Kamis Putih memiliki inti yang sangat mendalam. Betapa Tuhan Yesus Kristus mau merendahkan diri dengan melayani murid-muridNya. Ia mau membasuh kaki dua belas rasul-rasulNya, termasuk Yudas Iskariot yang jelas-jelas akan mengkhianatiNya.
Saya memasukkan tulisan Meidy dalam blog ini karena posisi duduk Yudas yang ditempatkan sebagai tamu kehormatan menggambarkan dilema terberat yang dialami Yudas. Di satu sisi dia memperoleh kebaikan dan kerahiman Yesus, kesempatan untuk berbalik dari rencana pengkhianatanNya. Dilain pihak bisa juga tempat kehormatan itu menjadikan dia semakin mantap merasakan bahwa itulah tugas yang diperolehnya agar Yesus dapat menyatakan kemuliaan diriNya.
Mata manusia tidak sama dalam melihat persoalan di dunia ini, dari Kitab Roma 12: 9-21 terdapat nasihat untuk hidup dalam kasih. Nasihat yang ada mungkin berbeda dengan yang menjadi nasihat duniawi.
Lihatlah ayat 14: Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!
Suatu tindakan yang di mata manusia mungkin tindakan pengecut, membiarkan diri ditekan dan ditindas. Tapi Tuhan ingin kasih yang disebarkan agar semakin banyak yang diselamatkan.
Ayat 17-18: Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung kepadamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!
Ayat 19: Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kau sendiri yang menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hakKU. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.
Ayat 21: Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!
Yesus memberikan pelayanan bagai seorang hamba. Pastur malam ini dalam homilinya mengatakan melayani pada dasarnya adalah mengosongkan diri, memberikan diri sepenuhnya kepada pelayanan. Yesus memberikan diriNya bagi pelayanan umatNya, tapi dia tidak kehilangan jati diriNya yang asli sebagai Putra Allah.
Pada malam setelah perjamuan terakhir ketika kebimbangan dan kesesakan mendera Yesus juga, dia kembali kepada BapaNya dalam doa. Ketika itu berlangsung, murid-murid tertidur. Terkadang kita tidak sanggup ikut berjaga-jaga bersamaNya.
Malam yang menyesakkan ini akan segera berlalu dan berganti dengan penderitaan panjang di dalam jalan salib Kristus.
Saya bersyukur pernah merasakan jalan salib seorang diri di Lourdes. Pada salah satu tempat tertulis "Naiklah dengan berlutut", dan saya menaikinya sendirian dengan berlutut. Orang-orang yang lewat seakan-akan melihat saya dengan pandangan mata aneh, anak-anak ada yang menunjuk-nunjuk. Mungkin hanya perasaan yang terlalu sensitif, merasa terlihat seperti orang gila di tengah hutan di Lourdes. Keinginan terbesar saat itu adalah berdiri dan pergi dari tempat itu. Tapi saya sudah berniat ingin menyelesaikan jalan salib itu walaupun dengan resiko paha dan lutut saya pegal bukan alang kepalang serta muka terasa setebal tembok. Untung kemudian ada juga yang bergabung di bawah saya sehingga muka tembok saya tidak lagi seberat awalnya.
Pengalaman ini sangat berharga bagi saya karena saya bisa merasakan siksaan dan penderitaan terberat yang dialami Yesus, Maria, dan para rasul. Bukan penderitaan fisik yang menjadi penderitaan utama, tapi penderitaan mental! Dan ketika Yesus seorang diri, Dia tidak tahu berapa banyak jiwa yang Dia menangkan, karena Allah memberikan juga kehendak bebas bagi manusia untuk memilih kebaikan atau kejahatan. Dia menjalani semua penderitaan dan penghinaan itu walaupun semua itu bukan kesalahanNya. Dan ironisnya semua itu terjadi karena pilihan orang Yahudi, bangsa yang dipilih Allah.
Mengosongkan diri, melepaskan cita-cita dan keinginan diri sendiri dalam pelayanan bukan berarti menghilangkan jati diri kita sebagai manusia. Dalam Dia kita akan berbuah dan menjadi banyak. Selama tiga hari suci ini kita akan menerima banyak sekali biar kita mau mendengar.
Yesus, Tuhanku...
Di dalam kemelut hati ini, aku tidak ingin menuntut hidup mulus tanpa gelombang.
Memanggul salib itulah tugasku sebagai pengikutMu, bukannya lari menghindar.
Namun Tuhan, saat-saat aku tidak mengerti jalanMu, tunjukkanlah jalanku ke arah rencanaMu.
Waktu kebingungan dan kekhawatiran melanda diriku, janganlah lepaskan tanganku.
Mampukan aku berdiri tegap melawan gelombang perasaanku yang tidak menentu seperti saat ini. Bantulah aku untuk bersabar, penuh kasih dan kerendahan hati. Jangan biarkan aku hanyut melawanMu, menyerah dalam arus percobaan.
Biarlah dekapan kasihMu menguatkan aku untuk berjuang. Menyadarkan aku bahwa aku tidak sendirian, tetapi Engkau tidak pernah lena dan tetap memangku, mendekapku dalam segala suasana yang gelap gulita dan membosankan ini.
Tuhan, biarlah aku semakin murni dalam genggaman kuasa dan kasihMu
(Doa Dalam Kesesakan, imprimatur: J. Harjoyo, Pr.)
