Saturday, March 06, 2010

Jangan Ragu Menjawab "Ya..."

Karena hari Jumat mengikuti sesi doa Lectio Divina bersama kelompok doa, dan hari Sabtu mengikuti Pendalaman Iman Lingkungan Masa Prapaskah 2010, maka ada beberapa catatan yang saling menguatkan yang muncul dari pertemuan-pertemuan tersebut.

Bacaan hari Jumat adalah Injil Matius 21: 33-43, 45-46. Ada dua pola pandang yang muncul dari bacaan ini. Pola pandang negatif adalah melihat keserakahan. Para pekerja di ladang berubah menjadi serakah, menginginkan ladang yang mereka kerjakan menjadi milik mereka sendiri. Semua utusan pemilik tanah untuk meminta hasil dari tanahnya dipukuli, di dilempari batu, bahkan dibunuh. Ketika pemilik tanah mengirimkan anaknya, justru keinginan untuk menguasai tanah itu semakin besar. Mereka yakin dengan meniadakan ahli waris dari tanah tersebut maka tanah itu menjadi lebih mudah mereka kuasai.

Cara pandang yang berbeda saya dapatkan dari buku renungan Cafe Rohani. Yang digaris-bawahi di dalam buku renungan ini adalah kesanggupan menerima utusan Allah yang diberikan untuk membimbing, menasehati, dan menegur kita. Sama seperti para pekerja di ladang yang merasa kenyamanan mereka terganggu karena didatangi oleh utusan tuan tanah, seringkali kita juga merasa terganggu ketika nurani kita diusik oleh perkataan yang bersifat kritik atau nasehat dari orang lain. Dari cara pandang ini yang ditekankan adalah kesanggupan untuk membuka diri, untuk melihat niat baik yang ditawarkan Tuhan melalui orang-orang yang dikirimkanNya dalam kehidupan kita.

Terus terang, hari Jumat kemarin saya teringat pada seorang teman doa kami yang sudah almarhum. Perkataannya yang senantiasa terngiang di telinga adalah bahwa tidak ada hal yang kebetulan bagi Allah. Setiap perjumpaan, setiap kejadian, merupakan alat bagiNya untuk mendekatkan manusia kepadaNya. Sebenarnya kami terkenang akan kehadiran dan kata-kata almarhum teman kami itu, kesediaannya menerima penderitaan dalam penyakitnya. Kenangan indah yang diberikannya karena ia hanya membagikan bagian kehidupannya yang indah kepada kami. Penderitaan adalah tantangan, keputusan untuk suatu langkah di masa depan adalah tantangan. Apakah kita berani menjawab tantanganNya dengan menjawab "Ya, aku bersedia..."? Dan sanggupkah kita konsisten dalam menanggapi tantangan itu?

Terus terang bagi saya terkadang pertanyaan "Kemana Tuhan memanggilku?"
masih merupakan suatu pertanyaan yang belum tuntas terjawab. Saya merasa sedang dalam proses untuk mengetahuinya. Dalam pertemuan lingkungan kami, dengan bacaan Injil Lukas 4:16-21, ada dua hal utama yang muncul. Pertama, jangan ragu untuk menjawab panggilan pelayanan. Tidak ada kata belum siap, belum ada waktu, belum punya dana, untuk mengikuti panggilan pelayananNya. Katakan saja "Ya, aku bersedia..." maka jalanNya akan terbukakan bagimu.

Yang kedua, adalah catatan pribadi saya sendiri. Kita dipanggil untuk ambil bagian bagian dalam misi Yesus mewartakan kabar gembira kepada "orang-orang miskin". Kita dipanggil sebagai dan di dalam komunitas, meskipun setiap pribadi juga punya misinya sendiri.

Saya tahu benar misi ini, mengabarkan kabar suka-cita kepada "orang-orang miskin", bukan sekedar kepada orang yang miskin secara materi, tapi juga kepada mereka yang miskin secara rohani. Kata-kata yang sangat menyentuh saya kemarin adalah kata "miskin". Sudahkah saya sungguh-sungguh peduli pada mereka yang miskin? Ataukah saya malah terjerembab merasa diri "miskin" sehingga tidak mampu menolong?

Dalam kehidupan, saya senantiasa merasa "kaya" sampai kenyataan hidup yang bertubi-tubi menyadarkan betapa materi ikut berperan dalam memberikan posisi "kaya" agar senantiasa mampu menjadi mereka yang memiliki tangan di atas. Tanpa materi saya masih kaya dengan waktu. Tetapi setelah memiliki keluarga, maka waktu menjadi sesuatu yang sangat mahal nilainya. Pilihan antara menggunakan waktu untuk mencari materi atau untuk memberikan pelayanan, merupakan keadaan yang sedikit banyak sedang memenuhi benakku.

Sebenarnya beberapa waktu yang lalu, ketika saya kembali mengajar ke sekolah, saya merasa diberi nasehat oleh Tuhan untuk tidak sombong. Ketika saya berhenti mengajar dahulu, saya berpikir lebih baik memberikan pelayanan yang murni tanpa perlu menerima imbalan. Tetapi ketika kenyataan prioritas waktu untuk anak dan waktu untuk pelayanan total tidak bisa bertemu (ditambah dengan kekuatan fisik yang juga terbatas), maka saya kembali ke pelayanan dimana saya masih menerima upah walaupun dalam hitungan pertukaran waktu merupakan upah yang kecil nilainya.

Renungan singkat dalam buku "Mari Bekerja Sama Melawan Kemiskinan" mengatakan bahwa setiap orang dilahirkan ke dunia dengan suatu misi. Manusia mesti menemukan misiNya. Misi itu ternyata bukan untuk mencari kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri, tetapi demi kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain.

Rasanya perkataan inilah yang paling penting untuk kuingat, "demi kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain." Lingkaran pertama dalam orang lain di luar diriku adalah keluargaku, kemudian membesar ke lingkungan dan masyarakat, lalu ke lingkungan bernegara. Lingkaran terkecil harus penuh terisi sambil mengisi ke lingkaran yang lebih besar di luarnya. Aku percaya Tuhan akan menunjukkan jalanNya.

Tuhan,
Terima kasih atas pengertian yang Dikau berikan pada kami hari ini,
Siramilah kami dengan rahmat dan kasih karuniaMu
agar senantiasa kuat menempuh jalan berbatu yang sedang kita tempuh bersama.
Engkau yang mengangkat salib itu, dan aku membantu dengan tenagaku yang terbatas
dengan ketegaran yang mudah tergores.
BagiMu tiada hal yang mustahil,
ingatkan aku senantiasa ya Tuhan...
karena aku sudah menjawab "Ya..."
tapi seringkali terjatuh dan enggan bangkit kembali...
Jadilah tongkat ketegaran dan kekuatanku,
Jadilah pelita penerang jalanku,
jadilah air penyegar dahagaku,
jadilah manna hidup yang memberiku kehidupan di dalam Engkau...
Amin.

No comments:

Post a Comment