Yesus yang tercinta,
Terima kasih atas suratMu yang indah, aku sungguh ingin datang ke rumahMu bahkan walau hanya lewat sebuah katupan tangan, tapi sayang sekali walau tangan mengatup ternyata pikiranku berlarian kesana dan kemari. Urusan rumah, urusan anak-anak, urusan suami, sampai ke urusan pribadi (hmm...sebenarnya bercakap-cakap denganMu itu juga urusan kami semua ya...reuni denganMu setelah Kau beri pagi yang indah, siang yang memampukan kami bekerja, dan malam yang tenang untuk beristirahat).
Yesus, aku melihatMu memegang keningku serta menjamah suami dan anak-anakku. Kupikir aku bermimpi...dan rasanya aku tak ingin bangun agar dapat terus bersamaMu. Tapi hari sudah terang, dan kegiatan setumpuk sudah menantiku...lalu akupun lupa menyapaMu secara khusus. Aku merasa berbicara denganMu sepanjang hari dan sepanjang malam, jadi mengapa aku harus khusus menyapaMu? Aku lupa menjawab salam selamat pagi yang Kau ucapkan dengan riang gembira lewat kicauan burung, kesegaran embun, dan kehangatan mentariMu.
Hei..., Engkau sungguh melihat anak-anakMu ketika menyenandungkan pujian di gereja? Adakah Engkau juga melihatku yang tidak mampu berkonsentrasi pada liturgi karena bingung melihat tingkah pola anak-anak titipanMu? Aku lupa, aku hanyalah busur...mereka adalah anak-anak panah yang Kau bentuk sendiri. Apa hakku membentuk mereka? Aku hanyalah busur yang bertugas mengarahkan dan melontarkan anak-anak panah ke tujuan penciptaNya. Aku tahu bahwa Engkau selalu bersamaku. Kupinta untuk menjadi busur yang mampu bekerja sesuai dengan keinginanMu, tapi kubutuh lengan lembutMu untuk membengkokkan dan mengarahkanku ke sasaran yang tepat.
Saat malam tiba, keheningan yang mampu mendekatkan aku padaMu juga tiba, tetapi terkadang aku terhempas kelelahan. Terkadang juga, aku mengembara ke dunia maya...
Aku juga masih seperti anak-anak kecil itu ya Yesus, yang tahu bahwa ibu bapanya tidak akan meninggalkan mereka sendiri. Aku pikir Engkau akan selalu ada bagiku, sehingga aku lupa secara khusus mendatangiMu dan mengungkap cintaku padaMu.
Yesus, masih ingat surat-suratku yang lalu? Kala aku menangis menulis surat bagiMu sebagai seorang anak? Kala aku bertanya penuh kebimbangan ketika ingin memilih pendamping hidupku? Aneh rasanya ketika menjadi anakMu yang semakin dewasa...dan sekarang aku berada di sisi yang berbeda...menjadi orang tua. Tetapi Engkau tetap sama bagiku, sahabatku, pendidik dan pembimbingku. Bersama Bapa dan Roh Kudus, Engkau adalah orang tua dan sumber penghiburanku...
Terima kasih atas teman-teman yang Kau hadirkan dalam hidupku, sehingga cahayaMu tidak pernah meredup dalam jiwaku. Terima kasih atas kasihMu yang tiada lelah mengingatkanku akan jalan kebenaran yang Kau rancang bagi kami...semua sesuai dengan rencana dan waktuMu.
Terima kasih Yesus, terima kasih mau mengirimkan suratMu. Berkatilah kami semua Yesus,agar siap menerima kedatanganMu di hari Natal nan bahagia itu. Semoga kami bisa mencontoh kesederhanaan yang Dikau tunjukkan sebagai contoh bagi kehidupan kami. Amin.
Blog ini semula adalah blog meditasi pribadi, sejak Paskah 2008 saya buka untuk teman-teman yang ingin berpartisipasi. Sementara ini sesuai dengan namanya "Perjalanan menelusuri kata-kataNya" lebih mengarah ke pendalaman iman lewat meditasi kitab suci, tapi dengan masuknya kontributor lain terbuka kemungkinan bentuk posting yang berbeda.