Blog ini semula adalah blog meditasi pribadi, sejak Paskah 2008 saya buka untuk teman-teman yang ingin berpartisipasi. Sementara ini sesuai dengan namanya "Perjalanan menelusuri kata-kataNya" lebih mengarah ke pendalaman iman lewat meditasi kitab suci, tapi dengan masuknya kontributor lain terbuka kemungkinan bentuk posting yang berbeda.
Thursday, March 20, 2008
Versi Lain dari “Perjamuan Malam Terakhir” (The Last Supper)
Tulisan dan foto ini berasal dari wikimu.com, dari kontributor: Meidy
Pada akhir September 2005 ketika saya dan rombongan tour berkunjung ke Bethlehem, kami singgah di tempat penjualan berbagai cenderamata. Dari sekian banyak barang yang dipajang, saya tertarik pada sebuah patung hasil pahatan dari kayu pohon Zaitun. Pahatan itu menggambarkan suasana Perjamuan Malam Terakhir (The Last Supper). Di sana oleh pemahatnya digambarkan posisi Yesus tidak berada di tengah-tengah seperti karya Leonardo Da Vinci.
Local guide kami (Jeries Farah) menerangkan bahwa posisi Yesus berada di sebelah kiri dan itu menurut cerita yang ada dalam kitab suci (tentu saja sesuai imajinasi si pemahat). Jeries lalu berjanji mengirimkan via email deskripsi tentang patung tersebut kenapa Yesus berada di posisi sebelah kiri. Patung itu kemudian saya beli meskipun harganya cukup mahal.
Mengapa saya nekat membelinya? Karena patung itu tidak sama dengan yang digambarkan oleh Leonardo Da Vinci dalam karyanya “The Last Supper” yang menggambarkan suasana Perjamuan Malam Terakhir dari Yesus beserta murid-muridNya. Yesus dalam The Last Supper digambarkan berada di tengah-tengah para murid-murid tersebut.
Namun tafsir yang berbeda dipunyai oleh pemahat patung yang saya beli di Bethlehem. Berikut adalah sekilas gambaran mengapa posisi Yesus diletakkan di sebelah kiri meja perjamuan (lihat skets) seperti informasi dalam email yang dikirimkan oleh Jeries (local guide).
Gambar tersebut menunjukkan pengaturan tempat duduk yang sesuai dengan cara perjamuan Malam Paskah pada meja bersambung yang disebut juga 'triclinium', sebuah kebiasaan khas masa Romawi. Selama perjamuan, ada kebiasaan untuk bersandar pada siku kiri sementara makan dengan menggunakan tangan kanan. Sayap kiri dari meja perjamuan merupakan bagian paling terhormat dalam perjamuan ini. Tuan rumah biasanya menduduki posisi kedua dari ujung meja (# 1). Di sebelah kanan dan kiri dari tuan rumah juga merupakan posisi terhormat (# 2 dan # 3).
Yesus adalah tuan rumah maka Dia ditempatkan di posisi # 1.
Yohanes yang merupakan salah satu murid kesayangan Yesus digambarkan berada di sebelah kananNya (# 2), yang menempati posisi # 3 adalah Yudas Iskariot (murid yang akhirnya mengkhianati Yesus), sedangkan posisi # 4 adalah Petrus.
Ada beberapa hal mengapa bukan Petrus yang menduduki posisi # 3 tapi posisi # 4 :
** Ketika Yesus mengumumkan salah satu dari pengikutNya akan mengkhianatiNya, Petrus meminta Yohanes untuk bertanya siapa yang akan mengkhianati Yesus (Yoh 13:23-26). Karena posisi yang lain agak berjauhan maka kemungkinan terbesar posisi Petrus berseberangan dengan Yohanes yaitu posisi # 4.
** Ketika Yesus membasuh kaki para rasul terlihat bahwa Petrus adalah orang terakhir yang dibasuh kakinya (Yoh 13:6). Biasanya orang yang duduk di posisi # 4 yang seharusnya menawarkan diri untuk membasuh kaki yang lain.
Sedangkan mengapa digambarkan Yudas ada di posisi # 3 (yaitu kursi kehormatan) yaitu:
** Sepotong roti yang dicelupkan ke makanan utama (sup) biasanya diberikan kepada tamu kehormatan (Yoh 13:26)
** Yudas pasti berada dekat Yesus karena dia bisa mencelupkan makanannya ke dalam cawan yang sama dengan Yesus (Mat 26:23). Yesus walaupun sudah tahu bahwa Yudas merencanakan pengkhianatan tetap memberikan kerahiman dan kesempatan untuk berbalik dari rencananya hingga saat-saat terakhir. Bila rekonstruksi ini benar maka keberadaan Yesus yang sungguh dekat dengan Yudas sepanjang perjamuan itu tentunya memperkeras konflik batin yang dirasakan Yudas (Mat 26:14-16)
Demikian sekilas cerita tentang salah satu koleksi yang saya anggap berharga dibandingkan cindera-cindera mata lain yang saya beli di setiap tempat yang saya kunjungi.
Catatan dari Meidy:
Special thanks to Jeries Farah (www.tanahsuci.com), Romo Karoldus Jamrevav MSC yang telah membuat perjalanan tersebut menjadi salah satu bagian terindah dalam hidup saya.
Pada akhir September 2005 ketika saya dan rombongan tour berkunjung ke Bethlehem, kami singgah di tempat penjualan berbagai cenderamata. Dari sekian banyak barang yang dipajang, saya tertarik pada sebuah patung hasil pahatan dari kayu pohon Zaitun. Pahatan itu menggambarkan suasana Perjamuan Malam Terakhir (The Last Supper). Di sana oleh pemahatnya digambarkan posisi Yesus tidak berada di tengah-tengah seperti karya Leonardo Da Vinci.
