kerendahan hatiMu
menjadi teladan yang memberiku kehidupan
dalam namaMu.
Amin.

Wednesday, November 30, 2011

Malaikat-malaikat Dalam Kehidupan

Entah mengapa belakangan ini berbagai buku yang kubutuhkan terasa seperti disodorkan ke hadapanku. Sudah cukup lama saya mengetahui terbitnya buku "Guruku, Malaikat Jiwaku" dari seorang teman yang pertama kali kukenal melalui kegiatan jurnalisme warga. Tetapi terus terang kesibukan harian membuat saya tidak sempat mencari buku ini. Tiba-tiba seorang teman menyodorkannya padaku untuk dibaca. Setelah tersimpan beberapa lama, pada saat saya berada di persimpangan dengan penuh kebingungan tiba-tiba buku ini menarikku untuk membacanya.

Banyak inspirasi yang kudapat dari buku ini. Pertama, buku ini memberiku inspirasi dalam pengambilan keputusan untuk terus menjadi guru sekolah atau memberikan pelayanan yang berbeda. Sejujurnya kakiku masih terus berada di persimpangan, belum juga mengambil langkah yang pasti, tapi banyak pencerahan kuperoleh dalam waktu singkat.

Hal pertama yang sangat dalam tergores ada di halaman 344 buku ini, ketika penulisnya mengatakan bahwa menjadi guru bukan sekedar profesi, menjadi guru sudah mendarah daging dan menjadi panggilan hidup. Kebetulan pagi ini saya membaca Injil harian yaitu Matius 4: 18-22 dimana murid-murid itu langsung meninggalkan jala, perahu, dan keluarganya untuk mengikuti Yesus. Kemantapan, dan tiada ragu merupakan hal yang sangat terkesan. Dan buku dari Romo A. Mintara Sufiyanta SJ ini mengingatkan aku akan Injil Yohanes 15:16 "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu."

Menjadi guru bagi anak-anak yang dititipkanNya kepadaku merupakan satu pilihan yang kubuat, tetapi menjadi guru bagi murid-murid yang pernah belajar padaku sama sekali bukan pilihanku. Kalau dipikir-pikir ya sungguh terasa bahwa Dia yang memilihkan jalan itu, bukan aku yang memilih.

Sebenarnya banyak catatan yang ingin kubuat dari buku itu, termasuk juga bahwa sebaiknya aku membacanya sekali lagi dengan menggunakan pertanyaan refleksi sebagai bahan meditasi lectio divina. Tapi, hal utama lain yang ingin saya bagikan di sini adalah malaikat-malaikat dalam kehidupanku. Baru beberapa hari yang lalu kita merayakan Hari Guru Nasional, dan hari itu aku tersadar bahwa guru bukan hanya guru yang ada di kelas tetapi juga orang tua, keluarga, bahkan anak-anak ataupun murid-murid bisa menjadi guru bagi seorang manusia pembelajar.

Dalam beda waktu yang tidak terlalu lama, tiga orang gembala yang dekat dengan kehidupan saya berpulang ke rumah Bapa. Romo FX Pranataseputra Pr, Romo Marinus Oei Goan Tjiang SJ, Romo R. Kurris SJ Mereka adalah guru-guru kehidupan bagiku.

Romo Kurris lebih dekat dengan masa kecil hingga remajaku, yang paling teringat adalah gaya bicaranya yang ceplas ceplos dan wajahnya yang mudah memerah. Karena saya suka membaca, maka novel yang ditulisnya dengan nama R. Sukri Kaslan sempat saya komentari dengan membandingkannya dengan novel Romo Mangun. Tampaknya Romo Kurris malu dibandingkan dengan Romo Mangun karena wajahnya memerah, dan percakapan digantinya ke buku mengenai gereja Katedral yang juga dituliskannya.

Romo Frans dan Romo Oei adalah bagian dari masa remaja hingga dewasaku. Romo Frans lebih kukenal karena ia juga guru di lingkungan sekolahku Tarakanita. Walaupun tidak pernah diajar olehnya tetapi beliau sangat dekat dengan anak-anak Drum Band, dan kemudian ketika kembali menjadi frater tentunya kedekatannya dengan kami lebih erat daripada frater-frater lainnya. Saya masih ingat ketika beliau sudah menjadi pastur, saya meminta tolong untuk mengadakan misa bagi mahasiswa di daerah Bintaro yang waktu itu masih dianggap hutan nan jauh di sana. Beliau menyanggupi datang sendiri dengan mobilnya. Beliau juga tidak marah ketika banyak dari kami yang terlambat tiba (karena nyasar di daerah antah berantah itu), bahkan beliau kemudian mengembalikan stipendium yang kami berikan agar digunakan bagi kepentingan kegiatan unit kerohanian kami. Tentunya hal itu merupakan suatu berkah besar bagi kami mahasiswa yang terkadang harus susah payah mengumpulkan dana untuk kegiatan.

Ketika pacar saya tertarik untuk belajar agama Katolik tapi mentok dengan program katekisasi di gereja yang memiliki jadwal tetap (karena terkadang waktu kerjanya tidak memungkinkan ia hadir), entah bagaimana awalnya (terus terang saya lupa) Romo Frans bersedia memberi kami jadwal khusus pembelajaran hari Minggu di Jatibening. Terkadang kami yang tidak bisa hadir, terkadang Romo Frans yang berhalangan, tapi akhirnya pacar saya dibaptis juga, baptisan awal Paroki St. Leo Agung (18 Oktober 1992). Mungkin Romo berpikir kalau kami ingin segera menikah, padahal masih lima tahun kemudian kami menikah. Ketika kembali ke Paroki Leo Agung pada akhir tahun 1996 untuk mempersiapkan surat-surat kelengkapan bagi pernikahan di awal tahun 1997 maka kami menyaksikan beberapa foto dari peristiwa pembakaran Paroki Leo Agung serta mendengar kisah-kisah kejadian saat itu. Tampaknya Romo Frans cukup terpukul dengan kejadian itu.

Kemudian saya sibuk dengan kehidupan berkeluarga dan baru sempat terhubung lagi dengan Romo Frans melalui media sosial seperti facebook dan Blackberry messenger. Anehnya sehari sebelum Romo berpulang saya sempat mengirimkan tautan blog ini kepadanya. Sayangnya beliau tidak sempat membacanya. Mungkin itu cara Tuhan mengingatkan saya untuk berdoa bagi Romo.

Romo Oei lebih saya kenal sebagai kepala paroki, tapi saya senang bertanya-tanya padanya karena selain ular (yang tidak pernah saya lihat, kalaupun ada pasti saya takut hehehe) beliau juga koleksi kerang. Walaupun berbeda benda koleksi (saya mendapat kebiasaan koleksi perangko dari zaman KKS Romo Wolf SJ), tetapi sebagai sesama kolektor saya senang melihat-lihat katalog yang dimilikinya. Ketika saya kebingungan dalam mengambil komitmen untuk menikah maka Romo Oei dan Romo Danu (FX Danuwinata SJ) yang memberikan saya nasehat. Nasehat Romo Oei sangat sederhana, hanya membuat catatan refleksi baik dan buruk dari pilihan itu. Nasehat yang sebenarnya berlaku untuk semua keputusan penting dalam kehidupan itu menjadi sangat berguna karena catatan itu saya tuliskan dalam buku harian. Ketika hari-hari menjadi sulit dalam bahtera pernikahan maka catatan itu menjadi pengingat akan pilihan yang telah dibuat. Lucunya bukan poin-poin negatif yang menjadi penyebab masalah, terkadang justru poin yang dahulu terlihat positif bisa menjadi sumber masalah. Itulah gunanya menuliskan catatan refleksi tersebut.

Selain nasehat dalam proses pengambilan keputusan itu, Romo Oei juga sempat memberitahukan satu hal yang menurut saya sangat penting. Menurut beliau kalau berziarah ke tempat seperti Lourdes seharusnya doa dan ziarah dilengkapi dengan sakramen ekaristi dan sakramen tobat. Kalau sakramen ekaristi tentunya saya ikuti, tetapi sakramen tobat tidak saya lakukan karena kebingungan mengenai bahasa pengantarnya (saya ketika itu datang sebagai back-packer), padahal keinginan untuk memasuki ruang pengakuan dosa sebenarnya sangat besar dan sebenarnya saya bisa memilih bahasa Internasional yang ada. Masalahnya hanya karena saya tidak terbiasa melakukan pengakuan dosa dalam bahasa asing. Satu pelajaran lagi untuk lebih peka mendengarkan nurani.

Selain Romo Middendorp SJ yang pernah saya kenang dalam tulisan "Sakramen Tobat, Sebuah Kenangan...", maka Romo Martosudjito SJ yang mempersembahkan misa kudus pada saat saya dan suami menerima sakramen pernikahan juga mempunyai kenangan khusus bagi saya. Kepergian mereka bukan berarti berhentinya pembelajaran yang saya peroleh dari mereka. Terkadang dalam satu fragmen kehidupan saya teringat kembali pada teladan yang mereka berikan.

Yesus, Sang Guru sejati,
Terima kasih sudah mengirimkan malaikat-malaikatMu,
menemani dan membimbing aku melangkah,
Terkadang perjalanan bersama kami tidak panjang,
tetapi cintaMu yang Kau titipkan lewat mereka,
mampu mengubah kehidupanku.
Berkati kami ya Tuhan dengan Roh KudusMu,
agar kami juga mampu menjadi malaikat-malaikatMu bagi sesama kami.
Amin.

Tuesday, November 22, 2011

Memberi tanpa menanti upah

Bila dilihat dari bahasa Indonesia maka judul di atas sedikit aneh. Memberi tentunya bukan menjual. Orang yang menjual barang atau jasa yang mengharapkan upah. Tapi bacaan Injil hari Minggu, Matius 25:31-46 dan bacaan hari Senin, Lukas 21: 1-4 membawa saya pada refleksi ini. Seringkali kita manusia memberi karena menginginkan upah di balik pemberian itu. Ketika kita memberi kepada orang yang membutuhkan, tidak jarang kita meminta upah atau imbalan dari mereka, bisa berupa penghormatan, bisa berupa jasa, atau bisa juga berupa imbalan dari Tuhan berupa lahan masa depan di surga.

Dari Injil Matius 25:31-46 kedua macam orang yang berbeda itu sama-sama tidak mengerti kapan Tuhan datang pada mereka sebagai orang yang sakit, susah, maupun lapar. Bila orang yang pertama membantu dengan tulus, maka tipe orang yang kedua tidak membantu karena tidak mengenali Tuhan. Apakah saya sudah bisa masuk ke dalam tipe orang yang pertama? Yang membantu walaupun tidak tahu bahwa bantuan itu adalah untuk Tuhan? Atau saya masih terkungkung dalam tipe nomor dua? Yang hanya membantu karena mengetahui keberadaan Tuhan di balik sesama saya? Ketulusan itu yang penting, dan itu hanya datang dari hati yang penuh kasih.

Bacaan ini juga kembali mengingatkan kepada janda yang memberikan 2 talenta yang dimilikinya, seluruh uang yang dimilikinya, tanpa memikirkan resiko masa depannya. Ia juga tidak memberikan dua talenta itu untuk meminta lebih banyak lagi talenta dari Tuhan. Tidak, dua talenta itu semata-mata tanda terima kasihnya atas semua kemurahan Tuhan yang telah dirasakannya.

Tuhan,
Terima kasih sudah begitu mencintai kami,
Berikan kami hati yang mampu bersyukur,
Hati yang memiliki iman walaupun hanya sebesar biji sesawi
Tetapi mampu menguatkan hati kami agar tetap tulus dalam pelayanan kami.
Tuhan,
Terima kasih karena mau bersabar mengingatkan daku,
Betapa rapuh dan tak berartinya pelayanan yang menantikan upah,
Betapa indahnya penyertaanMu dalam kehidupan kami ya Bapa,
Semoga semuanya menjadi indah pada waktuMu.
Amin.

Saturday, November 12, 2011

Keberanian Mengambil Resiko

Hari Jumat kemarin, sebelum melakukan Meditasi Kristiani, kami membaca Injil Matius 25:14-30 mengenai perumpamaan tentang talenta. Kitab Suci yang hidup kembali terasa bagi saya dan juga bagi seorang teman lain. Kali ini ayat yang berbicara bagi kami terasa berbeda dengan ayat yang biasanya menarik perhatian kami.

Saya sangat tertarik pada perkataan sang tuan kepada hamba-hambanya, baik yang berhasil menggandakan 5 talenta, maupun yang menggandakan 2 talenta. Tuan tersebut berkata; "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." Perkataan itu sama persis. Tidak ada perbedaan hanya karena yang satu menghasilkan 5 talenta sementara yang lain hanya membawa 2 talenta.

