Tuesday, November 04, 2008

“Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku ia tidak dapat menjadi muridKu.”

(Flp 2:12-18; Luk 14:25-33)

“Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya,jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:25-33), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan ‘Pesta Semua Anggota SJ Yang Mulia Bersama Kristus’ hari ini, saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Hidup terpanggil, entah hidup berkeluarga atau membujang/tidak nikah, antara lain menjadi imam, bruder atau suster, merupakan bentuk tanggapan prositif atas panggilan Tuhan, dan bagi orang Kristen/Katolik, yang beriman pada Yesus berarti ‘mengikuti Yesus dalam perjalananNya” dan secara konkret berani memikul salib serta ‘membenci orangtua, isteri/suami, anak-anak, saudara-saudari dan diri sendiri’ alias meneladan cara hidup dan cara bertindak Yesus serta menghayati sabda-sabda atau ajaran-ajaranNya di dalam hidup sehar-hari. Sebagai yang terpanggil kita diharapkan memiliki cara melihat, cara merasakan, cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak terhadap segala sesuatu sesuai dengan cara Yesus, bukan cara sendiri alias menurut selera pribadi (Jawa: sak penake wudhele dewe). “Memikul salib” antara lain berarti setia pada panggilan dan tugas perutusan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada kita. “Setia adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka-Jakarta 1997, hal 24). Maka marilah kita mawas diri atas perjanjian-perjanjian yang telah kita buat atau kita ikhrarkan: janji baptis, janji perkawinan, janji imamat, kaul, janji kepegawaian, janji pelajar, sumpah jabatan, dst.. Marilah kita kerahkan atau persembahkan seutuhnya diri kita maupun segala milik kita untuk menghayati atau melaksanakan janji-janji yang pernah kita buat atau ikhrarkan. Memang setia pada janji tidak akan pernah terlepas dari aneka macam bentuk perjuangan dan penderitaan sebagai konsewensi kesetiaan kita, sebagaimana telah dihayati oleh Yesus, Penyelamat Dunia, yang rela menderita dan wafat di kayu salib demi keselamatan dunia seisinya.

· “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan” (Flp 2:14-16a), demikian nasihat Paulus kepada umat di Filipi, kepada kita semua orang beriman, yang terpanggil. “Jangan bersungut-sungut dan berbantah-bantah” alias jangan mengeluh, menggerutu dalam menghayati atau melaksanakan panggilan dan tugas perutusan. Mengeluh dan menggerutu berarti berpikir negatif terhadap segala sesuatu, maka yang bersangkutan pasti tidak akan mampu menghayati dan melaksanakan panggilan dan tugas perutusan sebagaimana mestinya. Sebaliknya marilah kita senantiasa berpikir positif terhadap segala sesuatu, senantiasa melihat dan mengakui apa yang baik, mulia, indah dan luhur dalam segala sesuatu alias mengimani Penyelenggaraan Ilahi, karya Tuhan dalam segala sesuatu. Segala sesuatu ada dalam hadirat Tuhan atau Tuhan hidup dan berkarya di dalam segala sesuatu, itulah kebenaran iman yang harus kita hayati. Siapapun tidak menghayati kebenaran iman ini berarti ‘bengkok hatinya dan tersesat’, sebaliknya yang mengimani dan menghayati akan ‘bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia”. Sebagai orang beriman, kehadiran dan sepak terjang kita dimanapun dan kapanpun diharapkan menjadi ‘bintang yang bercahaya’, sehingga membantu siapapun dalam mengusahakan kebenaran-kebenaran dan menghayatinya.

“Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup! Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (Mzm 27:13-14)


Jakarta, 5 November 2008

Note: renungan sebelumnya, buka: www.ekaristi.org. Sebarkan ke teman lain

Kontributor: Ign.Sumarya SJ

No comments:

Post a Comment