Local guide kami (Jeries Farah) menerangkan bahwa posisi Yesus berada di sebelah kiri dan itu menurut cerita yang ada dalam kitab suci (tentu saja sesuai imajinasi si pemahat). Jeries lalu berjanji mengirimkan via email deskripsi tentang patung tersebut kenapa Yesus berada di posisi sebelah kiri. Patung itu kemudian saya beli meskipun harganya cukup mahal.
Mengapa saya nekat membelinya? Karena patung itu tidak sama dengan yang digambarkan oleh Leonardo Da Vinci dalam karyanya “The Last Supper” yang menggambarkan suasana Perjamuan Malam Terakhir dari Yesus beserta murid-muridNya. Yesus dalam The Last Supper digambarkan berada di tengah-tengah para murid-murid tersebut.
Namun tafsir yang berbeda dipunyai oleh pemahat patung yang saya beli di Bethlehem. Berikut adalah sekilas gambaran mengapa posisi Yesus diletakkan di sebelah kiri meja perjamuan (lihat skets) seperti informasi dalam email yang dikirimkan oleh Jeries (local guide).
Gambar tersebut menunjukkan pengaturan tempat duduk yang sesuai dengan cara perjamuan Malam Paskah pada meja bersambung yang disebut juga 'triclinium', sebuah kebiasaan khas masa Romawi. Selama perjamuan, ada kebiasaan untuk bersandar pada siku kiri sementara makan dengan menggunakan tangan kanan. Sayap kiri dari meja perjamuan merupakan bagian paling terhormat dalam perjamuan ini. Tuan rumah biasanya menduduki posisi kedua dari ujung meja (# 1). Di sebelah kanan dan kiri dari tuan rumah juga merupakan posisi terhormat (# 2 dan # 3).
Yesus adalah tuan rumah maka Dia ditempatkan di posisi # 1.
Yohanes yang merupakan salah satu murid kesayangan Yesus digambarkan berada di sebelah kananNya (# 2), yang menempati posisi # 3 adalah Yudas Iskariot (murid yang akhirnya mengkhianati Yesus), sedangkan posisi # 4 adalah Petrus.
Ada beberapa hal mengapa bukan Petrus yang menduduki posisi # 3 tapi posisi # 4 :
** Ketika Yesus mengumumkan salah satu dari pengikutNya akan mengkhianatiNya, Petrus meminta Yohanes untuk bertanya siapa yang akan mengkhianati Yesus (Yoh 13:23-26). Karena posisi yang lain agak berjauhan maka kemungkinan terbesar posisi Petrus berseberangan dengan Yohanes yaitu posisi # 4.
** Ketika Yesus membasuh kaki para rasul terlihat bahwa Petrus adalah orang terakhir yang dibasuh kakinya (Yoh 13:6). Biasanya orang yang duduk di posisi # 4 yang seharusnya menawarkan diri untuk membasuh kaki yang lain.
Sedangkan mengapa digambarkan Yudas ada di posisi # 3 (yaitu kursi kehormatan) yaitu:
** Sepotong roti yang dicelupkan ke makanan utama (sup) biasanya diberikan kepada tamu kehormatan (Yoh 13:26)
** Yudas pasti berada dekat Yesus karena dia bisa mencelupkan makanannya ke dalam cawan yang sama dengan Yesus (Mat 26:23). Yesus walaupun sudah tahu bahwa Yudas merencanakan pengkhianatan tetap memberikan kerahiman dan kesempatan untuk berbalik dari rencananya hingga saat-saat terakhir. Bila rekonstruksi ini benar maka keberadaan Yesus yang sungguh dekat dengan Yudas sepanjang perjamuan itu tentunya memperkeras konflik batin yang dirasakan Yudas (Mat 26:14-16)
Demikian sekilas cerita tentang salah satu koleksi yang saya anggap berharga dibandingkan cindera-cindera mata lain yang saya beli di setiap tempat yang saya kunjungi.
Catatan dari Meidy:
Special thanks to Jeries Farah (www.tanahsuci.com), Romo Karoldus Jamrevav MSC yang telah membuat perjalanan tersebut menjadi salah satu bagian terindah dalam hidup saya.
Wednesday, March 19, 2008
Renungan Menjelang Jumat Agung
sumbangan pemikiran dari Phil Lea (kontributor wikimu)
Dramatisasi dan Ironi yang tak pernah dimengerti dan diperdebatkan sepanjang jaman adalah
"Kesengsaraan Kristus"
Dari Injil kita belajar bahwa catatan Alkitab justru memperlambat, memerinci, dan bukannya mempercepat kisah-kisah Minggu sengsara.
Injil adalah riwayat minggu terakhir Yesus dibumi dengan pendahuluan yang semakin lama semakin panjang.
Injil memenuhi hampir sepertiga volumenya dengan minggu terakhir kehidupan Yesus yang terus memuncak.
Injil melihat kematian sebagai pusat misteri Kristus.
2 Injil mencatat kelahiran Kristus, 4 Injil memuat beberapa lembar tentang kebangkitanNya, tapi setiap penutur memberi catatan rinci tentang peristiwa-peristiwa menjelang kematian Kristus.
Bila kita membaca bagian-bagian ini, secara kita tenggelam dalam drama yang menegangkan , gaya bahasanya tidak berbunga-bunga, namun langsung pada tujuan sekaligus mencekam. Tidak ada mujizat, tidak ada penyelamatan Supranatural, yang ada adalah Bahala ( tragedi)
Bagaimana mungkin Anak Allah mati di planet bumi ?
