Wednesday, November 30, 2011

Malaikat-malaikat Dalam Kehidupan

Entah mengapa belakangan ini berbagai buku yang kubutuhkan terasa seperti disodorkan ke hadapanku. Sudah cukup lama saya mengetahui terbitnya buku "Guruku, Malaikat Jiwaku" dari seorang teman yang pertama kali kukenal melalui kegiatan jurnalisme warga. Tetapi terus terang kesibukan harian membuat saya tidak sempat mencari buku ini. Tiba-tiba seorang teman menyodorkannya padaku untuk dibaca. Setelah tersimpan beberapa lama, pada saat saya berada di persimpangan dengan penuh kebingungan tiba-tiba buku ini menarikku untuk membacanya.

Banyak inspirasi yang kudapat dari buku ini. Pertama, buku ini memberiku inspirasi dalam pengambilan keputusan untuk terus menjadi guru sekolah atau memberikan pelayanan yang berbeda. Sejujurnya kakiku masih terus berada di persimpangan, belum juga mengambil langkah yang pasti, tapi banyak pencerahan kuperoleh dalam waktu singkat.

Hal pertama yang sangat dalam tergores ada di halaman 344 buku ini, ketika penulisnya mengatakan bahwa menjadi guru bukan sekedar profesi, menjadi guru sudah mendarah daging dan menjadi panggilan hidup. Kebetulan pagi ini saya membaca Injil harian yaitu Matius 4: 18-22 dimana murid-murid itu langsung meninggalkan jala, perahu, dan keluarganya untuk mengikuti Yesus. Kemantapan, dan tiada ragu merupakan hal yang sangat terkesan. Dan buku dari Romo A. Mintara Sufiyanta SJ ini mengingatkan aku akan Injil Yohanes 15:16 "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu."

Menjadi guru bagi anak-anak yang dititipkanNya kepadaku merupakan satu pilihan yang kubuat, tetapi menjadi guru bagi murid-murid yang pernah belajar padaku sama sekali bukan pilihanku. Kalau dipikir-pikir ya sungguh terasa bahwa Dia yang memilihkan jalan itu, bukan aku yang memilih.

Sebenarnya banyak catatan yang ingin kubuat dari buku itu, termasuk juga bahwa sebaiknya aku membacanya sekali lagi dengan menggunakan pertanyaan refleksi sebagai bahan meditasi lectio divina. Tapi, hal utama lain yang ingin saya bagikan di sini adalah malaikat-malaikat dalam kehidupanku. Baru beberapa hari yang lalu kita merayakan Hari Guru Nasional, dan hari itu aku tersadar bahwa guru bukan hanya guru yang ada di kelas tetapi juga orang tua, keluarga, bahkan anak-anak ataupun murid-murid bisa menjadi guru bagi seorang manusia pembelajar.

Dalam beda waktu yang tidak terlalu lama, tiga orang gembala yang dekat dengan kehidupan saya berpulang ke rumah Bapa. Romo FX Pranataseputra Pr, Romo Marinus Oei Goan Tjiang SJ, Romo R. Kurris SJ Mereka adalah guru-guru kehidupan bagiku.

Romo Kurris lebih dekat dengan masa kecil hingga remajaku, yang paling teringat adalah gaya bicaranya yang ceplas ceplos dan wajahnya yang mudah memerah. Karena saya suka membaca, maka novel yang ditulisnya dengan nama R. Sukri Kaslan sempat saya komentari dengan membandingkannya dengan novel Romo Mangun. Tampaknya Romo Kurris malu dibandingkan dengan Romo Mangun karena wajahnya memerah, dan percakapan digantinya ke buku mengenai gereja Katedral yang juga dituliskannya.

