Monday, April 19, 2010

Pekerjaan yang dikehendaki Allah

Sebuah bacaan menarik dari Injil Yohanes 6:22-31 mengajak saya untuk merenungkan mengapa saya mencari Allah. Apakah saya mencariNya karena roti yang diberikanNya untuk kenyamanan hidup kedagingan saya, atau karena Roti Hidup (Yoh 6:30-35) yang dijanjikanNya?

Yang paling menyentuhku adalah perkataan Yesus,"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku bukan karena melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang. Bekerjalah bukan untuk makanan yang dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meteraiNya."

Sebenarnya sepanjang kehidupan ini, saya merasa bekerja untuk Roti yang Hidup itu. Karena terfokus pada pencapaian rohani, terkadang tidak teringat pada kebutuhan fisik yang juga nyata. Ketika masih sendiri (maupun berdua suami) tidak terasa betapa besar kebutuhan materi itu, tetapi ketika anak-anak hadir dalam kehidupan kami maka keberadaan materi menjadi lebih penting.

Rasanya keseimbangan hidup itulah yang perlu dicari. Suamiku terlalu fokus pada hal materi, sementara saya terlalu fokus pada hal rohani. Keduanya tidak menghasilkan buah yang baik. Keseimbangan dalam hidup dan kepasrahan untuk meletakkannya dalam bingkai kehendak Tuhan merupakan jalan yang diperlihatkanNya kepadaku.

Pertanyaan yang paling sering kumiliki adalah "Pekerjaan apa yang dikehendaki Allah untuk aku lakukan?" Maka jawabNya kepadaku,"Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang diutus Allah."

Sepanjang masa Prapaskah kemarin saya diingatkan untuk mengerjakan perintah hatiku, sekecil apapun kontribusinya terhadap keluarga dan masyarakat. Tuhan yang akan melengkapi pekerjaanku. Seperti salju kecil yang bergulir di padang saljuNya, maka Ia akan menambahkan volume bola salju itu menjadi besar dan tidak terkira pengaruhnya.

Kepercayaan dan iman adalah hal yang senantiasa ditekankan oleh Yesus dalam pemberian mukjizat-mukjizatNya. "Pergilah, imanmu sudah menyelamatkanmu," itulah perkataanNya yang paling sering terucap. Bahkan kalau hanya punya iman sebesar biji sesawi, dijanjikanNya bahwa kita bisa melakukan hal yang tampak mustahil di mata manusia.

Antara mengucapkan "Aku percaya" dari mulut dengan mengucapkan "Aku percaya" dari hati tidak sama. Terkadang mulut mengucapkannya dan menyatakan kepasrahan kepada Tuhan, tetapi hati dan pikiran terus berkutat dengan segala kemungkinan untuk keluar dari masalah yang dihadapi, tanpa memberikan waktu kepadaNya untuk bekerja. Waktu yang perlu kita pakai adalah waktu Tuhan, dan Ia menjanjikan bahwa semua akan indah pada waktuNya.

Tuhan,
anugerahi kami dengan iman yang cukup
agar kami mampu percaya dan pasrah seutuhnya
kepada kerahimanMu.
Berkati kami dengan Roh KudusMu,
agar senantiasa kuat menjalani pergumulan hidup ini.
Amin.

Friday, April 16, 2010

Menjadi Bagian dari KaryaNya

Bacaan hari Jumat ini (Yohanes 6:1-15) membuat saya menggaris bawahi beberapa hal. Pertama, betapa pentingnya melihat hal positif dari sebuah masalah. Kedua, betapa Tuhan membutuhkan kerelaan kita untuk berbagi agar kuasaNya bisa berkarya di dalam diri manusia. Yang ketiga adalah sebuah pertanyaan pribadi, "Mampukah saya mendatangi Yesus tanpa tarikan mukjizatNya? Mampukah saya bertahan bersamaNya dalam jalan salibNya?" Orang-orang itu datang berbondong-bondong ke tempat Yesus karena melihat mukjizat-mukjizat besar yang dilakukanNya. Apakah mereka masih tetap ada dan menginginkan Yesus menjadi raja ketika Ia didera dalam cambukan, ditelanjangi dan dihina dalam proses perjalanannya ke Puncak Golgota? Apakah mereka masih mau memandangNya yang tergantung di kayu salib? Bagaimana dengan diriku, di posisi manakah aku barada?

