Thursday, January 28, 2010

Belajar Bersyukur

Ada satu hal penting yang sejak beberapa waktu lalu terus menerus terpikir untuk saya tuliskan di blog ini, yaitu sikap syukur dan berterima kasih atas segala rahmatNya. Ini suatu hal yang cukup penting bagi saya karena dalam kenyataannya kehidupan sedang sulit bagi saya, tapi justru dalam kondisi ini kesadaran akan rasa syukur itu bisa lebih terasakan.

Mungkin hal ini sesuai dengan Barukh 2:17-18 "Sudilah kiranya, ya Tuhan, membuka mataMu dan memandang. Memang bukan orang dari dunia orang mati yang nyawanya sudah dicabut dari batinnya itulah yang menyampaikan kemuliaan yang menjadi hak Tuhan, melainkan yang menyampaikan kemuliaan yang menjadi hak Tuhan ialah orang hidup yang amat pilu hati sekali dan yang berjalan sambil membungkuk dengan tidak berdaya dan juga mereka yang kusam matanya dan yang lapar..." Hanya orang berpasrah diri sepenuhnya kepada Tuhan yang dapat bersyukur kepada Tuhan dan memuliakan namaNya.

Tentu saja tidak perlu sampai sangat harafiah seperti "membungkuk tidak berdaya, kusam mata dan lapar" tetapi dengan merasa tidak berdaya di hadapan Tuhan, letih dalam berjuang bersamaNya, dan lapar akan kabar bahagiaNya yang akan memberikan warna cerah pada rasa syukur kita.

Dalam kehidupan seringkali kita hanya memandang ke atas saja. Akibatnya kita semakin merasakan kemalangan yang sedang kita terima. Mungkin kita lupa bahwa kehidupan adalah roda yang berputar, ada kalanya di atas dan ada kalanya harus menanggung beban terhimpit di bawah.

Berbagi dengan teman juga merupakan suatu cara untuk mengajak orang lain bersyukur. Saya teringat ketika beberapa waktu yang lalu seorang teman dengan malu-malu bercerita bagaimana dia memaksakan diri untuk terbang sendirian ke Singapura tanpa membawa anak-anak dan suaminya (karena keterbatasan biaya) sekedar untuk pemenuhan cita-citanya dari kecil untuk pergi ke luar negeri. Itulah saat pertama kali ia pergi ke luar negeri, dalam usia yang sudah sekitar empat puluh tahun. Sejak bekerja ia harus mendahulukan keluarganya, bahkan kemudian selain kesibukan bekerja dan mengurus rumah tangga, ia juga harus mengurus kedua orang-tuanya yang sakit. Setelah orang-tuanya berpulang, dan ada kesempatan untuk terbang murah ke Singapura...pergilah ia menuntaskan mimpinya.

Hmm, rasanya seperti mendapat jeweran halus Tuhan di telingaku ketika mendengar kisahnya. Sementara aku bermimpi untuk mengulang perjalanan ke luar negeri, aku melupakan bahwa betapa besar karunia yang sudah pernah kuperoleh sebelumnya. Betapa sebelumnya Singapura merupakan negara tetangga yang sangat dekat bagiku, bahkan lebih sering kukunjungi daripada pulang ke kampung halamanku di Makassar. Belum lagi perjalanan ke Eropa, dan juga perjalanan gratis dengan undangan ke Singapura dan Korea Selatan yang juga pernah kuperoleh. Rupanya aku perlu juga melihat dari posisi yang berbeda. Posisi orang-orang yang hanya mampu bermimpi dan belum sekalipun merasakan mimpinya menjadi kenyataan.

Kemampuan bersyukur memang seringkali perlu dipelajari lagi. Saya bukan tidak pernah bersyukur kepada Tuhan. Rasanya syukur merupakan hal pertama yang selalu saya ucapkan dalam setiap doa saya. Tapi kadar rasa syukur itu sendiri sekarang jauh berbeda.

Ketika melihat anak-anak yang aktif dan sulit diatur, saya teringat pada teman-teman yang mendambakan anak dan belum juga beroleh berkat dan kepercayaan untuk merawat anak mereka sendiri. Begitu juga teman-teman yang memiliki anak tapi memiliki lebih banyak masalah dengan anaknya, entah secara fisik maupun secara mental. Dan yang mungkin paling unik adalah kenyataan bahwa bersama Tuhan segala beban akan terasa lebih ringan. Kesedihan dan permasalahan tidak akan lenyap begitu saja, tetapi kekuatan untuk menanggungkannya menjadi lebih besar.

