(bdk. Rm. 12:18)
Sebelum dan sesudah Perayaan Natal, 25 Desember, ada hari-hari pesta yang erat hubungannya dengan Pesta Natal, antara lain: Hari Kesetiakawanan Nasional/20 Desember, hari Ibu/22 Desember, dan Hari Perdamaian Sedunia/1 Januari. Pesta Natal sendiri antara lain ditandai dengan warta gembira yang disampaikan oleh para malaikat : “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” (Luk 2:14) Maka baiklah saya mengajak anda sekalian merenungkan tema pesan Natal Bersama KWI-PGI di atas dalam rangka merayakan Natal, Kenangan Kelahiran Penyelamat Dunia, ‘Damai Sejahtera’ lahir di tengah-tengah kita.
Situasi yang memprihatinkankan?
“Perubahan nilai-nilai sosial yang sedang terjadi di tengah masyarakat Indonesia membuat tingkat perceraian semakin tinggi. Bahkan akibat kemampuan ekonomi yang terus meningkat di kalangan kaum Hawa, ikut mempengaruhi tingginya gugatan cerai yang diajukan istri terhadap suami. Saat ini begitu mudah pasangan suami-istri yang melakukan cerai dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di rumah tangga. Jumlah perceraian di Indonesia telah mencapai angka yang sangat fantastis. Tercatat pada tahun 2007, sedikitnya 200 ribu pasangan melakukan pisah ranjang alias cerai. Meski angka perceraian di negara ini tidak setinggi di Amerika Serikat dan Inggris (mencapai 66,6% dan 50% dari jumlah total perkawinan), namun angka perceraian di Indonesia ini sudah menjadi rekor tertinggi di kawasan Asia Pasifik.”(http://arifjulianto.wordpress.com/2008/ 5 Juni 2008).
Keluarga adalah dasar hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka memperhatikan jumlah perceraian di atas dan ketegangan atau percekcokan yang terjadi di dalam keluarga, yang kiranya lebih besar jumlahnya dari perceraian, kita dapat mengerti bahwa berbagai macam bentuk ketegangan, permusuhan, tawuran masih marak dalam kehidupan bersama di Indonesia, dan yang cukup memprihatinkan terjadi di kalangan generasi muda, pelajar atau anak-anak. ”KERA KENTOT” = Kenakalan anak karena kenakalan orangtua, demikian jawaban para mahasiswa ketika memperoleh tuduhan bahwa generasi muda kurang ajar. Aneka perbedaan: SARA, jabatan, fungsi, selera, cita-cita, perasaan, dst.. dapat menjadi sumber permusuhan atau tawuran. Kakak-adik dalam satu darah saling membenci, sama-sama katolik dalam suatu territorial tertentu (wilayah/paroki) dapat saling mendiamkan alias ‘jotakan’ (Jawa), bahkan ada pastor, bruder atau suster dalam satu tarekat tak dapat hidup bersama atau berdamai, dst…
“Damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.”
Warta Gembira atau Damai Sejahtera pertama-tama disampaikan kepada atau diterima oleh para gembala, yang dalam tatanan sosial kemasyarakatan masa itu termasuk kelompok yang tersingkir atau tergusur. Mereka adalah orang miskin, pengembara di padang rumput sambil menggembalakan domba-domba, pada malam hari tidur dalam kegelapan beratapkan langit dan bintang-bintang di langit sebagai penerangannya. Gaya hidupnya bertolak belakang dengan orang-orang Betlekem yang telah ‘mapan’ serta tidak bersedia memberi tempat bagi kelahiran Warta Gembira, Penyelamat Dunia. Para gembala adalah simbol kelompok orang yang terbuka atas segala macam kemungkinan serta Penyelenggaraan Ilahi; tiada harapan pada sesamanya yang telah ‘mapan’ maka hanya pada Tuhan, Yang Ilahi saja harapanNya; dengan kata lain para gembala adalah ‘manusia yang berkenan kepadaNya’.