Yesus menyaksikan orang banyak mengikutinya, dan mengetahui kebutuhan manusiawi mereka akan pangan. Ketika Ia bertanya kepada murid-muridNya, maka ada tiga tipe reaksi. Reaksi pertama dari Filipus yang melihat dari kacamata negatif, "Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini..." Reaksi kedua adalah reaksi Andreas yang menunjukkan keberadaan seorang anak dengan lima roti dan dua buah ikan, walaupun ia juga bersikap pesimis mempertanyakan apa artinya jumlah itu bila ingin dibagikan bagi jumlah lima ribu laki-laki yang hadir. Yang ketiga adalah reaksi murid-murid lain yang diam saja, menantikan apa yang akan terjadi. Andreas mampu melihat peluang yang ada, walaupun tidak mampu melihat cara pemecahan masalahnya. Tuhanlah yang kemudian menyempurnakan pemecahan masalah itu. Saya merasa seringkali bertindak seperti Filipus, alangkah indahnya bila sanggup melihat dari kacamata Andreas yang lebih positif dan meminta Tuhan untuk menyempurnakan jalan keluar permasalahan kita. Terkadang juga saya hanya diam seperti murid-murid yang masuk dalam kategori ketiga, menantikan tindakan Tuhan tanpa ikut serta berpikir atau berusaha. Tuhan menghendaki kita menjadi bagian dari karyaNya.

Kerelaan untuk berbagi dari anak kecil itu juga menyentuh saya. Sebagai anak kecil tentunya bekal yang disediakan ibunya sangat terbatas, dan itu bisa jadi merupakan bekal makan malam itu dan keesokan harinya. Tetapi ia mau memperlihatkan bekalnya kepada orang dewasa yang menanyakan bekal yang dibawa. Kerelaannya berbagi kembali mengingatkan saya kepada kisah kakek pengemis dari Korea Selatan yang karya kecilnya menggelinding menjadi sebuah perkampungan yang begitu nyata pertolongannya bagi orang banyak. Hal kecil yang sederhana menggelinding menjadi besar. Begitu juga dengan kisah koin Prita, dari sekedar uang receh bagi perorangan menjadi bagian dari aksi solidaritas warga yang mampu menembus angka miliar rupiah. Tetapi terus terang ketika menuliskan tulisan ini saya juga jadi teringat pada Koin untuk Bilqis. Bilqis akhirnya sudah mendapatkan tempat di sisiNya. Usaha manusia dan kehendak Allah tidak selalu sejalan, tetapi apa yang terjadi dan pembelajaran apa yang ada di sepanjang kejadian itu merupakan kuasa Allah. WaktuNya tidak selalu merupakan waktu kita, rencanaNya tidak selalu dapat langsung kita maknai. Menjadi bagian dari karyaNya berarti kita bukan saja rela untuk berbagi bagi sesama, melainkan juga rela untuk menerima penderitaan yang mungkin memang harus kita jalani.

Allah Bapa Yang Maha Kuasa,
terima kasih atas semua berkat dariMu,
karuniakanlah Roh Kudus di atas kami,
dan mampukan kami untuk menjadi bagian dari Karya besarMu.
Amin.

Saturday, April 10, 2010

Ia memantau kita

Dalam bacaan Injil hari Jumat yang lalu, yaitu Injil Yohanes 21:1- 14, terlihat betapa Yesus senantiasa ada mengamati umatNya walaupun terkadang yang diamati tidak mampu melihatNya.

Seorang teman memperhatikan betapa kebutuhan pokok manusia akan makanan juga sangat diperhatikan Yesus. Yoh 21:5 Yesus bertanya kepada murid-muridNya (yang tidak mengenalinya): "Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk pauk?"