Bagaimana mungkin Mesias, yang seharusnya menyelamatkan umatNya, malah tergantung di tiang salib ?
Bagaimana mungkin Allah dikalahkan ?
Alam sendiri terguncang melihat kejadian itu, tanah terbuka, batu-batu terbelah dan langit menjadi gelap.
Injil memberikan ironis yang kuat, bahwa Kristus sendirilah yang mengatur semua proses ini. Ia dengan mantap menghadapi Yerusalem, tahu akan nasib yang menantiNya disana. Salib memang menjadi tujuannya sejak awal, saat maut mendekat, Kristus mengendalikan semuanya.
Getsemani sebagai puncak kesepian yang tidak pernah dirasakan Yesus sebelumnya.
Seolah Getsemani menggambarkan kisah doa yang tak terjawab. Getsemani adalah sebuah pengalaman diabaikan Allah, dan ini adalah pengalaman baru buat Yesus.
Secara naluriah, kita manusia, ingin seseorang disamping kita pada malam menjelang pembedahan, dirumah jompo ketika kematian mendekat, pendek kata dalam setiap Krisis Besar, kita memerlukan sentuhan yang menenangkan dari keberadaan manusia. Pengucilan kesendirian adalah bentuk terburuk yang diciptakan spesies kita.
Yahudi, sebagai sebuah sistem keagamaan yang paling berpengalaman , berkonspirasi, berkolusi, melakukan permufakatan jahat dengan Romawi, dalam sebuah sistem hukum dan politik paling kuat saat itu. Yesus dibunuh Justru oleh orang-orang beragama, bukan oleh orang-orang Atheis.
Yesus mengalami ketidak adilan justru oleh sistem hukum yang canggih saat itu, bukan diluar hukum tetapi dalam bentuk pemaksaan hukum, walaupun kesalahannya tidak dapat dibuktikan secara hukum.
Yesus akhirnya tergantung nyaris telanjang dengan postur yang paling memalukan. Lemah, ditolak, terkutuk dan benar-benar kesepian.
Mengapa Allah menyembunyikan wajahNya pada saat yang paling kritis, seakan-akan dengan sukarela menyerahkan pada hukum alam yang buta, tuli dan tidak memiliki belas kasihan...( Fyodor Dostoevky )
Pengekangan diri terbesar yang dilakukan Allah sepanjang sejarah. Dia bisa saja membiarkan Hitler, Stalin melakukan kesewenang-wenangan, namun membiarkan anakNya yang tunggal mengalami perlakukan yang begitu brutal, dan berdiam diri saja, dimanakah Allah saat itu ?????
Dalam 7 kalimat yang Yesus ucapkan diatas kayu salib, pada umumnya mengutarakan tentang sesuatu yang lain, bukan tentang kesakitannya. Satu-satunya yang agak dekat dengan keluhan fisik adalah kalimat :"Aku haus", yang ironinya diucapkan oleh seorang yang mengubah berliter-liter air menjadi anggur dan berbicara tentang air hidup yang menghilangkan dahaga selamanya.
Biasanya Kristus menyebut Allah dengan sebutan "Abba atau Bapa", dan hanya sekali ini saja Ia menyebutnya Allah, dalam kalimat, "AllahKu, ya AllahKu mengapa Engkau meninggalkan Aku". Ini adalah sebuah perasaan yang teralienasi, terabaikan, tertolak dan sangat menyakitkan.
CS. Lewis mengatakan: tidak jadi masalah bila diabaikan orang-orang seperti pelayan restoran, swalayan atau orang-orang yang tidak begitu kita kenal, namun bila kita diabaikan oleh orang yang terdekat dengan kita, yang hidup bersamanya bertahun, lalu mendadak mengacuhkan kita, maka itu menjadi masalah besar.
Bagaimanakah dengan kita saat ini..?????
Apakah kita juga mengabaikan dan meninggalkan Dia?
Apakah kita juga larut dalam eforia suksesi penyaliban Dia, ataukah kita memaknai pengorbananNya di kayu salib itu sebagai titik nadir yang membawa kita kepada perubahan Iman dan pelayanan kita kepada sesama..??????
Marilah kita renungkan bersama!
Selamat memasuki Jumat Agung!
Catatan: Terima kasih Pak Phil, rasa sendiri dan ditinggalkan itu sudah akan hadir malam ini dalam acara Tuguran...ternyata murid-muridNya pun tidak sanggup menemani Yesus yang tahu benar apa yang akan dihadapiNya esok. Memang seringkali kita minta Ia temani tapi tidak sanggup menemaniNya.
Dramatisasi dan Ironi yang tak pernah dimengerti dan diperdebatkan sepanjang jaman adalah
"Kesengsaraan Kristus"
Dari Injil kita belajar bahwa catatan Alkitab justru memperlambat, memerinci, dan bukannya mempercepat kisah-kisah Minggu sengsara.
Injil adalah riwayat minggu terakhir Yesus dibumi dengan pendahuluan yang semakin lama semakin panjang.
Injil memenuhi hampir sepertiga volumenya dengan minggu terakhir kehidupan Yesus yang terus memuncak.
Injil melihat kematian sebagai pusat misteri Kristus.
2 Injil mencatat kelahiran Kristus, 4 Injil memuat beberapa lembar tentang kebangkitanNya, tapi setiap penutur memberi catatan rinci tentang peristiwa-peristiwa menjelang kematian Kristus.
