Sebenarnya hari Minggu biasa XXXIII kemarin menekankan untuk setia dalam perkara kecil, sebuah permenungan yang menarik juga untuk disimak. Tetapi bacaan Amsal 31: 10-31 sekali lagi menarik perhatian saya.
Bacaan ini memang selalu menarik perhatian saya, tetapi seperti juga kata Amsal 27:17 "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya" (Saya lebih suka versi bahasa Inggrisnya "Iron is sharpened by iron, one person is sharpened by contact with another"). Perjumpaan dengan orang lain, kisah dari orang lain, senantiasa menajamkan pengertian pribadi saya terhadap ayat-ayat Kitab Suci.
Seorang teman pria yang masih muda dan lajang pernah bertanya mengenai selingkuh. Lucunya dia yang merasa gelisah takut mendapatkan istri yang selingkuh. Rasanya di dunia ini selingkuh masih mayoritas di tangan lelaki, tapi memang tidak sedikit kisah istri yang berselingkuh tertiup ke telinga. Saran saya kepadanya carilah istri yang takut akan Tuhan. Memang Amsal 31:30 mengatakan "Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi istri yang takut akan Tuhan dipuji-puji." Waktu itu kami hanya bertukar pandang sebagai teman, dan saya juga tidak pernah ingat menghafal ayat. Tetapi sesungguhnya memang dengan dekat kepadaNya segala cobaan akan terlalui.
Dari ketakutan mendapat istri yang selingkuh, teman saya bertanya mengenai kemungkinan suami yang selingkuh. Menurut saya sendiri dengan dekat pada Tuhan maka kekuatan untuk menghadapi segala badai sudah ditangan.
Beberapa ayat yang menarik perhatian saya adalah Amsal 31:12 "Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya", Amsal 31: 25-26 "Pakaiannya adalah kekuatan dan kemuliaan, ia tertawa tentang hari depan. Ia membuka mulutnya dengan hikmat pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya."
Kalau ayat-ayat yang lain membuat peran wanita terasa begitu kuat, begitu besar, dan begitu sentral di dalam keluarga, maka ayat yang ini juga menekankan kelembutan dan kebijaksanaan. Justru hal inilah yang tersulit untuk diterapkan dalam posisi yang begitu sentral. Ketika beban dan tanggung jawab yang begitu besar dan melelahkan terletak di pundak maka rasa lelah bisa mengasah lidah menjadi tajam bak sebilah pedang. Karena itu sekali lagi berkat Roh Kebijaksanaan sangat dibutuhkan para ibu rumah tangga. Sementara itu Roh Kudus hanya dapat kita terima bila kita memang bersedia menerima kedatanganNya.
Tuhan,
Bantu daku menjadi istri yang cakap
Yang lebih berharga dari mutiara yang mahal
Yang sanggup membawa keluarga mendekat kepadaMu
Dan sabar menanggung beban dan tanggung jawab dalam keluarga
Hal yang terkadang terlihat kecil dan sepele
Tetapi sebenarnya begitu besar dan berarti
Terima kasih atas Roh Kudus yang membantu menerangi jalanMu
yang meringankan kuk yang terpasang dengan hiburan dan pujian malaikat
Terima kasih Tuhan,
Maafkan bila terkadang aku jatuh
Bantu ku bangkit dan terus berjalan dalam jalanMu.
Amin.
Blog ini semula adalah blog meditasi pribadi, sejak Paskah 2008 saya buka untuk teman-teman yang ingin berpartisipasi. Sementara ini sesuai dengan namanya "Perjalanan menelusuri kata-kataNya" lebih mengarah ke pendalaman iman lewat meditasi kitab suci, tapi dengan masuknya kontributor lain terbuka kemungkinan bentuk posting yang berbeda.
