Friday, March 19, 2010

Mencintai Tuhan Dengan Segenap Kekuatanku

Dari bacaan hari Jumat minggu yang lalu, yaitu dari Markus 12:28b-34, saya sangat terkesan pada kalimat "Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita itu Tuhan yang esa. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatanmu. Dan perintah yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada perintah lain yang lebih utama daripada kedua perintah ini."

Hal yang menarik dari pertemuan kelompok doa saya adalah betapa manusia berbeda. Yang sangat menarik bagi saya adalah perintah pertama. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap kekuatanmu. Saya merasa begitu lemah, begitu banyak kekurangan, dan Tuhan tahu itu sehingga meminta untuk mengasihiNya dengan segenap kekuatanku. Kekuatan manusia yang terbatas, tapi menjadi tidak terbatas ketika Roh Kudus bekerja di dalam kita. Tuhan Yang Esa...Dialah sumber Roh Kudus yang menguatkan itu, kepadaNya kita memohon tambahan kekuatan.

Bagi saya mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri terasa lebih mudah. Seorang peserta doa juga mengamini hal yang sama, menurutnya mengasihi Allah yang tidak terlihat menjadi lebih sulit daripada mengasihi manusia yang bisa berinteraksi secara langsung dengan kita.

Tetapi teman yang lain lebih tertarik kepada mengasihi sesama manusia. Menurutnya lebih sulit mengasihi sesama manusia. Ia memakai perumpamaan pekerjaan sebagai ilustrasi. Mengasihi Allah diumpamakannya sebagai pekerjaan pembukuan, yang ada hanya pekerja pembukuan itu dengan angka-angka di hadapannya. Jadi mengasihi Allah hanya urusan pribadi antara manusia dan Allah. Mengasihi sesama manusia diumpamakannya sebagai pekerjaan personalia, petugas personalia harus berhubungan dengan banyak orang, banyak karakter dan temperamen. Jadi mengasihi sesama manusia memiliki aspek yang lebih kompleks karena banyak perbedaan pandangan ataupun sikap antara manusia yang satu dengan manusia lainnya.

Renungannya membuat saya kembali berpikir betapa memang mengasihi sesama manusia seperti kita mengasihi diri sendiri mungkin belum terlalu tepat. Ada orang yang mampu menerapkan disiplin hidup yang keras terhadap dirinya sendiri, mampu menempatkan tuntutan yang besar untuk dirinya. Kalau kemudian ia menerapkannya untuk orang lain yang berbeda dari dirinya, maka tentunya keributan yang akan terjadi.

Memang menurut suster, ungkapan mengasihi sesama manusia ini disempurnakan dalam Injil Yohanes 15:12 "Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya..." Jalan salib Yesus, penderitaan dan hinaan yang dilaluiNya dalam perjalanan ke Golgota merupakan kerelaan menanggung aib dan sengsara yang seharusnya menjadi milik manusia. Ia rela malakukan hal itu untuk menebus umat manusia. Bila dia mengasihi kita sedemikian rupa, mengapa pula kita masih sering menggunakan hukum "mata ganti mata"? Mengapa terkadang pengampunan begitu sukar kita berikan dengan tulus? Padahal semua kemarahan, semua kebencian itu Ia yang harus menanggungnya.

Tahun berganti abad, tetapi tetap saja manusia bebal terhadap perintah Allah. Ketika menuliskan tulisan ini tiba-tiba saya tersentuh pada kalimat "hai orang Isreal". Sampai hari ini Israel masih terus berperang untuk penguasaan atas tanah. Padahal jelas-jelas ucapan tersebut sangat ditekankan bahwa Allah itu Esa, kasihilah Ia dan kasihilah sesamamu manusia. Perang berarti memutuskan hak hidup orang lain, menghilangkan hak hidup normal bagi banyak orang, menanamkan kebencian dalam sanubari muda yang baru tumbuh...Ketika perang, siapakah sesamamu manusia? Saya jadi teringat pada pertikaian di pulau Kalimantan antara orang Dayak dan Madura. Saya pernah membaca betapa di tengah-tengah pertikaian itu terjadi kepiluan karena di antara mereka sebenarnya sudah ada terjadi perkawinan antar suku. Ketika pertikaian terjadi, siapa yang dibela; suku atau istri/suami/anak? Perang menihilkan arti manusia sebagai sesama kita, dan perang juga menihilkan arti kebaikan Tuhan yang dilimpahkanNya melalui penebusan dosa manusia.

Tuhan,
saya berterima kasih karena pencerahanMu,
betapa manusia begitu beragam,
baik bentuk, pikiran, dan tata cara kehidupannya.
Kami begitu lemah,
seringkali terjatuh dalam kemarahan dan kebencian,
seringkali menuntut hak dan melupakan kewajiban kami,
tolong kami dengan Roh KudusMu ya Bapa,
agar kami mampu mencintaiMu dengan segenap hati,
segenap jiwa dan pikiran, serta segenap kekuatan kami,
karena dengan mencintaiMu kami mencintai sesama kami,
dengan mencintai sesama kami,
cinta kami kepadaMu menjadi nyata...
Amin.

No comments:

Post a Comment