Romo Frans dan Romo Oei adalah bagian dari masa remaja hingga dewasaku. Romo Frans lebih kukenal karena ia juga guru di lingkungan sekolahku Tarakanita. Walaupun tidak pernah diajar olehnya tetapi beliau sangat dekat dengan anak-anak Drum Band, dan kemudian ketika kembali menjadi frater tentunya kedekatannya dengan kami lebih erat daripada frater-frater lainnya. Saya masih ingat ketika beliau sudah menjadi pastur, saya meminta tolong untuk mengadakan misa bagi mahasiswa di daerah Bintaro yang waktu itu masih dianggap hutan nan jauh di sana. Beliau menyanggupi datang sendiri dengan mobilnya. Beliau juga tidak marah ketika banyak dari kami yang terlambat tiba (karena nyasar di daerah antah berantah itu), bahkan beliau kemudian mengembalikan stipendium yang kami berikan agar digunakan bagi kepentingan kegiatan unit kerohanian kami. Tentunya hal itu merupakan suatu berkah besar bagi kami mahasiswa yang terkadang harus susah payah mengumpulkan dana untuk kegiatan.

Ketika pacar saya tertarik untuk belajar agama Katolik tapi mentok dengan program katekisasi di gereja yang memiliki jadwal tetap (karena terkadang waktu kerjanya tidak memungkinkan ia hadir), entah bagaimana awalnya (terus terang saya lupa) Romo Frans bersedia memberi kami jadwal khusus pembelajaran hari Minggu di Jatibening. Terkadang kami yang tidak bisa hadir, terkadang Romo Frans yang berhalangan, tapi akhirnya pacar saya dibaptis juga, baptisan awal Paroki St. Leo Agung (18 Oktober 1992). Mungkin Romo berpikir kalau kami ingin segera menikah, padahal masih lima tahun kemudian kami menikah. Ketika kembali ke Paroki Leo Agung pada akhir tahun 1996 untuk mempersiapkan surat-surat kelengkapan bagi pernikahan di awal tahun 1997 maka kami menyaksikan beberapa foto dari peristiwa pembakaran Paroki Leo Agung serta mendengar kisah-kisah kejadian saat itu. Tampaknya Romo Frans cukup terpukul dengan kejadian itu.

Kemudian saya sibuk dengan kehidupan berkeluarga dan baru sempat terhubung lagi dengan Romo Frans melalui media sosial seperti facebook dan Blackberry messenger. Anehnya sehari sebelum Romo berpulang saya sempat mengirimkan tautan blog ini kepadanya. Sayangnya beliau tidak sempat membacanya. Mungkin itu cara Tuhan mengingatkan saya untuk berdoa bagi Romo.

Romo Oei lebih saya kenal sebagai kepala paroki, tapi saya senang bertanya-tanya padanya karena selain ular (yang tidak pernah saya lihat, kalaupun ada pasti saya takut hehehe) beliau juga koleksi kerang. Walaupun berbeda benda koleksi (saya mendapat kebiasaan koleksi perangko dari zaman KKS Romo Wolf SJ), tetapi sebagai sesama kolektor saya senang melihat-lihat katalog yang dimilikinya. Ketika saya kebingungan dalam mengambil komitmen untuk menikah maka Romo Oei dan Romo Danu (FX Danuwinata SJ) yang memberikan saya nasehat. Nasehat Romo Oei sangat sederhana, hanya membuat catatan refleksi baik dan buruk dari pilihan itu. Nasehat yang sebenarnya berlaku untuk semua keputusan penting dalam kehidupan itu menjadi sangat berguna karena catatan itu saya tuliskan dalam buku harian. Ketika hari-hari menjadi sulit dalam bahtera pernikahan maka catatan itu menjadi pengingat akan pilihan yang telah dibuat. Lucunya bukan poin-poin negatif yang menjadi penyebab masalah, terkadang justru poin yang dahulu terlihat positif bisa menjadi sumber masalah. Itulah gunanya menuliskan catatan refleksi tersebut.

Selain nasehat dalam proses pengambilan keputusan itu, Romo Oei juga sempat memberitahukan satu hal yang menurut saya sangat penting. Menurut beliau kalau berziarah ke tempat seperti Lourdes seharusnya doa dan ziarah dilengkapi dengan sakramen ekaristi dan sakramen tobat. Kalau sakramen ekaristi tentunya saya ikuti, tetapi sakramen tobat tidak saya lakukan karena kebingungan mengenai bahasa pengantarnya (saya ketika itu datang sebagai back-packer), padahal keinginan untuk memasuki ruang pengakuan dosa sebenarnya sangat besar dan sebenarnya saya bisa memilih bahasa Internasional yang ada. Masalahnya hanya karena saya tidak terbiasa melakukan pengakuan dosa dalam bahasa asing. Satu pelajaran lagi untuk lebih peka mendengarkan nurani.