Tuesday, November 18, 2008
Wednesday, November 05, 2008
Melayani
“Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan” (Flp 2:14-16a)
Kutipan dari renungan harian Romo Sumarya SJ itu menggelitik saya. Sama seperti Martha yang melayani Yesus tapi bersungut kepada Maria yang dianggapnya tidak membantu, seringkali saya juga mungkin kesal hati pada teman-teman yang hanya menunggu pelayanan. Saya lupa bahwa pelayanan itu saya lakukan bukan untuk orang-orang itu tapi untuk Tuhan. Beranikah saya bersungut-sungut kepada Tuhan?
Melayani keluarga merupakan sebuah pilihan yang sudah saya ambil, dan terkadang rasa lelah yang sama dengan pelayanan pada organisasi terasa. Mengapa pelayanan ini terasa satu arah? Saya lagi-lagi lupa bahwa pelayanan itu untuk Tuhan. Beranikah saya minta upah kepadaNya yang telah memberikan kehidupan ini?
Seorang ibu yang sudah sepuh menasihati saya, "Menjadi ibu itu sama dengan meninggalkan keinginan pribadi. Membuang jauh-jauh ego dan menggantikannya dengan pelayanan yang tidak terbatas. Dari semula melayani anak, lalu kemudian melayani anak dan cucu." Rasanya memang benar kita harus berani meninggalkan diri kita sendiri, melupakan keinginan kita sendiri, dan fokus kepada pelayanan itu sendiri. Hanya terkadang saya bertanya apakah pelayanan ini bukan cara saya melarikan diri dari rutinitas keluarga? Ataukah saya harus fokus hanya kepada keluarga? Mencari discernment di dalam hatiku, mencari Tuhan dalam pelayananku kepada keluarga dan kepada masyarakat. Tetapi saya bahagia karena sekarang Ia tidak lagi selalu diam, terkadang Ia menyentil, terkadang Ia memberi hadiah, terkadang Ia diam...membuatku sibuk menebak makna diamNya.
Tuhan,
Berilah Roh KudusMu sebagai penuntunku
Agar kumampu jalani jalanMu
dan daku kuat ikut memikul salibMu
Semoga tiada lagi gerutu dan sungut-sungut
Tapi ketulusan belaka yang berkobar di hati...
Amin.
Kutipan dari renungan harian Romo Sumarya SJ itu menggelitik saya. Sama seperti Martha yang melayani Yesus tapi bersungut kepada Maria yang dianggapnya tidak membantu, seringkali saya juga mungkin kesal hati pada teman-teman yang hanya menunggu pelayanan. Saya lupa bahwa pelayanan itu saya lakukan bukan untuk orang-orang itu tapi untuk Tuhan. Beranikah saya bersungut-sungut kepada Tuhan?
Melayani keluarga merupakan sebuah pilihan yang sudah saya ambil, dan terkadang rasa lelah yang sama dengan pelayanan pada organisasi terasa. Mengapa pelayanan ini terasa satu arah? Saya lagi-lagi lupa bahwa pelayanan itu untuk Tuhan. Beranikah saya minta upah kepadaNya yang telah memberikan kehidupan ini?
Seorang ibu yang sudah sepuh menasihati saya, "Menjadi ibu itu sama dengan meninggalkan keinginan pribadi. Membuang jauh-jauh ego dan menggantikannya dengan pelayanan yang tidak terbatas. Dari semula melayani anak, lalu kemudian melayani anak dan cucu." Rasanya memang benar kita harus berani meninggalkan diri kita sendiri, melupakan keinginan kita sendiri, dan fokus kepada pelayanan itu sendiri. Hanya terkadang saya bertanya apakah pelayanan ini bukan cara saya melarikan diri dari rutinitas keluarga? Ataukah saya harus fokus hanya kepada keluarga? Mencari discernment di dalam hatiku, mencari Tuhan dalam pelayananku kepada keluarga dan kepada masyarakat. Tetapi saya bahagia karena sekarang Ia tidak lagi selalu diam, terkadang Ia menyentil, terkadang Ia memberi hadiah, terkadang Ia diam...membuatku sibuk menebak makna diamNya.
