Terkadang panggilanNya bisa datang melalui saat yang bagi orang lain merupakan musibah. Begitulah, kehidupan manusia tidak bisa kita perhitungkan. Suamiku mengalami kecelakaan dan terpaksa harus istirahat di rumah. Hal ini berarti saya tidak bisa melaksanakan rencana-rencana yang sudah tersusun. Tapi, hal itu juga menyebabkan saya memiliki kesempatan untuk menghadiri pertemuan mingguan Meditasi Kristiani.
Sebenarnya hari Sabtu kemarin saya memiliki kegiatan yang bagi saya cukup berarti, baik dalam segi menambah ilmu, maupun untuk memperluas jaringan perkenalan. Semua acara sudah saya atur, jadwal lain saya tunda, termasuk jadwal untuk menghadiri pertemuan mingguan Meditasi Kristiani. Pada pertemuan Sabtu sebelumnya saya sudah pamit. Sejak saya bekerja penuh, waktu untuk pertemuan mingguan agak terpinggirkan prioritasnya. Ada saja tugas dan seminar yang harus saya hadiri. Pada libur Paskah kemarin saya memaksakan untuk hadir, tapi dengan berat hati minta izin untuk tidak hadir lagi di hari Sabtu berikut.
Ternyata, justru akhirnya saya bisa hadir (walaupun terlambat, tapi tidak terlambat untuk sesi meditasinya). Banyak hal dari pertemuan hari itu yang kemudian juga dikuatkan dengan bacaan lain yang saya baca pada hari yang sama di kesempatan berbeda.
Dari buku Jalan Menuju Kehidupan 3 saya merasa sangat tertarik membaca kupasan renungan yang menggambarkan betapa murid-murid Yesus berlari meninggalkanNya ketika Ia harus memasuki jalan penderitaan. Digambarkan betapa seorang murid bahkan meninggalkan segalanya-termasuk pakaiannya sendiri- untuk melepaskan diri dari Kristus.
Masih terkenang pada anak sulung dari perumpamaan Anak yang Hilang, saya merasakannya sebagai peringatan untuk tetap setia padaNya. Ketika cobaan dan masalah datang jangan pernah berlari meninggalkanNya.
Agak siang, saya mampir di toko buku Avilla. Saya tertarik pada sebuah buku kecil mengenai Lectio Divina. Saya masih juga terobsesi untuk sungguh-sungguh mengenal perbedaan antara Lectio Divina dengan Meditasi Kristiani. Rasanya harga buku tersebut yang terlalu mahal untuk saya beli, tetapi beruntung saya diperbolehkan untuk membuka plastik pembungkus buku dan membacanya. Ada satu kalimat yang tiba-tiba terbaca, dan bagaikan sebuah pesan yang harus kuingat, terjemahan bebasnya adalah, "Bukan kesuksesan yang diminta daripadamu, melainkan kesetiaan."
Ini mengingatkan saya akan penutup dari renungan di buku Jalan Menuju Kehidupan 3 untuk Hari Minggu Paskah II, "Kemampuan untuk mengasihi seseorang yang telah melakukan kegagalan adalah semata-mata anugerah Roh Kudus." Masih dari renungan Romo Gerry Pierse CSsR di buku yang sama, dikatakan bahwa penerima pertama anugerah Roh Kudus ini adalah diri kita sendiri. Kegagalan-kegagalan dalam kehidupan bisa juga dianalogikan pada kegagalan kita untuk setia pada mantra "Ma-ra-na-tha" dalam perjalanan meditasi kita. Ketika kita menyadari betapa sering kita gagal, tetapi Tuhan tetap setia menantikan kita kembali kepadaNya, mengapa kita harus berlari meninggalkanNya?
Kesuksesan dalam kehidupan sangat tidak jelas definisinya. Kesuksesan bagi seseorang belum tentu berarti kesuksesan di mata orang lain. Tetapi kesetiaan pada kebenaran dan kemanusiaan, kesetiaan pada kasihNya, adalah jalan untuk tetap berada bersamaNya. Bukti kasihNya adalah pengampunan, dan bukti kasih kita bagiNya juga tidak bisa berbeda, pengampunan kepada sesama yang bersalah pada diri kita.
Tuhan Allah dan Bapaku,
Terima kasih atas kasihMu,
Bimbing kami untuk tetap setia padaMu,
Ampuni kami anakMu yang sering gagal dalam pencobaan,
Kuatkan dan bimbing kami ya Bapa,
Anugerahkan Roh KudusMu agar kamipun mampu mengampuni.
Amin.