Thursday, July 10, 2008

Datanglah PadaKu Kalian yang Lelah dan Berbeban Berat!

Minggu yang lalu ketika memasuki gereja, terucap dalam doa pertamaku rasa penat dan lelah dalam menjalani kehidupan ini. Anak-anak yang bertambah besar dengan kebutuhan ekonomi untuk membiayai kepentingan pendidikan dan pengembangan jasmani rohani mereka terasa sebagai beban berat di tengah krisis ekonomi yang menghimpit.

Perbedaan pola pikir dengan pasangan seringkali juga membuat kesulitan yang ada terasa harus dipikul sendirian. Dan perasaan itulah yang aku tumpahkan hari itu...

Tentu saja aku bersyukur atas segala rahmat dan karunia yang diberikanNya, tapi hari itu rasa lelah membuatku sujud dengan kata pertama penuh tekanan beban: "Tuhan, aku datang karena lelah dan berbeban berat. Bantulah aku!"

Sungguh ajaib rasanya ketika bacaan hari itu dan juga kothbah pastur mengambil topik yang sama: "Marilah kepadaKu, kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadamu" (Mat 11:28).

Kemarin pagi, ketika mengikuti misa pagi, lagi-lagi saya mendengar perkataan yang berhubungan dengan "orang-orang yang letih lesu dan berbeban berat". Tapi sekali ini yang terdengar adalah ajakan untuk ikut serta meringankan beban orang-orang yang letih lesu dan berbeban berat. Sekali lagi saya diingatkan untuk membagikannya dengan cuma-cuma karena saya telah memperolehnya dengan cuma-cuma (baca juga Mat 10: 7-15). Memang benar banyak orang di luar saya yang terus membantu menguatkan saya dalam setiap permasalahan kehidupan, dari orang tua, saudara, tetangga, dan teman...Semuanya saya peroleh dengan cuma-cuma, tanpa pamrih...

Beberapa hari yang lalu saya mengantar anak saya mengikuti kompetisi Olimpiade Robotik. Saya melihat betapa besar pengaruh "materi" dalam membantu pendidikan anak, dan saya bisa merasakan kesenjangan sosial yang masih berat menghantui Indonesia sehingga tidak setiap anak Indonesia bisa bergembira mengenal lebih jauh teknologi mutakhir ini.

Kemudian dalam beberapa kali perjalanan dengan shuttle bus, saya melihat anak sang sopir yang baru duduk di kelas tiga SD setiap hari menemani ayahnya menjalani tiga kali rute pulang pergi mengantar penumpang masuk dan keluar kota Jakarta. Ironis sekali dengan tayangan televisi yang menyiarkan berbagai acara liburan untuk anak-anak, yang saat itu saya saksikan selama perjalanan Jakarta-Serpong. Ada anak-anak yang bergembira mengikuti jambore Si Bolang, ada yang mencoba menjadi koki handal dengan bantuan chef terkenal, atau sekedar berjalan-jalan ke tempat wisata lainnya.

Kegalauan akan kesenjangan sosial ini sempat dijawab oleh seorang kenalan yang juga penginjil Kristen: "Mereka yang menikmati kelebihan itu juga bukan tanpa perjuangan. Jadi jangan hanya melihat perbedaan yang ada, karena ada juga perjuangan lain untuk mencapai posisi itu."

Sebuah teguran kecil dari kothbah pastur mengingatkanku akan pentingnya menjaga kedekatan hubungan dengan Tuhan, katanya: "Manusia mudah datang kepada Tuhan ketika sedang susah, tetapi seringkali lalai mengingat Tuhan ketika sedang bahagia dan puas dengan kehidupannya."

