Wednesday, March 18, 2009

Mencari "Discernment"

Pada Hari Raya St. Yusuf (Yosef), Suami SP. Maria, 19 Maret, kita diingatkan kepada pentingnya institusi keluarga sebagai identitas diri. Bacaan Injil diambil dari Matius 1: 16-21, 24a.

Keluarga sebagai institusi yang dipilih oleh Tuhan untuk membesarkan calon generasi penerus memang sudah diwartakan sejak dari Adam dan Hawa dalam kitab Kejadian. Tuhan meminta manusia untuk beranak-cucu dan menjadi bangsa yang besar. Tuhan juga menginginkan manusia saling menjaga. Pertanyaan Kain kepada Tuhan ketika ditanya dimana adiknya berada, adalah pertanyaan retoris: "Apakah aku penjaga adikku?" Demikian pula kita diharapkan untuk saling menjaga di dalam keluarga.

Tetapi yang sangat menarik bagi saya dari bacaan Injil di atas adalah mimpi Yusuf. Ketika ia ingin memutuskan tali pertunangan dengan Maria yang telah mengandung, maka malaikat Tuhan datang kepadanya dalam mimpi dan berkata: "Yusuf, anak Daud, janganlah engkai takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang ada di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Maria akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umatNya dari dosa mereka." Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya.

Seringkali saya merasa bingung dalam mengambil sebuah keputusan, apakah ini adalah kehendak Tuhan bagi saya? Ataukah ini adalah kehendak manusiawiku? Yusuf, seperti juga Abraham (bapa orang beriman) taat kepada perintah Tuhan. Mereka percaya bahwa itu adalah perintah dari Tuhan, bukan dari setan. Mencari "discernment" menurut saya sangat sulit. Seringkali saya menantikan mimpi yang datang dari Tuhan untuk menjawab bagaimana saya harus bersikap. Saya jadi teringat kisah hamba yang diberi talenta. Tuannya tidak mengatakan harus diapakan talenta itu. Mereka masing-masing mengambil keputusan dan usaha sendiri. Sesungguhnya Tuhan menginginkan saya juga ikut aktif dalam memilih, dan dengan aktif memilih keputusan itu berarti saya juga siap bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pilihan itu.

Dalam buku Retret Agung Umat "Mari Bertanggungjawab..." hari ini mengusung judul "Kedekatan dengan Tuhan membuat orang mampu menanggapi panggilan Tuhan." Ada dua pertanyaan reflektif yang diajukan:

1. Sebagai anak Allah apakah aku mempunyai kedekatan dengan Allah yang memampukan aku untuk terlibat dalam karya penyelamatan Allah?

2. Apakah aku menyediakan waktu dan kegiatan untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan agar seperti Maria dan Yusuf mampu bertanggungjawab terhadap panggilan Tuhan hingga akhir hidup kita?

Membuat kedekatan relasi dengan Tuhan akan membantu kita memperoleh pilihan yang tepat, yang sesuai dengan kehendakNya. Setia pada pilihan itu, dalam keadaan senang maupun susah, adalah bentuk tanggungjawab kita terhadap pilihan yang telah kita buat. Satu hal yang bisa saya rasakan dari pengalaman hidup saya, walaupun pilihan yang salah yang kita perbuat, selalu ada kesempatan dariNya untuk kembali kepadaNya. Dia tidak akan pernah meninggalkan kita, tetapi bila kita menjauh maka suaraNya akan sulit terdengar, damai sejahteraNya tidak mencapai kalbu.

Rasanya beberapa minggu yang lalu saya mendengar perkataan pastur di kothbah yang berkata, terkadang orang mengatakan bahwa Tuhan itu diam...tapi apakah benar Tuhan itu diam? Bisa jadi Tuhan sudah bersabda, tapi kita yang tuli dan tidak mendengar sabdaNya. Bisa jadi malaikatNya sudah memperingatkan dalam mimpiku, tapi saya yang lalai tidak mengartikannya dengan benar.

Santo Yusuf juga menjadi sosok yang sangat bertanggungjawab. Walaupun peranannya di dalam Kitab Suci kurang tercatat, tetapi dalam saat-saat terpenting dalam kehidupan Yesus, dia hadir. Dia hadir untuk memberikan identitas diri kepada Yesus, memenuhi janji Tuhan bahwa dari keturunan Daud akan lahir Sang Penebus. Ketika Herodes berniat mengambil nyawa Raja yang baru lahir itu, Yusuf hadir dan membawaNya mengungsi ke tempat yang aman. Dia yang bertanggungjawab menghidupi keluarga Kudus sampai akhirnya Yesus dari Nazaret dikenal juga sebagai anak tukang kayu. Dia hadir dengan diam dalam kehidupan Yesus, sama seperti sikap diamnya ketika Yesus yang baru berusia 12 tahun berkata; "Tidakkah kamu tahu Aku harus berada dalam rumah BapaKu?" Dia tidak mempertanyakan nilai dirinya sebagai bapa keluarga di mata Yesus, dia tidak menuntut balasan sikap hormat dan patuh karena telah membesarkan Yesus.

Tuhan,
Terima kasih atas berkat dan kasih sayangMu kepada kami,
Bantu kami bertanggung jawab seperti Yusuf,
Yang setia dan taat kepadaMu,
Yang senantiasa mendahulukan perintahMu,
dan senantiasa melayani demi namaMu,
Agar damai sejahtera senantiasa datang dalam pilihan-pilihan yang kami ambil,
Agar langkah kami senantiasa berada di dalam jalanMu,
Amin.

Santo Yusuf, temanilah keluarga kami dalam perziarahan di bumi...
Bimbinglah suamiku dalam menjadi bapa keluarga,
Ajarilah kami mengenal kehendak Tuhan. Amin.

1 comment:

  1. Anonymous9:53 PM

    wow.. inspiratif banget, aku pengin bisa jadi sosok kayak Yusuf... btw, this is a nice article.. thanks

    ReplyDelete