Monday, December 21, 2009
Saturday, December 12, 2009
Bertumbuh Menjadi Pembawa Damai
Masa Adven adalah masa penantian kelahiran Yesus Kristus. KelahiranNya menjadi sangat istimewa karena merupakan kelahiran yang sangat berbeda dari kelahiran biasa. Pertama, berita tentang hadirNya diberitahukan kepada sang ibu oleh malaikat Gabriel (Lukas 1:20-38), sebuah kelahiran melalui rahim seorang anak perawan yang taat pada kehendak Allah. Kemudian berita kelahiranNya sendiri disebarkan oleh malaikat (Lukas 2:8-20), dan juga oleh alam semesta seperti yang dilihat dalam bentuk bintang oleh orang-orang majus dari Timur (Matius 2:1-12).
KelahiranNya juga menggemparkan karena raja Herodes yang begitu ketakutan akan kehadiran sang Pemimpin yang akan menggembalakan umat Israel lalu membantai anak-anak berusia dua tahun ke bawah dan keluarganya (Matius 2:16-18).
Air mata berurai karena kelahiranNya, padahal Ia adalah Raja Damai. Demikian sulit tampaknya kehadiran Damai Sejahtera di bumi ini. Tetapi seperti juga kanak-kanak Yesus yang diluputkan dari pembantaian oleh Herodes, kiranya Allah Yang Maha Pengasih akan senantiasa melindungi dan memberkati langkah orang-orang yang berjuang untuk perdamaian. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah (Matius 5:9). Perlu perjuangan untuk membawa damai, sama seperti perjuangan yang dilakukan Yosef dan Maria dengan mengungsikan bayi Yesus ke Mesir.
Dosa Adam dan Hawa membuat manusia hidup bersama dosa asal. Penebusan Yesus Kristus membawa kehidupan baru bagi manusia, membawa perdamaian dengan Allah Pencipta dan Maha Kasih. Darah salib Kristus memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah (Kol 1:20).
Dalam Panduan Ibadat Adven 2009 untuk keluarga dan lingkungan, Komisi Kerasulan Kitab Suci KAJ mengajak umat pertama-tama berdamai dengan diri sendiri. Mengenali diri sendiri, memperbaiki hubungan dengan Tuhan. Kedua hal itu akan membawa pemurnian suara hati. Nurani yang bersih dan dekat dengan Tuhan akan senantiasa membawa manusia untuk mencintai dan melakukan yang baik serta menghindari yang jahat.
Dalam minggu Adven ke dua, kita diajak untuk membawa damai dalam lingkungan keluarga. Dalam setiap keluarga pastilah ada perselisihan, entah kecil maupun besar. Belajar untuk bisa memaafkan kesalahan orang lain, belajar untuk bisa bertahan baik dalam hantaman ketidak-jujuran atau ketidak-adilan yang kita terima dari orang lain seringkali sangat sukar. Tetapi seperti kata malaikat Gabriel ketika mengabarkan kehamilan Maria dan juga Elizabeth saudarinya, "Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil." Bergabung dalam naunganNya akan membantu memampukan diri kita untuk senantiasa memaafkan, untuk tegar dalam cobaan. Sama seperti Yusuf yang menghabiskan masa mudanya di Mesir sebagai orang yang dijual oleh saudara-saudaranya, tapi mampu memaafkan mereka dan menjadi alat penyelamat bangsa Yahudi dalam bencana kelaparan panjang yang melanda begitu banyak daerah.
Memaafkan terkadang terasa mudah, apalagi bila pihak yang bersalah juga menyesal dan mengubah dirinya. Tetapi bila seperti Yusuf kita mengalami masa yang begitu panjang di Mesir, masih sanggupkah kita memaafkan dengan sepenuh hati? Hanya dengan berdoa memohon padaNya kekuatan itu akan diberikanNya.