“Yang berkenan kepadaNya” adalah siapapun yang membuka hati, jiwa, akal budi dan tubuh/tenaganya pada Penyelenggaraan Ilahi atau kehendak Tuhan, "Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya." (Luk 8:21).dan untuk mendengarkan dengan baik orang harus terbuka. “Terbuka adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keleluasaan dalam menerima apa saja dari luar, membuka diri terhadap umpan balik, dan mampu memuat informasi apa saja dengan obyektif” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 28). Sedangkan terbuka hemat saya perlu didasari dan diteguhkan dengan keutamaan rendah hati. “Rendah hati adalah sikap yang tidak suka menonjolkan dan menomorsatukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya” (Ibid. hal 24). Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi antara lain berkata: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Fil 2:5-8)
Dalam kehidupan bersama, entah di dalam keluarga atau tempat kerja/kantor, yang paling berkenan bagi semuanya antara lain ‘hamba/pembantu rumah tangga’ yang baik, yang antara lain ditandai ciri-ciri sederhana, ceria/gembira, cekatan, siap-sedia dan terbuka terhadap aneka kemungkinan, tanggap/peka terhadap kebutuhan yang lain, menyerahkan diri seutuhnya pada tugas pekerjaan atau pengutusan, dst... Maka apa yang ciri-ciri hamba/pembantu rumah tangga yang baik ini selayaknya kita hayati dalam rangka merayakan Natal, menyambut kelahiran Penyelamat Dunia.
“Hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” (Rm 12:8)
Marilah ajakan para Gembala kita “ hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” ini kita hayati dan sebarluaskan dengan inspirasi 3 (tiga) hari pesta yang berdekatan dengan pesta Natal: Hari Kesetiakawanan Nasional, Hari Ibu dan Hari Perdamaian Sedunia.
1) Kesetiakawanan
Setia dalam bahasa Latin fidelis memiliki beberapa arti yaitu: yang menepati janjinya, taat, patuh, benar, jujur, dapat dipercaya, sejati, lurus hati, maka setiakawan berarti dalam berhubungan dengan orang lain dijiwai oleh keutamaan-keutamaan yang menjadi arti dari fidelis . Hemat saya kesetiakawanan ini pertama-tama dan terutama harus menjadi nyata atau dihayati dalam komunitas dasar yaitu dalam keluarga, relasi antar anggota keluarga. Pengalaman hidup bersama di dalam keluarga akan sangat mempengaruhi cara hidup dan cara bertindak kita dalam menghayati atau melaksanakan tugas pengutusan atau hidup bersama yang lebih luas daripada keluarga. Pengalaman relasi antara orangtua-anak akan mempengaruhi relasi antara atasan-bawahan, relasi kakak-adik mengengaruhi relasi senior-yunior, relasi anggota keluarga-pembantu rumah tangga mempengaruhi relasi kita dengan mereka yang miskin dan berkekurangan, dst.
Hemat saya kesetiakawanan terjadi dalam relasi antara yang kaya dengan yang miskin, yang pandai dengan yang bodoh, yang berkelebihan dengan yang berkekurangan, yang besar dengan yang kecil, dst.. dan tentu saja harus dimulai dari yang pertama yaitu yang kaya, pandai, berkelebihan dan besar.”Sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka. Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun berbuat demikian. Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka” (Luk 6:31-35) .
Kesetiakawanan sejati sama dengan menghayati perintah Tuhan “Kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka”. Maka marilah mempersiapkan diri untuk merayakan pesta Natal ini kita ingat dan kenangkan ‘musuh-musuh’ kita, mereka yang kurang berkenan di hati kita, yang telah dan sedang menyakiti atau mempersulit hidup kita, dst.. Marilah kita berdamai dengan mereka atau kita doakan mereka. Doa dari St.Fransiskus Assisi ini kiranya sangat baik kita hayati untuk menghayati kesetiakawanan sejati :”Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai. Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cintakasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang” (PS no 221).
2) Ibu
“Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi,tak harap kembali
Bagaikan surya menyinari dunia”,
demikian kutipan dari sebuah syair lagu yang begitu indah. Kasih ibu telah kita terima dan nikmati sejak kita masih berada dalam rahim/kandungan ibu, dan kiranya ibu yang baik senantiasa mengasihi anak-anaknya dalam keadaan atau situasi apapun sampai mati, meskipun harus menghadapi aneka tantangan dan hambatan sebagaimana telah dihayati oleh Bunda Maria, Bunda Yesus, Penyelamat Dunia.
