Sunday, December 30, 2012

Belajar dari Pilatus

Kekosongan blog ini bagaikan menggambarkan padang gurun pengembaraan meditasi yang sedang kulalui. Sejak bulan Juli saya mulai bekerja penuh waktu, dan hal itu mempengaruhi banyak hal dalam manajemen waktuku. Terkadang ada hal yang ingin kucatatkan di sini, tapi tidak sempat, sampai akhirnya terlupakan dan berlalu begitu saja.

Hari ini saya merasa sangat perlu untuk menuliskan catatan dari FirmanNya hari ini. Pagi hari tadi sebenarnya kubuka dengan kemalasan. Kemalasan membuat aku bangun lebih siang, dan tidak pergi misa pagi. Pembenaran diriku adalah perlunya aku menyeimbangkan waktu untuk di rumah dan di luar rumah. Jadi pagi-pagi mengerjakan pekerjaan di rumah dahulu, dan menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak sebelum pergi Meditasi Kristiani (MK) bersama komunitas. Mampir dulu di dokter untuk mengambil nomor antrian untuk konsultasi. Hampir sebulan batuk pilekku tidak kunjung sembuh. Alhasil, tiba di tempat MK terlambat. Tapi beruntung saya belum terlalu terlambat, sehingga masih bisa mengikuti pembacaan Injil Yohanes 18:33-37, Yesus di hadapan Pilatus.

Mungkin, ayat yang paling menyentuhku adalah ayat 34: "Apakah yang engkau katakan itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?" Tapi seperti biasa renungan ayat belum bisa berbicara banyak kalau saya belum memasuki tahapan meditasi. Tapi, karena metode MK yang berbeda dengan Lectio Divina, maka sharing yang keluar pada tahap awal biasanya lebih banyak berasal sebagai tanggapan kepada sharing anggota komunitas lainnya.

Dalam buku Jalan Menuju Kehidupan 2 dari Pater Gerry Pierse CSsR digunakan judul "Kebenaran di Pengadilan". Sekali lagi saya bertemu dengan contoh pilihan bebas manusia. Kalau pilihan bebas Yudas senantiasa membuatku berpikir mengenai takdir, maka pilihan bebas Pilatus baru kali ini terpikirkan. Pertanyaan Pilatus yang tak terjawab di ayat 38a, "Apakah kebenaran itu?", juga sangat menyentuhku. Sebenarnya bagian ini tidak termasuk bagian yang dibacakan untuk Injil minggu ini, tetapi saya seringkali senang membaca ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat yang dibaca, bahkan juga versi pencatatan Injil dari penulis Injil lainnya.

Seringkali kita tidak mengenali kebenaran, karena kebutaan atau ketulian kita terhadap FirmanNya. Terkadang kita tidak mengenali kebenaran karena memang kita tidak berusaha mencari kebenaranNya. Kemaha-tahuan Allah akan pilihan yang akan diambil manusia seringkali membuat saya merasa bahwa itulah takdir. Tanpa peran Yudas dan Pilatus maka tidak akan ada penyaliban, dan tidak akan ada penyelamatanNya. Pilatus yang memilih untuk membasuh tangan, menyerahkan Yesus pada keputusan akhir orang-orang Yahudi. Seringkali kita juga mencoba membasuh tangan agar terhindar dari konsekuensi buruk yang menghadang. Saya teringat akan pesan seorang Romo ketika saya bertemu beliau di dalam sakramen pengakuan dosa. Beliau mengatakan bahwa untuk merubah sistem, dibutuhkan orang yang mau bekerja dari dalam sistem. Sementara ini pengalaman saya membuat saya cenderung untuk keluar dari sistem. Bukankah itu adalah sebuah cara yang dipilih Pilatus? Membasuh tangan, merasa tidak ikut menyalibkanNya, sementara sebenarnya ia merupakan satu mata rantai penting dalam proses penyaliban itu?

Dari buku Pater Gerry, ada hal lain yang menarik perhatianku, yaitu: "Mereka yang dapat memberi tanpa mengingat, dan menerima tanpa melupakan akan diberkati." Seringkali saya mengingat jasa yang sudah saya berikan pada orang lain, padahal seharusnya kebaikan yang kulakukan demi nama Yesus tidak perlu saya ingat-ingat, apalagi untuk menagih balasannya. Sementara itu bisa menerima tanpa melupakan juga berarti saya senantiasa mengingat kehadiran malaikat-malaikat yang nyata dalam kehidupanku. Seringkali terasa berat untuk menerima bantuan orang lain. Mungkin pada saat itu sebenarnya yang ada adalah keterikatan pada teori "mata ganti mata, gigi ganti gigi"...bukan pada aspek ganti rugi kerugian, melainkan justru pada aspek utang budi. Ketika menyadari bahwa kita berutang maka kita merasa perlu untuk membalaskannya, sehingga terasa berat ketika kita merasa tidak mampu untuk itu. Tapi tidak jarang pula kita merasa orang yang bernasib kurang baik, memang harus dibantu oleh orang yang lebih beruntung. Hal ini malah membuat kita menerima kebaikan orang sebagai kewajiban mereka dan hak kita. Kita cenderung melupakannya. Karena itu nasehat untuk memberi tanpa mengingat (tanpa mengharap balasan) dan menerima tanpa melupakan (senantiasa siap berbagi karena kita juga diberkati) merupakan berkat kasihNya yang hidup.

Bapa yang Maha Baik,
terima kasih atas berkatMu hari ini,
Yudas dan Pilatus mengingatkanku akan makna sebuah keputusan,
akan proses yang dijalani dalam kehidupan,
dan akan makna untuk selalu berjalan bersamaMu.
Terima kasih atas pencerahanMu,
peganglah tanganku dan jangan biarkan terlepas ya Bapa...
Karena kasihMu yang besar,
memperkaya kehidupanku,
Bantulah aku membagikannya kepada keluarga, teman, dan lingkunganku.
Jadikanlah pilihan-pilihanku bermakna bagi kemuliaanMu.
Amin.