Tuesday, February 02, 2010

Mencari Kebenaran

Seorang teman mengirimi saya tautan dan isi dari tulisan Menemukan Sendiri Kebenarannya oleh Romo J. Sudrijanta, SJ

Kebanyakan orang mengikuti suatu teori, keyakinan, kepercayaan, dogma, atau ajaran tertentu bukan karena melihat sendiri kebenarannya, tetapi karena bingung batinnya. Karena bingung, orang lari kepada ajaran tertentu dan ajaran yang dipegang erat-erat menambah lebih banyak kebingungan. Ajaran kebenaran yang dijadikan pedoman tingkah-laku lalu dijadikan pegangan untuk menilai ajaran-ajaran lainnya. Batin seperti itu hanya mampu melihat kebenaran sebatas pikiran dan tidak ada satupun pikiran yang mampu menyembuhkan batin dari kebingungan.

Meskipun orang hafal kata-kata Yesus, Buddha, Mohamad, Krishna atau guru-guru spiritual lainnya, batin orang tidak akan berubah secara fundamental selama tidak mengenal dirinya sendiri, termasuk bagaimana berhubungan dengan ajaran-ajaran yang diikuti atau ditolaknya. Untuk bisa melihat yang palsu sebagai palsu dan yang benar sebagai benar, maka batin musti bebas dari beban pengaruh ajaran atau otoritas apapun. Kebenaran yang sesungguhnya tidak melekat pada ajaran atau otoritas apapun. Kebenaran ini begitu halus, tidak bisa dikenali oleh batin yang tidak bebas dari segala opini, penilaian, pembandingan, kesimpulan.

Jangan menerima begitu saja suatu ajaran hanya karena semata-mata sudah lama didengar, telah menjadi tradisi turun-temurun. Jangan menerima semata-mata karena telah banyak diperbincangkan atau diikuti banyak orang. Jangan menerima begitu saja hanya karena dikatakan dalam Kitab Suci Anda. Jangan menerima semata-mata karena keyakinan atau kepercayaan, karena bujukan atau paksaan dari luar, karena cocok dengan persepsi pikiran Anda dan selaras dengan perasaan Anda, karena alasan kepantasan, tampaknya bisa diterima atau baik untuk diterima, karena pembawa ajaran memiliki teladan hidup yang saleh, tokoh, panutan.

Begitu pula jangan menolak begitu saja ajaran yang baru Anda dengar hanya karena tidak datang dari tradisi Anda. Jangan menolak semata-mata karena ajaran itu ditolak olah banyak orang atau diikuti oleh sedikit orang. Jangan menolak begitu saja karena tidak tertulis dalam Kitab Suci Anda. Jangan menolak semata-mata karena Anda sudah terlanjur tidak percaya, karena takut dicap buruk oleh orang lain, karena tidak cocok dengan persepsi pikiran dan perasaan Anda, karena pembawa ajarannya tidak menarik, bukan tokoh atau bukan panutan.

Ketika kita mendengar suatu ajaran, kita perlu melihat isinya, melihat ajaran sebagai ajaran. Kita perlu menyelami atau menyelidiki dengan batin yang bebas. Batin tidak boleh cepat-cepat menerima atau cepat-cepat menolak. Percaya bahwa suatu ajaran mengandung kebenaran tidak membuat Anda mengalami langsung kebenarannya.

Batin yang bebas tidak cepat-cepat percaya pada apa yang dikatakan orang lain. Ia tidak menganggap orang lain memiliki otoritas dan apa yang dikatakan selalau benar. Lihatlah ajarannya, bukan pribadi yang menyampaikan ajaran. Kalau pribadi yang memberi ajaran memukau atau menarik, janganlah dibutakan oleh penampilannya.

Batin yang bebas juga tidak cepat-cepat menolak ajaran yang dikatakan orang lain. Ia tidak mudah menerima atau menolak hanya dengan mengkaitkannya dengan latar belakang si pembawa ajaran. Kalau si pemabawa ajaran tidak memukau atau tidak menarik, janganlah mudah menolak ajarannya hanya karena penampilannya yang tidak menarik.

