Kemarin saya menghadiri sebuah pernikahan di gereja Kristen. Pak pendeta memberikan wejangan pernikahan kepada kedua mempelai, sebagai calon suami-isteri mereka diharapkan mengerti bahwa ke depan akan banyak pergumulan yang harus mereka lalui.
Satu ayat yang digunakan pendeta tersebut sungguh-sungguh mengena di hati saya. Mazmur 127: 1; Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.
Kutipan di atas menyentuh saya karena saya dapat merasakan kebenaran dan penguatan di dalamnya. Komitmen pernikahan bukan hal yang mudah untuk saya ambil. Mungkin malah merupakan satu-satunya keputusan yang saya pikirkan matang-matang selama hidup saya. Bukan hanya saya pikirkan, tapi juga saya tanyakan padaNya. Dan saya merasa Dia diam membisu. Dia membiarkan saya mengambil keputusan itu sendiri. Sekarang setelah cukup lama merenungkannya saya menyadari kesalahan saya, saya bertanya kemana-mana, bahkan mencari wahyuNya dari setiap gereja yang saya masuki, dari beberapa pastur yang saya kenal, tapi tidak berhenti…hening…dan mencari Dia dengan sungguh-sungguh dalam hatiku.
Keputusan sudah diambil, komitmen sudah dibuat, janji sudah menjadi sumpah di atas Alkitab. Dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit…
Ketika gelombang menerpa biduk yang sedang berlayar, dalam badai yang kuat menggoncangkan jiwa, ternyata Dia mengawal biduk ini. Dia yang diam, ternyata ada disini menemani perjalanan. Dia berada di ruang nahkoda, dan segera keluar ketika kucari tuntunanNya.
Ternyata dalam diamNya Dia terus memantau apakah anakNya terus berlatih berjalan, atau akan jatuh tersandung. Dan Dia hadir disana memegang tanganku menguatkan jalanku.
Kemarin saya merasa dikuatkan, karena ketika pendeta membacakan Mazmur tersebut, pembuka dari kidung ziarah Salomo, saya merasa bahwa Tuhan mengingatkan saya bahwa Ia turut membangun rumah tangga kami. Itulah sebabnya ketika saya merasa lelah untuk terus membangunnya, Dia tampil dan menyegarkanku dengan air kehidupanNya.
Satu dasawarsa berlalu dan Dia masih terus menerus menguatkan diriku. Saya percaya Dia juga sedang bekerja dalam hati suamiku. Kami berangkat dengan semangat besar untuk meniru teladan Keluarga Kudus, semoga ke depannya tidak pernah kalah melawan gelombang badai karena Nahkoda kami adalah yang terbaik!
Ketika mencoba menuliskan tulisan ini, saya membaca lanjutan dari Mazmur 127. Banyak hal yang terbukakan bagiku, tapi yang paling mencerahkan (atau mungkin juga menjadi tuntutanNya) adalah ayat 3-5: “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada Tuhan, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu…”
Pusaka, milik Tuhan, demikian berharga anak-anak yang dititipkanNya kepada kami. Anak-anak adalah anak panah di tangan pahlawan, yang akan meruncingkannya, dan memasangkannya pada busur serta membidikkannya ke arah yang tepat agar bisa berguna. Dan Dia memberikan tugas menjadi pahlawan itu kepada orang tua. Saya percaya bahwa Dia akan berada di garis depan bersama kami, memberikan arahan yang tepat dan menarik kami dari bencana bila kami lengah.
Bapa,
BerkatMu melimpah pada kami,
Yang seringkali tidak sadar akan pengawalanMu,
Yang sering terlalu mengandalkan diri kami sendiri,
Dan sering melupakan kehadiranMu untuk bertanya,
Bayi-bayi kecil, mungil, lucu, menggemaskan,
Sudah menjadi anak-anak kecil cerdas, penuh tanya, penuh kecerobohan dan petualangan,
Terkadang kelelahan dan tekanan kehidupan mendera kami ya Bapa.
Janganlah Dikau melepaskan tangan-tangan kami,
Biarlah kami bergantung padaMu dan bertumbuh dalam iman padaMu,
Amin.
No comments:
Post a Comment