Tuhan,
Terima kasih tak terhingga bagiMu
yang memberi pencerahan bagi hatiku
untuk lebih dekat kepadaMu
untuk lebih mensyukuri nikmat yang Dikau sediakan,
dan memampukanku menanggung salib kecil yang tidak sebanding dengan salibMu.
Tuhan, ajari aku untuk terus mampu bersyukur
Karena kutahu berkatMu tiada henti tercurah...
Amin,

Friday, January 22, 2010

Merekapun Datang KepadaNya: Menjadi Murid Kristus

Bacaan Injil harian sejak hari Kamis kemarin membawa pertanyaan-pertanyaan dalam benakku. Ada yang terjawab oleh bacaan lainnya, ada yang semakin membuatku ragu...

Dari Markus 3:7-12 yang terkesan sekali adalah bagaimana Yesus menyingkir ke Danau Galilea, bahkan Ia naik ke atas perahu untuk memberikan jarak antara Ia dan para penderita yang berdesakan minta disembuhkan. Kalau pada hari Kamis kemarin saya lebih banyak memikirkan tulisan yang terdapat di buku Cafe Rohani, menggambarkan betapa banyak orang yang tidak sabar menanti serta betapa Tuhan seringkali terasa jauh dan meninggalkan kita. Dikatakan di sana betapa kita seringkali melupakan anugerah Tuhan. Ketika Tuhan mendekat kita justru menjauhiNya.

Hari ini yang terasa adalah perlunya mengambil jarak dari masalah. Ketika kita berada di dalam masalah seringkali kita tidak mampu lagi berpikir jernih. Putus asa dan kemarahan seringkali muncul dan menggugat ketidak-hadiranNya. Padahal justru di saat itu Ia hadir menemani jalan salib kita. Bila kita bisa keluar dari raga yang tampak, dan melihat diri kita dari luar seperti kisah Uncle Scrooge yang melihat suasana malam Natal bersama malaikat maut, maka pandangan kita akan kehidupan ini bisa jadi akan jauh berbeda.

Markus 3:13-19 menyentuhku dalam kalimat "Ia memanggil orang-orang yang dikehendakiNya dan merekapun datang kepadaNya."

Dalam kelompok doa pagi itu ada teman yang terkenang kisah awal keluarganya dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi Katolik. Kisahnya berawal dari kisah sedih kehilangan seorang kakak yang baru berusia sembilan tahun. Saat itu teman saya baru berusia lima tahun, dan keluarga mereka bukan keluarga Katolik. Dalam kesedihan keluarga itu, terutama kesedihan sang bunda, seorang dari kakaknya yang lain pulang menghibur ibunya, "Mama jangan sedih, kalau ingin bertemu dengan kakak ayo ke gereja. Kakak ada di sana..." Itulah awal dari panggilan mereka ke dalam komunitas Gereja.

Ada pula seorang teman yang teringat pada lagu "...bukanlah engkau yang memilihKu, melainkan Akulah yang memilihmu..." Ia yang memilih kita, tetapi kita memiliki kehendak bebas untuk menjawab panggilanNya. Dari dua belas orang yang dipilih itu ternyata terselip juga Yudas Iskariot yang kemudian memilih untuk meninggalkanNya. Teman saya sendiri sangat terkesan pada orang-orang yang dipilihNya. Ia memilih bukan orang yang pandai, orang yang terkenal, ataupun orang yang kaya... Ia memilih para nelayan, orang-orang sederhana yang terbiasa berjuang menghadapi kerasnya kehidupan laut. Entah mengapa, dalam kehidupan umat lingkungan juga terasa hal yang sama. Lingkungan yang di dominasi oleh keluarga-keluarga yang sederhana tampak lebih hidup daripada lingkungan yang berlokasi di sektor-sektor yang lebih "elite". Kebersamaan umat lebih terasa, dan ketulusan untuk ikut serta dalam kegiatan lingkungan tidak tergantung pada siapa yang duduk di kepengurusan lingkungan.