Bila kita membaca bagian-bagian ini, secara kita tenggelam dalam drama yang menegangkan , gaya bahasanya tidak berbunga-bunga, namun langsung pada tujuan sekaligus mencekam. Tidak ada mujizat, tidak ada penyelamatan Supranatural, yang ada adalah Bahala ( tragedi)
Bagaimana mungkin Anak Allah mati di planet bumi ?
Bagaimana mungkin Mesias, yang seharusnya menyelamatkan umatNya, malah tergantung di tiang salib ?
Bagaimana mungkin Allah dikalahkan ?
Alam sendiri terguncang melihat kejadian itu, tanah terbuka, batu-batu terbelah dan langit menjadi gelap.
Injil memberikan ironis yang kuat, bahwa Kristus sendirilah yang mengatur semua proses ini. Ia dengan mantap menghadapi Yerusalem, tahu akan nasib yang menantiNya disana. Salib memang menjadi tujuannya sejak awal, saat maut mendekat, Kristus mengendalikan semuanya.
Getsemani sebagai puncak kesepian yang tidak pernah dirasakan Yesus sebelumnya.
Seolah Getsemani menggambarkan kisah doa yang tak terjawab. Getsemani adalah sebuah pengalaman diabaikan Allah, dan ini adalah pengalaman baru buat Yesus.
Secara naluriah, kita manusia, ingin seseorang disamping kita pada malam menjelang pembedahan, dirumah jompo ketika kematian mendekat, pendek kata dalam setiap Krisis Besar, kita memerlukan sentuhan yang menenangkan dari keberadaan manusia. Pengucilan kesendirian adalah bentuk terburuk yang diciptakan spesies kita.
Yahudi, sebagai sebuah sistem keagamaan yang paling berpengalaman , berkonspirasi, berkolusi, melakukan permufakatan jahat dengan Romawi, dalam sebuah sistem hukum dan politik paling kuat saat itu. Yesus dibunuh Justru oleh orang-orang beragama, bukan oleh orang-orang Atheis.
Yesus mengalami ketidak adilan justru oleh sistem hukum yang canggih saat itu, bukan diluar hukum tetapi dalam bentuk pemaksaan hukum, walaupun kesalahannya tidak dapat dibuktikan secara hukum.
Yesus akhirnya tergantung nyaris telanjang dengan postur yang paling memalukan. Lemah, ditolak, terkutuk dan benar-benar kesepian.
Mengapa Allah menyembunyikan wajahNya pada saat yang paling kritis, seakan-akan dengan sukarela menyerahkan pada hukum alam yang buta, tuli dan tidak memiliki belas kasihan...( Fyodor Dostoevky )
Pengekangan diri terbesar yang dilakukan Allah sepanjang sejarah. Dia bisa saja membiarkan Hitler, Stalin melakukan kesewenang-wenangan, namun membiarkan anakNya yang tunggal mengalami perlakukan yang begitu brutal, dan berdiam diri saja, dimanakah Allah saat itu ?????
Dalam 7 kalimat yang Yesus ucapkan diatas kayu salib, pada umumnya mengutarakan tentang sesuatu yang lain, bukan tentang kesakitannya. Satu-satunya yang agak dekat dengan keluhan fisik adalah kalimat :"Aku haus", yang ironinya diucapkan oleh seorang yang mengubah berliter-liter air menjadi anggur dan berbicara tentang air hidup yang menghilangkan dahaga selamanya.
Biasanya Kristus menyebut Allah dengan sebutan "Abba atau Bapa", dan hanya sekali ini saja Ia menyebutnya Allah, dalam kalimat, "AllahKu, ya AllahKu mengapa Engkau meninggalkan Aku". Ini adalah sebuah perasaan yang teralienasi, terabaikan, tertolak dan sangat menyakitkan.
CS. Lewis mengatakan: tidak jadi masalah bila diabaikan orang-orang seperti pelayan restoran, swalayan atau orang-orang yang tidak begitu kita kenal, namun bila kita diabaikan oleh orang yang terdekat dengan kita, yang hidup bersamanya bertahun, lalu mendadak mengacuhkan kita, maka itu menjadi masalah besar.
Bagaimanakah dengan kita saat ini..?????
Apakah kita juga mengabaikan dan meninggalkan Dia?
Apakah kita juga larut dalam eforia suksesi penyaliban Dia, ataukah kita memaknai pengorbananNya di kayu salib itu sebagai titik nadir yang membawa kita kepada perubahan Iman dan pelayanan kita kepada sesama..??????
Marilah kita renungkan bersama!
Selamat memasuki Jumat Agung!
Catatan: Terima kasih Pak Phil, rasa sendiri dan ditinggalkan itu sudah akan hadir malam ini dalam acara Tuguran...ternyata murid-muridNya pun tidak sanggup menemani Yesus yang tahu benar apa yang akan dihadapiNya esok. Memang seringkali kita minta Ia temani tapi tidak sanggup menemaniNya.
Mari Berbagi
Mulai hari ini blog ini akan memuat juga sumbangan tulisan dari rekan-rekan lain yang berminat mengisi dan berbagi pandangan.
Mari berbagi, karena setiap pengalaman kita merupakan karunia Allah yang bisa dibagikan kepada sesama. Karena bukan materi semata yang bisa dibagikan tapi saling menguatkan dalam pengalaman hidup maupun pemikiran terkadang menjadi suara yang dipinjam Tuhan untuk menjawab manusia.