Mazmur 27 begitu merdu terdengar di telingaku, "Tuhanlah cahaya dan penyelematku, siapa 'kan kutakuti? Tuhanlah benteng hidupku, siapa 'kan kugentari?" Rasanya Mazmur ini harus senantiasa terpatri di dalam hatiku, sehingga setiap kali kegalauan tiba, setiap kali kegentaran menghadapi ketidak pastian masa depan muncul, Ia melindungi aku dari bahaya dan menyembunyikan aku dalam kemahNya. Sudah pernah sekali kurasakan damai sejahtera yang begitu mempesona, ketika aku jatuh bersujud ke hadapanNya, menangis tak berdaya dan merasa kehilangan motivasi kehidupan...kasihNya mengaliri darahku bagaikan air kehidupan, membanjiri relung tergelap hatiku dan membersihkannya. Ketika itu aku tidak gentar, aku kehilangan benci, kehilangan kemarahan, dan aku hanya menikmati balutan damai sejahteraNya. Betapa rindu aku akan saat seperti itu, tetapi mungkin selama rasio masih mendikte, ego masih minta didahulukan...kasihNya sulit terasakan.
Dalam kesempatan berbagi dengan rekan-rekan dalam pendalaman iman lingkungan, ada dua hal yang termunculkan:
Pertama, seringkali kita memerlukan orang lain untuk mengetahui pandangan orang lain tentang diri kita ataupun untuk lebih mengenali orang-orang yang dekat dengan kita. Dengan membagikan pengalaman hidup bisa jadi ada orang lain yang terbantu, dan lebih jelas melihat masalahnya sendiri.
Kedua, sebuah nasehat bagus untuk pasangan suami istri secara khusus dan untuk hubungan dengan sesama secara umumnya, yaitu: perhatikanlah sisi positif dari pasangan ataupun sesamamu. Sulit untuk menghilangkan sisi negatifnya, tetapi lihatlah sisi positifnya agar yang negatif tadi tertutup dan tidak mengganggu relasi.
Sama seperti urutan pendalaman iman yang diberikan Gereja, kita perlu memulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum bisa berbagi kepada keluarga yang terdekat, lalu melebar ke keluarga yang lebih luas, hingga ke komunitas dengan bangsa serta negara sebagai bagian besar komunitas bernegara.
Tuhan,
terima kasih atas cinta dan belas kasihMu
seringkali daku kurang peka
seringkali kumelihat dari kacamata minus yang tebal
seringkali kuterpaku pada masalahku sendiri dan lupa melihat ke sekelilingku
Tuhan,
berkatilah kami umatMu
mampukan kami untuk menjadi pembawa damai sejahteraMu...
Amin.
KelahiranNya juga menggemparkan karena raja Herodes yang begitu ketakutan akan kehadiran sang Pemimpin yang akan menggembalakan umat Israel lalu membantai anak-anak berusia dua tahun ke bawah dan keluarganya (Matius 2:16-18).
Air mata berurai karena kelahiranNya, padahal Ia adalah Raja Damai. Demikian sulit tampaknya kehadiran Damai Sejahtera di bumi ini. Tetapi seperti juga kanak-kanak Yesus yang diluputkan dari pembantaian oleh Herodes, kiranya Allah Yang Maha Pengasih akan senantiasa melindungi dan memberkati langkah orang-orang yang berjuang untuk perdamaian. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah (Matius 5:9). Perlu perjuangan untuk membawa damai, sama seperti perjuangan yang dilakukan Yosef dan Maria dengan mengungsikan bayi Yesus ke Mesir.
Dosa Adam dan Hawa membuat manusia hidup bersama dosa asal. Penebusan Yesus Kristus membawa kehidupan baru bagi manusia, membawa perdamaian dengan Allah Pencipta dan Maha Kasih. Darah salib Kristus memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah (Kol 1:20).
