Thursday, February 03, 2011

Nilai tradisi dalam Gereja

Sudah beberapa tahun ini saya mengikuti misa Tahun Baru Imlek di gereja St. Perawan Maria Ratu, gereja di dekat rumah orang tuaku. Setidaknya dua tahun terakhir ini seingat saya ada Barongsai yang masuk ke dalam gereja di awal (pembukaan) misa.

Sebenarnya, pada awalnya saya merasa semua itu berlebihan. Tapi sesungguhnya saya memang masih harus belajar menjadi orang Cina Indonesia. Terus terang saya lebih merasa sebagai orang Makassar daripada sebagai orang Cina. Jadi terkadang salah ucap seperti "chung-quo ren" bisa membuat salah pengertian. Bagi saya yang belum pernah menginjakkan kaki ke Tiongkok rasanya aneh bila disebut sebagai "Chung-quo ren" (orang Tiongkok). Orde Baru memang mengambil sebuah hak saya akan pembelajaran. Pembelajaran melalui proses menilai diri sebagai bagian yang memiliki darah keturunan Cina. Tetapi tradisi berkumpul di hari Tahun Baru Cina itu memang berlaku di dalam keluargaku, terutama karena dahulu nenekku (dari ibu) yang selalu merayakannya.

Kebetulan beberapa hari sebelum Imlek tahun ini saya berjalan di sekitar Petak Sembilan, Jakarta. Saya memasuki beberapa klenteng dan sebuah gereja Katolik di sana. Di dalam klenteng orang-orang sedang sibuk mempersiapkan hari tahun baru Imlek. Hampir semua sedang mempersiapkan doa kepada leluhur maupun pada dewa-dewa yang mereka percayai untuk memohon rahmat dan rezeki dalam menghadapi tahun yang baru nanti.

Kebetulan dalam misa konselebrasi yang di gereja kemarin, ada dua Romo yang asli Jawa dan satu Romo yang keturunan Cina. Romo Dismas, begitu nama Romo yang menjadi konselebran utama, mengenalkan arti abjad 福 (Fu). Yang di kiri katanya berhubungan dengan bintang, bulan dan matahari, alias unsur-unsur langit. Hal ini melambangkan unsur spiritual atau rohani. Sementara yang kanan melambangkan sawah berarti penghasilan atau unsur jasmani. Dalam penulisannya dituliskan bagian kiri terlebih dahulu baru bagian kanan, berarti manusia sepatutnya mendahulukan kehidupan rohani dahulu baru dipenuhkan kebutuhan jasmaninya.

Yang sangat menarik bagi saya pribadi adalah bacaan hari itu, terutama bacaan Injil. Bacaan pertama diambil dari Surat I Rasul Paulus kepada jemaat di Efesus 4: 17-24. Bacaan Injil diambil dari Injil Lukas 12: 22-34. Kalimat yang sangat berkesan bagiku pada saat itu adalah "Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Sebab hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian." Kebanyakan dari kita datang ke pada Tuhan karena memiliki kekhawatiran di dalam hati. Tetapi bila kita sudah mempercayakan masalah kita kepadaNya, maka sepatutnya kita tidak lagi boleh khawatir. Carilah KerajaanNya maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu. Kesulitan tidak serta merta menghilang dan menjauh, tetapi kekuatan untuk menjalaninya menjadi lebih besar.

Sebenarnya saya juga belajar dari suamiku, melihat bagaimana proses untuk mempercayai suatu agama sebagai bagian dari iman bukan hal yang mudah. Bagi yang sudah memiliki keterikatan tradisi seperti yang berasal dari keluarga keturunan Cina yang masih kental urusan tradisinya, akan sulit memperoleh doa yang khidmat dalam suatu kebiasaan yang mungkin terasa baru. Dalam misa hari itu ia tampak nyaman karena ia juga bisa merasakan antusiasme dari umat (non keturunan Cina) yang hadir dalam misa itu. Merasa diterima sebagai bagian dari komunitas merupakan hal yang penting bagi seorang individu.

Keluarga kami sendiri tidak terlalu mementingkan tradisi berbaju baru, dan sejak menikah saya baru mengetahui bahwa dalam tradisi Imlek yang sesungguhnya, makan besar terjadi pada malam Tahun Baru, artinya malam sebelum hari Imlek. Semua keluarga berkumpul dan makan malam bersama. Keesokan harinya adalah hari pantang daging, di mana mereka seharusnya hanya boleh makan sayuran saja. Ini agak berbeda dengan kebiasaan keluargaku yang memang sejak awal hanya menggunakan Imlek sebagai tradisi tahun baru penanggalan Cina.

Sebelum Imlek diakui sebagai hari libur nasional sebenarnya Gereja Katolik telah terlebih dahulu memberikan dispensasi bagi umat Katolik yang merayakan perayaan ini. Bila perayaan Imlek jatuh tepat pada hari Rabu Abu, di mana seharusnya umat Katolik berpantang dan berpuasa, maka pada hari itu yang merayakannya dibebaskan dari kewajiban pantang dan puasa, serta boleh digantikan keesokan harinya.

Menjaga keberagaman dalam kesatuan memang bukan hal yang mudah. Yang paling utama untuk dikembangkan adalah komunikasi yang baik. Selebihnya kita serahkan kepadaNya, bukankah Ia sudah berkata, "Janganlah khawatir akan hidupmu..." Carilah kerajaanNya, maka pintu yang tertutup akan dibukakan, mata yang tidak melihat akan diberiNya sinar pencerahan, hati yang suram akan diterangiNya...

Tuhan,
Terima kasih atas berkatMu,
Keberagaman kami yang mewarnai kehidupan ini,
sukacitamu yang berkobar dalam hati kami,
yang tersebar dalam uluran tangan sesama kami,
yang menguatkan derap langkah yang letih dan berbeban berat.
Tuhan,
terima kasih atas tuntunanMu,
dalam pencarian diri kami karena hidup lebih penting daripada makanan,
sebab hidup adalah hadiahMu yang indah,
dan tubuh lebih penting daripada pakaian,
sebab tiada pakaian yang bisa menyembunyikan keindahan hati.
Semoga tubuh kami menjadi tempat persemayamanMu,
sehingga hati kami bersinar membawa cahayaMu,
menerangi pojok-pojok gelap kehidupan,
membagi harapan kepada dunia.
Amin.