Selain Romo Middendorp SJ yang pernah saya kenang dalam tulisan "Sakramen Tobat, Sebuah Kenangan...", maka Romo Martosudjito SJ yang mempersembahkan misa kudus pada saat saya dan suami menerima sakramen pernikahan juga mempunyai kenangan khusus bagi saya. Kepergian mereka bukan berarti berhentinya pembelajaran yang saya peroleh dari mereka. Terkadang dalam satu fragmen kehidupan saya teringat kembali pada teladan yang mereka berikan.

Yesus, Sang Guru sejati,
Terima kasih sudah mengirimkan malaikat-malaikatMu,
menemani dan membimbing aku melangkah,
Terkadang perjalanan bersama kami tidak panjang,
tetapi cintaMu yang Kau titipkan lewat mereka,
mampu mengubah kehidupanku.
Berkati kami ya Tuhan dengan Roh KudusMu,
agar kami juga mampu menjadi malaikat-malaikatMu bagi sesama kami.
Amin.

Tuesday, November 22, 2011

Memberi tanpa menanti upah

Bila dilihat dari bahasa Indonesia maka judul di atas sedikit aneh. Memberi tentunya bukan menjual. Orang yang menjual barang atau jasa yang mengharapkan upah. Tapi bacaan Injil hari Minggu, Matius 25:31-46 dan bacaan hari Senin, Lukas 21: 1-4 membawa saya pada refleksi ini. Seringkali kita manusia memberi karena menginginkan upah di balik pemberian itu. Ketika kita memberi kepada orang yang membutuhkan, tidak jarang kita meminta upah atau imbalan dari mereka, bisa berupa penghormatan, bisa berupa jasa, atau bisa juga berupa imbalan dari Tuhan berupa lahan masa depan di surga.

Dari Injil Matius 25:31-46 kedua macam orang yang berbeda itu sama-sama tidak mengerti kapan Tuhan datang pada mereka sebagai orang yang sakit, susah, maupun lapar. Bila orang yang pertama membantu dengan tulus, maka tipe orang yang kedua tidak membantu karena tidak mengenali Tuhan. Apakah saya sudah bisa masuk ke dalam tipe orang yang pertama? Yang membantu walaupun tidak tahu bahwa bantuan itu adalah untuk Tuhan? Atau saya masih terkungkung dalam tipe nomor dua? Yang hanya membantu karena mengetahui keberadaan Tuhan di balik sesama saya? Ketulusan itu yang penting, dan itu hanya datang dari hati yang penuh kasih.

Bacaan ini juga kembali mengingatkan kepada janda yang memberikan 2 talenta yang dimilikinya, seluruh uang yang dimilikinya, tanpa memikirkan resiko masa depannya. Ia juga tidak memberikan dua talenta itu untuk meminta lebih banyak lagi talenta dari Tuhan. Tidak, dua talenta itu semata-mata tanda terima kasihnya atas semua kemurahan Tuhan yang telah dirasakannya.

Tuhan,
Terima kasih sudah begitu mencintai kami,
Berikan kami hati yang mampu bersyukur,
Hati yang memiliki iman walaupun hanya sebesar biji sesawi
Tetapi mampu menguatkan hati kami agar tetap tulus dalam pelayanan kami.
Tuhan,
Terima kasih karena mau bersabar mengingatkan daku,
Betapa rapuh dan tak berartinya pelayanan yang menantikan upah,
Betapa indahnya penyertaanMu dalam kehidupan kami ya Bapa,
Semoga semuanya menjadi indah pada waktuMu.
Amin.

Saturday, November 12, 2011

Keberanian Mengambil Resiko

Hari Jumat kemarin, sebelum melakukan Meditasi Kristiani, kami membaca Injil Matius 25:14-30 mengenai perumpamaan tentang talenta. Kitab Suci yang hidup kembali terasa bagi saya dan juga bagi seorang teman lain. Kali ini ayat yang berbicara bagi kami terasa berbeda dengan ayat yang biasanya menarik perhatian kami.