Mari berbagi, karena setiap pengalaman kita merupakan karunia Allah yang bisa dibagikan kepada sesama. Karena bukan materi semata yang bisa dibagikan tapi saling menguatkan dalam pengalaman hidup maupun pemikiran terkadang menjadi suara yang dipinjam Tuhan untuk menjawab manusia.
Sunday, March 16, 2008
Tuhan Yang Membangun Rumah
Kemarin saya menghadiri sebuah pernikahan di gereja Kristen. Pak pendeta memberikan wejangan pernikahan kepada kedua mempelai, sebagai calon suami-isteri mereka diharapkan mengerti bahwa ke depan akan banyak pergumulan yang harus mereka lalui.
Satu ayat yang digunakan pendeta tersebut sungguh-sungguh mengena di hati saya. Mazmur 127: 1; Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.
Kutipan di atas menyentuh saya karena saya dapat merasakan kebenaran dan penguatan di dalamnya. Komitmen pernikahan bukan hal yang mudah untuk saya ambil. Mungkin malah merupakan satu-satunya keputusan yang saya pikirkan matang-matang selama hidup saya. Bukan hanya saya pikirkan, tapi juga saya tanyakan padaNya. Dan saya merasa Dia diam membisu. Dia membiarkan saya mengambil keputusan itu sendiri. Sekarang setelah cukup lama merenungkannya saya menyadari kesalahan saya, saya bertanya kemana-mana, bahkan mencari wahyuNya dari setiap gereja yang saya masuki, dari beberapa pastur yang saya kenal, tapi tidak berhenti…hening…dan mencari Dia dengan sungguh-sungguh dalam hatiku.
Keputusan sudah diambil, komitmen sudah dibuat, janji sudah menjadi sumpah di atas Alkitab. Dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit…
Ketika gelombang menerpa biduk yang sedang berlayar, dalam badai yang kuat menggoncangkan jiwa, ternyata Dia mengawal biduk ini. Dia yang diam, ternyata ada disini menemani perjalanan. Dia berada di ruang nahkoda, dan segera keluar ketika kucari tuntunanNya.
Ternyata dalam diamNya Dia terus memantau apakah anakNya terus berlatih berjalan, atau akan jatuh tersandung. Dan Dia hadir disana memegang tanganku menguatkan jalanku.
Kemarin saya merasa dikuatkan, karena ketika pendeta membacakan Mazmur tersebut, pembuka dari kidung ziarah Salomo, saya merasa bahwa Tuhan mengingatkan saya bahwa Ia turut membangun rumah tangga kami. Itulah sebabnya ketika saya merasa lelah untuk terus membangunnya, Dia tampil dan menyegarkanku dengan air kehidupanNya.
Satu dasawarsa berlalu dan Dia masih terus menerus menguatkan diriku. Saya percaya Dia juga sedang bekerja dalam hati suamiku. Kami berangkat dengan semangat besar untuk meniru teladan Keluarga Kudus, semoga ke depannya tidak pernah kalah melawan gelombang badai karena Nahkoda kami adalah yang terbaik!
Ketika mencoba menuliskan tulisan ini, saya membaca lanjutan dari Mazmur 127. Banyak hal yang terbukakan bagiku, tapi yang paling mencerahkan (atau mungkin juga menjadi tuntutanNya) adalah ayat 3-5: “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada Tuhan, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu…”
Pusaka, milik Tuhan, demikian berharga anak-anak yang dititipkanNya kepada kami. Anak-anak adalah anak panah di tangan pahlawan, yang akan meruncingkannya, dan memasangkannya pada busur serta membidikkannya ke arah yang tepat agar bisa berguna. Dan Dia memberikan tugas menjadi pahlawan itu kepada orang tua. Saya percaya bahwa Dia akan berada di garis depan bersama kami, memberikan arahan yang tepat dan menarik kami dari bencana bila kami lengah.
Bapa,
BerkatMu melimpah pada kami,
Yang seringkali tidak sadar akan pengawalanMu,
Yang sering terlalu mengandalkan diri kami sendiri,
Dan sering melupakan kehadiranMu untuk bertanya,
Bayi-bayi kecil, mungil, lucu, menggemaskan,
Sudah menjadi anak-anak kecil cerdas, penuh tanya, penuh kecerobohan dan petualangan,
Terkadang kelelahan dan tekanan kehidupan mendera kami ya Bapa.
Janganlah Dikau melepaskan tangan-tangan kami,
Biarlah kami bergantung padaMu dan bertumbuh dalam iman padaMu,
Amin.
Satu ayat yang digunakan pendeta tersebut sungguh-sungguh mengena di hati saya. Mazmur 127: 1; Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.
Kutipan di atas menyentuh saya karena saya dapat merasakan kebenaran dan penguatan di dalamnya. Komitmen pernikahan bukan hal yang mudah untuk saya ambil. Mungkin malah merupakan satu-satunya keputusan yang saya pikirkan matang-matang selama hidup saya. Bukan hanya saya pikirkan, tapi juga saya tanyakan padaNya. Dan saya merasa Dia diam membisu. Dia membiarkan saya mengambil keputusan itu sendiri. Sekarang setelah cukup lama merenungkannya saya menyadari kesalahan saya, saya bertanya kemana-mana, bahkan mencari wahyuNya dari setiap gereja yang saya masuki, dari beberapa pastur yang saya kenal, tapi tidak berhenti…hening…dan mencari Dia dengan sungguh-sungguh dalam hatiku.