Dalam buku "Jalan Menuju Kehidupan", pater Gerry Pierse CSsR mengatakan bahwa hamba yang hanya memiliki satu talenta tidak berani mengambil resiko. Hal ini mengingatkan saya akan pencarian saya akan kehendakNya. Seringkali saya tidak berani membuat pilihan karena merasa takut tidak mengikuti kehendakNya. Padahal sebenarnya yang paling penting bagiNya adalah keberanian kita mengambil resiko bersamaNya. Talenta yang dipertaruhkan adalah talentaNya. Ketika kita kehilangan talenta itu, maka Ia tidak akan marah. Ia akan tetap ada di sisi kita untuk menguatkan dan menghibur kita.

Ayat yang menarik perhatian saya itu mengajarkan saya betapa seringkali saya membesar-besarkan masalah. Lima talenta atau dua talenta bagi Tuhan hanyalah perkara kecil. Hamba dengan satu talenta itu memandang satu talenta yang dimilikinya sebagai perkara besar, padahal bagi tuannya hal itu hanya perkara kecil.

Seorang teman yang lain merasakan sengatan dalam perkataan yang terdapat dalam Injil Matius 25:26 "Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur, dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam?" Perkataan "hamba yang jahat dan malas" memang terasa sangat keras. Mengapa hamba itu dikatakan jahat? Tampaknya karena ia menuduh tuannya dengan tudingan yang tidak benar. Ia memilih mempersalahkan orang lain untuk pembenaran dirinya. Bila sebelum mendengar sharing teman ini saya tidak terlalu merasakan pentingnya ayat ini, maka setelah mendengarnya berbagi refleksi saya baru merasakan betapa sering saya juga mempersalahkan orang lain, mempersalahkan keadaan, bahkan mungkin juga pernah mempersalahkan Tuhan untuk situasi yang sedang dihadapi. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita adalah akibat dari pilihan-pilihan yang kita ambil sebelumnya. Sama seperti hamba yang hanya memperoleh satu talenta, kemalasan membuatnya memilih menanam talenta itu. Tetapi ketika ia melihat orang lain menggandakan talentanya, dan ia tidak, maka ia memilih berlindung di balik alasan yang menghujat tuannya.

Sehari sebelum meditasi saya sempat bertemu dengan guru agama yang mengajar saya di bangku sekolah menengah dahulu. Ketika saya mengemukakan kebingungan dalam mencari kehendak Allah, maka jawabannya sederhana, "Diamlah dalam keheningan. Biarkan segalanya mengendap, karena dalam kebeningan dan kejernihanlah semua bisa terlihat jelas." Menjadi seperti Martha yang sibuk melayani memang penting, karena ladang luas dan hanya sedikit yang melayani. Tetapi, ketika pelayanan itu menjadi fokus utama, bukan lagi Tuhan yang menjadi fokus kita, melainkan karya dan hasil pribadi. Kita memerlukan waktu untuk diam, memandang dan mendengarkanNya seperti Maria agar kita mampu melihat dengan jelas kehendakNya dan kebutuhanNya dalam pelayanan kita.

Bapa Yang Maha Baik,
Terima kasih atas penyertaanMu,
saat pilihan yang salah berbuah resiko,
Engkau tidak meninggalkan putriMu.
Engkau hadir dalam keteduhan dan kedamaian yang menyejukkan jiwa
Engkau menghapus air mata dan kecemasan dengan kasihMu.
Bapa, aku ingin lebih mengenal kehendakMu,
Ingin lebih pantas menjadi putriMu,
Bimbing dan tuntun langkahku Bapa,
Beranikan aku mengambil resiko bagiMu,
Kuatkan aku dalam melangkah di persimpangan jalan,
jangan biarkan kutersesat
jangan padamkan cahayaMu di hatiku.
Amin.

Tegur dan Ampunilah

Bacaan Lectio Divina kami beberapa waktu yang lalu adalah Injil Lukas 17:1-6. Suster pembimbing kami memberikan tema "Mengampuni itu menyembuhkan". Bacaan ini agak sedikit berat bagi kelompok kami. Yang menonjol bagi kami pada hari itu adalah pesan, "tegurlah dan ampunilah."

Lukas 17:3 "Jagalah dirimu! Jika saudaramu berbuat dosa tegurlah dia, dan jikalau dia menyesal, ampunilah dia." Ayat ini tampaknya paling banyak menarik perhatian anggota kelompok kami. Ada yang menekankan pada penggal akhir kalimat, "jikalau dia menyesal, ampunilah dia." Apakah kita perlu menunggu orang menyesal baru memaafkan? Bukankah kita diajarkan untuk senantiasa memaafkan orang? Bukankah kita diminta untuk memaafkan tujuh puluh kali tujuh kali?

Kalimat, "Jika saudaramu berbuat dosa tegurlah dia,...," juga sangat menarik. Bukankah kita tidak boleh melihat selumbar di mata saudara sementara di mata kita sendiri masih ada balok? (Lukas 6: 41-42) Bagaimana kita bisa mengatakan orang lain berdosa sementara kita sendiri juga pernah berbuat dosa? (Yohanes 8:7 "...Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.")

Dari renungan dan sharing kelompok kami merasa bahwa seringkali ketika seseorang bersalah pada kami, maka bila orang itu bukan orang dekat, kami akan cenderung untuk menjauhi orang tersebut agar sakit hati itu tidak terulang lagi. Mungkinkah ini yang dimaksudkan dengan "tegurlah"? Beritahukan, komunikasikan... karena belum tentu orang itu mengetahui kesalahannya. Mendiamkan kesalahan apalagi membiarkan orang terus hidup dalam dosa bisa menjadi dasar pengulangan kembali kesalahan atau dosa itu. Kita memang perlu belajar memberikan saran perbaikan dengan lebih bijaksana agar dapat mencapai tujuan yang benar.

Lukas 17:4 "Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia." Walaupun kami tahu benar mengampuni bagi Yesus adalah tujuh puluh kali tujuh kali, tetapi tetap saja perkataan mengampuni satu orang tertentu yang dalam satu hari melakukan tujuh kali kesalahan, dan setelah setiap kesalahan selalu datang untuk meminta maaf, merupakan hal yang luar biasa bagi kami. Ketika pertama kali ia datang meminta maaf, pasti dengan tulus mampu dimaafkan. Ketika ia datang lagi pada hari yang sama untuk kedua kalinya, bisa jadi agak kesal tapi masih memaafkan. Hanya saja bila tujuh kali hal itu berulang, pikiran yang paling mungkin adalah keraguan akan ketulusan permohonan maaf orang tersebut, dan kemungkinan hati menjadi tertutup untuk bisa memaafkan.

Dalam kehidupan sehari-hari di dalam keluarga, hal seperti ini yang paling sering terjadi. Suatu kesalahan yang sudah dimaafkan kemudian kembali terulang. Luka yang sudah mulai mengering kembali terbuka dan perih. Perasaan yang sudah mulai naik bagaikan yoyo yang dihempaskan kembali ke bawah. Dalam posisi seperti ini sungguh kami membutuhkan iman kepadaNya dan penyertaanNya agar mampu senantiasa memaafkan.

Memaafkan itu menyembuhkan. Ketika rasa sakit masih hadir ketika kita membicarakan orang yang bersalah pada diri kita, maka bisa jadi kita belum mampu sungguh-sungguh memaafkannya. Ketika rasa sakit itu sudah tidak hadir lagi, maka saat itu pastilah kita sudah benar-benar mengampuni kesalahannya. Doa dan meditasi menjadi sarana pembantu kami untuk menghadirkanNya dalam diri kami, dan merasakan rahmatNya yang besar yang memampukan kami untuk mengampuni.

Tuhan,
Engkau maha rahim dan maha baik,
Berkati kami agar selalu mampu mengampuni
Mengampuni sesama, maupun mengampuni diri kami sendiri,
Jadikanlah kami pembawa damaiMu,
Sembuhkan luka-luka batin yang mendera kami
yang mencegah kami untuk mengampuni dengan tulus,
Bantu kami menyinarkan kerahimanMu
dengan mampu mengampuni setulus hati.
Amin.

Wednesday, September 21, 2011

Antara Emmaus Journey dan Getsemani Talks

Beberapa teman lebih senang dengan metode Lectio Divina, jadi kami kembali mengadakan meditasi Kitab Suci walaupun tidak setiap minggu. Pertemuan Meditasi Kristiani (MK) akan terus dilangsungkan setiap minggu. Saya sendiri setelah rekoleksi MK kemarin, sudah mulai lebih mantap dengan MK walaupun tetap kehilangan perjumpaan denganNya melalui Lectio Divina. Suster yang dahulu membimbing kami dalam Lectio Divina mengirimkan usulan bahan renungan yaitu dari Lukas 24: 13-35, Yesus menampakkan diri di jalan ke Emaus.

Ada banyak yang kami peroleh dari pertemuan hari itu. Rasa frustrasi dua orang murid yang sedang dalam perjalanan ke Emaus (ayat 13-19) tidak jauh berbeda dengan rasa frustrasi yang kita rasakan ketika merasa jauh dari Allah. Ketika kita mencariNya dalam doa tetapi tidak merasakan sentuhan dan cintaNya. Benarkah Ia tidak menyertai perjalanan kita? Ataukah Ia berjalan bersama kita tetapi sesuatu menghalangi mata kita dan tidak menampakNya?

Sentakan Yesus (ayat 25) mengingatkan, “ Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!” Bukankah kita juga serupa dengan para murid itu yang seringkali membutuhkan bukti baru bisa mempercayai apa yang kita dengarkan dariNya? Para murid sudah tinggal demikian lama dengan Yesus, tapi mereka belum juga mengenaliNya dan perutusanNya. Bukankah tidak jarang kita juga telah dibaptis dari kecil tetapi sampai sekarang masih juga belum sungguh-sungguh mempercayai sepenuhnya apa yang kita imani? Iman yang hanya di bibir, tapi tidak teraba di kedalaman hati.

Dalam ayat 29 murid-murid itu menahan agar Yesus mau tinggal bersama mereka. Yang menarik bagi saya adalah mengapa murid-murid itu menahan agar Yesus mau tinggal, sedangkan bagi teman lain yang menarik adalah dituliskannya bahwa Yesus berpura-pura mau meninggalkan murid-murid itu. Betapa pentingnya bagi kita untuk mengundangNya tinggal bersama-sama dengan kita. Walaupun Ia sebenarnya tinggal bersama dengan kita, tetapi Ia menginginkan kita untuk meminta kesediaanNya hadir bagi kita.

Ayat 32 berkata, “Bukankah hati kita berkobar-kobar ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” Ayat ini mengingatkan saya pada perbedaan yang saya rasakan ketika Lectio Divina dan Meditasi Kristiani. Ketika meditasi Kitab Suci saya bisa merasakan kegembiraan berjalan bersamaNya. Itulah perjalanan kami bersama ke Emaus. Dalam Meditasi Kristiani saya merasakan kesepian dan keheningan Getsemani. Seperti istilah yang digunakan Pastor John Main dalam bukunya “Getsemani Talks”. Kebimbangan saya ketika memasuki keheningan MK adalah kehilangan gandengan tanganNya yang saya rasakan dalam perjalanan ke Emaus. Dalam keheningan malam di Getsemani, murid-murid Yesus belum mampu berjaga bersamaNya, mereka jatuh tertidur. Beberapa bacaan yang saya baca membantu menuntunku untuk mengerti betapa dalam keheningan itu saya menemani perjalananNya di taman Getsemani. Keduanya begitu berbeda, suasananya juga berbeda. Ia tampaknya terus membimbingku untuk keluar dari kebingunganku.

Ayat 30-32 yang menceritakan bagaimana tindakan Yesus yang memecah-mecahkan roti itu mengingatkan murid-murid akan diriNya. Memiliki kebiasaan intim denganNya akan sangat membantu kita dalam mengenali hadirNya. Bukan hanya dalam sakramen Ekaristi, melainkan juga dalam doa. Secara khusus menyediakan waktu bagiNya untuk bisa membangun kebiasaan bersama yang mendekatkan kita padaNya merupakan suatu hal yang sangat penting.

Dalam surat elektroniknya suster memberikan sedikit panduan renungan sebelum sharing.
Kita pun pernah mengalami situasi frustrasi seperti rasul-rasul itu; entah kehilangan seorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, atau kegagalan beruntun-runtun dalam usaha/pekerjaan. Dalam situasi seperti itu kepada siapa kita pergi? Apakah Yesus teman seperjalanan hidup kita? Di kala sedih/menderita curahkanlah beban batin kepada-Nya maka hati akan diubah, mungkin beban belum hilang namun batin kita dikuatkan oleh rahmat Tuhan untuk mampu menanggungnya. Mt.11:28: ”Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadamu”

Begitu banyak yang mengalami kesepian, berbeban berat, sedih dan gelisah, mereka membutuhkan teman. Biasanya dalam keadaan seperti itu sulit mencari teman, lalu mereka mencarinya di tempat yang kurang kondusif. Inilah peran lingkungan/kelompok bisa menjadi “alter Christi” roti yang dipecah-pecah bagi sesama, ibarat Tubuh Kristus yang dibagikan, atau contoh menjadi tangan-tangan Hati Kudus Yesus yang menjangkau sesama yang sedang butuh. Injil Yoh. 21:15-18 – sampai 3x Yesus bertanya kepada Petrus:”Apakah Engkau mengasihi Aku? “ Jawabnya: Engkau Tuhan tahu segala sesuatu , Engkau tahu bahwa aku mengasihi engkau. Jawab Yesus “Peliharalah domba dombaKu. Gambaran kita: (siapa Tuhan bagi kita masing-masing?) ini sangat penting untuk menentukan penghayatan hidup agama/iman kita kepada Yesus-Allah Tritunggal.