Dalam kehidupan memang perlu perjuangan tersendiri. Yesus mengingatkan keduabelas murid ketika memanggil mereka, sama seperti Ia sekarang juga mengingatkan kita melalui sabdaNya: "Aku mengutus kalian seperti domba ke tengah-tengah serigala! Sebab itu hendaklah kalian cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati." (Mat 10:16)

Cafe Rohani edisi Juli 2008, sebuah terbitan dari IKI (Institut Karmel Indonesia), mengambil renungan dari Hosea 14:2-10 dan mengingatkan betapa manusia bisa menyembah buatan tangannya sendiri. Kalau buku renungan harian ini berkisah tentang televisi sebagai buatan manusia yang memperhamba pembuatnya, maka saya pribadi banyak merenung terhadap selebritas dan pemaknaan pencapaian karya pribadi. Jangan sampai hal ini memperhamba kita sebagai manusia dan melupakan kuasaNya. Kita memang diminta untuk cerdik dan berjuang di tengah kesemrawutan dunia, tapi tidak pernah boleh lupa betapa besar bantuan Allah yang dicurahkannya kepada diri kita melalui sesama kita. Maukah kita menjadi alat bagiNya dalam membagikan kasih dan meringankan beban berat dari sesama kita yang juga letih lesu dan berbeban berat?

Tuhan Allah yang mahabaik,
aku percaya karena karunia dan rahmatMu bagi kami,
kami akan mampu berkarya bagi kemuliaan namaMu,
menjadi alatMu dalam menyegarkan sesama yang letih lesu dan berbeban berat,
menjadi perpanjangan tanganMu dalam menuntun mereka yang limbung dalam kebimbangan.

Allah,
jadikan kami pembawa damai sejahteraMu,
bantu mulut, hati, dan pikiran kami dalam perjuangan di dunia ini,
bersihkanlah mulut, hati, dan pikiran kami...
agar Roh KudusMu mampu berkarya di dalam diri kami.

Bapa, kami percaya akan kasih dan karuniaMu...
yang besar dan dalam melebihi lautan,
yang akan menjadi pegangan bagi kami bila kami sungguh percaya,
dan sungguh menyerahkan diri kepada kerahimanMu,
Amin.

Misteri Ilahi yang Memeliharaku

Di televisi sekarang banyak reality show mulai dari tontonan yang mengundang rasa ngeri, lucu, belas kasihan, mengundang kekaguman atau sekadar mengumbar cerita pribadi seseorang...

Saya masih senang menonton pertunjukan sulap. Pertunjukan yang melampaui pikiran manusia, meski katanya itu kecepatan tangan atau tipuan mata, tetap meninggalkan senyum di bibir penonton.

Dalam film the Prestige, ada tahap-tahap utama dalam formula pertunjukkan sulap. Semua tahap ada alasan logisnya entah hal itu dapat dengan mudah diketaui umum atau tersimpan rapat dalam peti pikiran sang pesulap. Semua penjelasan di belakang rumusan rahasia yang mereka buat merupakan konsekuensi logis dari skenario besar sang pesulap...

Tapi dalam hidup, saya belajar bahwa pada akhirnya tidak semua hal ada penjelasan logisnya, akhirnya, karena kita tidak dapat melampaui segala sesuatu. Pada akhirnya tidak semua pertanyaan ada jawabannya (misteri hidup?)

Pada umur 10 tahun, saya diminta mengikuti kaderisasi dalam organisasi koor cilik. Seorang senior membacakan: Yesus Berjalan di Atas Air.

Pada akhir sesi itu dia berbisik pada saya,
"Kamu merasakan sesuatu 'ga?"
"Apa?"
"Bahwa yang dimaksud itu kamu, kamu punya kelebihan, intelligentia, tapi kamu tidak percaya diri, Inge"

Lewat seorang sahabat (saat ini dia ambil S3 Teologi di Roma, seorang pastor), saya dibukakan mata akan masalah mendasar dalam diri saya yang harus cepat-cepat saya selesaikan. Salah satu kado yang berarti buat saya sepanjang hidup. Meskipun pada saat saya berumur 22 tahun ternyata masalah itu belum selesai, karena boss saya masih menulis dalam appraisal form: kurang percaya diri... hiks ...

Dalam hati, untuk menyembuhkan luka yang satu ini, saya selalu mengingat: "Jika Engkau itu Yesus, panggillah aku, maka aku akan datang padaMu, berjalan di atas air" sebab saya harus ingat-ingat dalam 1 Ptr 5: 7:"Serahkanlah kekuatiranmu padaNya, sebab Ia yang memelihara kamu."

Kontributor:
Rediningrum Setyarini (Inge)