Renungan dari Minggu Prapaskah V adalah dari Injil Yoh 12:20-33 Yesus meberitakan kematianNya. Ayat 24 mengatakan; Aku berkata kepadamu "Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah..." Ayat ini sangat berarti bagi saya pribadi. Dalam perjalanan kehidupan ini, dengan pilihan untuk lebih mendahulukan keluarga terkadang terasa menguburkan berbagai mimpi dan cita-cita yang di masa remaja kumiliki. Kemudian pilihan untuk melayani keluarga saja atau ikut serta melayani di lingkungan dan masyarakat, juga menjadi pilihan yang seringkali menghabiskan waktu dan tenaga. Di dalam keterbatasan waktu dan tenaga, melayani orang lain bisa jadi menjadi pembunuhan ego kita sendiri. Ketika kita hanya melayani ego kita sendiri maka kita tidak melayani untuk Tuhan. Sama seperti Marta (lukas 10:38-42) yang melayani orang banyak dengan ego sebagai tuan rumah yang sempurna maka pelayanannya menjadi tidak berarti. Demikian pula bila Maria hanya duduk mendengarkan Yesus untuk menghindari pelayanan atau hanya untuk menjadi yang paling pandai di hadapan Yesus maka Firman juga akan terbuang tak berguna. Menjadi biji yang mati, yang tampak tidak berharga, tidak berarti, tetapi dalam kasihNya disirami dan bertumbuh serta berbuah banyak. Itulah yang diajarkanNya dengan pemberitahuan ini.
Ayat 27 mengandung satu perkataan yang sangat dekat dengan kemanusiaanku. "Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini?" Betapa sering dalam pergulatan kehidupan saya memohon padaNya untuk dikeluarkan dari kesukaran itu? Injil-injil sinoptik menceritakan kisah Yesus di Taman Getsemani. "Berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan." (Luk 22:40), "Ya BapaKu, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripadaKu; tetapi bukan kehendakKu, melainkan kehendakMulah yang terjadi."(Luk22:42) Kemanusiaan Yesus memberiNya ketakutan akan penderitaan yang akan dialamiNya, tetapi Ia bertekun ke dalam doa (Luk 22:44). Matius dan Markus mencatat seruan Yesus, "Eloi, eloi lama sabakhtani?" (Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?) Berapa sering kita merasa bahwa Allah meninggalkan kita sendirian? Masalahnya seringkali kita merasa ditinggal sendirian bukan karena Ia tidak ada, melainkan karena Ia yang hadir di dalam hati kita tidak kita perhatikan karena kita mengharapkan kehadiran Mesias yang menyelamatkan, kehadiran Allah yang membebaskan kita dari penderitaan. Kita tidak mengingat Roh Kudus yang menguatkan kita dalam pergumulan kehidupan ini, kita tidak merasakan tanganNya yang membimbing kita berjalan dengan teguh bila kita bertekun dalam doa.
Ibu Teresa dalam buku Come Be My Light menceritakan krisis iman yang dialaminya. Sebagai manusia perasaan ketakutan ketika ditinggalkan sendirian merupakan penghalang terbesar dalam ketekunan melanjutkan pelayanan. Ketakutan akan pilihan langkah yang salah senantiasa menghantui dan membawa keragu-raguan. Padahal, Yesus sudah memberikan contoh yang sangat jelas. Biji harus jatuh dan mati baru dapat tumbuh dan berbuah banyak. Tidak ada panen yang berlangsung dengan instan. Semua petani tahu benar betapa sulitnya menjaga tanah pertanian. Bagaimana ketekunan dalam mengolah tanah dan menebar biji bukan akhir dari suatu proses. Biji yang mati di dalam tanah tetap membutuhkan pupuk dan siraman untuk menjadi besar dan berbuah. Sebuah proses yang panjang dan tidak mudah. Tuhan membentuk pribadi kita masing-masing melalui sebuah proses yang panjang, yang disesuaikanNya dengan kebutuhan kita masing-masing.
Bapa,
terima kasih atas penyertaanMu
dalam kehidupan kami,
dalam masa gembira dan masa sedih,
dalam kejayaan dan penderitaan,
kami percaya bahwa semua itu diberikan agar kami bisa berbuah banyak.
Amin.