Seorang suami, istri, ketua lingkungan/kategorial adalah gembala. Untuk mewujudkan tugas kegembalaan ini kita perlu menjalin relasi yang akrab dengan Yesus, Relasi yang bukan berdasarkan untung-rugi melainkan relasi tanpa pamrih karena mencintai Yesus yang memberi dan memelihara hidup (life) kita masing dengan penuh kasih sampai menyerahkan hidupnya sendiri pada kayu salib demi kita, agar kita dibebaskan dari belenggu dosa lewat rahmatNya. Murid di Emaus setelah makan bersama Yesus hati mereka berkobar-kobar. Juga sekarang Yesus menguatkan kita dalam mengarungi peziarahan hidup ini lewat Sakramen Ekaristi. Inilah sumber kekuatan dalam hidup kita kalau kita terus menyadari dan menerimanya sebagai perjumpaan denganNya. Yesus teman seperjalan hidup kita yang setia. Dengan mengenali tindakan Yesus (lewat bacaan Injil) kebaikan,kepedulian, pemeliharaan hidup kita, penyembuhan baik rohani maupun jasmani (penyembuhan) kita mencintaiNya. Lewat doa kita menjalin relasi akrab denganNya sebagaimana Yesus sendiri selalu berdoa kepada BapaNya di surga. Lewat doa kita semakin mengenalNya dan mencintaiNya, kita tidak mencintai yang tidak kita kenal/tahu.


Kebetulan memang beberapa dari kami pernah merasakan bahwa mendekat kepadaNya akan membantu meringankan beban di hati. Beban memang tidak hilang, namun batin kita dikuatkanNya untuk mampu menanggung beban itu.

Satu hal yang membuat Meditasi Kitab Suci ini sangat berharga bagi kami, ibu-ibu yang mengikutinya, adalah penguatan batin tersebut. Beban kami bermacam-macam, dari sakit penyakit diri sendiri, keluarga, dan orang tua, masalah pendidikan anak-anak, sampai masalah-masalah lainnya di seputar rumah tangga. Beban itu tidak hilang, tetapi dengan berbagi kita mengetahui betapa orang lain juga memiliki masalah masing-masing. Setiap kuk yang dipasangNya tidak melebihi kemampuan orang yang harus mengangkatnya. Terkadang kami jadi melihat permasalahan dengan lebih jernih. Terkadang kami belajar dari pengalaman teman lain. Yang terutama adalah kami merasakan betapa hidup penyertaanNya dalam Kitab Suci, dan kami belajar bersyukur karena itu.

Meditasi Kristiani tidak secara langsung memberikan perasaan batin yang berkobar-kobar itu, yang ditawarkan justru ketenangan dalam menghadapi masalah. Emosi yang biasanya lebih cepat tercolek tampaknya menjadi lebih mudah dikendalikan. Kesabaran untuk menantikanNya, ketekunan untuk menanti bersamaNya walaupun hasil yang dituju tidak langsung tampak (atau bukan suatu "hasil" dalam ukuran mata manusia).

Saya membutuhkan keseimbangan antara keduanya, penguatan yang mengobarkan semangat dari perjalanan ke Emaus, dan penguatan yang menenangkan batin dari kecemasan dan ketakutan yang sedang menghadang seperti yang dialami Yesus di Taman Getsemani.

Bapa,
Engkau menuntun kami, anakMu, dalam setiap langkah kami,
Menemani kami ketika kami jatuh terpuruk
Mencari kami ketika kami tersesat dalam kehidupan,
Menguatkan kami ketika kami lemah dan ketakutan.
Adakalanya suaraMu tak terdengar.
Ada masanya kami harus belajar percaya saja,
Bahwa semua akan berlalu, dan semua akan indah pada waktuMu.
Amin.

Belajar jeruji-jeruji doa "meditasi"

Saya merasa beruntung karena Tuhan menuntun dengan buku-buku yang mencoba menjawab seribu satu tanya dan kebimbangan di benakku. Ketika menghadiri acara Rekoleksi Meditasi Kristiani bersama Sr. Pia Sawir OSU saya melihat sebuah buku milik teman yang berjudul “The Prayer of the Priest” (William F. Eckert, dkk.). Ternyata buku ini memberikan banyak penguatan yang menjembatani kebimbangan saya antara Meditasi Kitab Suci dan Meditasi Kristiani.

Renungan Pastor William Eckert yang menyentil saya mengatakan, “Terlalu mudah kita beranggapan bahwa pekerjaan kita adalah doa kita, sehingga keheningan dianggap sebagai kemewahan yang tidak dapat kita peroleh dalam hidup kita.” Ya, seringkali pekerjaan harian bagi saya adalah sebuah doa, tetapi saya melupakan bahwa saya membutuhkan waktu tenang untuk mengisi batere tenaga yang akan saya gunakan untuk pelayanan itu.

Satu hal yang memberatkan bagi saya dalam perjalanan dari meditasi Kitab Suci memasuki meditasi Kristiani adalah kebingungan karena bedanya jeruji doa yang dijalani. Semua orang mengatakan bahwa keduanya berbeda, dan kita perlu memilih yang paling cocok. Terkadang saya merasa seperti seorang yang sudah menggenggam mutiara(lectio divina)dan mau melepaskannya karena memimpikan mutiara yang lebih indah(MK). Kesaksian para pastor yang terdapat di buku ini membantuku melihat dengan lebih jernih. Bagaimanapun pengalamanku dengan meditasi masih sangat dangkal,sehingga kebingungan itu sungguh mengganggu.

Selain beberapa sharing pastor dari Australia yang sedikit menyinggung meditasi diskursif ataupun meditasi Ignatian, sharing dari Pastor Brian V. Johnstone (Roma, Italia) sangat membantu saya mengenali perbedaan antara metode diskursif dengan meditasi hening MK. Beruntung sebagai awam saya tidak banyak mendapat hambatan untuk membayangkan adegan Kitab Suci, ataupun membayangkan mengambil peran di dalam kisah itu. Sebagai orang yang tidak mempelajari sejarah penulisan Kitab Suci, buat saya bagaimana para penulisnya menuliskannya bukan masalah. Yang penting suasana itu nyata dan bisa terjadi pada diriku sendiri. Ketika Petrus berjalan di atas danau menuju Yesus dan tiba-tiba keragu-raguan menerpanya, bukankah saya juga seringkali begitu? Awalnya percaya bahwa jalan pilihanku adalah kehendak Tuhan, tetapi ketika di tengah jalan situasi tidak seindah yang kudambakan, maka keraguan apakah saya sudah membuat keputusan yang benar mulai datang. Berarti keraguan akan hadirNya juga mulai timbul. Sangat nyata bagiku....

Renungan Pastor Brian sangat bermanfaat terutama ketika ia menerangkan bahwa ketika meditasi MK kita tidak merenungkan isi Kitab Suci. Dengan buah dari ketenangan batin yang kita peroleh dari meditasi hening ini, kita akan lebih terbimbing untuk peka akan makna sebuah kutipan di saat yang lain (bukan pada saat meditasi). Hal inilah yang merupakan kehilangan saya. Berbeda dengan Pastor Brian, saya sangat menikmati metode diskursif itu. Melalui meditasi Kitab Suci saya menemukanNya. Meditasi Kitab Suci memampukanku mendengarkan suaraNya yang membimbingku dalam pergumulan kehidupan harian. Yang paling berkesan adalah ucapan Pastor Brian berikut ini, "Bermeditasi itu sendiri merupakan tanggapan atas kehadiran rahmat Allah. Tetapi cara kita menanggapi rahmat itu berbeda-beda,...Allah dapat memilih untuk hadir dalam kesadaran kita melalui teks, imajinasi, pengertian intelektual atau dengan tidak memakai konsep sama sekali." Itulah jeruji doa berbeda yang setiap orang berhak mencari melalui jeruji mana ia ingin bertemu dengan Tuhan.

Pastor Bernie Owens (Michigan, USA) bahkan secara jelas menerangkan mengenai meditasi yang diajarkan oleh St. Ignatius Loyola yang tampaknya merupakan gaya meditasi yang kami gunakan dalam meditasi Kitab Suci kami. Pastor Bernie menggambarkan bagaimana Meditasi ini semakin lama akan semakin mengurangi kata-kata dalam doa, melainkan menjadikan doa kita semakin sederhana, dan kita terpusat untuk menjadi semakin hening. Sebenarnya peran seorang pembimbing meditasi sangat kami butuhkan untuk mampu bertekun dan memetik buah-buah meditasi kami. Kehadiran seorang pembimbing bukan untuk mengkultuskan seorang individu, melainkan kehadiran seorang pembimbing yang mampu hadir tanpa menonjolkan dirinya sendiri merupakan rahmatNya yang terbesar.

Kami sedang belajar mencari jeruji doa yang paling sesuai dengan diri kami masing-masing. Bukan untuk menonjolkan diri, ataupun menonjolkan kemampuan berdoa melainkan untuk dimampukan semakin dekat denganNya.

Bapa yang maha baik,
Terima kasih atas berkatMu,
yang memampukan kami mencariMu,
menemukan hadirMu di hati kami.
Bukakanlah hati kami untuk terus menerima berkatMu,
memampukan kami memandang wajahMu,
dan berjalan dengan menggenggam tanganMu.
Amin.

Thursday, September 01, 2011

Pentingnya menjadi gadis yang bijaksana

Gadis-gadis yang bijaksana senantiasa bersiap dengan minyak dan pelitanya (Matius 25:1-13). Tulisan terakhir yang kutuliskan di blog sedikit terendap daripada biasanya, sehingga bisa jadi sudah terjadi tambahan pemikiran yang lain di luar apa yang sebenarnya kudapatkan pada waktu itu. Keinginan untuk menuliskan tentang ayat yang menarikku berpikir tentang reinkarnasi telah membawaku melintasi dunia maya untuk mencari pandangan agama Katolik tentang hal ini.

Ada dua bacaan yang menarik yang kuperoleh dari portal Katolisitas.org, yang pertama adalah mengenai kehadiran New Age Movement yang terdapat dalam tulisan satu ini. Lalu ada sebuah lagi mengenai Gereja Katolik Bebas yang bisa dibaca di tulisan yang ini. Tulisan-tulisan seperti ini berguna untuk menjadi peringatan dalam perjalanan kita agar tidak salah dalam mendengarkan dan mengartikan kehendakNya.

Menjadi gadis yang bijaksana harus senantiasa membawa pelita hati yang menyala dengan kebenaran FirmanNya, dan tetap siap sedia dengan minyak untuk mempertahankan nyala pelita itu. Membaca kedua tulisan di atas membuatku lebih berhati-hati dengan apapun yang kualami dan kuperoleh melalui pengalaman seharianku agar minyak yang kubawa adalah minyak yang benar untuk menyalakan pelitaNya. Terkadang keingin-tahuan dan keinginan berlebihan untuk dekat denganNya juga bisa mengandung jebakan setan yang berbahaya.

Tuhan, temani kami putra putriMu,
dalam perjalanan kehidupan,
berikan kami minyak yang Kau berkati,
agar mampu menyalakan pelita hati kami,
dengan sinar kebenaranMu,
agar sanggup kami memuliakanMu,
menyambut kedatanganMu
untuk masuk bersama-sama denganMu
ke dalam ruang perjamuanMu.
Amin.


Menyangkal diri, mengenal kehendakNya.

Bacaan Kitab Suci dari hari Minggu biasa XII adalah dari Injil Matius 16:21-27, tetapi dalam bacaan sebelum meditasi kami menggunakan buku Jalan Menuju Kehidupan dimana digunakan Injil Matius 16:21-28. Secara pribadi ada dua ayat yang menarik perhatianku pada hari Jumat itu. Ayat yang pertama adalah ayat 24 dimana Yesus bersabda," Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku." Sesungguhnya dari ayat 23-26 semuanya mengingatkan akan satu hal yaitu betapa manusia perlu mengenal kehendakNya.