Bagi saya sendiri yang masih membelenggu saya adalah kemampuan mengetahui kehendakNya. Ketika Ia memanggil para murid untuk ikut bersamaNya, maka mereka lalu pergi meninggalkan keluarga mereka dan mengikuti Yesus. Bagi saya terkadang terasa panggilan untuk melayaniNya di luar keseharian keluarga, entah melalui kegiatan lingkungan, ataupun kegiatan lainnya. Dalam hal ini yang sering teringat adalah perumpamaan tuan dan hamba-hamba yang diberi talenta masing-masing. Ada ketakutan bahwa saya tidak berani mengembangkan talenta dariNya seperti hamba yang mengubur rapat satu talenta (atau dinar?) yang dimilikinya. Semua kegiatan itu membutuhkan waktu dan tenaga, dan tentu saja terkadang skala prioritas menjadi kabur... Ketika rumah masih berantakan, apakah pantas saya memanjakan diri dengan satu atau dua jam sesi doa meditasi? Atau memilih mencuci piring daripada pergi latihan koor? Atau memilih bekerja untuk mencari tambahan penghasilan bagi keluarga dibandingkan melakukan pekerjaan sosial yang menghabiskan waktu tapi tidak mampu memberikan kontribusi pada kondisi keuangan keluarga?

Rasanya kemampuan mengambil jarak dari semua kebutuhan itu dan melihatnya dari kacamata yang sedikit berbeda akan membantu. Suster menyarankan agar saya menyusun jadwal harian dan mencoba mematuhinya. Libatkanlah anak-anak dalam menyusun dan menghormati jadwal tersebut. Keseimbangan dalam pembagian waktu itu dapat menjadi patokan dasar. Tentunya fleksibilitas dibutuhkan pula, seperti juga Yesus yang tidak mau terikat pada peraturan hari Sabat yang kaku (Markus 2:23-28). Kemampuan untuk menyimpan dalam hati dan merenungi semua peristiwa kehidupan seperti Bunda Maria merenungkan semua hal yang sulit dimengertinya dengan menyimpannya di dalam hati.

Menjadi murid Kristus berarti menjawab "ya" untuk mewartakan kabar gembiraNya. Pewartaan kabar gembira begitu beragam caranya, dan Tuhan memiliki cara tersendiri bagi setiap orang. Seperti keluarga teman yang terpanggil karena kepergian salah seorang anak, sebuah panggilan yang terasa bagaikan mukjizat Tuhan. Ia menyembuhkan luka dan derita selama kita mau pergi mencariNya. Dan Ia mengutus kita semua, hanya saja tidak semua bisa berbuah baik. Hanya yang menyediakan hatinya untuk persemaian yang subur yang mampu menghasilkan buah.

Bapa yang baik,
terima kasih atas berkat yang kami terima,
melalui orang tua, guru, teman, dan sanak keluarga lainnnya,
melalui sesama dengan segala pengalaman hidup mereka,
mampukan kami untuk mengenali kehendakMu,
untuk mendengarkan panggilanMu,
dan untuk berani menjawab panggilanMu dan bertekun bersamaMu.
Tuhan,
bimbing dan lindungi kami,
berilah kami Roh KudusMu untuk menemani
dan mengenali panggilanMu...
Amin.

Sunday, January 17, 2010

Anugerah

Waktu adalah anugerah, seperti kehidupan yang dianugerahkanNya dalam setiap hari baru. Hari Jumat kemarin saya masih dipenuhi oleh pertanyaan seputar berusaha keras atau berpasrah pada kehendakNya. Rupanya pasrah dan percaya kepada kehendak Tuhan itu sangat berbeda antara yang berada di dalam pikiranku dengan sebenarnya Ia kehendaki manusia lakukan.

Injil Markus 2:1-12 menjelaskan betapa seorang lumpuh ingin bertemu dengan Yesus, tentunya dengan keinginan terbesar untuk bisa disembuhkan. Rumah tempat Yesus memberitakan kabar bahagiaNya penuh sesak dikunjungi orang banyak. Beruntunglah si lumpuh karena memiliki empat orang teman yang dengan sukarela dan penuh harapan kepada Yesus mengusahakan agar teman mereka yang menderita bisa berjumpa dengan Yesus. Menaikkannya dengan tandu ke atap rumah dan membongkar atap untuk menurunkannya ke hadapan Yesus bukan hal yang mudah.

