Dalam bulan Kitab Suci 2009 kami diajak Keuskupan Agung Jakarta meletakkan perjuangan hidup ini dalam terang sabda Tuhan. Ada empat pertemuan yang diharapkan menginspirasi kehidupan umat KAJ dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Pertama-tama kami diajak masuk ke dalam diri kami sendiri melalui "Perjuangan hidup dalam diriku". Ayub 7:1-10 meperlihatkan keluhan Ayub bahwa hidup itu berat. Yang menarik bagiku justru berada di ayat 17-19 yaitu ketika Ayub berkata: "Apakah gerangan manusia sehingga dia Kauanggap agung, dan Kau perhatikan, dan Kau datangi setiap pagi, dan Kau uji setiap saat? Bilakah Engkau mengalihkan pandanganMu daripadaku dan membiarkan aku, sehingga aku sempat menelan ludahku?"
Ayub melihat Tuhan mengunjunginya setiap hari, melihat bahwa pandanganNya tidak lekang dari wajah umatNya. Tetapi Ayub melihat Tuhan bagaikan sipir penjara yang setiap saat ingin menangkap kesalahan yang diperbuat manusia.
Aku merasa beruntung karena dari kecil belajar melihat Tuhan sebagai Bapa Yang Maha Pengasih. Tetapi, dari sudut pandang ini juga aku seringkali terjebak, menantikan terlalu banyak dariNya. Padahal Bapa ingin mendewasakan diriku, mengajariku mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendakNya. Aku tidak terbiasa mengambil keputusan untuk diriku sendiri, dan Ia ingin aku belajar untuk itu. Karena itu aku sering menuduhNya diam, seakan tidak memperhatikanku. Ayub mengingatkanku bahwa Tuhan tidak pernah mengalihkan pandanganNya dariku...
Tuhan diam dalam mataku, tapi belum tentu demikian. Aku sudah menemukannya melalui meditasi yang lalu, tapi sebenarnya dalam kitab Ayub ini sudah dikatakan bahwa Allah berfirman kepada manusia dengan berbagai-bagai cara. Ayub 33:14 "Karena Allah berfirman dengan satu dua cara, tetapi orang tidak memperhatikannya." Memang benar, pikiranku terkadang terlalu sibuk untuk berpikir, untuk bertanya padaNya tanpa memberikan Dia kesempatan untuk menjawab. JawabanNya yang kutunggu masih jawaban langsung seperti ketika Abraham, Musa, dan juga Ayub bercakap dengan Tuhan. Kini, ketika aku menyediakan waktu untuk hening dan membiarkan Roh Kudus membimbing telinga dan hatiku pada sabdaNya...kutemukan jawabNya pada setiap orang yang kutemui.
Pergumulan diriku belum selesai, karena nafasku masih di badan, tapi aku tidak lagi sendiri sebab kutahu Bapaku di surga tidak akan membiarkan aku sendirian, kutahu bahwa Ia tidak melepaskan pantauanNya dariku.
Setelah pergumulan diri, kami diajak merenungkan "Perjuangan hidup dalam keluarga". Bacaan dari Tobit 2:9-14 mengantar kami ke dalam permenungan itu. Dari bacaan itu terasa sekali pentingnya saling percaya dalam keluarga. Tobit karena keputus-asaan terhadap kebutaannya menjadi mudah marah dan tidak percaya kepada istrinya. Ia kemudian menyesali diri dan memohon ampunan Tuhan. "Ya Tuhan, ingatlah aku. Pandangilah aku! Janganlah wajahMu Kau palingkan daripadaku, ya Tuhan."
Kalau kita melangkah sedikit lebih jauh dari bacaan Tobit yang diberikan Gereja untuk renungan Kitab Suci itu, kita akan menemukan juga kisah Sara anak perempuan Raquel. Dalam keputus-asaan karena didera hinaan sebab tujuh laki-laki yang memperistrinya semua meninggal sebelum bersatu dengannya, Sara ingin menghabisi hidupnya. Beruntung bahwa ia ingat kenistaan yang akan diperoleh ayahnya karena tindakan itu, sehingga ia kemudian ingat untuk memohon pada Tuhan agar ia dipanggilNya kembali ke rumahNya.
Bila kita meneruskan membaca kitab Tobit dan membaca bagaimana Sara terlepas dari cengkeraman Asmodeus, setan jahat yang membuatnya ternistakan, maka kita akan melihat bagaimana pergumulan dalam keluarga terjadi. Kita bisa memperoleh pedoman, bagaimana pernikahan patut dimulai dengan doa. Satu catatan yang perlu digaris bawahi dari Kitab Tobit adalah Tobit 4:15 "Apa yang tidak kau sukai sendiri, janganlah kau perbuat kepada siapapun..."
Ketakutan Hana, istri Tobit, akan keselamatan anaknya Tobia merupakan reaksi wajar seorang ibu terhadap masa depan anaknya. Dengan berdoa memohon berkat dan bimbingan Tuhan, niscaya kita bisa juga berkata: "Aku tidak takut, karena malaikat baik menyertai perjalanannya..." Dalam setiap perjalanan...Perjalanan suami, istri, maupun anak-anak, memohonkan pendampingan dariNya akan memberikan bekal keselamatan yang besar. Sayangnya kita seringkali lupa akan hal ini, lebih sibuk mengantisipasi semua kemungkinan yang terlihat nyata. Setidaknya ini yang kualami, semua kemungkinan kutimbang dan kupersiapkan, tetapi kadar doaku mungkin tidak sebesar persiapan duniawi...dan seperti Ayub, semua diambil dalam sekejab, perhitungan model apapun tidak bisa melawan kenyataan yang terjadi. Pasrahkan diri kepada kehendakNya, cari kehendakNya jauh ke dalam lubuk hatimu...