Perkenalan dengan meditasi mengajarkan aku akan satu hal yang penting, yaitu mengosongkan diri. Menyangkal semua keinginan pribadi yang mungkin muncul karena tuntutan duniawi manusia. Seringkali kita berpikir bukan dalam kerangka pikir Allah, melainkan lebih dalam kerangka pikir manusia. Pergumulan itu terus berlangsung karena seperti yang disimpulkan oleh dalam pemikiran Kierkegaard, pergumulan manusia untuk terus membuat pilihan-pilihan hidup akan berlanjut terus hingga mereka dipanggil kembali kepadaNya.

Meditasi juga mengajarkan bagaimana berdoa dari hati. Seperti yang diingatkan oleh Nabi Yeremia dalam bacaan pertama di hari Minggu XII ini, ketika ia tidak mau mengingatNya dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi namaNya, maka dalam hatinya ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangnya, dan tiada sanggup ia menahankannya (baca Yer 20:9). Ia hadir di dalam hati kita, karena itu kembali ke dalam hati dan berbincang denganNya dalam keheningan dan kebeningan hati merupakan hal yang paling mendasar untuk mampu menyangkal diri.

Surat Rasul Paulus kepada umat di Roma (Rm 12:1-2) mengingatkan agar kita mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah. "Janganlah menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." Seringkali kita terikat pada cara pandang dunia, melihat kesuksesan dan keberhasilan hidup dengan mata manusiawi yang dibesarkan dunia. Tetapi bersama persembahan yang hidup, kehidupan kita, maka Tuhan akan mengajarkan untuk mengenali kehendakNya.

Kebetulan bacaan ini datang pada saat rekan-rekan Muslim sedang menjalankan ibadah puasa. Pada saat bulan suci ini, mereka menjaga tubuh dan hati mereka agar terarah sepenuhnya kepada Allah. Seringkali saya terkagum-kagum kepada kemampuan mereka menahan hawa nafsu, baik dari godaan makanan dan minuman jasmani maupun dari goda amarah dan nafsu lainnya. Kalau saya perhatikan, maka semuanya itu juga tidak bisa dilalui tanpa pembelajaran dan tekad yang kuat. Berani menyangkal diri, tidak mengikuti keinginan dunia melainkan memilih hadirNya akan menguatkan perjalanan ini.

Yeremia mengingatkan kita bahwa di luar kandungan ibu, kita akan berhadapan dengan kesusahan dan kedukaan (Yer 20:18). Kita bisa mengurangi kesusahan dan kedukaan itu bukan dengan meniadakannya, melainkan dengan hadirNya yang menutupi semua rasa duka dan susah itu. Iman yang teguh memampukan rekan-rekan saya yang muslim untuk sanggup menahan rasa lapar dan haus. Kesulitan duniawi yang dengan sengaja dimasukinya tidak menjadi beban dalam perjalanan mereka. Iman yang besar menyelamatkannya dari penderitaan atas rasa lapar dan haus. Saya bisa melihat bagaimana orang-orang yang sungguh-sungguh beriman mampu menjalankan puasanya walaupun harus tetap hidup di dalam dunia dimana orang lain ada yang tidak berpuasa. Ibu-ibu yang berpuasa mampu tetap berpuasa walaupun ia menyuap makan anaknya yang masih kecil dan belum mampu berpuasa.

Ada satu ayat lain yang menarikku pada hari Jumat lalu itu, tapi tidak mampu kucernakan. Mat 16:28 "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Anak Manusia datang sebagai Raja dalam kerajaanNya." Entah kenapa ayat ini seakan mengingatkan aku akan adanya reinkarnasi. Tetapi ini hanya datang bagai selintas komet yang bercahaya dan menghilang. Entah akankah menjadi lebih jelas dalam perjalanan yang lainnya atau tidak.

Tuhan,
banyak hal yang tidak kumengerti,
kepadaMu kukembali mencari,
di dalam Engkau kepenuhanku meruah,
dan kedangkalanku digali lebih mendalam>
Bagai rusa haus yang mereguk di mata airMu,
jiwaku memuliakan kehangatan cintaMu Tuhan,
Bimbing perjalanan kami dalam lintasan perjalanan jiwa,
hingga berakhir di hadiratMu yang maha kasih dan pengampun.
Amin.

Saturday, August 20, 2011

Siapakah Aku ini?

Dari Injil Matius 16:13-20 mengenai pengakuan Petrus kepada Yesus, saya sangat tersentuh pada dua ayat. Ayat 15; Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Pertanyaan yang sama, kalau diajukan pada diriku dalam keadaan yang sedang galau, akankah sanggup kujawab dengan lantang, "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" Ataukah mungkin, justru dalam kondisi senang tidak kuingat siapakah Mesias?

Ayat lain yang menyentuhku adalah ayat 17 ketika Yesus berkata kepada Petrus, "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan BapaKu yang di sorga..." Ayat ini menyentuhku karena sesungguhnya itu adalah gambaran pertemuanku dengan Tuhan melalui meditasi Kitab Suci. Aku mengenal Kitab Suci dari kecil, dari orang tua, dari para rohaniwan dan rohaniwati yang kukenal, dari sekolah dan dari guru-guruku. Tapi Ia menyatakan FirmanNya yang hidup itu melalui perjumpaan kami di dalam kelompok meditasi Kitab Suci. Ia datang, menyentuh kami satu per satu sesuai dengan kebutuhan kami masing-masing. Satu ayat yang sama tidak selalu menyapa dengan sapaan yang sama ke setiap anggota kelompok. Satu ayat yang sama bisa menyapa orang yang sama di waktu yang berbeda dengan sapaan yang berbeda.

Mengakui Yesus sebagai Mesias, sebagai penyelamat ketika sedang terpuruk dan tidak bisa bangkit bisa jadi bukan hal yang mudah. Tapi bila kita mampu menjadikanNya Mesias dalam keterpurukan itu, niscaya pertolonganNya akan datang. Bukan dengan meniadakan kesulitan itu, tetapi dengan menguatkan kita untuk melaluinya seperti unta yang mampu lolos dari lubang jarum.

Seorang teman yang sudah menanti di rumah Bapa pernah mengingatkan bahwa tidak ada hal yang kebetulan. Setiap perjumpaan bukan hal yang kebetulan. Setiap peristiwa bukan hal yang kebetulan terjadi. Walaupun mencoba untuk mencariNya melalui meditasi, tetapi hadirNya tidak selalu terasakan. Seperti Nabi Elia yang mencariNya di tengah kemegahan, seringkali tidak mampu kutemukan hadirNya. Tetapi Ia hadir. Ia menuntunku tanpa bunyi genderang dan sangkakala kedatanganNya. Kemarin saya menerima dari seorang teman yang juga masih tetanggaku sebuah buku dari Romo Thomas Hidya Tjaya, SJ. Ph.D. berjudul "Peziarahan HATI". Buku itu bagaikan menjawab beberapa pertanyaan, dan kebimbangan yang sedang kugumuli. Ia yang dahulu kutuding diam, ternyata sekarang begitu rajin menjawab pertanyaanku. Rupanya dahulu aku selalu bertanya dalam keriuhan pikiranku, tidak kubiarkan keheningan membawaNya mendekat padaku.

Dari halaman 45 buku itu kutemukan pertanyaan yang sebenarnya juga menggangguku, "Apakah yang sesungguhnya kita cari?" Penulis buku itu mengatakan bahwa kita lupa kalau tujuan hidup kita yang sebenarnya adalah untuk percaya dan mengasihi Tuhan dalam melakukan setiap kegiatan yang kita lakukan, dan bukan pertama-tama melakukan kegiatan yang sebanyak mungkin. Tentunya juga bukan untuk menjadi yang terbaik di dalam setiap kegiatan yang saya ikuti. Itu adalah nilai-nilai yang kupelajari dari dunia, bukan dariNya. Hal ini memperkuat bisikanNya dalam menjawab kegalauanku mengenai talenta yang sudah kutuliskan di tulisan "Membaca TalentaNya."

Sejak semula sebenarnya aku sudah tahu bahwa aku mencariNya. Tetapi ketika berhadapan denganNya akankah aku sanggup dengan tegas menjawab "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup"? Dari halaman 88 buku Peziarahan HATI, aku menemukan satu kalimat penting, "Hati sebagai kunci penerimaan segala pemberian." Ketika kita tidak membuka hati untuk menerima pemberianNya, bagaimana pemberian itu bisa kita terima dan miliki?

Pada halaman 100 saya menemukan penguatan atas perjalanan meditasi Kitab Suci yang selama ini menguatkanku. Katanya,
Kitab-kitab suci ditulis pertama-tama bukan untuk dihafalkan sampai ke detail-detailnya, melainkan untuk digunakan sebagai semacam peta perjalanan rohani dan untuk menyadarkan kita betapa Tuhan mengasihi dan menyayangi kita sepanjang zaman. Orang yang mengetahui seluruh isi Kitab Suci, bahkan sampai detail terkecilnya sekalipun belum tentu mengalami perjalanan tersebut, sama seperti orang yang tahu betul peta daerah tertentu belum tentu pernah mengunjungi dan mengelilingi sendiri wilayah tersebut. Demikian pula, orang tahu dari Kitab Suci mengenai karya-karya besar Tuhan pada orang-orang zaman dahulu belum tentu mengalami sendiri karya besar Tuhan dalam dirinya. Untuk mengalami semuanya itu, manusia harus membuka hatinya pada Tuhan. Pada akhirnya hati manusialah yang harus menapaki perjalanan rohani ini. Di sinilah Anda diajak untuk mengalami sendiri perjumpaan pribadi Anda dengan Tuhan melalui hati. Melalui perasaan-perasaan hati, Anda diundang untuk merasakan langsung kasih Tuhan yang memang tersedia bagi semua makhlukNya. Pengalaman seperti ini akan membuat Anda mengenal Tuhan secara langsung karena memang itulah yang Tuhan kehendaki.
Inilah pengalaman batin yang kelompok meditasi Kitab Suci kami alami. Pengalaman itulah yang membuat kami merasakan kehadiran meditasi Kitab Suci menjadi kebutuhan yang mendasar bagi kami. Tanpa meditasi terasa bagai batere yang perlu diisi (charge). Pengalaman ini yang belum terasa melalui meditasi kristiani. Bisa jadi apa yang dikatakan dalam halaman 110-111 buku Romo Thomas ini merupakan jawabannya. Aku belum mampu berdoa menggunakan hati. Ketika berdoa seringkali kita ingin agar doa kita cepat selesai supaya kita dapat melakukan kegiatan-kegiatan lain yang sudah menanti. Ketika kita berdoa dengan hati maka kita berdoa bukan lagi karena keharusan dan kewajiban, juga bukan karena kita membutuhkan hiburan dan bantuan mengingat banyaknya kesusahan yang kita alami, melainkan karena kita rindu pada Tuhan yang mengasihi dan menyayangi kita.

"Siapakah Aku ini?" Bagiku Ia adalah Guru, Sahabat, dan Mesias. Dan aku tidak ingin di akhir perjalanan nanti Ia menjawabku, "Kapan engkau mendengarkan ajaranKu? Kapan engkau menjadi sahabatKu? Mengapa engkau tak mau kuselamatkan?"

Bapa,
temani perjalananku,
temani pergumulanku,
bukakan hatiku bagi hadirMu,
dan biarkan hatiku mengenalMu,
dan mengenal jalan kebenaranMu.
Amin.


Friday, August 12, 2011

Iman yang Benar, Pengharapan yang Teguh, dan Kasih yang Sempurna

Perjalanan meditasi kami Jumat yang lalu menggunakan Injil Matius 15: 21-28 tentang perempuan Kanaan yang percaya. Hal yang sangat menyentuh hatiku adalah kerendahan hati perempuan Kanaan itu. Bagiku, perkataan Yesus kepada perempuan itu sangat keras dan kejam, "Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." Alih-alih tersinggung disamakan dengan anjing, perempuan itu menjawab, "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya." Maka Yesus akhirnya menjawab, "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kau kehendaki." Seketika itu juga anaknya sembuh.

Melalui meditasi hari ini saya diingatkan kembali akan pentingnya untuk mengetahui apa yang kita kehendaki. Terkadang saya salah menerjemahkan arti perkataan Bunda Maria, "Terjadilah padaku menurut kehendakMu." Perkataan Bunda Maria itu seringkali kuterjemahkan dengan meniadakan kehendakku. Seperti sungai yang mengalir saya berjalan menelusuri kehidupan ini. Satu-satunya muara yang kuketahui hanyalah Tuhan. Kapan kutiba di muara itu hanya Ia juga yang tahu.

Tetapi seperti juga perumpamaan talenta (Matius 25: 14-30) dan orang yang bekerja di kebun anggur (Matius 20: 1-16) Tuhan ingin kita menghasilkan sesuatu dalam kehidupan ini. Sebagai sahabatNya, bukan hambaNya yang senantiasa menantikan perintah. Gandakanlah talentamu, adalah perintah yang diberikanNya tanpa secara khusus memberitahukan apa yang harus dilakukan. Dalam perumpamaan tentang uang mina, penulis Injil Lukas menggunakan perkataan, "Pakailah ini untuk berdagang sampai aku datang kembali," tetapi berdagang punya banyak cara dan juga bisa memilih banyak macam barang atau jasa yang diperdagangkan. HambaNya bukan lagi sekedar budak yang harus menuruti perintah tuannya, melainkan manusia merdeka yang boleh memiliki kehendak dan keinginan sendiri.