Terkadang kita melupakan kehadiran Yesus bersama kita dalam perjalanan kita di dunia ini. Ketika kesengsaraan datang mendera maka kita tidak teringat akan jalan salib Yesus yang begitu sulit dan penuh kesengsaraan. Beban yang kita pikul tidak ada artinya dibandingkan dengan beban yang dipikulNya. Sebagai manusia aku tidak bisa membayangkan betapa memalukan dan menderitanya perjalanan ke bukit Golgota itu. Terus terang kecenderunganku yang lebih besar adalah menolak cawan pahit penderitaan itu. Siapa yang ingin hidup menderita? Siapa yang ingin dihina dan dipermalukan di depan orang banyak? Siapa yang ingin disiksa untuk hal-hal yang tidak pernah dilakukannya? Yesus secara manusiawi merasakan ketakutan itu, tapi Ia berani menjawab Allah Bapa dengan kepatuhan yang penuh "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagiMu, ambillah cawan ini daripadaKu, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki." (Markus 14:36)

Yesus meminta murid-murid itu menebarkan jala mereka ke sebelah kanan perahu, dan mereka berhasil mendapatkan banyak ikan. Yohanes segera teringat pada Tuhan Yesus yang ketika pertama kali memanggil mereka untuk menjala manusia juga melakukan hal yang sama (Luk 5:6). Petrus mendengar hal itu segera berpakaian dan terjun ke dalam danau untuk mendatangi Yesus.

Seorang peserta doa kami terkesan pada ayat 7 Injil ini dimana Petrus yang tidak berpakaian segera mengenakan pakaiannya untuk menemui Yesus. Memang secara logika, jika ingin terjun ke danau tentunya lebih enak tidak berpakaian (apalagi yang model jubah) dan nanti setelah naik ke darat barulah berpakaian yang kering, dan terasa nyaman. Teman kami itu merasakannya sebagai ajakan untuk lebih memperhatikan pakaian kita ketika ingin menghadap kepada Tuhan. Betapa sering kepatutan berpakaian tidak lagi terlihat di gereja. Memang kepatutan yang paling utama adalah kesiapan dan kebersihan hati, tetapi sikap menghormati Tuan rumah biasanya juga terpantul dari cara berpakaian.

Mengapa Petrus yang dipilih oleh Yesus sebagai Paus pertama? Mengapa bukan Yohanes, murid yang dikasihiNya? Tampaknya Petrus senantiasa secara spontan siap mendekati Yesus. Ia yang berani menjawab "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Matius 16:16), ia pula yang (walaupun sambil menyamarkan diri) setia mencari jalan untuk melihat Yesus yang ditangkap...hal yang akhirnya membuatnya menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Petrus sedih karena kesalahan itu sebenarnya sudah diberitahukan sebelumnya oleh Yesus kepadanya (Matius 26:75). Ia kemudian mengingatkan kita untuk menjadikan penderitaan Kristus sebagai teladan (1 Petrus 2:18-25). Ia meminta kita untuk menyerahkan segala kekhawatiran kepada Tuhan karena Ia yang memelihara kita (1 Petrus 5:7). Iblis berjalan mencari orang yang dapat ditelannya, dan Petrus mengajak kita untuk "Lawanlah dia dengan iman yang teguh, sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama. Dan Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaanNya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan, dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya...." (1 Petrus 5:9-10). Ia juga mengingatkan untuk mengabdikan diri bukan karena mencari keuntungan pribadi, tetapi semata karena ingin turut serta mewujudkan kehendak Allah. Peringatan ini bisa untuk rohaniwan, tetapi tidak tertutup juga untuk kita umat biasa yang mendapat panggilan untuk mengabdikan diri melalui sesama dan lingkungan.

Tuhan memantau kita, Ia akan bertindak ketika kita sungguh-sungguh membutuhkan bantuan. Jangan pernah berpikir kita sendirian, karena Ia senantiasa memantau kebutuhan kita.

Tuhan,
Ampuni kami yang sering tidak mengenaliMu,
yang lebih sering menuntut dan menggerutu
daripada berusaha lebih keras lagi.
Terima kasih atas kasih karuniaMu,
Atas pendampinganMu dan pantauanMu,
Karena kami sungguh membutuhkanMu
walau terkadang kami lupa dan terlalu bersandar pada kekuatan manusia...
Tuhan, berkatilah kami...
Amin.