Dalam Panduan Ibadat Adven 2009 untuk keluarga dan lingkungan, Komisi Kerasulan Kitab Suci KAJ mengajak umat pertama-tama berdamai dengan diri sendiri. Mengenali diri sendiri, memperbaiki hubungan dengan Tuhan. Kedua hal itu akan membawa pemurnian suara hati. Nurani yang bersih dan dekat dengan Tuhan akan senantiasa membawa manusia untuk mencintai dan melakukan yang baik serta menghindari yang jahat.
Dalam minggu Adven ke dua, kita diajak untuk membawa damai dalam lingkungan keluarga. Dalam setiap keluarga pastilah ada perselisihan, entah kecil maupun besar. Belajar untuk bisa memaafkan kesalahan orang lain, belajar untuk bisa bertahan baik dalam hantaman ketidak-jujuran atau ketidak-adilan yang kita terima dari orang lain seringkali sangat sukar. Tetapi seperti kata malaikat Gabriel ketika mengabarkan kehamilan Maria dan juga Elizabeth saudarinya, "Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil." Bergabung dalam naunganNya akan membantu memampukan diri kita untuk senantiasa memaafkan, untuk tegar dalam cobaan. Sama seperti Yusuf yang menghabiskan masa mudanya di Mesir sebagai orang yang dijual oleh saudara-saudaranya, tapi mampu memaafkan mereka dan menjadi alat penyelamat bangsa Yahudi dalam bencana kelaparan panjang yang melanda begitu banyak daerah.
Memaafkan terkadang terasa mudah, apalagi bila pihak yang bersalah juga menyesal dan mengubah dirinya. Tetapi bila seperti Yusuf kita mengalami masa yang begitu panjang di Mesir, masih sanggupkah kita memaafkan dengan sepenuh hati? Hanya dengan berdoa memohon padaNya kekuatan itu akan diberikanNya.
Mazmur 27 begitu merdu terdengar di telingaku, "Tuhanlah cahaya dan penyelematku, siapa 'kan kutakuti? Tuhanlah benteng hidupku, siapa 'kan kugentari?" Rasanya Mazmur ini harus senantiasa terpatri di dalam hatiku, sehingga setiap kali kegalauan tiba, setiap kali kegentaran menghadapi ketidak pastian masa depan muncul, Ia melindungi aku dari bahaya dan menyembunyikan aku dalam kemahNya. Sudah pernah sekali kurasakan damai sejahtera yang begitu mempesona, ketika aku jatuh bersujud ke hadapanNya, menangis tak berdaya dan merasa kehilangan motivasi kehidupan...kasihNya mengaliri darahku bagaikan air kehidupan, membanjiri relung tergelap hatiku dan membersihkannya. Ketika itu aku tidak gentar, aku kehilangan benci, kehilangan kemarahan, dan aku hanya menikmati balutan damai sejahteraNya. Betapa rindu aku akan saat seperti itu, tetapi mungkin selama rasio masih mendikte, ego masih minta didahulukan...kasihNya sulit terasakan.
Dalam kesempatan berbagi dengan rekan-rekan dalam pendalaman iman lingkungan, ada dua hal yang termunculkan:
Pertama, seringkali kita memerlukan orang lain untuk mengetahui pandangan orang lain tentang diri kita ataupun untuk lebih mengenali orang-orang yang dekat dengan kita. Dengan membagikan pengalaman hidup bisa jadi ada orang lain yang terbantu, dan lebih jelas melihat masalahnya sendiri.
Kedua, sebuah nasehat bagus untuk pasangan suami istri secara khusus dan untuk hubungan dengan sesama secara umumnya, yaitu: perhatikanlah sisi positif dari pasangan ataupun sesamamu. Sulit untuk menghilangkan sisi negatifnya, tetapi lihatlah sisi positifnya agar yang negatif tadi tertutup dan tidak mengganggu relasi.
Sama seperti urutan pendalaman iman yang diberikan Gereja, kita perlu memulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum bisa berbagi kepada keluarga yang terdekat, lalu melebar ke keluarga yang lebih luas, hingga ke komunitas dengan bangsa serta negara sebagai bagian besar komunitas bernegara.