Permenungan ketiga membawaku ke dalam "Perjuangan hidup dalam lingkungan dan masyarakat". Nehemia 6:1-14 membukakan hatiku pada ayat 9: Karena mereka semua mau menakut-nakuti kami, pikirnya: "Mereka akan membiarkan pekerjaan itu, sehingga tidak dapat diselesaikan." Tetapi aku justru berusaha sekuat tenaga.
Berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan bagi kemuliaan Tuhan, itulah yang kuperoleh dari Nehemia. Nehemia bekerja tanpa mencari keuntungan, bahkan dia harus mengeluarkan biaya untuk memberi makan para pekerja yang datang bekerja untuk membangun kembali tembok Yerusalem. Terus terang tugas pelayanan memang tidak terlihat upahnya, bahkan seringkali rasa terima kasih juga tidak muncul dari yang dilayani. Pelayanan diterima seakan sudah seharusnya terjadi, taken for granted, dan seringkali hal ini melelahkan batin. Terutama dalam kehidupan masa kini dimana materi memiliki peran yang sangat besar dalam aspek kehidupan keluarga.
Pendidikan sangat mahal bila dibandingkan dengan penghasilan, apalagi kalau ingin mencari sekolah Katolik yang sudah mapan...katanya sekolah Katolik identik dengan mahalnya...Sedikit memalukan sebenarnya mendengar ungkapan ini. Sebenarnya masa aku sekolah dahulu sistem subsidi silang berjalan dengan baik di sekolahku yang termasuk sekolah Katolik ternama. Tapi, entah bagaimana keadaan sekarang ini...Yang jelas sekolah Katolik di lingkungan terdekatku memang cukup aduhai iinvestasinya.
Ketika kebutuhan untuk hidup semakin mengencangkan ancang-ancang untuk mengumpulkan materi, maka keseimbangan hidup rohani sangat mungkin terganggu. Pilihan untuk pelayanan yang jelas-jelas tidak menghasilkan materi, justru seringkali membutuhkan pengorbanan waktu dan materi, seakan merupakan pilihan bodoh di masa kini. Yang mana yang ingin kudahulukan? Kebutuhan keluarga atau panggilan hati? Memenuhi panggilan hati tapi melalaikan kebutuhan keluarga juga berarti tidak menjaga titipan Tuhan secara benar...Keseimbangan dan kemampuan memilih (discernment)hanya bisa diperoleh melalui kedekatan denganNya. Semoga kami semua cukup dimampukan untuk tetap berjaga-jaga dalam doa, tetap siaga dengan buli-buli minyak yang dipersiapkan secara ekstra, dalam menyambut kedatanganNya kembali...
Pertemuan terakhir adalah "Perjuangan hidup dalam berbangsa dan bernegara". Kali ini Paulus melalui suratnya pada umat di Roma (Roma 13:1-7) mengajak untuk melihat keberadaan komunitas Gereja dalam lingkup komunitas yang lebih besar lagi yaitu dalam kehidupan bernegara. Yang menarik aku pada pertemuan kali ini adalah ayat 5: "Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita."
Pemerintah dilihat sebagai perpanjangan tangan Allah, agar orang berbuat baik melaksanakan perintah Allah. Itulah tempat bagi adanya hukum dalam kehidupan bernegara. Tapi bagaimana bila hukum tidak dipergunakan sebagaimana seharusnya? Bila peyelewangan terjadi dan bila pemerintah tidak lagi bertindak sebagai perpanjangan tangan Allah demi kebaikan dan kesejahteraan seluruh warganya? Saya rasa, di titik inilah suara hati digunakan. Kita berbuat baik bukan karena takut akan hukuman yang akan muncul bila kita tidak melakukan kebaikan tersebut, tetapi kita berbuat baik (boleh dibaca patuh pada hukum negara) karena hati nurani yang meminta.
Sebenarnya kita sudah mengetahui dari Kitab Suci Perjanjian Lama, betapa banyak orang terpilih yang kemudian ingkar dari tugasnya. Saul, adalah contoh yang masih saya ingat dari kisah perseteruannya dengan Daud. Sebagai orang yang dipilih Tuhan (1 Samuel 10:24), ia tidak berserah seutuhnya pada kehendak Tuhan. Ia goyah ketika merasa sendirian dalam kepungan Filistin (1 Samuel 13) dan dukungan Tuhan untuk kepemimpinannya lalu dialihkan kepada Daud. Atau kisah Musa yang tidak bisa memasuki tanah yang dijanjikan karena ia goyah ketika menghadapi ketidak-puasan orang Israel (Bilangan 20:12 dan Ulangan 4:21). Sepatutnya kita mendoakan mereka yang mendapatkan mandat dari bangsa ini agar mampu bertugas dengan nurani yang bersih dan tetap takut akan Allah. Sementara itu sebagai bagian dari bangsa, mari kita berbuat sesuai dengan talenta masing-masing...satu untuk yang punya satu talenta, lima untuk yang dipercayai dengan lima talenta...Bila setiap orang menggandakan talentanya dalam nama Tuhan, maka niscaya kemajuan bangsa dan negara akan muncul, karena Tuhan juga menginginkan kita mencintai dan melayani sesama...
Tuhan,
Terima kasih atas berkatMu yang berlimpah,
Mampukan kami untuk menang dalam pergumulan kehidupan,
Dalam kehidupan pribadi,
Dalam kehidupan keluarga,
dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara...
Lindungi dan bimbing para pemimpin dan pemikir bangsa ini,
Agar mampukan bangsa ini untuk bangkit dan mensejahterakan rakyat...
Amin.
No comments:
Post a Comment