Lama sekali kelompok doa meditasi kitab suci kami tidak bertemu. Kesibukan dan permasalahan masing-masing menjadi alasan, belum lagi ada juga teman-teman yang sudah pindah dan tidak bersama kami lagi.
Hari Jumat kemarin dalam pertemuan semua energi seakan memenuhi kekosongan yang sebelumnya sehingga berbagai hal segera saja muncul dalam benakku.
Bacaan kemarin adalah Matius 13: 33-38, Yesus ditolak di Nazaret.
Yang pertama mengusikku adalah kenangan masa kecil ketika aku ikut Sekolah Minggu dari Ikatan Keluarga Kristen Protestan dan Katolik. Waktu itu aku terusik karena disebutkan Yesus memiliki adik-adik dan aku tidak tahu nama-nama mereka. Sebagai anak kecil agak bingung mengetahui bahwa Yesus memiliki saudara sementara aku tahu bahwa Bunda Maria adalah Perawan Suci, dan Yesus dikandung dari Roh Kudus. Pastur paroki yang kutemui kemudian menerangkan bahwa nama saudara-saudara Yesus di dalam Kitab Injil itu bukan berarti adik-adik, tetapi merupakan saudara-saudaranya yang dikenal orang dari Nazaret. Artinya saudara dalam arti bukan dari keluarga inti. Kemudian dalam perjalanan hidup saya mengenal kitab-kitab Apokrif. Sebenarnya saya belum membaca kitab-kitab apokrif, tapi terkadang membaca resensi atau komentar atas kitab itu. Ada satu kisah yang mengisahkan bahwa Yusuf kemudian menikah lagi dengan wanita lain sehingga Yesus memiliki saudara-saudara. Saya jadi ingin tahu bagaimana sebenarnya Gereja Katolik memandang kata 'saudara-saudara' itu. Ternyata tidak berubah dari yang pernah diterangkan padaku di masa kecil dahulu, saudara-saudara Yesus tidak berarti saudara kandung dalam artian keluarga inti.
Hal lain yang terasa menggelitik adalah perbedaan antara Matius, Markus (Mrk 6: 1-6a), dan Lukas (Luk 4: 16- 30) dalam mengisahkan kembali kisah Yesus ditolak di Nazaret. Lukas berkisah paling detail, dan membaca Injil Lukas membuat saya bertanya dalam hati, "Bukankah meminta hasil pencapaian sebelum mengakui prestasi sesorang adalah sangat manusiawi?" Sedari kecil kita diajarkan untuk membuktikan diri, memberikan prestasi dahulu baru bisa dipercaya orang lain. Memang kasusnya akan berbeda untuk iman, tetapi ketika kita masuk dalam kisah Injil ini dimana Yesus merupakan salah satu dari bagian kehidupan harian mereka, tentunya wajar mendapatkan perlakuan sama. Yang menarik dari Injil Lukas, terasa Yesus justru memancing kemarahan orang-orang tersebut dengan menyebutkan contoh-contoh bagaimana nabi-nabi tidak melakukan mujizat di tempat asalnya.
Kekurang-percayaan berubah menjadi kemarahan. Hal ini berbeda dengan pengalaman Simon Petrus (Mat 14: 22-33) yang mencoba berjalan di atas air, ketika imannya goyah Yesus hanya memarahinya "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" lalu menolongnya. Tapi satu hal langsung terbersit jelas disana. Simon Petrus berteriak minta tolong kepada Yesus! Orang yang percaya akan datang meminta...
Mintalah maka akan diberikan!
Bapa kami yang ada di surga
Dimuliakanlah namaMu
Datanglah kerajaanMu
Di atas bumi seperti di dalam surga
Berilah kami rejeki pada hari ini
dan ampunilah kesalahan kami
seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami
Janganlah masukkan kami ke dalam percobaan
tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat, Amin.
No comments:
Post a Comment