Monday, April 18, 2011

Di antara lambaian palma

Sebelum memulai Meditasi Kristiani bacaan yang kami baca adalah Matius 21:1-11, Yesus dielu-elukan di Yerusalem. Kali ini waktu yang diberikan untuk sharing sebelum meditasi cukup lama, tetapi seperti peserta meditasi lama yang berasal dari kelompok Lectio Divina, saya kesulitan untuk segera masuk ke dalam sharing tanpa melalui proses meditasi kitab suci. Dalam saat hening setelah membaca kitab suci itulah bersitan-bersitan pikiran muncul dan membimbing kami untuk melihat kembali ke pojok-pojok kotor di hati kami. Masalah yang mungkin ada timbul ke permukaan dan berelasi dengan FirmanNya. Karena itulah kami bisa merasakan betapa hidup Kitab Suci ini, betapa isinya tetap sesuai untuk masa kini, bahkan untuk permasalahan yang sedang kami hadapi. Jadi meniadakan meditasi Kitab Suci dan menggantikannya dengan meditasi hening yang berbasis mantra Maranatha membuat kami merasa tercabut dari Kitab Suci yang "hidup" itu.

Saat ini saya sendiri dalam proses perjalanan memahami meditasi. Yang menjadi panduan utama saya hanya satu; Tuhan adalah pusat dari Doa saya. Memahami meditasi dengan bermacam-macam metoda yang ada tampaknya akan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Yang saat ini ingin saya lakukan hanya menuliskan proses yang berlangsung dalam perjalanan pencarian itu.

Saat hening dalam Meditasi Kristiani timbul sebersit pikiran mengenai ironi antara orang banyak yang ikut melambai-lambaikan daun palma dan orang yang bertanya, "Siapakah orang ini?" Keharusan untuk kembali ke pada mantra Maranatha membuat saya tidak bisa mengunyah pikiran ini. Tetapi setelah sesi meditasi berakhir tetap saja pikiran ini kembali lagi. Ketika melambaikan daun palma sambil menantikan air suci untuk memberkati daun palma yang tahun depan akan menjadi abu tanda pertobatan pada hari Rabu Abu, saya sekali lagi teringat akan pikiran itu. Juga kenyataan bahwa bisa jadi saya berada di antara orang-orang yang melambai-lambaikan daun palma mengelu-elukan Yesus, tetapi sesungguhnya saya hanyalah satu dari umat yang tidak berani jujur bertanya, "Siapakah orang ini?" Sungguh sudah kenalkah saya kepadaNya? Walau sejak bayi sudah menerima pembaptisan, sungguh tahukah saya apa yang saya ikuti dan elu-elukan?

Ketika Yesus memasuki pintu gerbang Yerusalem, orang banyak mengikuti dan mengelu-elukan Dia. Kota menjadi heboh karena kehadiran seorang sederhana yang menaiki keledai betina (yang diiringi oleh anak keledainya). Yesus tidak hadir sebagai Panglima atau Raja yang gagah perkasa dengan kuda yang tampak kuat dan kokoh, Ia tidak hadir dengan segala kemewahan. Ia hadir dalam langkah pelan sang keledai, di bawah lambaian daun palma orang-orang yang menyambut kehadiranNya.

Sebelum kehadiranNya melalui Tri hari Suci, umat Katolik menyiapkan tempat yang layak bagiNya dengan puasa secara Katolik dan membersihkan batin melalui Sakramen Tobat. Ketika menantikan giliran untuk masuk ke dalam kamar pengakuan, saya merasa kehilangan panduan refleksi batin yang seingat saya dulu ada di dalam buku Puji Syukur (mungkin waktu itu masih bernama Madah Bakti). Ketika menanti ini, kutipan Injil di atas juga teringat. Apakah saya menjadi seperti orang yang melambaikan daun palma tanpa benar-benar mempersiapkan hadirNya? Lambaian daun palma itu sekedar ikut meramaikan, sekedar memamerkan kepada publik bahwa saya menyambutNya? Saat itu terlontar satu hal; perlunya berhati-hati terhadap kesombongan rohani. Kesombongan rohani merupakan jebakan yang mengerikan dalam pelayanan. Sisi manusiawi kita menginginkan pujian, tetapi pujian yang tidak dikelola dengan rendah hati bisa mengubah kita menjadi sombong. Betapa menakutkannya bila pujian dan kebanggaan yang sudah kita terima menjadi upah final yang kita terima. Markus 10:31 mengingatkan, "Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu." Menerima baptisan sejak bayi tidak menjadi jaminan bahwa masa pertemuan yang panjang itu akan berbuah kalau tidak dipupuk, sementara kesombongan pribadi boleh jadi hanya akan menampakkan penampilan yang kokoh dan kekar tanpa menghasilkan satu buahpun.

Tuhan yang Maha Baik dan Maha Rahim,
Terima kasih atas bimbinganMu,
sehingga kami diberi kesempatan untuk terus memperbaiki diri,
senantiasa Dikau didik untuk menjadi anakMu yang lebih pantas,
dan Kau pupuk agar berbuah bagi kemuliaanMu.
Amin.

No comments:

Post a Comment