Setelah suster yang biasa membimbing kami dalam doa meditasi pindah tugas, kami sempat beberapa saat tidak berkumpul. Tetapi sudah tiga hari ini kami berkumpul kembali di bawah bimbingan seorang suster lain yang datang menggantikan suster kami dahulu.
Kali ini kami dibimbing untuk lebih mengenal meditasi itu sendiri. Diam dan hening dan hanya berfokus kepada wajahNya. Sebagian dari kami pernah mengikuti metode ini bersama suster terdahulu, tapi sebagian lagi lebih mengenal metode kontemplasi Kitab Suci.
Hari pertama meditasi, walaupun suster pembimbing bersuara memberi panduan untuk meditasi, fokus utama saya masih terpecah. Antara doa dan raga saya pribadi. Rasanya entah bagaimana saya tiba-tiba menyadari benar kehadiran tubuh dan kaki saya. Tubuh dan kaki ini belum menemukan posis yang tepat untuk ikut larut dalam keheningan itu, sehingga senantiasa mengganggu konsentrasiku. Lucunya pada hari kedua, seorang teman yang baru datang mengikuti sesi meditasi ini mengalami hal yang serupa dengan pengalaman hari pertamaku. Pada hari pertama, ketika di satu sisi saya menyadari kehadiran ragaku, di lain pihak pikiranku berkelebat menyuruhku membaca kitab Ayub. Tentu saja dalam meditasi kali ini aku tidak bisa langsung membuka Kitab tersebut.
Pada hari kedua, saya sudah lebih mampu berkonsentrasi. Apalagi ketika harus fokus pada perjumpaan yang paling membahagiakan dalam hidup ini. Perjumpaan terindah itu adalah perjumpaan denganNya. Ketika Ia hadir dalam diamNya merengkuh aku yang terpuruk dalam kesedihan dan membagikan kedamaian yang hangat mengisi hatiku di antara diginnya derai air mataku. HadirNya yang tidak bisa terlukis dengan kata-kata ataupun terlukis dengan pena. HadirNya yang hanya bisa terasa kerena kehangatan cintaNya yang menyelimuti dan memadamkan seluruh kemarahan dan kebencian dari dalam hatiku. HadirNya yang mampu membuat aku memandang diri sendiri dan kekurangan diriku. Betapa tidak ada manusia yang sempurna. Hanya Sang Pencipta Yang Maha Besar yang patut menjadi hakim teradil di dalam kehidupan ini. Perjumpaan itu sungguh mewarnai seluruh kehidupan saya. Kerinduanku akan perjumpaan seperti itu membuat aku kini sungguh-sungguh mengerti makna dari lagu, "Bagaikan rusa yang mendamba air, jiwaku rindukan Dikau Tuhan." Aku haus akan hadirNya...
Pada minggu ke tiga kami berkumpul, kami diajak untuk mencari wajah Yesus. Bunda Theresa melihat wajah Yesus pada orang-orang yang terpinggirkan di Kalkuta. Dari Markus 9 ayat 2-13, aku teringat pada meditasi minggu sebelumnya. Kerinduanku akan hadirNya, keinginanku untuk terus merasakan kedamaian hati dan cintaNya yang hangat menyelimuti. Aku ingin seperti Petrus yang ingin membuatkan tenda bagi Yesus, Nabi Elia, dan Nabi Musa. Kami ingin menghadirkan kemuliaanNya terus di hadapan kami. Tetapi kami tidak mengerti kehendak Allah. KehadiranNya tidak selalu dalam kemuliaan yang bermandi cahaya dan kehangatan cinta, terkadang Ia hadir dalam ketakutan seperti ketika menghadap Bapa di taman Getsemani, terkadang Ia hadir dalam bilur-bilur kesakitan dan derita yang ditempuhNya dalam perjalanan ke bukit Golgota.