Tuhan,
terima kasih atas cinta dan belas kasihMu
seringkali daku kurang peka
seringkali kumelihat dari kacamata minus yang tebal
seringkali kuterpaku pada masalahku sendiri dan lupa melihat ke sekelilingku
Tuhan,
berkatilah kami umatMu
mampukan kami untuk menjadi pembawa damai sejahteraMu...
Amin.
Saturday, November 28, 2009
Adven
Renungan Minggu Adven I - Tahun C - 29 November 2009
Yer 33,14-16; 1 Tes 3,12-4,2; Luk 21,25-28. 34-36
Oleh: Rm. Victor Bani, SVD
Hari ini Gereja Katolik mulai memasuki masa Adven. Adven (Adventus) berasal dari kata bahasa Latin: ad yang berarti pada atau kepada dan venire yang berarti datang. Secara harafiah, Adven berarti: Datang Kepada. Allah datang kepada manusia, Tuhan mengunjungi umat-Nya.
Bagi banyak orang, Adven identik dengan ,Lilin Adven' yang dipasang pada Karangan / Lingkaran Adven. Bagaimana asal mula tradisi penyalaan Lilin Adven dan kapan itu dimulai, tidaklah diketahui dengan jelas. Namun ada beberapa bukti bahwa rakyat Jerman menggunakan daun-daunan dengan lilin yang dinyalakan selama bulan Desember yang dingin sebagai tanda harapan akan masa depan yang lebih hangat serta banyaknya sinar matahari pada musim semi.
Karangan Adven selalu berbentuk lingkaran. Karena lingkaran tidak mempunyai awal dan akhir, maka lingkaran melambangkan Tuhan yang abadi, tanpa awal dan akhir. Karangan Adven selalu (seharusnya) dibuat dari daun-daun evergreen. Dahan-dahan evergreen, sama seperti namanya "ever green" - senantiasa hijau, senantiasa hidup. Evergreen melambangkan Kristus yang mati namun hidup kembali untuk selamanya. Evergreen juga melambangkan keabadian jiwa kita. Kristus datang ke dunia untuk memberikan kehidupan yang tanpa akhir bagi kita.
Empat batang lilin diletakkan sekeliling Karangan Adven. Tiga lilin berwarna ungu dan yang lainnya berwarna merah muda. Lilin-lilin itu melambangkan keempat minggu dalam Masa Adven. Setiap hari, dalam bacaan Liturgi Perjanjian Lama dikisahkan tentang penantian bangsa Yahudi akan datangnya Sang Mesias. Sementara itu, dalam Perjanjian Baru mulai diperkenalkan tokoh-tokoh yang berperan dalam Kisah Natal. Pada awal Masa Adven, sebatang lilin dinyalakan. Kemudian setiap minggu berikutnya lilin lain mulai dinyalakan. Seiring dengan bertambah terangnya Karangan Adven karena bertambah banyaknya lilin yang dinyalakan, kita pun diingatkan bahwa kelahiran Sang Terang Dunia semakin dekat.
Warna-warni keempat lilin juga memiliki makna tersendiri. Lilin ungu sebagai lambang pertobatan. Warna ungu mengingatkan kita bahwa Adven adalah masa di mana kita mempersiapkan jiwa untuk menerima Kristus pada Hari Natal. Lilin merah muda dinyalakan pada Hari Minggu Adven III yang disebut Minggu "Gaudete". "Gaudete" berasal dari kata bahasa Latin yang berarti "sukacita", melambangkan adanya sukacita di tengah masa pertobatan karena sukacita Natal hampir tiba. Warna merah muda dibuat dengan mencampurkan warna ungu dengan putih. Artinya, seolah-olah sukacita yang kita alami pada Hari Natal (yang dilambangkan dengan warna putih) sudah tidak tertahankan lagi dalam masa pertobatan ini (ungu) dan sedikit meledak dalam Masa Adven. Pada Hari Natal, keempat lilin tersebut digantikan dengan lilin-lilin putih - yang menandakan bahwa masa persiapan kita telah usai dan kita masuk dalam sukacita yang besar.