Kita percaya dan beriman pada kebesaran kuasaNya, tetapi untuk bisa hadir di hadapanNya kita juga perlu berjuang. Gembala memang keluar mencari dombanya yang hilang, tapi sang domba harus berusaha mengembik sekuat tenaga agar gembala bisa menemukannya.

Waktu adalah anugerah yang memungkinkan kita memanfaatkan setiap kesempatan yang datang. Hanya saja kita perlu memiliki kemampuan untuk meraih kesempatan itu. Terus terang sekarang ini cukup sering saya merasakan kasihNya yang datang tanpa saya minta, tetapi sebuah kesadaran menerpa..."Jangan-jangan sebelum ini semua kesempatan dan anugerah yang datang kuterima dengan hati gembira seakan sebuah hadiah yang sudah seharusnya kuterima. Taken for granted. Sebenarnya hati gembira yang bersyukur atas anugerahNya merupakan suatu kemampuan yang muncul setelah suara hati lebih diasah lagi."

Seorang teman lain karena pengalaman pribadinya lebih terfokus pada pengampunan. "Dosamu sudah diampuni," kata Yesus. Yang dipikirkan temanku itu lebih kepada kemampuan untuk sungguh-sungguh mengampuni kesalahan orang lain yang bersalah kepadanya di saat orang tersebut tidak menyesali dan bahkan masih terus menyakitinya. Bagaimana mengampuni seperti ketulusan Tuhan mengampuni?

Tuhan mengampuni karena cintaNya pada manusia. Mampukah kita mengampuni seperti diriNya?

Hari ini saya membaca kitab Mazmur 50:1-23, Ibadah yang sejati. Disana ada kalimat-kalimat yang menyentuh hatiku,

(Mazmur 50:8-10):

"Bukan karena korban sembelihanmu Aku menghukum engkau; bukankah korban bakaranmu tetap ada di hadapanKu? Tidak usah Aku mengambil lembu dari rumahmu atau kambing jantan dari kandangmu, sebab punyaKulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung."

(Mazmur 50:14-15):

"Persembahkanlah syukur sebagai korban kepada Allah dan bayarlah nazarmu kepada Yang Mahatinggi! Berserulah kepadaKu pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku."

Jadi persembahan kita adalah pernyataan rasa syukur atas anugerahNya, dan kemalangan bukan sebuah bentuk hukuman dariNya karena kita kurang bersyukur. Seorang teman pernah bercerita bahwa dia percaya harus mengeluarkan persepuluhan, bila tidak dilakukannya maka uang itu akan hilang juga entah melalui pengeluaran tak terduga ataupun tercuri. Kemudian ada kisah tentang janda yang memberikan semua uangnya yang tersisa bagi persembahan, betapa Tuhan sangat menghargai pemberiannya dari miliknya yang sangat berharga itu. Tiba-tiba saya sadari bahwa persembahan bukan sekedar presentasi perpuluhan atau pendapatan kita, bukan juga sekedar memberikan yang ada pada diri kita (karena mengharapkan limpahan rahmat balasan dariNya). Persembahan bukan ilmu hitung dagang, melainkan ketulusan yang keluar dari hati yang bersyukur...

Tuhan,
terima kasih atas anugerahMu bagi kami,
terkadang kami lupa berterima kasih,
kami lupa menengok campur tanganMu dalam kesuksesan kami,
dan lupa melihat topangan pundakMu dalam kejatuhan kami,
topangan yang membuat kami tidak terhempas hancur...
topangan yang menguatkan kami untuk bangkit kembali...
Terima kasih Tuhan,
untuk sesama yang selalu tekun mendampingi kami mencariMu...
Kami mohon berikanlah anugerah Roh KudusMu yang memampukan kami untuk bersyukur,
untuk membayarkan nazar yang pernah terucap,
dan untuk mampu mencari jalan bertemu dan berterima kasih padaMu.
Amin.