Keputusan sudah diambil, komitmen sudah dibuat, janji sudah menjadi sumpah di atas Alkitab. Dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit…
Ketika gelombang menerpa biduk yang sedang berlayar, dalam badai yang kuat menggoncangkan jiwa, ternyata Dia mengawal biduk ini. Dia yang diam, ternyata ada disini menemani perjalanan. Dia berada di ruang nahkoda, dan segera keluar ketika kucari tuntunanNya.
Ternyata dalam diamNya Dia terus memantau apakah anakNya terus berlatih berjalan, atau akan jatuh tersandung. Dan Dia hadir disana memegang tanganku menguatkan jalanku.
Kemarin saya merasa dikuatkan, karena ketika pendeta membacakan Mazmur tersebut, pembuka dari kidung ziarah Salomo, saya merasa bahwa Tuhan mengingatkan saya bahwa Ia turut membangun rumah tangga kami. Itulah sebabnya ketika saya merasa lelah untuk terus membangunnya, Dia tampil dan menyegarkanku dengan air kehidupanNya.
Satu dasawarsa berlalu dan Dia masih terus menerus menguatkan diriku. Saya percaya Dia juga sedang bekerja dalam hati suamiku. Kami berangkat dengan semangat besar untuk meniru teladan Keluarga Kudus, semoga ke depannya tidak pernah kalah melawan gelombang badai karena Nahkoda kami adalah yang terbaik!
Ketika mencoba menuliskan tulisan ini, saya membaca lanjutan dari Mazmur 127. Banyak hal yang terbukakan bagiku, tapi yang paling mencerahkan (atau mungkin juga menjadi tuntutanNya) adalah ayat 3-5: “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada Tuhan, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu…”
Pusaka, milik Tuhan, demikian berharga anak-anak yang dititipkanNya kepada kami. Anak-anak adalah anak panah di tangan pahlawan, yang akan meruncingkannya, dan memasangkannya pada busur serta membidikkannya ke arah yang tepat agar bisa berguna. Dan Dia memberikan tugas menjadi pahlawan itu kepada orang tua. Saya percaya bahwa Dia akan berada di garis depan bersama kami, memberikan arahan yang tepat dan menarik kami dari bencana bila kami lengah.
Bapa,
BerkatMu melimpah pada kami,
Yang seringkali tidak sadar akan pengawalanMu,
Yang sering terlalu mengandalkan diri kami sendiri,
Dan sering melupakan kehadiranMu untuk bertanya,
Bayi-bayi kecil, mungil, lucu, menggemaskan,
Sudah menjadi anak-anak kecil cerdas, penuh tanya, penuh kecerobohan dan petualangan,
Terkadang kelelahan dan tekanan kehidupan mendera kami ya Bapa.
Janganlah Dikau melepaskan tangan-tangan kami,
Biarlah kami bergantung padaMu dan bertumbuh dalam iman padaMu,
Amin.
Friday, March 14, 2008
Doa Bapa Kami Untuk Pertobatan Total
Tulisan ini saya salin dari sebuah pembatas buku yang saya terima beberapa hari yang lalu.
Bapa Kami,
Anda telah memanggil Allah sebagai Bapa, maukah berlaku sebagai anak dan mengikuti kehendakNya?
Yang ada di surga,
Sudah dapatkah kendalikan nafsu duniawi anda?
Dimuliakanlah namaMu,
Sudahkah anda memuliakan nama Allah, dan mau mengikuti kehendakNya?
Datanglah kerajaanMu,
Betulkah anda mengharapkan kerajaan Allah, karena anda yang harus bangun dalam dirimu!
Jadilah kehendakMu,
Sudahkah berserah total pada Allah, walaupun itu adalah penderitaan yang anda alami saat ini?
Di atas bumi seperti di dalam surga,
Sudahkah hidupmu seperti di dalam surga? Jika belum, mintalah bimbinganNya!
Berilah kami rezeki pada hari ini,
Sudahkah anda bersyukur selalu bahwa yang anda miliki saat ini adalah berkat dari Allah?
Ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami.
Dapatkah mengampuni yang bersalah padamu, bila tidak andapun kelak tidak akan diampuni oleh BapaMu di surga.
Janganlah masukkan kami ke dalam percobaan,
Sebenarnya Allah tidak pernah memberikan cobaan kepada kita, bila kita tidak mencoba-coba sendiri, mengikuti suara hati keinginan duniawi.
Bebaskanlah kami dari yang jahat,
Bebaskanlah diri anda dari nafsu pikiran yang tidak baik, pastikan kejahatan akan jauh dari anda.
Amin.
Apapun yang kita minta doakan dan mohon kepadaNya, Allah selalu mengucapkan AMIN.
Bapa Kami,
Anda telah memanggil Allah sebagai Bapa, maukah berlaku sebagai anak dan mengikuti kehendakNya?
Yang ada di surga,
Sudah dapatkah kendalikan nafsu duniawi anda?
Dimuliakanlah namaMu,
Sudahkah anda memuliakan nama Allah, dan mau mengikuti kehendakNya?
Datanglah kerajaanMu,
Betulkah anda mengharapkan kerajaan Allah, karena anda yang harus bangun dalam dirimu!
Jadilah kehendakMu,
Sudahkah berserah total pada Allah, walaupun itu adalah penderitaan yang anda alami saat ini?
Di atas bumi seperti di dalam surga,
Sudahkah hidupmu seperti di dalam surga? Jika belum, mintalah bimbinganNya!
Berilah kami rezeki pada hari ini,
Sudahkah anda bersyukur selalu bahwa yang anda miliki saat ini adalah berkat dari Allah?
Ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami.