Ketika kita mempersiapkan diri untuk memasuki masa Adven, terlebih lagi ketika kita mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan Tuhan yang berpuncak pada hari Raya Natal nanti, ada beberapa hal yang perlu kita sadari dan patut direnungkan:
Yang pertama: Tuhan mengutus Putera-Nya yang Tunggal untuk datang ke dunia, hidup sebagai manusia biasa sama seperti kita, karena Dia sungguh-sungguh mencintai kita. Cinta Tuhan kepada kita sedemikian besar, sampai-sampai Dia rela menyerahkah Putera yang sangat dikasihi-Nya untuk menyelamatkan kita. Kita begitu berharga di mata Tuhan, kita begitu berarti bagi Dia, tidak peduli siapapun kita, apapun status kita, bagaimana tingkah laku dan hidup kita. Kita tetap berharga dihadapan-Nya. Karena Tuhan telah menghargai kita sebegitu tinggi, maka kitapun wajib untuk menghargai hidup yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita. Bukan saja hidup kita, tetapi juga hidup semua mereka yang berada di sekitar kita.
Yang kedua: Tuhan telah datang menawarkan keselamatan kepada kita, tawaran keselamatan yang dapat diterima dengan bebas. Dia tidak pernah memaksa kita untuk menerimanya. Semuanya tergantung pada hati nurani kita. Apakah kita mau menerimanya ataukah menolaknya, sekali lagi, semuanya tergantung pada diri kita sendiri.
Yang ketiga: Kedatangan Tuhan ini dipersiapkan oleh Yohanes pembaptis. Dialah suara yang berseru-seru di padang gurun, persiapkanlah jalan bagi Tuhan, luruskan jalan yang berkelok-kelok, yang bergelombang diratakan. Yohanes mengingatkan kita akan kedosaan kita. Tuhan yang Mahakudus hanya dapat diterima, bila hati kitapun kudus dan murni. Untuk itu, membersihkan hati dan pikiran kita dari segala dosa dan salah merupakan suatu tuntutan yang harus kita penuhi sebelum kita menerima Dia dalam hati kita.
Bila hati dan pikiran kita telah bersih dari segala dosa dan kesalahan, Tuhan boleh datang kapan saja, kita siap untuk menyambut kedatangan-Nya.
Selamat memasuki masa Adven!
(diperoleh lewat milis lingkungan St. Ignatius BSD)
Yer 33,14-16; 1 Tes 3,12-4,2; Luk 21,25-28. 34-36
Oleh: Rm. Victor Bani, SVD
Hari ini Gereja Katolik mulai memasuki masa Adven. Adven (Adventus) berasal dari kata bahasa Latin: ad yang berarti pada atau kepada dan venire yang berarti datang. Secara harafiah, Adven berarti: Datang Kepada. Allah datang kepada manusia, Tuhan mengunjungi umat-Nya.
Bagi banyak orang, Adven identik dengan ,Lilin Adven' yang dipasang pada Karangan / Lingkaran Adven. Bagaimana asal mula tradisi penyalaan Lilin Adven dan kapan itu dimulai, tidaklah diketahui dengan jelas. Namun ada beberapa bukti bahwa rakyat Jerman menggunakan daun-daunan dengan lilin yang dinyalakan selama bulan Desember yang dingin sebagai tanda harapan akan masa depan yang lebih hangat serta banyaknya sinar matahari pada musim semi.
Karangan Adven selalu berbentuk lingkaran. Karena lingkaran tidak mempunyai awal dan akhir, maka lingkaran melambangkan Tuhan yang abadi, tanpa awal dan akhir. Karangan Adven selalu (seharusnya) dibuat dari daun-daun evergreen. Dahan-dahan evergreen, sama seperti namanya "ever green" - senantiasa hijau, senantiasa hidup. Evergreen melambangkan Kristus yang mati namun hidup kembali untuk selamanya. Evergreen juga melambangkan keabadian jiwa kita. Kristus datang ke dunia untuk memberikan kehidupan yang tanpa akhir bagi kita.
