(Ibr 6:10-20; Mrk 2:23-28)
“Pada suatu kali, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum, dan sementara berjalan murid-murid-Nya memetik bulir gandum. Maka kata orang-orang Farisi kepada-Nya: "Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?" Jawab-Nya kepada mereka: "Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu -- yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam -- dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutnya?" Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.” (Mrk 2:23-28), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
Entah sudah ada berapa UU, PP, Juklak, Peraturan dst..yang diundangkan atau diberlakukan, kiranya hanya segelintir orang yang mengetahui atau menguasainya. Aneka tatanan atau aturan dibuat dan diundangkan untuk manusia dan pada umumnya dijiwai oleh cintakasih atau paling tidak kompromi. Hemat saya semakin banyak aturan dan tatanan dibuat dan diberlakukan rasanya menunjukkan bahwa manusia-manusia atau pribadi-peribadi yang tersangkut atau terkait dengan aturan dan tatanan tersebut belum dewasa kepribadiannya atau jauh dari penghayatan cinta kasih satu sama lain.
Cinta kasih mendasari, menjiwai dan mengatasi aneka macam tatanan dan aturan, itulah kebenaran, maka ketika kita bertindak berdasarkan cintakasih dan untuk itu terpaksa melanggar aturan atau tatanan, hemat saya baik dan benar adanya. Aturan dan tatanan sedikit banyak mempersempit ruang gerak dari yang kena aturan atau tatanan tersebut, sebagaimana menjadi nyata dan jelas terjadi dalam diri mereka yang berada di penjara atau bui karena terbukti berbuat salah alias melanggar cinta kasih. Mengasihi memang tidak kenal batas alias bebas/dibatasi kebebasan, sedangkan kebebasan dibatasi cinta kasih.
Menghayati cinta kasih antara lain dengan menjunjung tinggi, menghormati harkat martabat manusia, tidak menginjak-injak harkat martabat manusia. Sebagai contoh bahwa cinta kasih itu bebas, hemat saya dapat terjadi dalam diri suami-isteri yang saling mengasihi: mereka bertelanjang bulat berdua tidak salah dan tidak berdosa, saling memperlakukan yang lain seenaknya asal tidak melecehkan harkat martabat manusia tidak apa-apa, dst.. Sebaliknya seseorang telanjang bulat di jalanan jelas melanggar aturan dan tatanan serta melecehkan harkat martabat orang lain, yaitu orang lain akan tergerak untuk berpikiran rendah, tidak luhur.
Selama kita hidup dalam dan oleh cintakasih kita bebas merdeka, dan tidak ada ketakutan atau kekhawatiran apapun, meskiipun karena itu menjadi bahan gunjingan atau omongan sementara orang.
“Allah bukan tidak adil, sehingga Ia lupa akan pekerjaanmu dan kasihmu yang kamu tunjukkan terhadap nama-Nya oleh pelayanan kamu kepada orang-orang kudus, yang masih kamu lakukan sampai sekarang” (Ibr 6:10). Pengalaman ini telah terjadi dalam diri Abraham yang percaya kepada kasih Allah, yang “menanti dengan sabar dan dengan demikian ia memperoleh apa yang dijanjikan kepadanya” (Ibr 6:15).
Marilah kita saling melayani satu sama lain dengan penuh kesabaran, berbuat baik satu sama lain dimanapun dan kapanpun. “Sabar adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat” (Prof Dr.Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka- Jakarta 1997, hal 24).
Janji-janji yang telah dibuat antara lain terwujud dalam berbagai aturan atau tatanan yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing, maka marilah dengan sabar dan rendah hati kita hayati aturan dan tatanan tersebut. Percaya dan imanilah jika kita setia pada aturan atau tatanan yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita, maka kita pasti akan memperoleh apa yang pernah dijanjikan kepada kita atau kita dambakan/harapkan.
Maka marilah meneladan Bapa Abraham, teladan umat beriman dengan menghayati iman kita di dalam hidup sehari-hari, yang dilengkapi dengan keutamaan harapan dan cintakasih, dan cinta kasih harus menjadi nyata antara lain dalam keutamaan-keutamaan “sabar, murah hati; ia tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran, menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor 13:4-7)
“Haleluya! Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hati, dalam lingkungan orang-orang benar dan dalam jemaah. Besar perbuatan-perbuatan TUHAN, layak diselidiki oleh semua orang yang menyukainya. Perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib dijadikan-Nya peringatan; TUHAN itu pengasih dan penyayang. Diberikan-Nya rezeki kepada orang-orang yang takut akan Dia. Ia ingat untuk selama-lamanya akan perjanjian-Nya.” (Mzm 111:1-2.4-5)
Jakarta, 20 Januari 2009
Kontributor: Romo Sumaryo
Di era modern ini juga ada sekelompok orang yang mewarisi sifat orang Parisi yang melulu mementingkan aturan tanpa menghayati teladan Yesus. Efeknya melukai sesamanya, bahkan seakan menjadikan diri sendiri sebagai nabi atau malaikat. Kehadiran Yesus sebenarnya mengingatkan kerendahan hati, Yesus juga mengalami takut, marah dan menangis... sesuai kondisinya sebagai manusia... >>Makasih 'Mo Maryon. Kelihatannya kenal :p
ReplyDeleteups salah orang... :p
ReplyDelete