Saya sangat tertarik pada perkataan sang tuan kepada hamba-hambanya, baik yang berhasil menggandakan 5 talenta, maupun yang menggandakan 2 talenta. Tuan tersebut berkata; "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." Perkataan itu sama persis. Tidak ada perbedaan hanya karena yang satu menghasilkan 5 talenta sementara yang lain hanya membawa 2 talenta.

Dalam buku "Jalan Menuju Kehidupan", pater Gerry Pierse CSsR mengatakan bahwa hamba yang hanya memiliki satu talenta tidak berani mengambil resiko. Hal ini mengingatkan saya akan pencarian saya akan kehendakNya. Seringkali saya tidak berani membuat pilihan karena merasa takut tidak mengikuti kehendakNya. Padahal sebenarnya yang paling penting bagiNya adalah keberanian kita mengambil resiko bersamaNya. Talenta yang dipertaruhkan adalah talentaNya. Ketika kita kehilangan talenta itu, maka Ia tidak akan marah. Ia akan tetap ada di sisi kita untuk menguatkan dan menghibur kita.

Ayat yang menarik perhatian saya itu mengajarkan saya betapa seringkali saya membesar-besarkan masalah. Lima talenta atau dua talenta bagi Tuhan hanyalah perkara kecil. Hamba dengan satu talenta itu memandang satu talenta yang dimilikinya sebagai perkara besar, padahal bagi tuannya hal itu hanya perkara kecil.

Seorang teman yang lain merasakan sengatan dalam perkataan yang terdapat dalam Injil Matius 25:26 "Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur, dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam?" Perkataan "hamba yang jahat dan malas" memang terasa sangat keras. Mengapa hamba itu dikatakan jahat? Tampaknya karena ia menuduh tuannya dengan tudingan yang tidak benar. Ia memilih mempersalahkan orang lain untuk pembenaran dirinya. Bila sebelum mendengar sharing teman ini saya tidak terlalu merasakan pentingnya ayat ini, maka setelah mendengarnya berbagi refleksi saya baru merasakan betapa sering saya juga mempersalahkan orang lain, mempersalahkan keadaan, bahkan mungkin juga pernah mempersalahkan Tuhan untuk situasi yang sedang dihadapi. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita adalah akibat dari pilihan-pilihan yang kita ambil sebelumnya. Sama seperti hamba yang hanya memperoleh satu talenta, kemalasan membuatnya memilih menanam talenta itu. Tetapi ketika ia melihat orang lain menggandakan talentanya, dan ia tidak, maka ia memilih berlindung di balik alasan yang menghujat tuannya.

Sehari sebelum meditasi saya sempat bertemu dengan guru agama yang mengajar saya di bangku sekolah menengah dahulu. Ketika saya mengemukakan kebingungan dalam mencari kehendak Allah, maka jawabannya sederhana, "Diamlah dalam keheningan. Biarkan segalanya mengendap, karena dalam kebeningan dan kejernihanlah semua bisa terlihat jelas." Menjadi seperti Martha yang sibuk melayani memang penting, karena ladang luas dan hanya sedikit yang melayani. Tetapi, ketika pelayanan itu menjadi fokus utama, bukan lagi Tuhan yang menjadi fokus kita, melainkan karya dan hasil pribadi. Kita memerlukan waktu untuk diam, memandang dan mendengarkanNya seperti Maria agar kita mampu melihat dengan jelas kehendakNya dan kebutuhanNya dalam pelayanan kita.

Bapa Yang Maha Baik,
Terima kasih atas penyertaanMu,
saat pilihan yang salah berbuah resiko,
Engkau tidak meninggalkan putriMu.
Engkau hadir dalam keteduhan dan kedamaian yang menyejukkan jiwa
Engkau menghapus air mata dan kecemasan dengan kasihMu.
Bapa, aku ingin lebih mengenal kehendakMu,
Ingin lebih pantas menjadi putriMu,
Bimbing dan tuntun langkahku Bapa,
Beranikan aku mengambil resiko bagiMu,
Kuatkan aku dalam melangkah di persimpangan jalan,
jangan biarkan kutersesat
jangan padamkan cahayaMu di hatiku.
Amin.

Tegur dan Ampunilah

Bacaan Lectio Divina kami beberapa waktu yang lalu adalah Injil Lukas 17:1-6. Suster pembimbing kami memberikan tema "Mengampuni itu menyembuhkan". Bacaan ini agak sedikit berat bagi kelompok kami. Yang menonjol bagi kami pada hari itu adalah pesan, "tegurlah dan ampunilah."