Empat batang lilin diletakkan sekeliling Karangan Adven. Tiga lilin berwarna ungu dan yang lainnya berwarna merah muda. Lilin-lilin itu melambangkan keempat minggu dalam Masa Adven. Setiap hari, dalam bacaan Liturgi Perjanjian Lama dikisahkan tentang penantian bangsa Yahudi akan datangnya Sang Mesias. Sementara itu, dalam Perjanjian Baru mulai diperkenalkan tokoh-tokoh yang berperan dalam Kisah Natal. Pada awal Masa Adven, sebatang lilin dinyalakan. Kemudian setiap minggu berikutnya lilin lain mulai dinyalakan. Seiring dengan bertambah terangnya Karangan Adven karena bertambah banyaknya lilin yang dinyalakan, kita pun diingatkan bahwa kelahiran Sang Terang Dunia semakin dekat.
Warna-warni keempat lilin juga memiliki makna tersendiri. Lilin ungu sebagai lambang pertobatan. Warna ungu mengingatkan kita bahwa Adven adalah masa di mana kita mempersiapkan jiwa untuk menerima Kristus pada Hari Natal. Lilin merah muda dinyalakan pada Hari Minggu Adven III yang disebut Minggu "Gaudete". "Gaudete" berasal dari kata bahasa Latin yang berarti "sukacita", melambangkan adanya sukacita di tengah masa pertobatan karena sukacita Natal hampir tiba. Warna merah muda dibuat dengan mencampurkan warna ungu dengan putih. Artinya, seolah-olah sukacita yang kita alami pada Hari Natal (yang dilambangkan dengan warna putih) sudah tidak tertahankan lagi dalam masa pertobatan ini (ungu) dan sedikit meledak dalam Masa Adven. Pada Hari Natal, keempat lilin tersebut digantikan dengan lilin-lilin putih - yang menandakan bahwa masa persiapan kita telah usai dan kita masuk dalam sukacita yang besar.
Ketika kita mempersiapkan diri untuk memasuki masa Adven, terlebih lagi ketika kita mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan Tuhan yang berpuncak pada hari Raya Natal nanti, ada beberapa hal yang perlu kita sadari dan patut direnungkan:
Yang pertama: Tuhan mengutus Putera-Nya yang Tunggal untuk datang ke dunia, hidup sebagai manusia biasa sama seperti kita, karena Dia sungguh-sungguh mencintai kita. Cinta Tuhan kepada kita sedemikian besar, sampai-sampai Dia rela menyerahkah Putera yang sangat dikasihi-Nya untuk menyelamatkan kita. Kita begitu berharga di mata Tuhan, kita begitu berarti bagi Dia, tidak peduli siapapun kita, apapun status kita, bagaimana tingkah laku dan hidup kita. Kita tetap berharga dihadapan-Nya. Karena Tuhan telah menghargai kita sebegitu tinggi, maka kitapun wajib untuk menghargai hidup yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita. Bukan saja hidup kita, tetapi juga hidup semua mereka yang berada di sekitar kita.
Yang kedua: Tuhan telah datang menawarkan keselamatan kepada kita, tawaran keselamatan yang dapat diterima dengan bebas. Dia tidak pernah memaksa kita untuk menerimanya. Semuanya tergantung pada hati nurani kita. Apakah kita mau menerimanya ataukah menolaknya, sekali lagi, semuanya tergantung pada diri kita sendiri.
Yang ketiga: Kedatangan Tuhan ini dipersiapkan oleh Yohanes pembaptis. Dialah suara yang berseru-seru di padang gurun, persiapkanlah jalan bagi Tuhan, luruskan jalan yang berkelok-kelok, yang bergelombang diratakan. Yohanes mengingatkan kita akan kedosaan kita. Tuhan yang Mahakudus hanya dapat diterima, bila hati kitapun kudus dan murni. Untuk itu, membersihkan hati dan pikiran kita dari segala dosa dan salah merupakan suatu tuntutan yang harus kita penuhi sebelum kita menerima Dia dalam hati kita.