Dari Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus 2: 1-10, saya tersentuh terutama pada ayat 8 dan 9 "Sebab karena kasih dan karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah. Itu bukan hasil pekerjaanmu; jangan ada orang yang memegahkan diri." Kalimat ini membawa saya kembali ke masa-masa kering dalam pelayanan saya ketika saya menjadi Marta yang meminta Yesus untuk menegur Maria yang hanya duduk diam mendengarkanNya. Ketika saya bergiat untuk pelayanan di kegiatan kerohanian mahasiswa, atau kemudian bergiat di dalam lingkup pelayanan lingkungan, atau bahkan dalam menjadi relawan bagi museum, terkadang terasa jenuh dan lelah. Mengapa orang lain tidak membantu agar pekerjaan ini menjadi lebih mudah? Rohani saya menjadi kering dan doa menjadi sulit untuk saya. Seorang pastur pernah mengatakan bahwa saya terlalu terfokus pada kegiatan organisasi itu sendiri. Kini saya tahu jawaban yang sebenarnya, saya terlalu mengandalkan kemampuan diri saya sendiri. Saya lupa bahwa Ia bekerja dalam diri setiap orang dengan cara yang berbeda-beda.
Profil Marta paling lekat dengan diri saya. Rasanya saya selalu menjadi orang di belakang layar yang sibuk kesana kemari dan terkadang saya bertanya-tanya, "apakah semua itu perlu?" Apakah tidak lebih baik saya menjadi Maria yang cukup duduk manis mendengarkanNya? Keseimbangan antara pelayanan Marta dan kepasrahan Maria menjadi suatu pekerjaan rumah bagi saya.
Ayat tadi juga membawa saya kembali kepada kisah yang paling mengganggu nuraniku, yaitu perumpamaan orang dengan lima telenta (Matius 25: 16-30). Lima telenta yang kumiliki terasa menjadi beban yang memecah konsentrasiku. Aku tidak mampu memikirkan talenta yang mana yang harus kukembangkan terlebih dahulu. Aku tidak mampu memprioritaskan cara mengembangkan seperti apa yang Tuhan inginkan aku lakukan. Dia tidak meninggalkan perintah sebagai petunjuk. Dia memberi lima talenta seperti Tuan itu membagi talenta bagi hamba-hambanya dan pergi tanpa petunjuk. Dalam perumpamaan Yesus justru orang yang memperoleh lima talenta dan dua talenta yang pergi menggandakan talenta mereka. Sebenarnya realita terbanyak adalah orang merasa Tuhan memberinya terlalu sedikit untuk dikembangkan, itulah lambang dari hamba yang hanya menerima satu talenta dan menanamnya. Ironisnya saya lebih merasa sebagai hamba yang memiliki lima talenta dan bingung hendak diapakan talenta itu agar bisa berkembang dan tidak hilang. Hasilnya tidak lebih baik dari hamba yang hanya beroleh satu telenta itu. "Semua itu bukan hasil pekerjaanmu," sabdaNya. Seharusnya aku tidak perlu banyak berpikir, cukup pergi, bekerja dan biarkan Ia yang menggandakan semua hasil dari talenta itu.
Sebenarnya semua yang kuperoleh selama tiga kali meditasi terakhir ini juga merupakan kondensasi dari doa meditasi (kontemplasi) selama bertahun-tahun kujalani bersama komunitas kecilku sebelumnya. Kalau sebelumnya pikiranku tetap bebas mengembara ke sana ke mari, melenggang ke Perjanjian Lama ataupun bagian lain dari Perjanjian Baru, maka sekarang aku juga belajar mengosongkan pikiran selama meditasi. Sungguh-sungguh kosong dari semua kebiasaan melompat-lompat dari sel-sel abu-abu pemberianNya, dan membiarkan Dia mencoba memasuki pikiranku.
Tuhan Yesus,
Terkadang kehadiran Bapa, Putra dan Roh Kudus membuatku tidak ingin mencari rupa,
CahayaMu terasa sudah cukup menjadi wajah Tritunggal yang Maha Kasih.
WajahMu terkadang hadir di hampir semua wajah yang kutemui,
Membuat aku terkadang tidak tahu yang mana yang harus kudahulukan,
Terima kasih karena Engkau mau hadir dalam hidupku,
Tolonglah aku mengerti jalan yang harus kupilih agar sesuai dengan yang digariskan Bapa bagiku.
Temani aku dan kuatkan daku melalui Roh KudusMu,
Agar mampu mengembangkan lima talenta itu sesuai dengan kehendak Allah.
Amin.
No comments:
Post a Comment