Kasih ibu terhadap anak-anaknya memang bagaikan surya menyinari dunia. St Ignatius Loyola mengatakan bahwa keutamaan ‘kemiskinan’ selain sebagai ‘benteng’ juga ‘ibu’ yang kuat hidup religius/beriman (lihat Konst.SJ no 553), maka jika benteng mulai keropos atau lupa akan kasih ibu pada umumnya hidup religius atau iman orang yang bersangkutan keropos atau lemah alias kurang bersinar.. Menghayati keutamaan kemiskinan berarti menggantungkan atau mengandalkan diri pada belas kasihan orang lain, dan hal ini rasanya telah menjadi pengalaman kita masing-masing ketika kita masih berada didalam rahim, bayi/kanak-kanak yang sepenuhnya tergantung dari ibu, yang penuh belas kasih atau kerahiman, sehingga kita tumbuh berkembang sebagaimana adanya saat ini.
Kesetiakawanan hendaknya menjadi nyata atau terwujud dalam penghayatan ‘belas kasih dan kerahiman’ pada orang lain yang membutuhkannya. Kita dapat meneladan para gembala, yang miskin dan sederhana namun lebih kuat daripada kanak-kanak Yesus, yang “pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.” Mereka mempersembahkan sesuatu kepada Kanak-Kanak Yesus dari kelelamahan dan kekurangannya, makanan dan minuman apa adanya, yang sebenarnya menjadi kebutuhan mereka sendiri. Hal yang sama rasanya terjadi dalam kasih ibu kepada anak-anaknya. Marilah kita wujudkan ‘belas kasih dan kerahiman’ kita kepada mereka yang kurang beruntung daripada kita, yang miskin dan berkekurangan, berani dan rela memberi dari kekurangan bukan kelebihan. Memberi dari kelebihan berarti membuang sampah alias menjadikan orang lain tempat sampah alias menginjak-injak harkat martabat manusia, berlawanan dengan atau musuh dari kesetiakawanan.
3) Perdamaian Sedunia.
“There is no peace without justice, there is no justice without forgiveness” = “Tiada perdamaian tanpa keadilan, tiada keadilah tanpa kasih pengampunan” , demikian pesan Perdamaian Sedunia th 2000 dari Paus Yohanes Paulus II dalam rangka memasuki dan mengarungi millenium ketiga. Kasih pengampunan itulah yang harus kita hayati dan sebarluaskan dalam rangka mewujudkan perdamaian sedunia. Kita dipanggil untuk meneladan cara bertindak Yesus, Penyelamat Dunia, yang di puncak deritaNya di kayu salib mengampuni mereka yang menyalibkanNya :”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat “ (Luk 23:34), demikian doanya bagi mereka yang menyalibkanNya, seusai dengan apa yang pernah Ia ajarkan :”Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;” (Luk 6:27)
Yang sering menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kita adalah aneka macam bentuk perbedaan: beda pendapat/pikiran, beda selera, beda SARA, beda jabatan atau fungsi, dst..Ingat dan sadari bahwa laki-laki dan perempuan saling berbeda satu sama lain namun saling tergerak untuk saling mendekat, bersahabat dan mengasihi, dalam dunia fisika unsur plus (+) bertemu dengan minus (-) menjadi sinar terang yang membahagiakan. Dengan kata lain apa yang berbeda menjadi daya tarik untuk saling mengenal, mendekat dan mengasihi serta besahabat atau bersatu. Maka untuk mewujudkan perdamaian hendaknya menjadikan aneka macam perbedaan menjadi daya tarik dan daya pikat untuk saling mendekat dan berdamai atau bersahabat.
Marilah kita wujudkan ‘damai sejahtera di bumi’ atau perdamaian sedunia dengan mengasihi musuh-musuh kita serta berbuat baik kepada mereka yang membenci kita. Yang disebut ‘musuh atau yang membenci kita’ di dunia ini adalah manusia, makanan/minuman, pekerjaan, suasana, dst.. yang tidak sesuai dengan selera kita atau kurang berkenan di hati kita. Marilah kita ingat dan panggil mereka untuk kita kasihi dan berbuat baik kepadanya, dan sekiranya secara phisik dan sosial tidak mungkin marilah kita kasihi dengan mendoakan mereka, sebagaimana telah dihayati oleh Yesus yang berdoa bagi mereka yang telah menyalibkanNya.
SELAMAT NATAL 2008 dan TAHUN BARU 2009
Jakarta, 20 Desember 2008, Hari Kesetiakawanan Nasional
Kontributor: Ign.Sumarya SJ (email: rmmarya@gmail.com atau rm_maryo@yahoo.com)
Catatan dari Romo Maryo: tulisan ini saya sampaikan kepada para guru SMA Kanisius, 20 Desember 2008
No comments:
Post a Comment