Ada banyak yang kami peroleh dari pertemuan hari itu. Rasa frustrasi dua orang murid yang sedang dalam perjalanan ke Emaus (ayat 13-19) tidak jauh berbeda dengan rasa frustrasi yang kita rasakan ketika merasa jauh dari Allah. Ketika kita mencariNya dalam doa tetapi tidak merasakan sentuhan dan cintaNya. Benarkah Ia tidak menyertai perjalanan kita? Ataukah Ia berjalan bersama kita tetapi sesuatu menghalangi mata kita dan tidak menampakNya?
Sentakan Yesus (ayat 25) mengingatkan, “ Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!” Bukankah kita juga serupa dengan para murid itu yang seringkali membutuhkan bukti baru bisa mempercayai apa yang kita dengarkan dariNya? Para murid sudah tinggal demikian lama dengan Yesus, tapi mereka belum juga mengenaliNya dan perutusanNya. Bukankah tidak jarang kita juga telah dibaptis dari kecil tetapi sampai sekarang masih juga belum sungguh-sungguh mempercayai sepenuhnya apa yang kita imani? Iman yang hanya di bibir, tapi tidak teraba di kedalaman hati.
Dalam ayat 29 murid-murid itu menahan agar Yesus mau tinggal bersama mereka. Yang menarik bagi saya adalah mengapa murid-murid itu menahan agar Yesus mau tinggal, sedangkan bagi teman lain yang menarik adalah dituliskannya bahwa Yesus berpura-pura mau meninggalkan murid-murid itu. Betapa pentingnya bagi kita untuk mengundangNya tinggal bersama-sama dengan kita. Walaupun Ia sebenarnya tinggal bersama dengan kita, tetapi Ia menginginkan kita untuk meminta kesediaanNya hadir bagi kita.
Ayat 32 berkata, “Bukankah hati kita berkobar-kobar ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” Ayat ini mengingatkan saya pada perbedaan yang saya rasakan ketika Lectio Divina dan Meditasi Kristiani. Ketika meditasi Kitab Suci saya bisa merasakan kegembiraan berjalan bersamaNya. Itulah perjalanan kami bersama ke Emaus. Dalam Meditasi Kristiani saya merasakan kesepian dan keheningan Getsemani. Seperti istilah yang digunakan Pastor John Main dalam bukunya “Getsemani Talks”. Kebimbangan saya ketika memasuki keheningan MK adalah kehilangan gandengan tanganNya yang saya rasakan dalam perjalanan ke Emaus. Dalam keheningan malam di Getsemani, murid-murid Yesus belum mampu berjaga bersamaNya, mereka jatuh tertidur. Beberapa bacaan yang saya baca membantu menuntunku untuk mengerti betapa dalam keheningan itu saya menemani perjalananNya di taman Getsemani. Keduanya begitu berbeda, suasananya juga berbeda. Ia tampaknya terus membimbingku untuk keluar dari kebingunganku.
Ayat 30-32 yang menceritakan bagaimana tindakan Yesus yang memecah-mecahkan roti itu mengingatkan murid-murid akan diriNya. Memiliki kebiasaan intim denganNya akan sangat membantu kita dalam mengenali hadirNya. Bukan hanya dalam sakramen Ekaristi, melainkan juga dalam doa. Secara khusus menyediakan waktu bagiNya untuk bisa membangun kebiasaan bersama yang mendekatkan kita padaNya merupakan suatu hal yang sangat penting.
Dalam surat elektroniknya suster memberikan sedikit panduan renungan sebelum sharing.
Kita pun pernah mengalami situasi frustrasi seperti rasul-rasul itu; entah kehilangan seorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, atau kegagalan beruntun-runtun dalam usaha/pekerjaan. Dalam situasi seperti itu kepada siapa kita pergi? Apakah Yesus teman seperjalanan hidup kita? Di kala sedih/menderita curahkanlah beban batin kepada-Nya maka hati akan diubah, mungkin beban belum hilang namun batin kita dikuatkan oleh rahmat Tuhan untuk mampu menanggungnya. Mt.11:28: ”Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadamu”
Begitu banyak yang mengalami kesepian, berbeban berat, sedih dan gelisah, mereka membutuhkan teman. Biasanya dalam keadaan seperti itu sulit mencari teman, lalu mereka mencarinya di tempat yang kurang kondusif. Inilah peran lingkungan/kelompok bisa menjadi “alter Christi” roti yang dipecah-pecah bagi sesama, ibarat Tubuh Kristus yang dibagikan, atau contoh menjadi tangan-tangan Hati Kudus Yesus yang menjangkau sesama yang sedang butuh. Injil Yoh. 21:15-18 – sampai 3x Yesus bertanya kepada Petrus:”Apakah Engkau mengasihi Aku? “ Jawabnya: Engkau Tuhan tahu segala sesuatu , Engkau tahu bahwa aku mengasihi engkau. Jawab Yesus “Peliharalah domba dombaKu. Gambaran kita: (siapa Tuhan bagi kita masing-masing?) ini sangat penting untuk menentukan penghayatan hidup agama/iman kita kepada Yesus-Allah Tritunggal.
