Friday, January 22, 2010

Merekapun Datang KepadaNya: Menjadi Murid Kristus

Bacaan Injil harian sejak hari Kamis kemarin membawa pertanyaan-pertanyaan dalam benakku. Ada yang terjawab oleh bacaan lainnya, ada yang semakin membuatku ragu...

Dari Markus 3:7-12 yang terkesan sekali adalah bagaimana Yesus menyingkir ke Danau Galilea, bahkan Ia naik ke atas perahu untuk memberikan jarak antara Ia dan para penderita yang berdesakan minta disembuhkan. Kalau pada hari Kamis kemarin saya lebih banyak memikirkan tulisan yang terdapat di buku Cafe Rohani, menggambarkan betapa banyak orang yang tidak sabar menanti serta betapa Tuhan seringkali terasa jauh dan meninggalkan kita. Dikatakan di sana betapa kita seringkali melupakan anugerah Tuhan. Ketika Tuhan mendekat kita justru menjauhiNya.

Hari ini yang terasa adalah perlunya mengambil jarak dari masalah. Ketika kita berada di dalam masalah seringkali kita tidak mampu lagi berpikir jernih. Putus asa dan kemarahan seringkali muncul dan menggugat ketidak-hadiranNya. Padahal justru di saat itu Ia hadir menemani jalan salib kita. Bila kita bisa keluar dari raga yang tampak, dan melihat diri kita dari luar seperti kisah Uncle Scrooge yang melihat suasana malam Natal bersama malaikat maut, maka pandangan kita akan kehidupan ini bisa jadi akan jauh berbeda.

Markus 3:13-19 menyentuhku dalam kalimat "Ia memanggil orang-orang yang dikehendakiNya dan merekapun datang kepadaNya."

Dalam kelompok doa pagi itu ada teman yang terkenang kisah awal keluarganya dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi Katolik. Kisahnya berawal dari kisah sedih kehilangan seorang kakak yang baru berusia sembilan tahun. Saat itu teman saya baru berusia lima tahun, dan keluarga mereka bukan keluarga Katolik. Dalam kesedihan keluarga itu, terutama kesedihan sang bunda, seorang dari kakaknya yang lain pulang menghibur ibunya, "Mama jangan sedih, kalau ingin bertemu dengan kakak ayo ke gereja. Kakak ada di sana..." Itulah awal dari panggilan mereka ke dalam komunitas Gereja.

Ada pula seorang teman yang teringat pada lagu "...bukanlah engkau yang memilihKu, melainkan Akulah yang memilihmu..." Ia yang memilih kita, tetapi kita memiliki kehendak bebas untuk menjawab panggilanNya. Dari dua belas orang yang dipilih itu ternyata terselip juga Yudas Iskariot yang kemudian memilih untuk meninggalkanNya. Teman saya sendiri sangat terkesan pada orang-orang yang dipilihNya. Ia memilih bukan orang yang pandai, orang yang terkenal, ataupun orang yang kaya... Ia memilih para nelayan, orang-orang sederhana yang terbiasa berjuang menghadapi kerasnya kehidupan laut. Entah mengapa, dalam kehidupan umat lingkungan juga terasa hal yang sama. Lingkungan yang di dominasi oleh keluarga-keluarga yang sederhana tampak lebih hidup daripada lingkungan yang berlokasi di sektor-sektor yang lebih "elite". Kebersamaan umat lebih terasa, dan ketulusan untuk ikut serta dalam kegiatan lingkungan tidak tergantung pada siapa yang duduk di kepengurusan lingkungan.

Bagi saya sendiri yang masih membelenggu saya adalah kemampuan mengetahui kehendakNya. Ketika Ia memanggil para murid untuk ikut bersamaNya, maka mereka lalu pergi meninggalkan keluarga mereka dan mengikuti Yesus. Bagi saya terkadang terasa panggilan untuk melayaniNya di luar keseharian keluarga, entah melalui kegiatan lingkungan, ataupun kegiatan lainnya. Dalam hal ini yang sering teringat adalah perumpamaan tuan dan hamba-hamba yang diberi talenta masing-masing. Ada ketakutan bahwa saya tidak berani mengembangkan talenta dariNya seperti hamba yang mengubur rapat satu talenta (atau dinar?) yang dimilikinya. Semua kegiatan itu membutuhkan waktu dan tenaga, dan tentu saja terkadang skala prioritas menjadi kabur... Ketika rumah masih berantakan, apakah pantas saya memanjakan diri dengan satu atau dua jam sesi doa meditasi? Atau memilih mencuci piring daripada pergi latihan koor? Atau memilih bekerja untuk mencari tambahan penghasilan bagi keluarga dibandingkan melakukan pekerjaan sosial yang menghabiskan waktu tapi tidak mampu memberikan kontribusi pada kondisi keuangan keluarga?

Rasanya kemampuan mengambil jarak dari semua kebutuhan itu dan melihatnya dari kacamata yang sedikit berbeda akan membantu. Suster menyarankan agar saya menyusun jadwal harian dan mencoba mematuhinya. Libatkanlah anak-anak dalam menyusun dan menghormati jadwal tersebut. Keseimbangan dalam pembagian waktu itu dapat menjadi patokan dasar. Tentunya fleksibilitas dibutuhkan pula, seperti juga Yesus yang tidak mau terikat pada peraturan hari Sabat yang kaku (Markus 2:23-28). Kemampuan untuk menyimpan dalam hati dan merenungi semua peristiwa kehidupan seperti Bunda Maria merenungkan semua hal yang sulit dimengertinya dengan menyimpannya di dalam hati.

Menjadi murid Kristus berarti menjawab "ya" untuk mewartakan kabar gembiraNya. Pewartaan kabar gembira begitu beragam caranya, dan Tuhan memiliki cara tersendiri bagi setiap orang. Seperti keluarga teman yang terpanggil karena kepergian salah seorang anak, sebuah panggilan yang terasa bagaikan mukjizat Tuhan. Ia menyembuhkan luka dan derita selama kita mau pergi mencariNya. Dan Ia mengutus kita semua, hanya saja tidak semua bisa berbuah baik. Hanya yang menyediakan hatinya untuk persemaian yang subur yang mampu menghasilkan buah.

Bapa yang baik,
terima kasih atas berkat yang kami terima,
melalui orang tua, guru, teman, dan sanak keluarga lainnnya,
melalui sesama dengan segala pengalaman hidup mereka,
mampukan kami untuk mengenali kehendakMu,
untuk mendengarkan panggilanMu,
dan untuk berani menjawab panggilanMu dan bertekun bersamaMu.
Tuhan,
bimbing dan lindungi kami,
berilah kami Roh KudusMu untuk menemani
dan mengenali panggilanMu...
Amin.

No comments:

Post a Comment