Friday, March 19, 2010

Memberi Dalam Ketiadaan

Rasanya susah benar memikirkan bagaimana caranya memberi kepada sesama yang miskin dan tertindas bila kita sendiri masih diliputi kecemasan akan urusan kehidupan pribadi. Ketika urusan keuangan masih berkutat di dalam masalah urusan rumah tangga sendiri, agak sulit memikirkan urusan orang lain. Karena itu saya sendiri lebih banyak membagikan waktu kepada orang lain dibandingkan memberikan bantuan materi. Tetapi sebuah lampiran kisah yang terdapat di dalam bahan Pendalaman Iman Lingkungan Masa Pra Paskah 2010 "Kkottongnae" sangat menyentuh. Kisah yang berasal dari Korea itu memperlihatkan betapa orang tidak perlu menjadi orang kaya untuk berbagi materi. Kakek Choi Gwi Dong yang dilahirkan dari keluarga kaya, kemudian harus melalui kepahitan perang dan kehilangan semua keluarga dan harta bendanya. Dia tidak meratapi nasibnya, melainkan dia justru mengangkat martabatnya sebagai pengemis dengan membagikan rezeki yang diperolehnya kepada pengemis lainnya.

Kisah itu sungguh menyentuh aku. Terpuruk dalam kehidupan di bawah kolong jembatan sudah cukup parah, tetapi dia pasrah dan malah melakukan kegiatan berbagi yang kemudian menggelinding menjadi besar, menjadi Kkottongnae atau Flower Village. Dia tidak perlu kaya, tidak perlu menjadi selebriti, tetapi ketika dia bekerja bagi Tuhan maka Tuhan yang menggelindingkan dan menggelembungkan hasil pekerjaannya.

Saya pernah melihat kehidupan para tuna wisma di Seoul, jadi terbayangkan betapa tegar kakek Choi ini. Seoul di malam hari, ketika itu dekat dengan stasiun kereta api Seoul, merupakan tempat orang-orang mencari kehangatan di balik kardus-kardus mereka. Ada yang minum minuman yang menghangatkan badan, tetapi bisa jadi kadar alkoholnya cukup tinggi. Ketika itu ada seorang kakek tua yang dengan marah berteriak-teriak kepadaku yang sedang memotret stasiun. Mungkin disangkanya aku memotret kehidupan mereka. Sebenarnya aku sudah terlebih dahulu memotret orang-orang yang tidur di lorong-lorong kereta bawah tanah. Banyak orang tua yang sendirian, entah dimana keluarganya...Jadi kisah kakek Choi ini langsung membuka kembali memoriku mengenai para tuna wisma di Seoul.

Memberi dalam ketiadaan, begitulah keadaan yang digambarkan kisah kakek Choi itu. Karena ia berani memberi dari ketiadaannya (ingatanku melayang kepada janda dengan dua dinarnya) maka Pastur Oh Woong Jin mendapatkan keberanian untuk memulai "House of Love" yang kemudian berkembang dan dikenal sebagai Flower Village.

2 Kor 9:16-12 menggambarkan betapa Paulus mengajak orang-orang di Korintus untuk mau berbagi. Terkadang ketika melihat pengemis di lampu merah kita sudah terlebih dahulu berpikir negatif karena memang dalam kenyataannya ada organisasi-organisasi yang menyalah-gunakan keberadaan pengemis ini. Kisah kakek Choi membuat saya berpikir betapa yang paling penting adalah membiarkan suara hati kita memimpin. Tuhan bekerja dengan tidak kita sangka-sangka. Kakek Choi bekerja tanpa pernah berpikir bahwa suatu hari karyanya akan mampu menyelamatkan orang banyak. Terkadang berpikir dalam skala yang terlalu besar membuat orang takut melangkah. Kisah ini memperlihatkan betapa Tuhan hanya membutuhkan dua ekor ikan untuk dilipat gandakan menjadi bakul-bakul ikan yang tersisa.

Dalam rangkaian Pendalaman Iman masa Pra Paskah 2010 ini yang sangat berkesan bagi diri saya adalah ajakan untuk berpikir positif. Sebagai orang yang senang memulai hari dengan mempertimbangkan segala keraguan, semula berpikir positif bagi saya adalah jalan yang beronak duri. Saya dahulu merasa bila kita tidak pernah melihat sisi negatif suatu masalah maka kita tidak akan siap menghadapi kenyataan buruk yang menghadang. Ternyata, memulai segala sesuatu dengan berpikir positif bisa jadi akan lebih menguatkan ketika hal-hal negatif itu terjadi, karena kita senantiasa mampu melihat hal positif lain yang ada di belakangnya.