Tuhan,
Berilah Roh KudusMu sebagai penuntunku
Agar kumampu jalani jalanMu
dan daku kuat ikut memikul salibMu
Semoga tiada lagi gerutu dan sungut-sungut
Tapi ketulusan belaka yang berkobar di hati...
Amin.
Tuesday, November 04, 2008
“Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku ia tidak dapat menjadi muridKu.”
(Flp 2:12-18; Luk 14:25-33)
“Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya,jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:25-33), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan ‘Pesta Semua Anggota SJ Yang Mulia Bersama Kristus’ hari ini, saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Hidup terpanggil, entah hidup berkeluarga atau membujang/tidak nikah, antara lain menjadi imam, bruder atau suster, merupakan bentuk tanggapan prositif atas panggilan Tuhan, dan bagi orang Kristen/Katolik, yang beriman pada Yesus berarti ‘mengikuti Yesus dalam perjalananNya” dan secara konkret berani memikul salib serta ‘membenci orangtua, isteri/suami, anak-anak, saudara-saudari dan diri sendiri’ alias meneladan cara hidup dan cara bertindak Yesus serta menghayati sabda-sabda atau ajaran-ajaranNya di dalam hidup sehar-hari. Sebagai yang terpanggil kita diharapkan memiliki cara melihat, cara merasakan, cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak terhadap segala sesuatu sesuai dengan cara Yesus, bukan cara sendiri alias menurut selera pribadi (Jawa: sak penake wudhele dewe). “Memikul salib” antara lain berarti setia pada panggilan dan tugas perutusan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada kita. “Setia adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka-Jakarta 1997, hal 24). Maka marilah kita mawas diri atas perjanjian-perjanjian yang telah kita buat atau kita ikhrarkan: janji baptis, janji perkawinan, janji imamat, kaul, janji kepegawaian, janji pelajar, sumpah jabatan, dst.. Marilah kita kerahkan atau persembahkan seutuhnya diri kita maupun segala milik kita untuk menghayati atau melaksanakan janji-janji yang pernah kita buat atau ikhrarkan. Memang setia pada janji tidak akan pernah terlepas dari aneka macam bentuk perjuangan dan penderitaan sebagai konsewensi kesetiaan kita, sebagaimana telah dihayati oleh Yesus, Penyelamat Dunia, yang rela menderita dan wafat di kayu salib demi keselamatan dunia seisinya.
· “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan” (Flp 2:14-16a), demikian nasihat Paulus kepada umat di Filipi, kepada kita semua orang beriman, yang terpanggil. “Jangan bersungut-sungut dan berbantah-bantah” alias jangan mengeluh, menggerutu dalam menghayati atau melaksanakan panggilan dan tugas perutusan. Mengeluh dan menggerutu berarti berpikir negatif terhadap segala sesuatu, maka yang bersangkutan pasti tidak akan mampu menghayati dan melaksanakan panggilan dan tugas perutusan sebagaimana mestinya. Sebaliknya marilah kita senantiasa berpikir positif terhadap segala sesuatu, senantiasa melihat dan mengakui apa yang baik, mulia, indah dan luhur dalam segala sesuatu alias mengimani Penyelenggaraan Ilahi, karya Tuhan dalam segala sesuatu. Segala sesuatu ada dalam hadirat Tuhan atau Tuhan hidup dan berkarya di dalam segala sesuatu, itulah kebenaran iman yang harus kita hayati. Siapapun tidak menghayati kebenaran iman ini berarti ‘bengkok hatinya dan tersesat’, sebaliknya yang mengimani dan menghayati akan ‘bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia”. Sebagai orang beriman, kehadiran dan sepak terjang kita dimanapun dan kapanpun diharapkan menjadi ‘bintang yang bercahaya’, sehingga membantu siapapun dalam mengusahakan kebenaran-kebenaran dan menghayatinya.
“Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup! Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (Mzm 27:13-14)
Jakarta, 5 November 2008
Note: renungan sebelumnya, buka: www.ekaristi.org. Sebarkan ke teman lain
Kontributor: Ign.Sumarya SJ
“Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya,jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:25-33), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan ‘Pesta Semua Anggota SJ Yang Mulia Bersama Kristus’ hari ini, saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Hidup terpanggil, entah hidup berkeluarga atau membujang/tidak nikah, antara lain menjadi imam, bruder atau suster, merupakan bentuk tanggapan prositif atas panggilan Tuhan, dan bagi orang Kristen/Katolik, yang beriman pada Yesus berarti ‘mengikuti Yesus dalam perjalananNya” dan secara konkret berani memikul salib serta ‘membenci orangtua, isteri/suami, anak-anak, saudara-saudari dan diri sendiri’ alias meneladan cara hidup dan cara bertindak Yesus serta menghayati sabda-sabda atau ajaran-ajaranNya di dalam hidup sehar-hari. Sebagai yang terpanggil kita diharapkan memiliki cara melihat, cara merasakan, cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak terhadap segala sesuatu sesuai dengan cara Yesus, bukan cara sendiri alias menurut selera pribadi (Jawa: sak penake wudhele dewe). “Memikul salib” antara lain berarti setia pada panggilan dan tugas perutusan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada kita. “Setia adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka-Jakarta 1997, hal 24). Maka marilah kita mawas diri atas perjanjian-perjanjian yang telah kita buat atau kita ikhrarkan: janji baptis, janji perkawinan, janji imamat, kaul, janji kepegawaian, janji pelajar, sumpah jabatan, dst.. Marilah kita kerahkan atau persembahkan seutuhnya diri kita maupun segala milik kita untuk menghayati atau melaksanakan janji-janji yang pernah kita buat atau ikhrarkan. Memang setia pada janji tidak akan pernah terlepas dari aneka macam bentuk perjuangan dan penderitaan sebagai konsewensi kesetiaan kita, sebagaimana telah dihayati oleh Yesus, Penyelamat Dunia, yang rela menderita dan wafat di kayu salib demi keselamatan dunia seisinya.
· “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan” (Flp 2:14-16a), demikian nasihat Paulus kepada umat di Filipi, kepada kita semua orang beriman, yang terpanggil. “Jangan bersungut-sungut dan berbantah-bantah” alias jangan mengeluh, menggerutu dalam menghayati atau melaksanakan panggilan dan tugas perutusan. Mengeluh dan menggerutu berarti berpikir negatif terhadap segala sesuatu, maka yang bersangkutan pasti tidak akan mampu menghayati dan melaksanakan panggilan dan tugas perutusan sebagaimana mestinya. Sebaliknya marilah kita senantiasa berpikir positif terhadap segala sesuatu, senantiasa melihat dan mengakui apa yang baik, mulia, indah dan luhur dalam segala sesuatu alias mengimani Penyelenggaraan Ilahi, karya Tuhan dalam segala sesuatu. Segala sesuatu ada dalam hadirat Tuhan atau Tuhan hidup dan berkarya di dalam segala sesuatu, itulah kebenaran iman yang harus kita hayati. Siapapun tidak menghayati kebenaran iman ini berarti ‘bengkok hatinya dan tersesat’, sebaliknya yang mengimani dan menghayati akan ‘bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia”. Sebagai orang beriman, kehadiran dan sepak terjang kita dimanapun dan kapanpun diharapkan menjadi ‘bintang yang bercahaya’, sehingga membantu siapapun dalam mengusahakan kebenaran-kebenaran dan menghayatinya.
“Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup! Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (Mzm 27:13-14)
Jakarta, 5 November 2008
Note: renungan sebelumnya, buka: www.ekaristi.org. Sebarkan ke teman lain
Kontributor: Ign.Sumarya SJ
Subscribe to:
Posts (Atom)