Batin yang bebas tidak terjebak pada anggapan bahwa seorang spesialis lebih tahu tentang suatu kebenaran daripada seorang non-spesialis. Begitu pula sebaliknya. Seorang non-spesialis bukan berarti kurang tahu daripada seorang spesialis. Akan tetapi Kebenaran musti ditemukan sendiri. Ia tidak bisa didapat dari seorang spesialis atau non-spesialis.

Semakin banyak pengalaman atau pengetahuan yang kita lekati, semakin tidak mudah kita melihat kebenaran. Semakin banyak pengetahuan, semakin besar kita dibuat ragu-ragu. Semakin kita bebas dari belenggu pengetahuan, semakin besar kemungkinan kita bebas dari belenggu keraguan. Oleh karena itu, kita musti siap bukan meragukan apa yang tidak kita ketahui, tetapi siap meragukan apa saja yang telah kita ketahui.

Kebenaran yang sesungguhnya berada di luar lingkup apa saja yang dikenal. Perjumpaan dengan kebenaran ini menghabisi keragu-raguan. Pengalaman perjumpaan ini memberikan suatu cita-rasa kepastian yang bukan dari pikiran. Kalau Anda mengalami ini, Anda tidak membutuhkan persetujuan orang lain atau mencari pembenaran dengan doktrin tertentu.

Pikiran berhenti selama perjumpaan dengan kebenaran ini berlangsung dan pikiran hanya bisa mengenalinya setelah jeda perjumpaan itu berakhir. Pengalaman akan kebenaran ini tidak perlu disimpan sebagai doktrin baru karena semua doktrin justru menghalangi perjumpaan dengan kebenaran. Oleh karena itu, lebih bijaksana bersikap terus-menerus tidak tahu dan batin selalu terbuka akan pewahyuan kebenaran setiap saat. Sebaliknya, sikap merasa sudah tahu akan membatasi perjumpaan dengan kebenaran.

Siapa yang melihat ajaran sebagai ajaran, melihat kebenaran. Kebanyakan orang tidak melihat kebenaran ini dan melekat pada pengalaman, teori, organisasi, agama, metode doa, teknik meditasi, ritual, dogma, kepercayaan. Orang buta hanya bisa mengikuti metode doa, ritual dan dogma, tetapi tidak melihat kebenaran. Banyak orang mempunyai mata, tetapi tidak melihat; memiliki telinga tapi tidak mendengar.

Kita tidak bisa mengusir keragu-raguan dengan mempertebal kepercayaan. Kita tidak bisa melihat sendiri kebenaran yang sejati kalau kita sudah melekat pada tradisi, kata-kata Kitab Suci, kepercayaan atau keyakinan. Hanya batin yang bebas yang barangkali mampu melihat kebenaran; kebenaran inilah yang mengubah, bukan upaya kita untuk berubah. Kalau kita telah berjumpa dengan kebenaran ini, barulah barangkali kita tahu apa artinya hidup beriman.

Kebenaran yang sejati hanya bisa dialami secara langsung, bukan lewat orang lain, bukan lewat pengetahuan atau kepercayaan. Bisakah kita melihat sendiri kebenaran ini dari saat ke saat?*


Agama bagi saya adalah sesuatu yang sudah diberikan kepada saya sejak saya masih bayi. Kata-kata
"Untuk bisa melihat yang palsu sebagai palsu dan yang benar sebagai benar, maka batin musti bebas dari beban pengaruh ajaran atau otoritas apapun. Kebenaran yang sesungguhnya tidak melekat pada ajaran atau otoritas apapun. Kebenaran ini begitu halus, tidak bisa dikenali oleh batin yang tidak bebas dari segala opini, penilaian, pembandingan, kesimpulan"
dari tulisan di atas sedikit menggangguku, karena berarti sejak bayi batin saya sudah tidak bebas lagi. Orang tua, lingkungan Gereja dan sekolah telah ikut membentuk batin saya.