Tuhan,
Terima kasih atas semua berkatMu,
bantulah kami untuk lebih mampu lagi bersyukur,
lebih mampu berbagi kasih kepada sesama,
lebih mampu melihat hal-hal positif dalam kehidupan kami,
agar karyaMu bisa terlaksana
dan berkatMu senantiasa memperkaya kami dengan kekayaan hati yang kekal.
Amin.

Mencintai Tuhan Dengan Segenap Kekuatanku

Dari bacaan hari Jumat minggu yang lalu, yaitu dari Markus 12:28b-34, saya sangat terkesan pada kalimat "Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita itu Tuhan yang esa. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatanmu. Dan perintah yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada perintah lain yang lebih utama daripada kedua perintah ini."

Hal yang menarik dari pertemuan kelompok doa saya adalah betapa manusia berbeda. Yang sangat menarik bagi saya adalah perintah pertama. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap kekuatanmu. Saya merasa begitu lemah, begitu banyak kekurangan, dan Tuhan tahu itu sehingga meminta untuk mengasihiNya dengan segenap kekuatanku. Kekuatan manusia yang terbatas, tapi menjadi tidak terbatas ketika Roh Kudus bekerja di dalam kita. Tuhan Yang Esa...Dialah sumber Roh Kudus yang menguatkan itu, kepadaNya kita memohon tambahan kekuatan.

Bagi saya mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri terasa lebih mudah. Seorang peserta doa juga mengamini hal yang sama, menurutnya mengasihi Allah yang tidak terlihat menjadi lebih sulit daripada mengasihi manusia yang bisa berinteraksi secara langsung dengan kita.

Tetapi teman yang lain lebih tertarik kepada mengasihi sesama manusia. Menurutnya lebih sulit mengasihi sesama manusia. Ia memakai perumpamaan pekerjaan sebagai ilustrasi. Mengasihi Allah diumpamakannya sebagai pekerjaan pembukuan, yang ada hanya pekerja pembukuan itu dengan angka-angka di hadapannya. Jadi mengasihi Allah hanya urusan pribadi antara manusia dan Allah. Mengasihi sesama manusia diumpamakannya sebagai pekerjaan personalia, petugas personalia harus berhubungan dengan banyak orang, banyak karakter dan temperamen. Jadi mengasihi sesama manusia memiliki aspek yang lebih kompleks karena banyak perbedaan pandangan ataupun sikap antara manusia yang satu dengan manusia lainnya.

Renungannya membuat saya kembali berpikir betapa memang mengasihi sesama manusia seperti kita mengasihi diri sendiri mungkin belum terlalu tepat. Ada orang yang mampu menerapkan disiplin hidup yang keras terhadap dirinya sendiri, mampu menempatkan tuntutan yang besar untuk dirinya. Kalau kemudian ia menerapkannya untuk orang lain yang berbeda dari dirinya, maka tentunya keributan yang akan terjadi.

Memang menurut suster, ungkapan mengasihi sesama manusia ini disempurnakan dalam Injil Yohanes 15:12 "Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya..." Jalan salib Yesus, penderitaan dan hinaan yang dilaluiNya dalam perjalanan ke Golgota merupakan kerelaan menanggung aib dan sengsara yang seharusnya menjadi milik manusia. Ia rela malakukan hal itu untuk menebus umat manusia. Bila dia mengasihi kita sedemikian rupa, mengapa pula kita masih sering menggunakan hukum "mata ganti mata"? Mengapa terkadang pengampunan begitu sukar kita berikan dengan tulus? Padahal semua kemarahan, semua kebencian itu Ia yang harus menanggungnya.

