Saturday, August 29, 2009

Gadis-gadis yang Bijaksana dan Gadis-gadis yang Bodoh

Jumat lalu, bacaan yang menjadi dasar dari pertemuan kami adalah Matius 25:1-13, mengenai gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh.

Sama seperti teman-teman yang lain, saya juga tercengang pada ayat 8-9. Ketika mempelai sudah datang dan gadis-gadis yang tidak membawa minyak cadangan untuk pelitanya meminta kepada gadis-gadis bijaksana, yang membawa minyak dalam buli-buli mereka, ternyata gadis-gadis bijaksana tersebut menolaknya. Selama ini kita selalu diajarkan untuk belajar berbagi, mau membantu sesama, dan memberikan ikan dan roti bagi sesama...sesedikit apapun yang kita miliki. Mengapa tiba-tiba kami mendapatkan contoh perbuatan egoistis yang dipuji sebagai bijaksana? Bila saja gadis-gadis yang membawa buli-buli itu mau membagikan minyaknya maka lima gadis yang datang tanpa persiapan minyak tidak akan terkunci di luar ruang perjamuan. Tentunya mereka semua sudah ikut masuk ke dalam perjamuan itu.

Bagaimana situasi pesta pernikahan pada masa itu kurang kuketahui, tetapi bisa dibayangkan bahwa mereka diharapkan menyalakan pelita sepanjang pesta. Karena itulah tentunya gadis-gadis bijaksana itu menolak memberikan minyaknya, karena mereka tidak ingin kehabisan minyak sebelum pesta usai.

Bagi saya pribadi ada hal-hal kontradiksi yang terasa. Dahulu, sebelum mempunyai anak kehidupanku adalah kehidupan yang penuh rencana. Memiliki anak rupanya memiliki banyak dimensi yang tidak terencana. Bahkan perencanaan kehamilanpun tidak selalu bisa kita kendalikan. Perkembangan seorang anak adalah mujizat Tuhan yang senantiasa membuatku tercengang. Betapapun, banyak hal dimana waktuNya bukan waktuku...rencanaNya bukan rancanganku. Maka aku lalu membiarkan Dia yang menyusun rencana. Hidupku menjadi sedikit tidak terencana, membiarkan semua mengalir seperti air. Yang terbayang ketika membaca kutipan Injil ini adalah perubahan sikapku. Aku yakin sebelum punya anak pasti aku akan membawa buli-buli persediaan minyak, sama seperti begitu detailnya persiapan pernikahanku kurencanakan dan kususun. Tapi terbayang dengan kondisi harianku saat ini, dimana semua tuntutan harian seakan meminta waktu tanpa sempat berhenti untuk istirahat sejenak...pasti buli-buli itu terlupakan. Mempelai akan segera tiba, minyak di dalam pelita pasti akan cukup...dan kita masih bisa membeli di jalan. Ternyata tidak ada waktu untuk membeli karena mempelai datang terlalu lama, dan bahkan tidak ada waktu untuk masuk ke perjamuan karena pelita keburu padam. Jadi sebenarnya aku yang bijaksana adalah aku yang membiarkan Tuhan yang membuatkan rencana atau aku yang menyusun rencana sendiri?

Karena kutipan Injil ini sebenarnya merupakan salah satu dari beberapa kisah yang ingin menjelaskan tentang akhir zaman, maka beberapa kutipan lain ikut mewarnai pemikiranku. Dalam bacaan sebelumnya tentang hamba yang setia dan hamba yang jahat, hamba yang jahat tidak tahan godaan duniawi untuk bersenang-senang sebelum Tuannya pulang. Ternyata Tuannya pulang dalam saat yang tidak disangkakannya. Begitulah akhir kehidupan manusia tidak pernah bisa diperkirakan waktunya. Tidak bisa kita menunda memenuhi kebutuhan rohani sampai pada saat kita mencapai usia mapan. Bersenang-senang atau bekerja keras selagi masih muda, kata orang. Tapi apakah kita tahu kapan Tuhan akan datang menemui kita?

Kebetulan persoalan yang sangat erat membalut keseharian saya sekarang ini adalah masalah waktu. Membagikan waktu untuk pelayanan di dalam rumah dan di luar rumah, waktu untuk pelayanan di dalam komunitas Gereja dan di luarnya. Dan tiba-tiba terasa betapa Tuhan ingin menunjukkan kebutuhan terbesar untuk menjadi bijaksana adalah:

1. Mengenali kehendakNya; gadis-gadis yang bijaksana tahu bahwa mempelai menginginkan pelita mereka terus menyala hingga akhir pesta, sehingga mereka mempersiapkannya dan menjaganya.

2. Berani membuat keputusan yang tidak populer; menolak membagikan minyak dari buli-buli mereka berarti bisa memberikan pertanda keegoisan, sehingga bisa jadi orang akan mencerca. Gadis-gadis itu tahu apa yang diinginkan dari mereka, bahwa pelita mereka harus tetap terjaga menyala hingga pesta usai, dan mereka dengan tegas mendahulukannya. Mendahulukan kehendak Tuhan seringkali membuat kita juga bagai membuat keputusan yang tidak populer, tapi dengan mengenali kehendakNya dan setia menjaga agar kehendakNya terlaksana adalah suatu tindakan yang bijaksana.

Dalam doa meditasi yang terpikirkan adalah kemampuan untuk menolak kegiatan pelayanan, walaupun itu untuk namaNya, ketika tenaga maupun waktu yang seharusnya kusimpan untuk tugas utamaku dariNya bisa diperkirakan akan habis karena berbagi. Mencari kehendakNya dan mengenali kemampuan menyala pelitaku adalah prioritas utama untuk menjadi bijaksana. Bahkan dengan membiarkan Dia mengisi pelitaku, bisa jadi nyalanya akan lebih panjang daripada yang kuperkirakan, dan terangnya akan lebih cemerlang dari yang dapat kurencanakan.

Tuhan,
Terima kasih atas pencerahanMu bagi kami,
Bimbing kami agar senantiasa bijaksana,
Mengenali kehendakMu
Mengenali kemampuan kami,
Dan mampu setia dalam menjalankan tugas kami bagiMu.
Karena waktu kami adalah milikMu,
Tidak pernah tertebak kapan Kau akan datang menagihnya dari kami
Berikanlah Roh KudusMu agar kami mampu menjadi orang yang bijaksana,
Amin.

No comments:

Post a Comment