Lukas 17:3 "Jagalah dirimu! Jika saudaramu berbuat dosa tegurlah dia, dan jikalau dia menyesal, ampunilah dia." Ayat ini tampaknya paling banyak menarik perhatian anggota kelompok kami. Ada yang menekankan pada penggal akhir kalimat, "jikalau dia menyesal, ampunilah dia." Apakah kita perlu menunggu orang menyesal baru memaafkan? Bukankah kita diajarkan untuk senantiasa memaafkan orang? Bukankah kita diminta untuk memaafkan tujuh puluh kali tujuh kali?

Kalimat, "Jika saudaramu berbuat dosa tegurlah dia,...," juga sangat menarik. Bukankah kita tidak boleh melihat selumbar di mata saudara sementara di mata kita sendiri masih ada balok? (Lukas 6: 41-42) Bagaimana kita bisa mengatakan orang lain berdosa sementara kita sendiri juga pernah berbuat dosa? (Yohanes 8:7 "...Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.")

Dari renungan dan sharing kelompok kami merasa bahwa seringkali ketika seseorang bersalah pada kami, maka bila orang itu bukan orang dekat, kami akan cenderung untuk menjauhi orang tersebut agar sakit hati itu tidak terulang lagi. Mungkinkah ini yang dimaksudkan dengan "tegurlah"? Beritahukan, komunikasikan... karena belum tentu orang itu mengetahui kesalahannya. Mendiamkan kesalahan apalagi membiarkan orang terus hidup dalam dosa bisa menjadi dasar pengulangan kembali kesalahan atau dosa itu. Kita memang perlu belajar memberikan saran perbaikan dengan lebih bijaksana agar dapat mencapai tujuan yang benar.

Lukas 17:4 "Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia." Walaupun kami tahu benar mengampuni bagi Yesus adalah tujuh puluh kali tujuh kali, tetapi tetap saja perkataan mengampuni satu orang tertentu yang dalam satu hari melakukan tujuh kali kesalahan, dan setelah setiap kesalahan selalu datang untuk meminta maaf, merupakan hal yang luar biasa bagi kami. Ketika pertama kali ia datang meminta maaf, pasti dengan tulus mampu dimaafkan. Ketika ia datang lagi pada hari yang sama untuk kedua kalinya, bisa jadi agak kesal tapi masih memaafkan. Hanya saja bila tujuh kali hal itu berulang, pikiran yang paling mungkin adalah keraguan akan ketulusan permohonan maaf orang tersebut, dan kemungkinan hati menjadi tertutup untuk bisa memaafkan.

Dalam kehidupan sehari-hari di dalam keluarga, hal seperti ini yang paling sering terjadi. Suatu kesalahan yang sudah dimaafkan kemudian kembali terulang. Luka yang sudah mulai mengering kembali terbuka dan perih. Perasaan yang sudah mulai naik bagaikan yoyo yang dihempaskan kembali ke bawah. Dalam posisi seperti ini sungguh kami membutuhkan iman kepadaNya dan penyertaanNya agar mampu senantiasa memaafkan.

Memaafkan itu menyembuhkan. Ketika rasa sakit masih hadir ketika kita membicarakan orang yang bersalah pada diri kita, maka bisa jadi kita belum mampu sungguh-sungguh memaafkannya. Ketika rasa sakit itu sudah tidak hadir lagi, maka saat itu pastilah kita sudah benar-benar mengampuni kesalahannya. Doa dan meditasi menjadi sarana pembantu kami untuk menghadirkanNya dalam diri kami, dan merasakan rahmatNya yang besar yang memampukan kami untuk mengampuni.

Tuhan,
Engkau maha rahim dan maha baik,
Berkati kami agar selalu mampu mengampuni
Mengampuni sesama, maupun mengampuni diri kami sendiri,
Jadikanlah kami pembawa damaiMu,
Sembuhkan luka-luka batin yang mendera kami
yang mencegah kami untuk mengampuni dengan tulus,
Bantu kami menyinarkan kerahimanMu
dengan mampu mengampuni setulus hati.
Amin.