Seorang suami, istri, ketua lingkungan/kategorial adalah gembala. Untuk mewujudkan tugas kegembalaan ini kita perlu menjalin relasi yang akrab dengan Yesus, Relasi yang bukan berdasarkan untung-rugi melainkan relasi tanpa pamrih karena mencintai Yesus yang memberi dan memelihara hidup (life) kita masing dengan penuh kasih sampai menyerahkan hidupnya sendiri pada kayu salib demi kita, agar kita dibebaskan dari belenggu dosa lewat rahmatNya. Murid di Emaus setelah makan bersama Yesus hati mereka berkobar-kobar. Juga sekarang Yesus menguatkan kita dalam mengarungi peziarahan hidup ini lewat Sakramen Ekaristi. Inilah sumber kekuatan dalam hidup kita kalau kita terus menyadari dan menerimanya sebagai perjumpaan denganNya. Yesus teman seperjalan hidup kita yang setia. Dengan mengenali tindakan Yesus (lewat bacaan Injil) kebaikan,kepedulian, pemeliharaan hidup kita, penyembuhan baik rohani maupun jasmani (penyembuhan) kita mencintaiNya. Lewat doa kita menjalin relasi akrab denganNya sebagaimana Yesus sendiri selalu berdoa kepada BapaNya di surga. Lewat doa kita semakin mengenalNya dan mencintaiNya, kita tidak mencintai yang tidak kita kenal/tahu.
Kebetulan memang beberapa dari kami pernah merasakan bahwa mendekat kepadaNya akan membantu meringankan beban di hati. Beban memang tidak hilang, namun batin kita dikuatkanNya untuk mampu menanggung beban itu.
Satu hal yang membuat Meditasi Kitab Suci ini sangat berharga bagi kami, ibu-ibu yang mengikutinya, adalah penguatan batin tersebut. Beban kami bermacam-macam, dari sakit penyakit diri sendiri, keluarga, dan orang tua, masalah pendidikan anak-anak, sampai masalah-masalah lainnya di seputar rumah tangga. Beban itu tidak hilang, tetapi dengan berbagi kita mengetahui betapa orang lain juga memiliki masalah masing-masing. Setiap kuk yang dipasangNya tidak melebihi kemampuan orang yang harus mengangkatnya. Terkadang kami jadi melihat permasalahan dengan lebih jernih. Terkadang kami belajar dari pengalaman teman lain. Yang terutama adalah kami merasakan betapa hidup penyertaanNya dalam Kitab Suci, dan kami belajar bersyukur karena itu.
Meditasi Kristiani tidak secara langsung memberikan perasaan batin yang berkobar-kobar itu, yang ditawarkan justru ketenangan dalam menghadapi masalah. Emosi yang biasanya lebih cepat tercolek tampaknya menjadi lebih mudah dikendalikan. Kesabaran untuk menantikanNya, ketekunan untuk menanti bersamaNya walaupun hasil yang dituju tidak langsung tampak (atau bukan suatu "hasil" dalam ukuran mata manusia).
Saya membutuhkan keseimbangan antara keduanya, penguatan yang mengobarkan semangat dari perjalanan ke Emaus, dan penguatan yang menenangkan batin dari kecemasan dan ketakutan yang sedang menghadang seperti yang dialami Yesus di Taman Getsemani.
Bapa,
Engkau menuntun kami, anakMu, dalam setiap langkah kami,
Menemani kami ketika kami jatuh terpuruk
Mencari kami ketika kami tersesat dalam kehidupan,
Menguatkan kami ketika kami lemah dan ketakutan.
Adakalanya suaraMu tak terdengar.
Ada masanya kami harus belajar percaya saja,
Bahwa semua akan berlalu, dan semua akan indah pada waktuMu.
Amin.