Menjadi manusia merdeka harus mengetahui kehendak pribadi kita, yang tetap dalam restu dari Tuhan. Mengenali keinginan pribadi membuat kita mampu meminta kepadaNya. Perempuan dari Kanaan ini seperti yang dikatakan Yesus dalam Injil Lukas 11:8 "Sekalipun ia tidak mau bangun dan memberikannya kepadanya karena orang itu adalah sahabatnya, namun karena sikapnya yang tidak tahu malu itu, ia akan bangun juga dan memberikan kepadanya apa yang diperlukannya."

Satu hal yang perlu kita sadari adalah seringkali kita menginginkan hasil yang instan. Apa yang kita harapkan ingin kita peroleh hari ini juga. Tuhan memiliki jalan dan caraNya sendiri dalam mengabulkan permohonan umatNya. Berlian perlu diasah untuk memperlihatkan kilaunya, demikian juga Ia mengasah kita untuk mendapatkan hasil kilau yang sempurna.

Bukan hanya iman yang besar yang kita butuhkan, melainkan juga iman yang benar. Seorang rekan membagikan permohonan St. Fransiskus Asisi akan iman yang benar, pengharapan yang teguh, dan kasih yang sempurna. Perempuan dari Kanaan itu telah memiliki iman yang benar, dan ia teguh dalam berharap kepada Yesus. Bahkan sesungguhnya permohonan itu disampaikan oleh perempuan dari Kanaan itu karena kasihnya kepada anaknya yang menderita karena kerasukan setan. Mungkin itu adalah juga bentuk kasih yang sempurna, yang membuat dia dengan tabah menerima penghinaan sebagai anjing yang menginginkan rempah-rempah yang jatuh dari meja. Kasih yang tidak memikirkan diri sendiri.

Untuk penutup kali ini saya ingin ikut dengan doa St. Fransiskus Asisi yang saya dapatkan dari portal OFM.

Doa di Hadapan Salib

Allah yang Mahatinggi dan penuh kemuliaan,
terangilah kegelapan hatiku
dan berilah aku
iman yang benar,
pengharapan yang teguh,
dan kasih yang sempurna
berilah aku, ya Tuhan,
perasaan yang peka
dan budi yang cerah,
agar aku mampu melaksanakan perintah-Mu
yang kudus dan yang takkan menyesatkan.

Amin.


Tuesday, August 09, 2011

"Jangan takut, datanglah kepadaKu"

Perayaan Misa Kudus hari Minggu, 7 Agustus 2011 menjadi istimewa bagiku sekeluarga karena hari itu adalah peringatan 45 tahun pernikahan orang tuaku. Dari bacaan I, Kitab I Raja-raja 19:9a, 11-13a, yang paling menarik dari bacaan ini adalah pertanyaan Tuhan kepada Nabi Elia, "Apakah kerjamu di sini, Elia?" Elia merasa bekerja hanya demi Tuhan, tetapi apa yang dikerjakannya bukan apa yang Tuhan inginkan ia kerjakan. Kata Tuhan kepadanya, "Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan Tuhan."

Lalu angin besar dan kuat membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit batu. Tidak ada Tuhan di situ. Lalu datanglah gempa, tetapi tidak ada juga Tuhan di situ. Kemudian muncullah api, dan tetap tidak ada Tuhan di situ. Ketika angin sepoi-sepoi basa berhembus, Elia bisa merasakan kehadiranNya. Kita seringkali mencari Tuhan dalam perbuatan yang besar dan menakjubkan, tetapi seperti Elia, kita tidak akan menemukanNya di sana. Ia datang dalam hal-hal yang tampak sederhana, tidak bombastis, dan terlihat biasa. Angin sepoi basa yang berhembus itu membawa rasa nyaman, begitulah hadirNya membawa rasa nyaman di hati. Bagaimana kita mengenali kehendakNya, bagaimana ketakutan kita disirnakan merupakan karunia dariNya. Tetapi kita perlu memiliki kemauan untuk datang padaNya.

Injil Matius 14:22-33 menceritakan bagaimana Petrus dengan imannya mampu berjalan di atas air menuju pada Yesus. Di tengah jalan kebimbangan menggayutinya dan memberatkan langkahnya. Tiupan angin kemudian membuatnya tenggelam sehingga ia berteriak, "Tuhan, tolonglah aku!" Iman kita terkadang seperti Petrus yang mengalami kebimbangan dan kehilangan kepercayaan dalam menjalankan perintah-perintahNya. Padahal Ia memanggil dengan sangat menguatkan, "Tenanglah! Ini Aku, jangan takut!" , lalu disambungNya, "Datanglah."

Dalam dua kesempatan yang berdekatan ini saya diberikan penguatan dengan ucapanNya, "Jangan takut!" Kehidupan di zaman ini terkadang memang penuh dengan ketakutan. Kehadiran kehidupan modern yang canggih dan serba cepat membuat hidup terasa semakin kencang berlari. Tuntutan kehidupan seakan menghabiskan waktu dan energi kita yang berlari di dalamnya. Kekhawatiran akan masa depan, terutama bagi anak-anak yang dipercayakanNya. Kekhawatiran akan ketidak mampuan menyenangkan orang tua yang sudah menghidupi dan membesarkan. Kekhawatiran akan kehabisan waktu tanpa pernah melakukan sesuatu apapun yang berarti. Semua itu terkadang mendera kehidupan manusia.

Dua bacaan di atas menyapaku dengan mengingatkan betapa Tuhan tidak selalu hadir dalam kemegahan, kebesaran, dan tindakan-tindakan yang luar biasa. Ia hadir dengan sederhana tapi menyejukkan. Menjadi berarti bisa jadi menjadi orang yang tidak berarti tetapi mampu membagikan rasa nyaman pada sesama.

"Jangan takut, datanglah kepadaKu," merupakan penguatan bahwa Ia yang memanggil dan Ia akan membantu kita menjalani perjalanan itu, semustahil apapun tampaknya, selama kita senantiasa percaya kepadaNya.

Bapa Yang Maha Baik,
Besar kasihMu bagi kami,
manusia yang senantiasa meragu dan ketakutan,
Indah cintaMu yang menguatkan,
menghalau keraguan dan ketakutan,
Tumbuhkanlah terus iman kami,
agar tiada tenggelam kami karena kurang percaya
hapuskan kebimbangan kami
ulurkan tanganMu dan bimbing kami,
Amin.

Friday, August 05, 2011

"Berdirilah, jangan takut!"

Injil Matius 17:1-9 menceritakan tentang Yesus dimuliakan di atas gunung. Ayat emas yang menyentuhku hari ini ada di ayat 7 ketika Yesus berkata, "Berdirilah, jangan takut!" Petrus dan murid-murid lain yang menyaksikan Yesus dalam kemuliaan sedang bercakap-cakap dengan Musa dan Elia menginginkan agar kebahagiaan itu tidak berlalu. KemuliaanNya yang bersinar membawa kedamaian yang nyaman di hati murid-murid itu.

Rasa damai itu pula yang kucari dalam perjalanan mencariNya. Tetapi kehidupan senantiasa memiliki kebahagiaan dan kesedihan, sementara manusia senantiasa memiliki kekhawatiran. Manusia seringkali jatuh ke dalam kesedihan karena terlalu memperhatikan kekhawatirannya. Pikiran yang khawatir akan mengakibatkan pilihan tindakan yang salah. Seorang teman mengirimkan renungan harian yang mengatakan bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Menganggap kegembiraan itu kekal akan menjadikan manusia menjadi sombong dan lupa diri. Sebaliknya, bila mengira kesedihan itu langgeng maka iri hati, putus asa, dan tidak berpengharapan menjadi teman seperjalanan. Dalam kebahagiaan kita bisa jatuh, dalam kesedihan kita juga bisa terpuruk. Yesus datang menawarkan kekuatan, "Berdirilah, jangan takut!"

Sebagai manusia seringkali kita terjatuh ke dalam dosa, baik yang tidak sengaja maupun yang sengaja. Rasa bersalah, rasa takut, kekhawatiran, semuanya dihapuskanNya dengan ajakan untuk berdiri kembali. Berdirilah, tinggalkan ketakutan itu, bersiaplah melangkah kembali. Bukan kebahagiaan semata yang dijanjikanNya, karena Ia sendiri berkata bahwa Anak Manusia akan menderita, tetapi penyertaanNya dalam kehidupan kita akan menemani dan menguatkan kita.

Seorang ibu yang mempunyai anak kecil sangat tahu arti perkataan ini, "Berdirilah, jangan takut!" Ketika anak baru mulai belajar berdiri, mereka sangat ketakutan akan jatuh. Ibu biasanya membantu memberi semangat, terkadang membantu menopangnya. Ketika anak itu mulai belajar berjalan, sekali lagi ia takut terjatuh. Kembali lagi pengasuhnya memberi semangat untuk berdiri dan mencoba lagi, terkadang membantu menitahnya. Lalu, anak itu mulai belajar naik sepeda...dan jatuh kembali menjadi momok yang menakutkan. Semangat untuk bangkit kembali dan mencoba lagi menjadi sumber kekuatan untuk meneruskan pembelajaran bersepeda hingga mahir. Hampir semua keahlian memerlukan kegagalan sebelum mencapai keberhasilan.

SentuhanNya yang menguatkan, dan ajakanNya untuk kembali berdiri menjadi sumber kekuatan bagi kita untuk senantiasa bangkit kembali. Dalam perjalanan ke bukit Golgota, Yesus juga terjatuh tiga kali, tetapi Ia tidak membiarkan kesakitanNya menghentikan langkahNya yang sudah direncanakan Bapa. Ketika kita jatuh, ingatlah bahwa tanganNya senantiasa ada di sana, menawarkan bantuan sambil menguatkan, "Berdirilah, jangan takut!"

Bapa yang Maharahim,
terima kasih atas pengampunanMu,
atas kekuatan dan bantuan yang senantiasa Dikau berikan
atas contoh dan ketabahan yang luar biasa dari PutraMu,
temani kami anakMu...
agar berani dan mampu untuk senantiasa bangkit kembali,
Amin.

Thursday, August 04, 2011

Apakah yang kamu cari?

Dari bacaan Injil Yohanes I: 35-39, saya terkesan pada dua orang murid Yohanes Pembaptis yang pergi mengikuti Yesus. Yohanes hanya berkata, "Lihatlah Anak Domba Allah!" Kedua murid mendengar apa yang dikatakannya dan mereka pergi mengikuti Yesus. Hal yang pertama saya jadikan catatan adalah suara hati. Yohanes tidak menyuruh kedua orang itu mengikuti Yesus, tetapi mereka tergerak untuk pergi mengikutiNya. Suara hati merupakan sesuatu yang sangat penting dalam mencari discernment.

Ketika Yesus menengok ke belakang dan melihat mereka mengikutiNya, Ia bertanya: "Apakah yang kamu cari?" Pemimpin meditasi hari ini membacakan sepenggal catatan Romo Siriakus Maria Ndolu, OCarm. yang diambil dari bukunya "Meditasi Kristiani, Jalan Sederhana Menjumpai Allah." Renungan dari Romo Siriakus kebetulan mempertegas pertanyaan yang sebelumnya sudah menjadi pemikiranku, "Apa yang aku cari dalam kehidupan ini?"

Saya kutipkan tulisan Romo Siriakus yang menarik perhatian saya pagi ini.
"Apakah yang kamu cari pagi ini?" Tidak mudah memang untuk dijelaskan dengan kata-kata. Tetapi ini adalah pertanyaan yang mengosentrasikan kita; pertanyaan yang memfokuskan perhatian kita - yang membuat Anda berefleksi, yang membuat Anda bertanya diri, tentang nilai-nilai Anda, tentang jalan hidup Anda, tentang bagaimana Anda menggunakan waktu atau uang Anda atau relasi-relasi Anda. Apakah itu adalah nilai-nilai yang real, prioritas-prioritas yang nyata di dalam kehidupan Anda? Jadi pertanyaan Yesus ini bukanlah pertanyaan yang Anda jawab satu kali untuk selamanya. Ini adalah pertanyaan yang perlu Anda dengarkan setiap hari.
Yohanes Pembaptis tahu siapa yang dicarinya ketika ia bertemu dengan Yesus. Ia tidak mempermasalahkan bahwa muridnya kemudian pergi menjadi murid Yesus. Ia tidak terjebak pada kebanggaan diri yang berlebih. Ia yang membaptis Yesus dengan air, tetapi Bapa di surga yang membaptis Yesus dengan Roh Kudus, "Lihatlah Anak Domba Allah."