Kemudian sebuah bagian lagi mengatakan
"Kita tidak bisa mengusir keragu-raguan dengan mempertebal kepercayaan. Kita tidak bisa melihat sendiri kebenaran yang sejati kalau kita sudah melekat pada tradisi, kata-kata Kitab Suci, kepercayaan atau keyakinan."
Kata-kata ini sedikit banyak mengingatkan saya pada keragu-raguan para murid yang terkadang dalam sesi meditasi saya rasakan sangat manusiawi. Ketika merasakan hal itu yang terpikir adalah "Bagaimana sebenarnya menumbuhkan iman walaupun hanya sebesar biji sesawi, tapi mampu berbuah banyak?" Keraguan merupakan sifat dasar manusia. Terkadang bersikap skeptis pada awalnya membantu kita untuk menemukan sendiri kebenaran itu. Tetapi Tuhan meminta kita untuk percaya seratus persen kepadaNya. "Percaya saja. Jangan takut!" Kita tidak mungkin bisa mempertebal kepercayaan bila kita tidak memiliki pengalaman batin yang mendukung.

Meditasi dengan menggunakan Kitab Suci (Lectio Divina) membantu saya untuk memiliki pengalaman batin yang memampukan saya untuk mencoba menggapai pemahaman tentang kebenaran itu. Membuka percakapan denganNya melalui Kitab Suci sungguh mencengangkan. Memiliki kebiasaan rutin untuk datang kepadaNya dan mendengarkanNya melalui Kitab yang sudah ditulis begitu lama berselang tapi isinya selalu masuk ke dalam kehidupan yang nyata sekarang ini, amat menyegarkan batin saya.

Dahulu saya sering mencari jawabanNya dengan membuka Kitab Suci. Ketika sedang resah dalam suatu masalah saya mencoba membuka Kitab Suci, berharap bertemu dengan nasihatNya. Kala itu Dia diam...membisu...Saya benar-benar merasa bagaikan rusa yang merindukan air, kehausan...mencariNya di gurun fatamorgana.

Rupanya kita juga perlu ketenangan batin untuk bisa mengenali suaraNya. Ketika perasaan terfokus pada masalah pribadi, maka suaraNya tidak akan pernah bisa terdengar di dalam relung batin kita. Ketika kita mencoba untuk fokus kepadaNya, memberikan waktu bagi Dia untuk menjamah kita, maka saat itu pintu kebenaran akan terkuak sedikit. Sedikit demi sedikit, dan mungkin tidak akan pernah penuh, karena Kebenaran yang sejati bisa jadi baru bisa kita lihat dengan jelas ketika berjumpa denganNya di akhir zaman nanti.

Bacaan Lukas 2: 22-32 hari ini membawa saya kembali kepada kisah Yesus dipersembahkan di Bait Allah. Seringkali, kita seperti Maria dan Yosef yang sangat mengenal Yesus tetap saja terheran-heran mendengar apa yang dikatakan tentang Dia. Bunda Maria senantiasa menyimpan pertanyaannya di dalam hati dan membiarkan waktu Tuhan yang menjawabnya.

Tuhan,
Terima kasih atas kebenaran yang Kau kuakkan bagi kami,
sedikit demi sedikit
Dikau memberikan pencerahan dalam batin
karena percaya memang tidak bisa hanya diucap bibir,
atau dihitung dengan logika,
karena percaya terukir dalam batin yang terdalam.

Tuhan,
Sungguh besar karuniaMu
memampukan kami membuka mata batin
agar mampu melihat, mampu bersaksi, dan mampu berbuat...
untuk kemuliaan namaMu.

Engkaulah sumber kekuatanku,
tanpaMu aku seperti Petrus yang ragu-ragu berjalan di atas air,
dalam bimbingan tanganMu aku berani
menapak laut luas dalam gelombang badai yang mengepung.
Amin.

No comments:

Post a Comment