Sunday, January 10, 2010

Tuhan dan Hantu

Entah kenapa akhir minggu yang lalu selama tiga hari berturutan saya bertemu istilah hantu. Yang pertama, sebuah tulisan pewarta warga yang mengulas tentang hantu...panggillah maka ia akan datang (katanya). Lalu yang kedua, sebuah kiriman status Facebook (FB) seorang teman yang menanyakan apakah FB ada hantunya, karena daftar temannya bisa bertambah dan berkurang sendiri. Yang terakhir, di dalam meditasi Kitab Suci bersama suster lagi-lagi saya bertemu dengan istilah hantu. Bacaan Injil yang kami baca hari itu berbicara tentang Yesus yang berjalan di atas air, Markus 6:45-52. Ketika mereka melihat Dia berjalan di atas air, mereka mengira bahwa Ia adalah hantu lalu mereka berteriak-teriak.

Saya mencoba membayangkan menjadi seorang murid yang berada di dalam perahu itu. Akankah aku langsung percaya bahwa Yesus yang datang kepadaku? Rasanya manusiawi sekali bila keraguan melanda. Itulah yang terjadi pada Simon Petrus (Mat 14: 22-33). Ia meminta pembuktian, dan dia sedang merasakan berjalan di atas air ketika angin menerpa dan mengingatkannya akan keraguannya. Lalu diapun limbung... Rasanya aku tidak jauh-jauh dari Simon Petrus. Kepercayaan itu ada, tetapi ketika prahara tidak berakhir maka batin bisa berteriak putus asa. Padahal langkah yang patut diambil sangat mudah, cukup memintaNya untuk naik ke atas perahu dan berlayar bersama dalam satu perahu (Yoh 6: 16-21).

Ketakutan akan masa depan adalah hantu yang menghantui pikiran, dan terkadang menjadi hantu yang mengotori iman. Mempercayakan masa depan ke tangan Tuhan terasa mudah diucapkan, tetapi seperti yang dialami Petrus...sangat sukar untuk dilaksanakan. Kehendak bebas manusia merupakan anugerah Tuhan yang terkadang kita salah-gunakan. Sama seperti Adam dan Hawa yang menyalah-gunakannya dengan memakan buah terlarang itu, terkadang saya pun mungkin menggunakannya untuk memaksakan keinginan pribadiku sendiri. Memilah antara keinginan pribadi dan mengikuti kehendak Tuhan terasa sangat sukar, apalagi terkadang terkesan bahwa semua yang terjadi adalah suratan takdir.

Hal yang agak aneh bagi saya adalah kenyataan bahwa Tuhan menggunakan kelemahan manusia untuk menunjukkan kebesaranNya. Tanpa pilihan pengkhianatan Yudas Iskariot maka belum tentu kisah sengsara akan terjadi seperti kisah yang kita kenal. Daud yang terjatuh dalam dosa karena menginginkan Batsyeba, akhirnya tidak bisa terhindar dari jeratan dosa besar lainnya yaitu mengirimkan Uria (suami Batsyeba) untuk mati di medan perang. Yang aneh buatku adalah kenyataan bahwa Yosef, tukang kayu yang dipilih untuk memberikan nama keluarga Daud kepada Yesus berasal dari keturunan Daud dan Batsyeba. Memang, Salomo yang merupakan anak Daud dari istri Uria (Mat 1:6) merupakan anak yang lahir setelah Raja Daud bertobat, anak ini mendapatkan nama Yedija, oleh karena Tuhan (2 Sam 12: 1-25).

Mungkin itulah bedanya Tuhan dengan hantu. Tuhan begitu tahu kelemahan manusia dan begitu pemaaf, sementara pikiran yang menghantui manusia tidak akan pernah mau melepaskan jeratnya dari manusia, semakin tahu kelemahannya semakin kuat godaannya. Tetapi Tuhan juga ingin manusia membebaskan dirinya dari kedegilan. Walaupun dengan mudah Ia bisa bersabda untuk meredakan angin sakal itu, tetapi Ia menginginkan murid-muridNya memanggil dan mempercayakan diri mereka ke dalam kuasaNya.

Tuhan,
hanya debulah aku,
yang teronggok tak berdaya mengotori lantai,
mengharapkan kasihMu mengumpulkan keterpurukanku
dan menempaku menjadi ciptaan serupa wajahMu...
Tuhan, kuatkan kami anakMu
jauhkan kami dari hantu-hantu yang menghantui kehidupan kami,
Terima kasih Tuhan...
Amin.