"Apa yang kamu cari?" Itu adalah pertanyaan yang akhir-akhir ini juga terus menjadi pemikiranku. Ketika manusia lebih mengukur segala sesuatu dengan keberhasilan duniawi, maka tidak jarang benturan antara idealisme dan kebutuhan menjadi sesuatu yang lazim. Keinginan melayani melalui pendidikan, seringkali berbenturan dengan nilai penghargaan yang diberikan sekolah bagi guru-gurunya. Kehadiran blog yang membantu untuk berbagi, terkadang juga menyimpan jebakan dengan keinginan untuk dikenal, atau bisa juga untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Bagaimanapun manusia tidak hanya membutuhkan Roti yang Hidup, melainkan juga membutuhkan roti harian yang duniawi. Ketika kita memiliki sebuah keluarga, maka kebutuhan pribadi yang masih bisa ditekan terkadang tertutupi oleh kebutuhan anak-anak yang sulit untuk ditolak. Belum lagi kebutuhan akan eksistensi diri merupakan sesuatu yang manusiawi tetapi tidak jarang merupakan batu sandungan dalam ketulusan pelayanan.

Pelayanan bagi lingkungan yang seringkali hanya memunculkan wajah pengurus lingkungan yang itu-itu saja, tidak lepas dari benturan kebutuhan waktu untuk keluarga. "Apa yang kamu cari?" Ketika pelayanan di rumah belum juga sempurna, apakah kita perlu melayani ke luar? Adakah kesempurnaan itu?

Aku mencariMu Bapa,
Mencari kedamaian di pangkuanMu,
Ketika rasa haus dan lelah mendera....
Aku mencariMu,
Ke seberang benua daku mencari,
Ke balik lembar-lembar buku daku menelisik,
HadirMu
Bagai mata air yang menyejukkan jiwa,
Ada di balik hati terdalam
Di seberang detakan jantungku,
dalam keheningan diam....
Ketika kepasrahanku membuatMu membelai dan menyapaku...
Terima kasih Tuhan.
Amin.

Friday, July 29, 2011

Marta, Maria, Lazarus, dan Yesus

Melalui Injil Yohanes 11:19-27 kami diajak untuk menghadiri peristiwa duka dalam keluarga Marta dan Maria. Lazarus, adik mereka tercinta, berpulang dalam usia yang masih cukup muda. Yesus pada saat itu sangat terkenal sebagai penyembuh. Marta dan Maria sudah mengirimkan kabar sakitnya adik mereka dengan harapan Yesus datang menyembuhkannya. Anehnya, Yesus justru menunggu dua hari sebelum berangkat ke Yudea. Ia berangkat justru ketika Ia mengatakan bahwa Lazarus sudah tiada. (Latar belakang lengkap ada di Yoh 11:1-44).

Pertama-tama perjalanan Yesus kembali ke Yudea, bukan perjalanan tanpa resiko. Para murid merasa cemas akan kemarahan orang Yahudi yang ingin menghakimi Yesus. Tetapi Yesus tetap pergi. Perjalanan itu memakan waktu dua hari lamanya sehingga Yesus baru tiba empat hari setelah Lazarus meninggal. Lazarus sudah berada di dalam kuburnya.

Ada beberapa hal menarik yang saya peroleh dari meditasi hari Jumat ini. Marta dan Maria kedua-duanya menyatakan hal yang sama ketika mereka bertemu dengan Yesus, "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati." Menarik sekali melihat pribadi Marta yang aktif, yang dari bacaan Lukas 10:38-42 seakan melupakan bagian terbaik dalam kehidupan yaitu sabda Allah, justru tampak lebih mantap dengan iman dan kepercayaannya pada Yesus. Hal yang manusiawi timbul dari perbedaan makna perkataan Marta, "Tetapi sekarang pun aku tahu, bahwa Allah akan memberikan kepadaMu segala yang sesuatu yang Engkau minta kepadaNya." dengan pernyataannya setelah Yesus memastikan bahwa Lazarus akan bangkit, "Aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman." Ketika ia percaya bahwa apapun yang Yesus minta akan dikabulkan Tuhan, tetap saja segi manusiawinya mendorong untuk lebih mempercayai hal yang masuk akal, kebangkitan pada akhir zaman. Suatu hal yang benar sesuai iman walaupun secara logika belum terjamah.

Ayat emas yang sangat kuat adalah perkataan Yesus, "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" Marta menjawab, "Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia."

Setelah sekali lagi menyatakan kepercayaannya pada Yesus, Marta pergi menemui Maria dan mengatakan bahwa Yesus memanggil Maria. Dari segi manusia, rasanya ini adalah salah satu caranya untuk meminta pada Yesus. Bagi Marta, ucapan Yesus yang mangatakan bahwa Maria telah memilih bagian yang terbaik yang tidak akan diambil darinya, menunjukkan bahwa Yesus berkenan pada tindakan Maria. Bagi saya, ada perasaan bahwa Yesus lebih mengasihi Maria daripada Marta, sehingga ia meminta Maria menemui Yesus.

Tindakan Marta ini seakan menguatkan permintaanNya untuk berdoa dan meminta kepadaNya. "Mintalah maka akan engkau peroleh selama engkau percaya."

Sisi manusia Yesus juga tampil dalam kisah ini. Walaupun Ia dengan sengaja memperlambat kedatanganNya agar dapat membangunkan Lazarus dari "tidur"nya, tetapi ketika melihat Maria yang menangis masygullah hatiNya. Kemudian ketika ada dari orang Yahudi yang mencela karena Yesus tidak mampu menyembuhkan Lazarus sehingga ia tidak perlu meninggal, sekali lagi masygullah hatiNya. Padahal sebelumnya Ia menyatakan, "...syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya." Ia juga pernah mengatakan bahwa, "Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan." Ia sudah mengetahui tujuan dan akhir dari kisah ini, tetapi tetap saja hatiNya masygul karena manusia yang tidak percaya. Selama perjalanan bersama kelompok meditasi saya melihat bagaimana musibah seringkali merupakan jalanNya untuk membentuk manusia. Ketika masalah dan pergumulan hidup menempa dan membentuk kita menjadi lebih sabar, dan lebih pasrah kepadaNya.

Keberadaan kelompok doa yang juga mejadi sarana untuk saling menguatkan memang merupakan salah satu faktor pendorong kami untuk kembali datang dalam keheningan bersamaNya. Terkadang tidak mudah untuk menyediakan waktu untuk berkumpul bersama, tetapi bagaimanapun dalam persekutuan itu lebih mudah untuk diam dalam keheningan bersamaNya daripada dalam kesendirian.

Satu hal lain yang saya peroleh dari perjalanan kelompok meditasi kami, suatu pesan yang pernah disampaikan oleh seorang teman yang kini sudah bahagia di rumahNya, bahwa tidak ada pertemuan yang kebetulan. Tuhan ingin memakai kami menjadi alat bagiNya untuk memuliakan namaNya. Sama seperti Lazarus yang dalam kisah ini sangat pasif, hanya menjadi obyek yang tertidur dan kemudian dibangunkan, ada kalanya peran kita sangat kecil, ada kalanya sangat aktif seperti Marta. Mencari keseimbangan dalam kehidupan kita, menyeimbangkan antara tuntutan kehendak bebas dengan kepasrahan kepadaNya, antara keaktifan pelayanan dengan penyerahan diri dalam doa hening. Keseimbangan Marta yang melayani dan Maria yang diam mendengarkan sabdaNya merupakan tantangan dalam mencari kehendakNya.

Tuhan,
Terima kasih atas keluarga yang menjadi bagian kehidupan kami,
Terima kasih atas teman-teman yang Kau hadirkan dalam hidup kami,
Terima kasih atas pergumulan dalam keluarga yang menguatkan iman kami,
Terima kasih atas pergumulan dalam pertemanan yang menempa kesabaran dan kerendahan hati kami,
Terima kasih karena Engkau selalu perduli,
Engkau senantiasa hadir dan mengetahui keadaan kami,
Tetapi pertolonganMu akan datang pada waktuMu,
untuk menguatkan iman kami,
untuk menyatakan kemuliaan Allah.
Amin.

Friday, July 22, 2011

Arti Kerajaan Allah

Mulai hari Jumat ini saya tidak ingin dibuat bimbang oleh metode meditasi. Biarlah Roh Kudus yang membimbing perjalanan kelompok kami. Peringatan untuk ingat meminta pertolongan kepadaNya kembali menguat. Satu hal yang terbersit dalam keheninganku hari ini adalah kalimat "Kamulah sahabat-sahabatku, kamu bukanlah hamba lagi." Sebagai hambaNya saya senantiasa menantikan perintah dan petunjuk. Sebagai sahabatNya, saya diminta untuk berkehendak bebas tanpa merugikan Sahabat saya itu, dan senantiasa mencariNya dalam setiap kelemahan saya.

Selain bersitan perkataanNya yang kuat menyentuhku itu, ada juga sebuah pertanyaan yang diberikan oleh pemimpin meditator hari itu yang membuat kami menjelajah ke dasar hati kami. "Apakah arti kerajaan Allah bagimu?"

Ternyata semua peserta meditasi menyatakan hal yang hampir serupa. Menurut kami, kerajaan Allah adalah kedekatan dengan Tuhan yang memberikan rasa damai, tenang, dan bahagia. Saya pribadi pernah sekali merasakan kebahagiaan penuh yang mengalahkan derita dunia ketika hening berpasrah kepadaNya, justru ketika saya belum mengenal istilah meditasi. Hal ini juga yang menguatkan dalam perjalanan pencarianNya bersama meditasi kristiani walaupun kesegaran instan dari meditasi ini tidak langsung terasakan.

Sabtu pagi ini ketika membaca Matius 13:24-30 maka sekali lagi terbaca mengenai hal kerajaan sorga seumpama orang yang menabur benih yang baik di ladangnya, tetapi musuh-musuhnya datang menebarkan benih ilalang di sana. Benih ilalang bisa tumbuh bersama dengan benih yang baik, bisa juga mematikan benih yang baik. Kita yang ditanami benih yang baik, sepatutnya memperkuat akar dan mengambil air kehidupan dariNya untuk terus tumbuh dan berbuah banyak. Semoga akhirnya benih yang baik bertumbuh di dalam kita dan ilalang yang mengganggu itu tidak mempengaruhi kelimpahan buahnya. Semoga akhirnya ketika saat panenNya tiba, kita memperoleh lebih banyak tunaian daripada ilalang. Dengan tunaian berlimpah kita memasuki kerajaanNya dan duduk bersamaNya sebagai sahabatNya, sebagai putra dan putriNya.

Tuhan,
terima kasih telah menerima kami sebagai sahabatMu,
kami manusia lemah karena daging,
yang senantiasa membutuhkan dukungan kekuatan dariMu,
yang senantiasa membutuhkan curahan air hidupMu.
Berkati perjalanan kami ya Bapa,
Temani kami dalam kekhawatiran dan pergumulan di dunia,
Agar benih yang Kau tanam bisa terus bertumbuh dan berbuah.
Amin.

Thursday, July 21, 2011

Berbuah dari FirmanNya

Renungan harian hari ini dari Matius 13: 10-17 yang berkisah tentang perumpamaan seorang penabur. Saya terpikat dengan Matius 13:16 "Tetapi berbahagialah matamu karena melihat, dan telingamu karena mendengar." Mengikuti meditasi dengan merenungkan firmanNya membantu saya untuk melihat dan mendengar kebenaran sabdaNya. Satu hal yang saya sadari benar adalah perlunya menggali ke dalam diri. Hal ini yang sudah saya peroleh melalui meditasi dalam tuntunan firmanNya.

Kalau bacaan Injil di atas dilanjutkan, maka kita bisa membaca mengenai arti perumpaan tentang tanah tempat benih ditaburkan. Tanah yang berbatu-batu merupakan orang yang menerima firman dengan gembira tapi tidak membiarkan firman itu berakar di dalamnya, sehingga mudah mati. Tanah yang bersemak duri merupakan orang yang mendengar firman itu tapi dilumpuhkan oleh kekhawatiran dunia sehingga tidak mampu berbuah. Yang terakhir adalah orang yang menerima sang Firman dan berbuah di dalamNya. Meditasi ini membantuku untuk menyiangi tanah yang kusediakan untuk pertumbuhan buah-buah dari benih yang ditanamNya.

Baru saja, ketika ingin menuliskan renungan tadi pagi di atas, saya tidak sengaja membuka surat Yakobus 4: 13-17, "Jangan melupakan Tuhan dalam perencanaan." Itu adalah gambaran diriku dahulu yang membuat semua perencanaan kehidupanku. Menghadap kepadaNya untuk meminta restu, tetapi melupakan membaca kehendakNya. Mencoba mengetahui kehendakNya tapi tidak menyediakan cukup waktu hening untuk mendengar kehendakNya. Yakobus 4:14 mengatakan, "...sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap."

