Tanggal 26 Desember kemarin saya berkesempatan menghadiri pernikahan kudus seorang teman. Menghadiri sakramen pernikahan, selain memberikan selamat kepada keluarga baru, juga memberi peneguhan akan janji pernikahan yang pernah kuucapkan dahulu. Homili dari pastur hari itu mengingatkan untuk senantiasa mengingat faktor positif/kebaikan yang membuat pasangan memutuskan untuk menjelang hari depan sebagai satu pasangan. Tidak bisa disangkal bahwa kehidupan pernikahan senantiasa penuh dengan gejolak naik dan turun. Tidak jarang grafik turun yang melorot drastis juga menghampiri pernikahan. Terkadang hal yang menarik dari pasangan, yang biasanya merupakan sifat yang bertolak belakang dengan sifat kita, malah menjadi bumerang dalam kehidupan bersama. Pasangan yang baik dan ramah, yang semula menjadi faktor pendekat, bisa menjadi sumber kecemburuan di kemudian hari. Itulah pentingnya untuk senantiasa mengingat faktor positif yang kita temui di dalam diri pasangan, dan mengingatnya pada saat hubungan sedang sulit.
Sebenarnya pernikahan Katolik yang satu dan tak terceraikan terkadang menimbulkan tanya di benakku. Beberapa teman yang tampaknya membuat pilihan yang salah, ketika menikah kembali malah mendapatkan pasangan yang lebih sesuai, dan tampak lebih bahagia. Salahkah bila orang mencari kebahagiaannya? Demikian juga dengan para rohaniwan yang tidak lagi setia pada kaulnya. Bukankah ini sama dengan pasangan yang berselingkuh? Atau bahkan bercerai? Maria dan Yosep sudah bertunangan, bahkan belum menikah ketika diketahui bahwa Maria mengandung dari Roh Kudus. Suatu bencana yang besar tentunya, tetapi Yosep yang mendengarkan kehendak Allah kembali setia kepada kehendakNya sehingga dapat mewujudkan rencana penyelamatan. Inilah inti dari pesan Allah bagi kita, "Carilah dahulu kerajaan Allah..." Pilihan-pilihan yang hendak dilakukan dalam setiap fase kehidupan hendaknya bersandar pada kehendakNya, mencari kerajaan Allah. Dan ketika badai menerjang bahtera pernikahan, bertahanlah dengan kepasrahan kepada kehendakNya.
Mengetahui kehendak Allah tidaklah mudah. Bacaan Injil di Hari Raya Keluarga Kudus mengingatkan akan hal ini. Dalam Injil Lukas 2:41 -52 diceritakan bagaimana Yesus tertinggal di Bait Allah. Ketika Maria menegurNya, "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? BapaMu dan aku dengan cemas mencari Engkau." Jawab Yesus, "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah BapaKu?" Dikatakan dalam ayat selanjutnya, "Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakanNya kepada mereka." Begitulah sulitnya mengetahui kehendak Allah. Ketika manusia tercekam dalam dalam kecemasan dan ketakutan, atau terobsesi pada tujuan hidup yang diinginkannya, maka sering kali kehendakNya tidak lagi terlihat jelas. Dalam buku "Bebaskan Hatimu" dari seri 30 hari bersama mahaguru spiritual Fransiskus dari Sales, dikatakan bahwa kecemasan batin yang berlebihan membuat kita mudah marah dan panik. Itulah yang dialami Petrus yang hampir tenggelam, itulah yang juga sering kali membuat hambatan komunikasi antar pasangan. Serahkan semua kecemasan kepada Tuhan, saksi utama pernikahanmu, dan biarkan keajaibanNya membimbing bahteramu berjalan menempuh lautan kehidupan, di saat teduh, berombak, maupun berbadai besar. Kecemasan Yosep dan Maria ketika kehilangan Yesus selama 3 hari tentunya membuat mereka tidak mengerti kehendak Allah pada saat itu.
Dalam sebuah bacaan yang lain saya membaca bahwa badai di tengah laut menambah keterampilan seorang pelaut. Sang penulis mempertanyakan hal itu, menurutnya di saat yang teduh dan tenangpun seorang pelaut bisa bertambah terampil. Yang terpikir saat itu, adalah kenyataan dalam kehidupan, bahwa saat badai mengamuk dan pelaut bersusah payah mengendalikan kapal atau perahunya, adanya kepasrahan pada kehendakNya akan membawa ketenangan batin yang memandu sang pelaut untuk menggunakan keterampilan terbaiknya. Dalam keadaan tenang, seringkali manusia mendahulukan egonya, dan melupakan kehadiranNya. Ego sebagai orangtua seringkali membuat ayah atau ibu bersikap otoriter terhadap anak. Kita seringkali lupa bahwa kita hanyalah busur yang membantu melontarkan anak panah sesuai kehendakNya.
Tuhan,
Terima kasih atas kehadiran keluarga kudus,
yang mengingatkan kami akan kesederhanaan,
akan makna membaca kehendakMu,
dan ketaatan pada kehendakMu.
Berkatilah keluarga-keluarga yang telah Kau persatukan,
semoga buah-buah cinta kasih senantiasa tumbuh dan berkembang
membangun dunia yang penuh damai sejahteraMu.
Amin.
Dalam sebuah bacaan yang lain saya membaca bahwa badai di tengah laut menambah keterampilan seorang pelaut. Sang penulis mempertanyakan hal itu, menurutnya di saat yang teduh dan tenangpun seorang pelaut bisa bertambah terampil. Yang terpikir saat itu, adalah kenyataan dalam kehidupan, bahwa saat badai mengamuk dan pelaut bersusah payah mengendalikan kapal atau perahunya, adanya kepasrahan pada kehendakNya akan membawa ketenangan batin yang memandu sang pelaut untuk menggunakan keterampilan terbaiknya. Dalam keadaan tenang, seringkali manusia mendahulukan egonya, dan melupakan kehadiranNya. Ego sebagai orangtua seringkali membuat ayah atau ibu bersikap otoriter terhadap anak. Kita seringkali lupa bahwa kita hanyalah busur yang membantu melontarkan anak panah sesuai kehendakNya.
Tuhan,
Terima kasih atas kehadiran keluarga kudus,
yang mengingatkan kami akan kesederhanaan,
akan makna membaca kehendakMu,
dan ketaatan pada kehendakMu.
Berkatilah keluarga-keluarga yang telah Kau persatukan,
semoga buah-buah cinta kasih senantiasa tumbuh dan berkembang
membangun dunia yang penuh damai sejahteraMu.
Amin.