Tahun berganti abad, tetapi tetap saja manusia bebal terhadap perintah Allah. Ketika menuliskan tulisan ini tiba-tiba saya tersentuh pada kalimat "hai orang Isreal". Sampai hari ini Israel masih terus berperang untuk penguasaan atas tanah. Padahal jelas-jelas ucapan tersebut sangat ditekankan bahwa Allah itu Esa, kasihilah Ia dan kasihilah sesamamu manusia. Perang berarti memutuskan hak hidup orang lain, menghilangkan hak hidup normal bagi banyak orang, menanamkan kebencian dalam sanubari muda yang baru tumbuh...Ketika perang, siapakah sesamamu manusia? Saya jadi teringat pada pertikaian di pulau Kalimantan antara orang Dayak dan Madura. Saya pernah membaca betapa di tengah-tengah pertikaian itu terjadi kepiluan karena di antara mereka sebenarnya sudah ada terjadi perkawinan antar suku. Ketika pertikaian terjadi, siapa yang dibela; suku atau istri/suami/anak? Perang menihilkan arti manusia sebagai sesama kita, dan perang juga menihilkan arti kebaikan Tuhan yang dilimpahkanNya melalui penebusan dosa manusia.

Tuhan,
saya berterima kasih karena pencerahanMu,
betapa manusia begitu beragam,
baik bentuk, pikiran, dan tata cara kehidupannya.
Kami begitu lemah,
seringkali terjatuh dalam kemarahan dan kebencian,
seringkali menuntut hak dan melupakan kewajiban kami,
tolong kami dengan Roh KudusMu ya Bapa,
agar kami mampu mencintaiMu dengan segenap hati,
segenap jiwa dan pikiran, serta segenap kekuatan kami,
karena dengan mencintaiMu kami mencintai sesama kami,
dengan mencintai sesama kami,
cinta kami kepadaMu menjadi nyata...
Amin.

Saturday, March 06, 2010

Jangan Ragu Menjawab "Ya..."

Karena hari Jumat mengikuti sesi doa Lectio Divina bersama kelompok doa, dan hari Sabtu mengikuti Pendalaman Iman Lingkungan Masa Prapaskah 2010, maka ada beberapa catatan yang saling menguatkan yang muncul dari pertemuan-pertemuan tersebut.

Bacaan hari Jumat adalah Injil Matius 21: 33-43, 45-46. Ada dua pola pandang yang muncul dari bacaan ini. Pola pandang negatif adalah melihat keserakahan. Para pekerja di ladang berubah menjadi serakah, menginginkan ladang yang mereka kerjakan menjadi milik mereka sendiri. Semua utusan pemilik tanah untuk meminta hasil dari tanahnya dipukuli, di dilempari batu, bahkan dibunuh. Ketika pemilik tanah mengirimkan anaknya, justru keinginan untuk menguasai tanah itu semakin besar. Mereka yakin dengan meniadakan ahli waris dari tanah tersebut maka tanah itu menjadi lebih mudah mereka kuasai.

Cara pandang yang berbeda saya dapatkan dari buku renungan Cafe Rohani. Yang digaris-bawahi di dalam buku renungan ini adalah kesanggupan menerima utusan Allah yang diberikan untuk membimbing, menasehati, dan menegur kita. Sama seperti para pekerja di ladang yang merasa kenyamanan mereka terganggu karena didatangi oleh utusan tuan tanah, seringkali kita juga merasa terganggu ketika nurani kita diusik oleh perkataan yang bersifat kritik atau nasehat dari orang lain. Dari cara pandang ini yang ditekankan adalah kesanggupan untuk membuka diri, untuk melihat niat baik yang ditawarkan Tuhan melalui orang-orang yang dikirimkanNya dalam kehidupan kita.

Terus terang, hari Jumat kemarin saya teringat pada seorang teman doa kami yang sudah almarhum. Perkataannya yang senantiasa terngiang di telinga adalah bahwa tidak ada hal yang kebetulan bagi Allah. Setiap perjumpaan, setiap kejadian, merupakan alat bagiNya untuk mendekatkan manusia kepadaNya. Sebenarnya kami terkenang akan kehadiran dan kata-kata almarhum teman kami itu, kesediaannya menerima penderitaan dalam penyakitnya. Kenangan indah yang diberikannya karena ia hanya membagikan bagian kehidupannya yang indah kepada kami. Penderitaan adalah tantangan, keputusan untuk suatu langkah di masa depan adalah tantangan. Apakah kita berani menjawab tantanganNya dengan menjawab "Ya, aku bersedia..."? Dan sanggupkah kita konsisten dalam menanggapi tantangan itu?