Begitulah waktu berlalu bagaikan berlari. Usia bertambah, dan kehidupan berputar terus. Anak bayi menjadi besar, lalu remaja, lalu dewasa, kemudian tua... Apa yang kita lakukan hari ini akankah berarti untuk masa depan? Terkadang rasa hati ingin mengisi kehidupan dengan kegiatan yang berguna, tetapi apakah itu sungguh berguna? Bagi siapa? Menghabiskan waktu semata untuk keluarga, apakah itu kehendakNya? Bukankah itu juga bisa menjadi egoisme semata? Melayani ke luar keluarga, apakah itu yang menjadi kehendakNya? Tidakkah kebanggaan diri untuk berguna bagi banyak orang juga merupakan batu sandungan egoisme?

Pohon hanya bisa bertumbuh dan berbuah bila dijaga dan diberi air. Air kehidupan sudah disediakanNya, tanah yang baik sudah dipersiapkanNya, bagaimana menjaga pohon agar mampu berbuah melimpah membutuhkan keaktifan dari kita untuk mendekati sumber air kehidupan dan memberi kesegaran bagi pertumbuhan itu.

Tuhan,
bagai rusa yang letih dan berbeban berat,
anakMu mencari air kehidupan yang menyegarkan,
yang menguatkan di kala terpuruk,
tatkala tak mengerti pilihan yang harus dibuat,
tatkala lelah bertubi mendera dalam pergumulan kehidupan.
Bapa,
yang penyayang dan pengampun,
terima kasih atas air kehidupan yang menyegarkan ini,
bantulah keluarga-keluarga yang membutuhkan air hidup ini
agar mampu berbuah melimpah-limpah.

Amin.

Tuesday, July 19, 2011

Yesus Sumber Air Hidup

Hari Senin kemarin kami berkumpul membaca Injil Yohanes 7: 37-39, Air sumber hidup. Hanya tiga ayat yang di"mamah biak", tapi intinya begitu dalam menyentuh kami. Kalimat yang banyak menyentuh peserta meditasi kami adalah "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepadaKu dan minum!" Rasa kekeringan dan kehausan akan cintaNya seringkali melanda kami terutama di saat-saat kami dipenuhi dengan kesibukan sehari-hari. Secara pribadi, saya merasa semakin sibuk melayani semakin kering terasa. Jadi, saya tersadarkan betapa Yesus sendiri yang memberikan kekuatan untuk melayani sesama. Ketika kita sibuk menjadi Marta yang melayani dan tidak ingat untuk menjadi Maria yang mendengarkan firmanNya, maka kekeringan itu bisa menghabiskan tenaga kita dalam melayani. Ada juga teman yang merasa haus ketika masalah menimpa. Biasanya memang ketika masalah menimpa, kita jauh lebih membutuhkan pegangan, dan saat itulah Air Hidup yang mengaliri relung-relung hati membawa kesegaran yang menguatkan. Beberapa teman merasakan bahwa semakin kita dekat denganNya, semakin banyak masalah yang menyapa. Mungkin memang iblis tidak senang kalau kita aman dan damai dalam kebersamaan denganNya. Tetapi bagaimanapun kita, yang mencari jalan keselamatan abadi, perlu selalu mendekatiNya dan bertumbuh di dalamNya.

Waktu adalah masalah yang paling penting dalam kehidupan manusia. Bagaimana kita menyediakan waktu bagiNya dalam segala kesibukan yang seakan tidak ada habisnya, merupakan kebutuhan utama bagi kami semua. Terkadang tugas dalam lingkungan yang harus merangkap sana sini membuat kami justru semakin jauh dariNya. Aneh bahwa tugas pelayananNya malah membuat kita kering dan jauh dariNya. Tapi itulah kenyataan, bahwa kita harus menyeimbangkan karya dan doa. Kami harus pandai memilah antara kepentingan rumah tangga dan kepentingan di luar rumah tangga tanpa menjadi korban egoisme pribadi. Doa menjadi sumber kekuatan kami. Sama seperti mata air yang menyegarkan, begitulah adalah kasihNya menyegarkan kami. Yesus menjadi sumber air hidup bagi kami.

Pencarian saya pada metoda meditasi yang paling cocok sedang dalam puncak kegalauan. Jumat yang lalu, sebelum meditasi kristiani, saya meminta pencerahanNya agar tahu harus berbuat apa. Selasa sampai Kamis dalam agenda saya sudah penuh karena harus mengajar. Karena sementara ini sulit untuk mendapatkan asisten rumah tangga, maka jadwal dengan asisten pulang hari juga harus dipikirkan. Karena itu jadwal meditasi di pagi hari pada saat lowong mengajar merupakan sebuah beban yang agak mengganggu. Gairah untuk datang mendengarkan firmanNya juga jauh lebih kuat ketika saya menjalani metoda meditasi lectio divina yang memamah biak firman itu daripada sekarang. Tapi di samping itu keinginan untuk belajar disiplin dan fokus membuat saya masih terus bertahan pada meditasi kristiani.

Tetapi, terus terang, kebutuhan akan hadirNya yang lebih terasa dalam kehadiran rekan-rekan ketika meditasi model lectio divina menjadi semacam kehausan yang membutuhkan air hidup. Berkumpul satu kali dalam sebulan untuk meditasi dengan metoda lectio divina terasa masih kurang menyegarkan. Karena itulah saya terpikir untuk memilih, dan memohon pencerahanNya. Tidak dinyana seorang peserta Meditasi Kristiani yang sudah senior memberikan perumpamaan tentang orang yang sibuk memindah-mindahkan pohon yang ingin ditanamnya karena ingin mencoba tanah yang lebih bagus, hasilnya tidak ada pertumbuhan yang signifikan yang terjadi. Saya merasa tercolek, karena sebelumnya saya sempat ingin mengikuti meditasi bersama Romo Sudri untuk mengetahui model meditasi tanpa obyek yang dipimpin Romo. Sebenarnya memang lebih baik kembali ke akar yang sudah menyegarkan dan menguatkanku selama ini.

Berdoa secara khusus untuk satu ujud tertentu memang merupakan hal yang seringkali aku abaikan. Kupikir Bapa selalu tahu kebutuhan anakNya, sehingga aku seringkali lalai untuk menyediakan waktu dan meminta secara khusus padaNya.

Suster yang membimbing kami jarak jauh (terima kasih suster), memberikan beberapa poin penting untuk kami renungkan:
* Yesus peduli pada kita - kita diberi tempat dalam hati-Nya
* Kita diterima apa adanya
* Kita dimengerti oleh-Nya
* Kristus mengerti kesulitan/ permasalahan hidup kita lebih daripada kita mengertinya.
* Kristus hadir ditengah keluarga kita, selama kita juga memberi tempat kepada-Nya, maka
AIR HIDUP itu pun akan mengalir dan mengairi hidup kita
AIR HIDUP itu adalah ROH KUDUS, ROH KRISTUS sendiri

Yang sangat menyentuh saya adalah perkataan bahwa Kristus hadir di tengah keluarga kita, selama kita juga memberi tempat kepadaNya. Bagaimana kita memberi tempat kepadaNya, dan bagaimana kita mengajarkan anak-anak untuk menyediakan tempat bagiNya, itulah yang paling penting saat ini.

KehadiranNya merupakan hal yang paling kami butuhkan, terutama di saat kami merasa letih, lelah dan berbeban berat. Setiap orang memiliki masalah yang berbeda, tapi Dia mengerti kelelahan kami semua, dan Dia menyediakan air kehidupan bagi kami semua.

Ya Tuhan Yesus,
Engkaulah Sumber hidupku,
aku mencari-Mu hari hari ini secara lebih mendalam.
Bersabdalah,
sentuhlah pribadiku agar sumber air hiodupMu tetap dan terus mengalir dalam hidupku
sehingga memancar lagi kepada sesamaku.
Terima kasih ya Tuhan atas kebaikanMu.
Amin.

(Suster Jeanne, terima kasih untuk panduan renungan dan doanya)

Saturday, June 04, 2011

Membaca talentaNya

Pada pembukaan Novena Roh Kudus kemarin saya mendapatkan pencerahan tentang talenta. Kebetulan pagi harinya ketika mengikuti Meditasi Kristiani, saya juga mendengarkan renungan awal yang membicarakan asas salah tempat. Para rasul yang secara profesional adalah nelayan tampaknya menjadi orang yang salah bila ditempatkan dalam pelayanan yang membutuhkan kothbah dan pelayanan rohani. Tetapi Tuhan memilih mereka untuk menjalankan tugas itu. Apakah Ia salah pilih? Yudas Iskariot mengkhianatinya, Petrus menyangkalnya, Thomas meragukan kebangkitanNya. Apakah mereka bukan orang yang tepat dalam pekerjaanNya? Tetapi Gereja sudah berkembang menjadi sedemikian besar melalui tangan-tangan nelayan yang sama sekali tidak mengerti rincian Kitab dan aturan-aturan Taurat selain pengajaran yang mereka peroleh melalui Yesus.

Masalah mengenai talenta sebenarnya sudah pernah saya bagikan di tulisan yang lain ini, tapi kali ini saya terhenyak karena memperoleh pengertian baru lagi mengenai talenta dariNya. Ketika Romo memberikan homilinya, tiba-tiba terbersit dalam pikiranku betapa salah saya memandang talenta itu. Selama ini saya merasa memiliki lima talenta yang tidak kukembangkan, yang tersimpan karena ketakutan tidak mampu menggandakannya. Ternyata saya disadarkan bahwa Ia menagih satu talenta yang diberikanNya padaku pada beberapa bidang tertentu. Ia tidak menagihkan lima talenta yang diberikanNya karena sama seperti para rasul bisa jadi aku akan menjalaninya secara profesional. Tetapi Ia menagih satu talenta yang diberikanNya padaku, dan tidak terlihat olehku karena kupandang sebelah mata.

Selama mengenal jurnalisme warga, saya belajar mengenali begitu banyak orang dengan berbagai latar belakang. Saya juga belajar mengenai profesionalisme dalam pekerjaan. Perdebatan antara pekerjaan amatir atau profesional dalam jurnalisme warga membuat saya lebih memperhatikan arti kata profesional. Hal ini membuat saya lebih tersentuh atas karya-karya yang sungguh-sungguh dihasilkan secara profesional. Bukan dari profesionalisme yang setara dengan bayaran yang diterimanya, tetapi profesionalisme yang menonjolkan hasil yang terbaik dari diri sang profesional. Pekerjaan yang dikerjakan secara profesional terlihat dari hasil yang dibuahkannya. Pekerjaan yang dilaksanakan dengan hati sungguh-sungguh akan terlihat bedanya dengan pekerjaan yang dikerjakan hanya sekedar memenuhi kewajiban.

Pekerjaan menjadi ibu rumah tangga terkadang membuatku merasa tertahan di rumah dan tidak mampu mengembangkan talenta yang diberikanNya. Ketakutan akan ketidak-mampuan menjaga keseimbangan antara pekerjaan di luar rumah dengan pekerjaan di dalam rumah membuat saya merasa menelantarkan talenta-talentaNya. Tetapi malam itu tiba-tiba saya tersadar bahwa bisa jadi talenta yang ditagihNya justru adalah talenta yang tidak pernah kuanggap sebagai talenta. Dalam kelemahankulah kuasaNya menjadi sempurna (baca 2 Kor 12: 1-10). Sama seperti para nelayan yang pasti merasa tidak memiliki talenta untuk mengajar dan berkothbah, tetapi ditempatkanNya di dalam tugas itu, aku juga ditempatkan dalam tugas yang semula sama sekali tidak terlihat sebagai bagian dari pengembangan talentaku.

Apakah pengembangan lima talenta itu hanya akan berbuah kesombongan pribadi? Bisa jadi... Dalam kelemahanku aku baru bisa tersadar betapa aku membutuhkanNya dan membutuhkan sesamaku manusia.

Terima kasih Bapa,
Engkau memberiku pencerahan
Engkau mengajariku makna akan talenta yang Dikau tagihkan,
Bapa,
betapa besar cintaMu,
betapa besar sabarMu,
sehingga kesombonganku akan lima talenta itu tidak membuatMu marah
justru Engkau memberikan aku pelajaran akan makna satu talenta,
Satu talenta yang tidak dipandang manusia,
yang terkadang membuat manusia menggugat bijaksanaMu,
atau meragukan keadilanMu.
Tuhan,
ampuni kami umatMu.
Amin.

Monday, May 09, 2011

Yesus Menyapa Thomas (Didimus)

Bacaan yang kami baca hari itu adalah Injil Yohanes 20: 19-31, sayang sekali tulisan panjang lebar yang sudah saya ketik ternyata tidak tersimpan oleh komputer. Ada beberapa hal menarik yang saya ingat dari pengalaman meditasi Kitab Suci hari itu.