Dapatkah mengampuni yang bersalah padamu, bila tidak andapun kelak tidak akan diampuni oleh BapaMu di surga.
Janganlah masukkan kami ke dalam percobaan,
Sebenarnya Allah tidak pernah memberikan cobaan kepada kita, bila kita tidak mencoba-coba sendiri, mengikuti suara hati keinginan duniawi.
Bebaskanlah kami dari yang jahat,
Bebaskanlah diri anda dari nafsu pikiran yang tidak baik, pastikan kejahatan akan jauh dari anda.
Amin.
Apapun yang kita minta doakan dan mohon kepadaNya, Allah selalu mengucapkan AMIN.
Monday, March 10, 2008
Siapa yang boleh datang kepada Tuhan?
Dalam masa Pra Paskah kita mempersiapkan diri untuk kedatangan Tuhan. Tapi, apakah kita pantas datang kepadaNya?
Mazmur 15: 1-5
“Mazmur Daud
Tuhan, siapa yang boleh menumpang dalam kemahMu? Siapa yang boleh diam di gunungMu yang kudus?
Yaitu dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang menyatakan kebenaran dengan segenap hatinya,
Yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya,yang tidak berbuat jahat kepada temannya dan yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya,
Yang memandang hina orang yang tersingkir, tetapi memuliakan orang yang takut akan Tuhan; yang berpegang pada pada sumpah, walaupun rugi;
Yang tidak meminjamkan uangnya dengan makan riba dan tidak menerima suap melawan orang yang tidak bersalah.
Siapa yang berlaku demikian tidak akan goyah selama-lamanya. “
Setidaknya dua ribu tahun sudah berlalu, tetapi hal-hal yang dimazmurkan Daud tetap sesuai dengan keadaan bumi saat ini. Yang sempat membuat saya bingung adalah perkataan “yang memandang hina orang yang tersingkir”. Bukankah kita seringkali memang memandang hina orang-orang yang tersingkirkan karena menderita cacat, yang tersingkirkan karena kemiskinan atau kebodohannya?
Tetapi akhirnya saya mengerti mazmur ini ditujukan kepada hati manusia, kepada orang yang disingkirkan Tuhan karena cacat hatinya, karena kebodohan dan kemiskinan hatinya yang menutup jalannya kepada Tuhan.
Sakramen tobat hadir sebagai pemulih jalan menuju kerahimanNya, dengarkanlah suara yang berseru-seru di padang gurun, suara yang memanggil domba yang tersesat untuk kembali kepada Gembalanya.
Ya Bapa,
Gembala Utama,
Terima kasih atas perlindunganMu yang tiada henti,
Terima kasih atas air kehidupan yang menyejukkan dahaga kami,
BersamaMu tidak akan kekurangan kami,
Dalam badai dan topan Engkau senantiasa menjaga kami,
Terkadang kami lupa akan hadirMu,
Bermain bergembira ke onak duri,
Terjerat disana tak berdaya,
Engkau datang membebaskan kami,
Tapi masih juga onak duri dan kebesaran alamMu menggoda kami
Kebebasan yang tampak indah dan tak berdosa.
Membuat langkah kami senantiasa menyimpang kembali.
Tuhan, ampunilah kami.
Amin.
Mazmur 15: 1-5
“Mazmur Daud
Tuhan, siapa yang boleh menumpang dalam kemahMu? Siapa yang boleh diam di gunungMu yang kudus?
Yaitu dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang menyatakan kebenaran dengan segenap hatinya,
Yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya,yang tidak berbuat jahat kepada temannya dan yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya,
Yang memandang hina orang yang tersingkir, tetapi memuliakan orang yang takut akan Tuhan; yang berpegang pada pada sumpah, walaupun rugi;
Yang tidak meminjamkan uangnya dengan makan riba dan tidak menerima suap melawan orang yang tidak bersalah.
Siapa yang berlaku demikian tidak akan goyah selama-lamanya. “
Setidaknya dua ribu tahun sudah berlalu, tetapi hal-hal yang dimazmurkan Daud tetap sesuai dengan keadaan bumi saat ini. Yang sempat membuat saya bingung adalah perkataan “yang memandang hina orang yang tersingkir”. Bukankah kita seringkali memang memandang hina orang-orang yang tersingkirkan karena menderita cacat, yang tersingkirkan karena kemiskinan atau kebodohannya?
Tetapi akhirnya saya mengerti mazmur ini ditujukan kepada hati manusia, kepada orang yang disingkirkan Tuhan karena cacat hatinya, karena kebodohan dan kemiskinan hatinya yang menutup jalannya kepada Tuhan.
Sakramen tobat hadir sebagai pemulih jalan menuju kerahimanNya, dengarkanlah suara yang berseru-seru di padang gurun, suara yang memanggil domba yang tersesat untuk kembali kepada Gembalanya.
Ya Bapa,
Gembala Utama,
Terima kasih atas perlindunganMu yang tiada henti,
Terima kasih atas air kehidupan yang menyejukkan dahaga kami,
BersamaMu tidak akan kekurangan kami,
Dalam badai dan topan Engkau senantiasa menjaga kami,
Terkadang kami lupa akan hadirMu,
Bermain bergembira ke onak duri,
Terjerat disana tak berdaya,
Engkau datang membebaskan kami,
Tapi masih juga onak duri dan kebesaran alamMu menggoda kami
Kebebasan yang tampak indah dan tak berdosa.
Membuat langkah kami senantiasa menyimpang kembali.
Tuhan, ampunilah kami.
Amin.
Subscribe to:
Posts (Atom)