Entah kenapa akhir minggu yang lalu selama tiga hari berturutan saya bertemu istilah hantu. Yang pertama, sebuah tulisan pewarta warga yang mengulas tentang hantu...panggillah maka ia akan datang (katanya). Lalu yang kedua, sebuah kiriman status Facebook (FB) seorang teman yang menanyakan apakah FB ada hantunya, karena daftar temannya bisa bertambah dan berkurang sendiri. Yang terakhir, di dalam meditasi Kitab Suci bersama suster lagi-lagi saya bertemu dengan istilah hantu. Bacaan Injil yang kami baca hari itu berbicara tentang Yesus yang berjalan di atas air, Markus 6:45-52. Ketika mereka melihat Dia berjalan di atas air, mereka mengira bahwa Ia adalah hantu lalu mereka berteriak-teriak.
Saya mencoba membayangkan menjadi seorang murid yang berada di dalam perahu itu. Akankah aku langsung percaya bahwa Yesus yang datang kepadaku? Rasanya manusiawi sekali bila keraguan melanda. Itulah yang terjadi pada Simon Petrus (Mat 14: 22-33). Ia meminta pembuktian, dan dia sedang merasakan berjalan di atas air ketika angin menerpa dan mengingatkannya akan keraguannya. Lalu diapun limbung... Rasanya aku tidak jauh-jauh dari Simon Petrus. Kepercayaan itu ada, tetapi ketika prahara tidak berakhir maka batin bisa berteriak putus asa. Padahal langkah yang patut diambil sangat mudah, cukup memintaNya untuk naik ke atas perahu dan berlayar bersama dalam satu perahu (Yoh 6: 16-21).
Ketakutan akan masa depan adalah hantu yang menghantui pikiran, dan terkadang menjadi hantu yang mengotori iman. Mempercayakan masa depan ke tangan Tuhan terasa mudah diucapkan, tetapi seperti yang dialami Petrus...sangat sukar untuk dilaksanakan. Kehendak bebas manusia merupakan anugerah Tuhan yang terkadang kita salah-gunakan. Sama seperti Adam dan Hawa yang menyalah-gunakannya dengan memakan buah terlarang itu, terkadang saya pun mungkin menggunakannya untuk memaksakan keinginan pribadiku sendiri. Memilah antara keinginan pribadi dan mengikuti kehendak Tuhan terasa sangat sukar, apalagi terkadang terkesan bahwa semua yang terjadi adalah suratan takdir.
Hal yang agak aneh bagi saya adalah kenyataan bahwa Tuhan menggunakan kelemahan manusia untuk menunjukkan kebesaranNya. Tanpa pilihan pengkhianatan Yudas Iskariot maka belum tentu kisah sengsara akan terjadi seperti kisah yang kita kenal. Daud yang terjatuh dalam dosa karena menginginkan Batsyeba, akhirnya tidak bisa terhindar dari jeratan dosa besar lainnya yaitu mengirimkan Uria (suami Batsyeba) untuk mati di medan perang. Yang aneh buatku adalah kenyataan bahwa Yosef, tukang kayu yang dipilih untuk memberikan nama keluarga Daud kepada Yesus berasal dari keturunan Daud dan Batsyeba. Memang, Salomo yang merupakan anak Daud dari istri Uria (Mat 1:6) merupakan anak yang lahir setelah Raja Daud bertobat, anak ini mendapatkan nama Yedija, oleh karena Tuhan (2 Sam 12: 1-25).
Mungkin itulah bedanya Tuhan dengan hantu. Tuhan begitu tahu kelemahan manusia dan begitu pemaaf, sementara pikiran yang menghantui manusia tidak akan pernah mau melepaskan jeratnya dari manusia, semakin tahu kelemahannya semakin kuat godaannya. Tetapi Tuhan juga ingin manusia membebaskan dirinya dari kedegilan. Walaupun dengan mudah Ia bisa bersabda untuk meredakan angin sakal itu, tetapi Ia menginginkan murid-muridNya memanggil dan mempercayakan diri mereka ke dalam kuasaNya.
Tuhan,
hanya debulah aku,
yang teronggok tak berdaya mengotori lantai,
mengharapkan kasihMu mengumpulkan keterpurukanku
dan menempaku menjadi ciptaan serupa wajahMu...
Tuhan, kuatkan kami anakMu
jauhkan kami dari hantu-hantu yang menghantui kehidupan kami,
Terima kasih Tuhan...
Amin.
No comments:
Post a Comment