Pertama, mengapa Yesus masuk melalui pintu yang tertutup. Yang amat menarik bagi saya adalah sebuah renungan bahwa Yesus bisa masuk tanpa melalui pintu, tanpa mendapat undangan dari tuan rumah. Betapa sering kita ingin memaksakan kehadiranNya kepada orang lain, dalam kasus saya mungkin terutama kepada suami, tetapi ternyata Ia akan hadir ketika orang membutuhkanNya. KehadiranNya tidak terduga, dan tidak melalui jalan yang masuk logika manusia. Itu sebabnya saya terkejut ketika seorang teman yang tadinya cukup aktif dalam kegiatan agamanya ternyata pindah masuk Katolik. Ketika saya menanyakan alasannya, jawabannya sederhana, "Saya merasakan panggilanNya." Tidak terduga, tidak terpikir sebelumnya, dan tidak masuk dalam hitungan logika.....urusan hati memang biarlah urusanNya.

Dari pengalaman pribadi saya juga sama, ketika saya berseru-seru memohon kehadiranNya tidak juga terasakan hadirNya. Tetapi ketika saya terpuruk, tidak sanggup lagi menggunakan logika dan rancangan pribadi, tiba-tiba terasakan dengan kuat hadirNya. Ia hadir menemani pergumulanku. Ia hadir dalam kehadiran teman-teman dan saudara-saudaraku. Ia hadir tidak dalam kemegahan yang kurindukan, tapi Ia hadir dengan rasa damai yang menutupi segala kekhawatiran.

Hal kedua yang menarik perhatian adalah ketidak percayaan Thomas akan kehadiran Yesus yang dijawabNya dengan hadir kembali dan menunjukkan luka di tangan dan di lambungNya. Ketika Yesus menyuruh Thomas memasukkan jarinya ke dalam luka Yesus, ia tidak melaksanakannya melainkan langsung berseru memanggil "Tuhan". Betapa sering kita tidak mempercayai kehadiranNya dan tetap berlaku bodoh meminta bukti akan hadirNya. Thomas langsung tersadar dan bertobat. Adakah kita juga bertobat? Pada masa kini, zaman segala teknologi instan ini, kehadiran Tuhan seringkali menjadi tanda tanya lagi. Perbedaan antara teori penciptaan dengan teori evolusi membuat orang juga mempertanyakan kehadiran Tuhan. "Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya." Kita sungguh tidak pernah melihat Yesus secara langsung. Pengalaman bersama Yesus yang pernah dialami murid-muridNya juga tidak kita jalani. Kalau murid-murid biasanya mengenali Yesus ketika Ia memecah roti untuk dimakan bersama (seperti pada kisah perjalanan ke Emaus), maka pengalaman kita adalah perkenalan dengan Yesus melalui Gereja. Orang tua merupakan jembatan pertama yang mengantarkan kita masuk ke dalam Gereja. Tetapi tidak jarang kita memutuskan untuk memotong jembatan itu. Semuanya itu juga kembali ke dalam hati dan panggilanNya.

Yesus datang ke pada murid-murid yang ketakutan dan menyendiri. Betapa seringnya kita mengalami perasaan yang sama, kesendirian dan ketakutan, tetapi ingatkah kita kepadaNya? Murid-murid mengingatNya, dan Ia hadir. Ia kemudian juga menjanjikan penghibur dan penguat yakni Roh Kudus. Adakah kita membiarkan Roh Kudus menghibur dan menguatkan diri kita? Ataukah kita mencari kekuatan lain yang bisa dengan segera memberi kepastian dan jalan keluar, walaupun semu dan sementara sifatnya?

Keraguan Thomas adalah keraguan manusia. Thomas atau Didimus yang juga berarti kembar, bagai menunjukkan sifat kembar manusia yang percaya namun juga peragu.

Thomas kemudian menjadi murid yang paling jauh perjalanannya dalam menyebarkan kabar gembira. Kekuatan dari keraguan yang terjawab membantunya untuk tetap tegar dan berjuang ke tempat-tempat yang baru. Terkadang pergumulan dalam kehidupan ini bagaikan kehadiranNya di hadapan Thomas. Ketika terjatuh dan menatap mataNya yang letih terjatuh saat memanggul salib, merupakan jawaban akan hadirNya yang senantiasa hadir menemani perjalanan kehidupan.

Tuhan,
Engkau memberikan nafas kehidupan kepada kami,
Engkau juga yang mengambilnya kembali pada akhir waktu kami,
Tolong kuatkan kami,
Bantu kami belajar dari pengalaman Thomas,
untuk tetap percaya walaupun tidak melihat,
untuk tetap setia karena Engkau akan hadir di saat yang tepat.
Terima kasih Tuhan,
Amin.

Saturday, May 07, 2011

"Apa yang hendak kau perbuat, perbuatlah dengan segera."

Sengaja kutipan perkataan Yesus di atas kujadikan judul tulisan ini. Kutipan dari Injil Yohanes 13:27 sangat menarik perhatianku; Dan sesudah Yudas menerima roti itu, ia kerasukan Iblis. Maka Yesus berkata kepadanya: "Apa yang hendak kau perbuat, perbuatlah dengan segera."

Hal yang pertama, Yudas sudah menerima roti. Bagi kita sekarang ini, menerima rotiNya berarti menerima roti kehidupan, lambang tubuhNya yang dikorbankan bagi manusia. Ekaristi suci merupakan sumber kekuatan iman bagi kita. Tetapi Yudas justru kerasukan iblis setelah menerima roti. Hal yang kedua, Yesus meminta Yudas untuk segera melakukan apa yang hendak diperbuatnya. Bila dilihat dari keMahatahuan Tuhan, maka hati Yudas bukan lagi rahasia bagi Yesus. Tetapi bila mengingat pemenuhan kehendak Allah, yaitu pengorbanan Yesus di salib, maka perbuatan Yudas merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari. Ayat di atas memang selalu menarik hati saya karena sedikit banyak juga berhubungan dengan takdir (baca juga tulisan yang ini dan yang ini.)

Di luar kisah ayat di atas, saya maupun beberapa orang di sekitar saya yang saya perhatikan seringkali merasakan dorongan yang kuat dari hati untuk berbuat sesuatu. Terkadang kesibukan harian membuat kami menundanya. Contohnya Ibu saya, seringkali ia merasakan keinginan yang kuat untuk menjenguk temannya yang sudah lama sakit. Karena kesibukannya terkadang ia tidak dapat segera menengoknya. Ada beberapa kali terjadi temannya berpulang sebelum dia sempat menjenguk. Karena itu perkataan di atas menjadi menyentuhku dari sisi positifnya, "Apa yang hendak kau perbuat, perbuatlah dengan segera." Apa yang dikatakan oleh hati terkadang menjadi suatu tuntunan dari Tuhan. Bagaimana menjaga agar hati ini tetap bersih dan bebas dari kehendak pribadi yang bertentangan dengan kehendak Allah merupakan tantangan dalam kehidupan ini.

Terus terang dibandingkan dengan Meditasi Kristiani, maka Meditasi Kitab Suci Lectio Divina masih jauh lebih membantu kehidupan rohaniku. Bisa jadi hal ini karena aku belum mampu sungguh-sungguh masuk dalam keheningan itu, bisa juga karena aku belum mampu untuk disiplin dalam meditasi. Kerinduan akan Firman yang hidup masih menjadi sebuah panggilan yang memenuhi batinku saat ini. Semoga akan tiba saatnya aku mampu mengenali kehendakNya dan menjadikan hal itu sebagai bagian dari hal yang akan kulakukan.

Bapa,
terima kasih atas penyertaanMu selama ini,
semoga apa yang akan aku perbuat
adalah apa yang Dikau inginkan daku lakukan.
Semoga aku senantiasa bersegera melaksanakan kehendakMu,
dan tidak memberi waktu kepada iblis untuk memasuki hatiku.
Tuhan,
kasihanilah kami,
Tuhan,
datanglah,
kami menantimu.
Amin.

Monday, April 18, 2011

Di antara lambaian palma

Sebelum memulai Meditasi Kristiani bacaan yang kami baca adalah Matius 21:1-11, Yesus dielu-elukan di Yerusalem. Kali ini waktu yang diberikan untuk sharing sebelum meditasi cukup lama, tetapi seperti peserta meditasi lama yang berasal dari kelompok Lectio Divina, saya kesulitan untuk segera masuk ke dalam sharing tanpa melalui proses meditasi kitab suci. Dalam saat hening setelah membaca kitab suci itulah bersitan-bersitan pikiran muncul dan membimbing kami untuk melihat kembali ke pojok-pojok kotor di hati kami. Masalah yang mungkin ada timbul ke permukaan dan berelasi dengan FirmanNya. Karena itulah kami bisa merasakan betapa hidup Kitab Suci ini, betapa isinya tetap sesuai untuk masa kini, bahkan untuk permasalahan yang sedang kami hadapi. Jadi meniadakan meditasi Kitab Suci dan menggantikannya dengan meditasi hening yang berbasis mantra Maranatha membuat kami merasa tercabut dari Kitab Suci yang "hidup" itu.

Saat ini saya sendiri dalam proses perjalanan memahami meditasi. Yang menjadi panduan utama saya hanya satu; Tuhan adalah pusat dari Doa saya. Memahami meditasi dengan bermacam-macam metoda yang ada tampaknya akan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Yang saat ini ingin saya lakukan hanya menuliskan proses yang berlangsung dalam perjalanan pencarian itu.

Saat hening dalam Meditasi Kristiani timbul sebersit pikiran mengenai ironi antara orang banyak yang ikut melambai-lambaikan daun palma dan orang yang bertanya, "Siapakah orang ini?" Keharusan untuk kembali ke pada mantra Maranatha membuat saya tidak bisa mengunyah pikiran ini. Tetapi setelah sesi meditasi berakhir tetap saja pikiran ini kembali lagi. Ketika melambaikan daun palma sambil menantikan air suci untuk memberkati daun palma yang tahun depan akan menjadi abu tanda pertobatan pada hari Rabu Abu, saya sekali lagi teringat akan pikiran itu. Juga kenyataan bahwa bisa jadi saya berada di antara orang-orang yang melambai-lambaikan daun palma mengelu-elukan Yesus, tetapi sesungguhnya saya hanyalah satu dari umat yang tidak berani jujur bertanya, "Siapakah orang ini?" Sungguh sudah kenalkah saya kepadaNya? Walau sejak bayi sudah menerima pembaptisan, sungguh tahukah saya apa yang saya ikuti dan elu-elukan?

Ketika Yesus memasuki pintu gerbang Yerusalem, orang banyak mengikuti dan mengelu-elukan Dia. Kota menjadi heboh karena kehadiran seorang sederhana yang menaiki keledai betina (yang diiringi oleh anak keledainya). Yesus tidak hadir sebagai Panglima atau Raja yang gagah perkasa dengan kuda yang tampak kuat dan kokoh, Ia tidak hadir dengan segala kemewahan. Ia hadir dalam langkah pelan sang keledai, di bawah lambaian daun palma orang-orang yang menyambut kehadiranNya.

Sebelum kehadiranNya melalui Tri hari Suci, umat Katolik menyiapkan tempat yang layak bagiNya dengan puasa secara Katolik dan membersihkan batin melalui Sakramen Tobat. Ketika menantikan giliran untuk masuk ke dalam kamar pengakuan, saya merasa kehilangan panduan refleksi batin yang seingat saya dulu ada di dalam buku Puji Syukur (mungkin waktu itu masih bernama Madah Bakti). Ketika menanti ini, kutipan Injil di atas juga teringat. Apakah saya menjadi seperti orang yang melambaikan daun palma tanpa benar-benar mempersiapkan hadirNya? Lambaian daun palma itu sekedar ikut meramaikan, sekedar memamerkan kepada publik bahwa saya menyambutNya? Saat itu terlontar satu hal; perlunya berhati-hati terhadap kesombongan rohani. Kesombongan rohani merupakan jebakan yang mengerikan dalam pelayanan. Sisi manusiawi kita menginginkan pujian, tetapi pujian yang tidak dikelola dengan rendah hati bisa mengubah kita menjadi sombong. Betapa menakutkannya bila pujian dan kebanggaan yang sudah kita terima menjadi upah final yang kita terima. Markus 10:31 mengingatkan, "Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu." Menerima baptisan sejak bayi tidak menjadi jaminan bahwa masa pertemuan yang panjang itu akan berbuah kalau tidak dipupuk, sementara kesombongan pribadi boleh jadi hanya akan menampakkan penampilan yang kokoh dan kekar tanpa menghasilkan satu buahpun.

Tuhan yang Maha Baik dan Maha Rahim,
Terima kasih atas bimbinganMu,
sehingga kami diberi kesempatan untuk terus memperbaiki diri,
senantiasa Dikau didik untuk menjadi anakMu yang lebih pantas,
dan Kau pupuk agar berbuah bagi kemuliaanMu.
Amin.