Saya merasa beruntung karena Tuhan menuntun dengan buku-buku yang mencoba menjawab seribu satu tanya dan kebimbangan di benakku. Ketika menghadiri acara Rekoleksi Meditasi Kristiani bersama Sr. Pia Sawir OSU saya melihat sebuah buku milik teman yang berjudul “The Prayer of the Priest” (William F. Eckert, dkk.). Ternyata buku ini memberikan banyak penguatan yang menjembatani kebimbangan saya antara Meditasi Kitab Suci dan Meditasi Kristiani.
Renungan Pastor William Eckert yang menyentil saya mengatakan, “Terlalu mudah kita beranggapan bahwa pekerjaan kita adalah doa kita, sehingga keheningan dianggap sebagai kemewahan yang tidak dapat kita peroleh dalam hidup kita.” Ya, seringkali pekerjaan harian bagi saya adalah sebuah doa, tetapi saya melupakan bahwa saya membutuhkan waktu tenang untuk mengisi batere tenaga yang akan saya gunakan untuk pelayanan itu.
Satu hal yang memberatkan bagi saya dalam perjalanan dari meditasi Kitab Suci memasuki meditasi Kristiani adalah kebingungan karena bedanya jeruji doa yang dijalani. Semua orang mengatakan bahwa keduanya berbeda, dan kita perlu memilih yang paling cocok. Terkadang saya merasa seperti seorang yang sudah menggenggam mutiara(lectio divina)dan mau melepaskannya karena memimpikan mutiara yang lebih indah(MK). Kesaksian para pastor yang terdapat di buku ini membantuku melihat dengan lebih jernih. Bagaimanapun pengalamanku dengan meditasi masih sangat dangkal,sehingga kebingungan itu sungguh mengganggu.
Selain beberapa sharing pastor dari Australia yang sedikit menyinggung meditasi diskursif ataupun meditasi Ignatian, sharing dari Pastor Brian V. Johnstone (Roma, Italia) sangat membantu saya mengenali perbedaan antara metode diskursif dengan meditasi hening MK. Beruntung sebagai awam saya tidak banyak mendapat hambatan untuk membayangkan adegan Kitab Suci, ataupun membayangkan mengambil peran di dalam kisah itu. Sebagai orang yang tidak mempelajari sejarah penulisan Kitab Suci, buat saya bagaimana para penulisnya menuliskannya bukan masalah. Yang penting suasana itu nyata dan bisa terjadi pada diriku sendiri. Ketika Petrus berjalan di atas danau menuju Yesus dan tiba-tiba keragu-raguan menerpanya, bukankah saya juga seringkali begitu? Awalnya percaya bahwa jalan pilihanku adalah kehendak Tuhan, tetapi ketika di tengah jalan situasi tidak seindah yang kudambakan, maka keraguan apakah saya sudah membuat keputusan yang benar mulai datang. Berarti keraguan akan hadirNya juga mulai timbul. Sangat nyata bagiku....
Renungan Pastor Brian sangat bermanfaat terutama ketika ia menerangkan bahwa ketika meditasi MK kita tidak merenungkan isi Kitab Suci. Dengan buah dari ketenangan batin yang kita peroleh dari meditasi hening ini, kita akan lebih terbimbing untuk peka akan makna sebuah kutipan di saat yang lain (bukan pada saat meditasi). Hal inilah yang merupakan kehilangan saya. Berbeda dengan Pastor Brian, saya sangat menikmati metode diskursif itu. Melalui meditasi Kitab Suci saya menemukanNya. Meditasi Kitab Suci memampukanku mendengarkan suaraNya yang membimbingku dalam pergumulan kehidupan harian. Yang paling berkesan adalah ucapan Pastor Brian berikut ini, "Bermeditasi itu sendiri merupakan tanggapan atas kehadiran rahmat Allah. Tetapi cara kita menanggapi rahmat itu berbeda-beda,...Allah dapat memilih untuk hadir dalam kesadaran kita melalui teks, imajinasi, pengertian intelektual atau dengan tidak memakai konsep sama sekali." Itulah jeruji doa berbeda yang setiap orang berhak mencari melalui jeruji mana ia ingin bertemu dengan Tuhan.
Pastor Bernie Owens (Michigan, USA) bahkan secara jelas menerangkan mengenai meditasi yang diajarkan oleh St. Ignatius Loyola yang tampaknya merupakan gaya meditasi yang kami gunakan dalam meditasi Kitab Suci kami. Pastor Bernie menggambarkan bagaimana Meditasi ini semakin lama akan semakin mengurangi kata-kata dalam doa, melainkan menjadikan doa kita semakin sederhana, dan kita terpusat untuk menjadi semakin hening. Sebenarnya peran seorang pembimbing meditasi sangat kami butuhkan untuk mampu bertekun dan memetik buah-buah meditasi kami. Kehadiran seorang pembimbing bukan untuk mengkultuskan seorang individu, melainkan kehadiran seorang pembimbing yang mampu hadir tanpa menonjolkan dirinya sendiri merupakan rahmatNya yang terbesar.
Kami sedang belajar mencari jeruji doa yang paling sesuai dengan diri kami masing-masing. Bukan untuk menonjolkan diri, ataupun menonjolkan kemampuan berdoa melainkan untuk dimampukan semakin dekat denganNya.
Bapa yang maha baik,
Terima kasih atas berkatMu,
yang memampukan kami mencariMu,
menemukan hadirMu di hati kami.
Bukakanlah hati kami untuk terus menerima berkatMu,
memampukan kami memandang wajahMu,
dan berjalan dengan menggenggam tanganMu.
Amin.
No comments:
Post a Comment