Terus terang bagi saya terkadang pertanyaan "Kemana Tuhan memanggilku?"
masih merupakan suatu pertanyaan yang belum tuntas terjawab. Saya merasa sedang dalam proses untuk mengetahuinya. Dalam pertemuan lingkungan kami, dengan bacaan Injil Lukas 4:16-21, ada dua hal utama yang muncul. Pertama, jangan ragu untuk menjawab panggilan pelayanan. Tidak ada kata belum siap, belum ada waktu, belum punya dana, untuk mengikuti panggilan pelayananNya. Katakan saja "Ya, aku bersedia..." maka jalanNya akan terbukakan bagimu.

Yang kedua, adalah catatan pribadi saya sendiri. Kita dipanggil untuk ambil bagian bagian dalam misi Yesus mewartakan kabar gembira kepada "orang-orang miskin". Kita dipanggil sebagai dan di dalam komunitas, meskipun setiap pribadi juga punya misinya sendiri.

Saya tahu benar misi ini, mengabarkan kabar suka-cita kepada "orang-orang miskin", bukan sekedar kepada orang yang miskin secara materi, tapi juga kepada mereka yang miskin secara rohani. Kata-kata yang sangat menyentuh saya kemarin adalah kata "miskin". Sudahkah saya sungguh-sungguh peduli pada mereka yang miskin? Ataukah saya malah terjerembab merasa diri "miskin" sehingga tidak mampu menolong?

Dalam kehidupan, saya senantiasa merasa "kaya" sampai kenyataan hidup yang bertubi-tubi menyadarkan betapa materi ikut berperan dalam memberikan posisi "kaya" agar senantiasa mampu menjadi mereka yang memiliki tangan di atas. Tanpa materi saya masih kaya dengan waktu. Tetapi setelah memiliki keluarga, maka waktu menjadi sesuatu yang sangat mahal nilainya. Pilihan antara menggunakan waktu untuk mencari materi atau untuk memberikan pelayanan, merupakan keadaan yang sedikit banyak sedang memenuhi benakku.

Sebenarnya beberapa waktu yang lalu, ketika saya kembali mengajar ke sekolah, saya merasa diberi nasehat oleh Tuhan untuk tidak sombong. Ketika saya berhenti mengajar dahulu, saya berpikir lebih baik memberikan pelayanan yang murni tanpa perlu menerima imbalan. Tetapi ketika kenyataan prioritas waktu untuk anak dan waktu untuk pelayanan total tidak bisa bertemu (ditambah dengan kekuatan fisik yang juga terbatas), maka saya kembali ke pelayanan dimana saya masih menerima upah walaupun dalam hitungan pertukaran waktu merupakan upah yang kecil nilainya.

Renungan singkat dalam buku "Mari Bekerja Sama Melawan Kemiskinan" mengatakan bahwa setiap orang dilahirkan ke dunia dengan suatu misi. Manusia mesti menemukan misiNya. Misi itu ternyata bukan untuk mencari kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri, tetapi demi kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain.

Rasanya perkataan inilah yang paling penting untuk kuingat, "demi kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain." Lingkaran pertama dalam orang lain di luar diriku adalah keluargaku, kemudian membesar ke lingkungan dan masyarakat, lalu ke lingkungan bernegara. Lingkaran terkecil harus penuh terisi sambil mengisi ke lingkaran yang lebih besar di luarnya. Aku percaya Tuhan akan menunjukkan jalanNya.

Tuhan,
Terima kasih atas pengertian yang Dikau berikan pada kami hari ini,
Siramilah kami dengan rahmat dan kasih karuniaMu
agar senantiasa kuat menempuh jalan berbatu yang sedang kita tempuh bersama.
Engkau yang mengangkat salib itu, dan aku membantu dengan tenagaku yang terbatas
dengan ketegaran yang mudah tergores.
BagiMu tiada hal yang mustahil,
ingatkan aku senantiasa ya Tuhan...
karena aku sudah menjawab "Ya..."
tapi seringkali terjatuh dan enggan bangkit kembali...
Jadilah tongkat ketegaran dan kekuatanku,
Jadilah pelita penerang jalanku,
jadilah air penyegar dahagaku,
jadilah manna hidup yang memberiku kehidupan di dalam Engkau...
Amin.