Saturday, March 12, 2011

Belajar melepaskan diri

Hari ini adalah minggu ke dua dari program pengajaran 6 minggu Meditasi Kristiani. Minggu pertama saya tidak bisa hadir, tetapi minggu ini saya memaksakan diri untuk hadir. Hari ini topik bahasannya adalah John Main, OSB.

Ada hal menarik yang saya peroleh hari ini dari Bapak Andreas yang membawakan materi pengajaran hari ini. Ketika menerangkan mengenai Pater John Main, OSB. dikatakan bahwa pada saat beliau memutuskan memasuki biara Benediktin, dan diketahui memiliki kebiasaan meditasi yang dipelajarinya dari Swami Satyananda, beliau diminta menghentikan kebiasaan itu. Sebagai biarawan beliau mengikuti perintah pembesar ordonya.

Ketika pertama kali mendengar kisah ini, sebenarnya hal itu tidak terlalu menarik perhatian saya. Tetapi ketika kami selesai dengan acara tanya jawab, baru terasa betapa pentingnya kisah tersebut.

Dalam sesi tanya jawab, ada beberapa pertanyaan yang diajukan. Mulai dari sikap duduk ketika meditasi, hingga pengaturan nafas. Mengenai meditasi dan kontemplasi sebenarnya ada uraian yang cukup mendalam di blog yang satu ini. Saya sendiri akhirnya kembali menanyakan pergumulan saya antara lectio divina dan metoda meditasi kristiani pater John Main ini. Berdasarkan pengalaman saya, kalau saya baru menggunakan cara meditasi lectio divina yang lebih bersifat diskursif, maka keesokan harinya sulit bagi saya untuk memasuki keheningan meditasi kristiani. Sebaliknya, bila hari ini saya menggunakan metode meditasi kristiani, maka keesokan harinya ketika mencoba memasuki kontemplasi yang diskursif saya cenderung mengarah ke keheningan total.

Saya cukup paham bahwa Lectio Divina dan Meditasi Kristiani ini berbeda. Ketika berganti pimpinan doa dan berganti metode membuat saya sedikit terguncang. Lectio Divina yang sudah saya ikuti selama bertahun-tahun sudah menjadi kebutuhan hidup yang menyegarkan dahaga saya akan kehadiranNya. Saya juga bisa merasakan kesegaran lain yang ditawarkan Meditasi Kristiani, tetapi saya menjadi gamang karena kehilangan sabdaNya yang hidup.

Sebenarnya saya sudah pernah mendapatkan apa yang hari ini saya peroleh dari seminar ini, dan saya sudah pernah mengutip tulisan "Menemukan Sendiri Kebenarannya" oleh Romo J. Sudrijanta, SJ di tulisan yang ini.

Bermacam cara doa itu hanyalah kendaraan untuk menjalin kedekatan denganNya. Satu hal itu yang harus saya ingat benar. Sebenarnya kedatangan saya pertama kali ke kelompok doa lectio divina adalah karena mencari rasa bahagia yang pernah hadir dalam keheningan ketika saya menangis kepadaNya. Pada saat itu saya sama sekali tidak menggunakan metoda ajaran apapun. Tentunya saya pernah mendapat bekal meditasi dalam retret-retret di sekolah Katolik tempat saya belajar dulu, tetapi saat itu yang saya lakukan sebenarnya hanyalah menangis kepadaNya. Sebenarnya saya tidak terlalu ingat lagi detail peristiwa itu, yang saya ingat adalah saya mencoba menghadirkan keheningan tempat adorasi kepada Sakramen Mahakudus di Lourdes sana. Awalnya saya menangis kepada Bunda, tetapi terasa benar perasaan bahagia itu datang dari Sang Putra. Dia merengkuh putriNya yang bersedih, dan memberikan kebahagiaan yang tidak sanggup kulukiskan dengan kata-kata. Perasaan bahagia itu memabukkan, dan saya mencoba mencarinya lagi. Itulah yang membuat saya ikut dalam kelompok Lectio Divina.

Hadir dalam kelompok Lectio Divina awalnya terasa tidak sesuai dengan kebutuhanku. Saya mencari keheningan itu, pertemuan denganNya dalam keheningan seperti saat yang lalu itu. Tetapi kemudian saya menemukan betapa Kitab Suci terasa begitu hidup. Belum pernah dalam kehidupan rohaniku saya membaca Kitab Suci dan bisa merasakan betapa isinya tidak pernah lapuk dimakan zaman, betapa FirmanNya begitu hidup untuk keseharianku yang kini.

Kalau membaca uraian dari blog Katolisitas.org, terbaca betapa saya sudah dibimbingNya untuk memasuki Prayer of Recollection, dan sekarang saya sedang diarahkan untuk masuk ke dalam Prayer of Quiet.

Pelajaran paling berharga yang saya peroleh hari ini adalah belajar melepaskan diri dari ketergantungan pada suatu metode atau suatu zona kenyamanan. Sama seperti Pater John Main, OSB belajar untuk mengikuti perintah pembesarnya. Sama seperti Ibu Teresa yang juga harus mematuhi prosedur dalam biaranya sebelum akhirnya diperbolehkan memiliki kongregasinya sendiri. Yang penting bukan kendaraan yang kita gunakan, melainkan kehadiranNya yang menyertai kita, apapun kendaraan yang kita gunakan.

Kemarin saya baru saja mulai membaca buku "Di Dalam Keheningan Hati", renungan Ibu Teresa bersama kerabat kerjanya. Dan mungkin kutipan renungannya yang berasal dari I Korintus 10:31 merupakan panduan utama dalam setiap aktivitas mendatang "Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah." Pembuka renungannya berkata, "Kita tidak dapat mengerjakan pekerjaan besar-hanya pekerjaan kecil dengan cinta kasih yang besar."

Terima kasih Tuhan,
Saya ingin belajar melepaskan diri dari ketergantungan
terhadap rasa nyaman
terhadap rasa dibutuhkan
terhadap rasa berguna
terhadap kesuksesan
terhadap kegembiraan
biarlah saya belajar menggantungkan diri pada hadirMu saja,
hadirlah di dalam hatiku,
terangi sudut-sudut gelap di hatiku,
dan pancarkan sinarMu ke luar hatiku,
karena kehangatanMu menyejukkan,
dan kehadiranMu membahagiakan...
Amin.

No comments:

Post a Comment