Saturday, November 12, 2011

Tegur dan Ampunilah

Bacaan Lectio Divina kami beberapa waktu yang lalu adalah Injil Lukas 17:1-6. Suster pembimbing kami memberikan tema "Mengampuni itu menyembuhkan". Bacaan ini agak sedikit berat bagi kelompok kami. Yang menonjol bagi kami pada hari itu adalah pesan, "tegurlah dan ampunilah."

Lukas 17:3 "Jagalah dirimu! Jika saudaramu berbuat dosa tegurlah dia, dan jikalau dia menyesal, ampunilah dia." Ayat ini tampaknya paling banyak menarik perhatian anggota kelompok kami. Ada yang menekankan pada penggal akhir kalimat, "jikalau dia menyesal, ampunilah dia." Apakah kita perlu menunggu orang menyesal baru memaafkan? Bukankah kita diajarkan untuk senantiasa memaafkan orang? Bukankah kita diminta untuk memaafkan tujuh puluh kali tujuh kali?

Kalimat, "Jika saudaramu berbuat dosa tegurlah dia,...," juga sangat menarik. Bukankah kita tidak boleh melihat selumbar di mata saudara sementara di mata kita sendiri masih ada balok? (Lukas 6: 41-42) Bagaimana kita bisa mengatakan orang lain berdosa sementara kita sendiri juga pernah berbuat dosa? (Yohanes 8:7 "...Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.")

Dari renungan dan sharing kelompok kami merasa bahwa seringkali ketika seseorang bersalah pada kami, maka bila orang itu bukan orang dekat, kami akan cenderung untuk menjauhi orang tersebut agar sakit hati itu tidak terulang lagi. Mungkinkah ini yang dimaksudkan dengan "tegurlah"? Beritahukan, komunikasikan... karena belum tentu orang itu mengetahui kesalahannya. Mendiamkan kesalahan apalagi membiarkan orang terus hidup dalam dosa bisa menjadi dasar pengulangan kembali kesalahan atau dosa itu. Kita memang perlu belajar memberikan saran perbaikan dengan lebih bijaksana agar dapat mencapai tujuan yang benar.

Lukas 17:4 "Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia." Walaupun kami tahu benar mengampuni bagi Yesus adalah tujuh puluh kali tujuh kali, tetapi tetap saja perkataan mengampuni satu orang tertentu yang dalam satu hari melakukan tujuh kali kesalahan, dan setelah setiap kesalahan selalu datang untuk meminta maaf, merupakan hal yang luar biasa bagi kami. Ketika pertama kali ia datang meminta maaf, pasti dengan tulus mampu dimaafkan. Ketika ia datang lagi pada hari yang sama untuk kedua kalinya, bisa jadi agak kesal tapi masih memaafkan. Hanya saja bila tujuh kali hal itu berulang, pikiran yang paling mungkin adalah keraguan akan ketulusan permohonan maaf orang tersebut, dan kemungkinan hati menjadi tertutup untuk bisa memaafkan.

Dalam kehidupan sehari-hari di dalam keluarga, hal seperti ini yang paling sering terjadi. Suatu kesalahan yang sudah dimaafkan kemudian kembali terulang. Luka yang sudah mulai mengering kembali terbuka dan perih. Perasaan yang sudah mulai naik bagaikan yoyo yang dihempaskan kembali ke bawah. Dalam posisi seperti ini sungguh kami membutuhkan iman kepadaNya dan penyertaanNya agar mampu senantiasa memaafkan.

Memaafkan itu menyembuhkan. Ketika rasa sakit masih hadir ketika kita membicarakan orang yang bersalah pada diri kita, maka bisa jadi kita belum mampu sungguh-sungguh memaafkannya. Ketika rasa sakit itu sudah tidak hadir lagi, maka saat itu pastilah kita sudah benar-benar mengampuni kesalahannya. Doa dan meditasi menjadi sarana pembantu kami untuk menghadirkanNya dalam diri kami, dan merasakan rahmatNya yang besar yang memampukan kami untuk mengampuni.

Tuhan,
Engkau maha rahim dan maha baik,
Berkati kami agar selalu mampu mengampuni
Mengampuni sesama, maupun mengampuni diri kami sendiri,
Jadikanlah kami pembawa damaiMu,
Sembuhkan luka-luka batin yang mendera kami
yang mencegah kami untuk mengampuni dengan tulus,
Bantu kami menyinarkan kerahimanMu
dengan mampu mengampuni setulus hati.
Amin.

1 comment:

  1. Meditasi yang sangat cantik. Hello Indonesia.

    ReplyDelete