Bila hati dan pikiran kita telah bersih dari segala dosa dan kesalahan, Tuhan boleh datang kapan saja, kita siap untuk menyambut kedatangan-Nya.
Selamat memasuki masa Adven!
(diperoleh lewat milis lingkungan St. Ignatius BSD)
Thursday, November 12, 2009
Berkat Malaikat Pelindung (4)
Berkat malaikat pelindung yang sangat terasakan bagiku memang baru tiga kisah yang sudah kukisahkan sebelum ini (Berkat Malaikat Pelindung 1-3). Mengapa tidak saya tamatkan? Karena saya saya yakin berkat itu masih berjalan terus, bagi saya dan bagi anda sekalian. Tahukah anda bahwa anda juga merupakan malaikat pelindung saya?
Di bawah ini ada kisah yang saya ambil dan terjemahkan dari kiriman seorang teman di sebuah milis. Mungkin anda pernah merasakan kebutuhan yang amat sangat untuk mendoakan seseorang, dan dalam hati berkata, “Baiklah, akan saya doakan nanti.” Atau, pernahkah seseorang menelponmu dan memintamu mendoakan dirinya? Kisah di bawah ini mungkin akan membuatmu termenung dan memikirkan betapa pentingnya arti sebuah doa dan cara mendoakannya.
Seorang misionaris menceritakan kisah nyata dari kehidupannya ketika mengunjungi umat di gereja asalnya di Michigan. “Ketika melayani sebuah rumah sakit kecil di Afrika, setiap dua minggu saya pergi dengan sepeda ke kota terdekat untuk mencari keperluan rutin kami. Perjalanan itu memakan waktu dua hari dan membutuhkan berkemah/menginap di tengah perjalanan.
Dalam salah satu perjalanan saya, saya tiba di sebuah kota di mana saya berencana mengambil uang dari bank, membeli obat-obatan dan peralatan lainnya, lalu kembali menempuh perjalanan selama dua hari untuk kembali ke rumah sakit tempatku bekerja. Ketika tiba di kota itu, saya melihat dua orang yang berkelahi, salah satunya terlihat luka parah. Saya mengobatinya dan pada saat yang bersamaan bercerita padanya tentang Tuhan. Lalu saya kembali ke rumah sakit kecilku setelah melalui perjalanan selama dua hari yang diselingi berkemah semalam. Saya tiba di rumah tanpa ada kejadian yang istimewa di jalan.
Dua minggu kemudian saya kembali melakukan perjalanan yang sama. Ketika sampai di kota, saya ditemui oleh lelaki muda yang pernah saya obati ketika saya terakhir mampir di sana. Dia mengatakan bahwa dia tahu bahwa saya membawa uang dan obat-obatan. Dia lalu bercerita, “Beberapa orang teman mengikuti saya membuntutimu ke dalam hutan. Kami tahu bahwa kamu pasti harus menginap semalam di tengah hutan. Kami berencana membunuhmu dan mengambil uang serta obat-obatan yang kau bawa. Tapi, ketika kami bergerak ke arah tendamu, kami melihat bahwa engkau dikelilingi oleh 26 orang yang bersenjata.” Mendengar kisahnya ini, saya tertawa dan berkata bahwa saya sebenarnya memang sendirian saja malam itu di tengah hutan. Tetapi anak muda itu tetap berkeras dan berkata, “Tidak tuan, bukan hanya saya sendirian yang melihat para penjaga itu, teman-temanku juga melihat mereka, dan kami menghitung jumlah mereka. Karena kehadiran mereka maka kami merasa takut dan tidak jadi merampok dan membunuhmu.”
Mendengar kisah itu, seorang di antara lelaki yang mendengar kothbahku itu terlompat berdiri dan memotong kisahku. Ia meminta agar aku memberitahukan tanggal kejadian dan waktu peristiwa itu terjadi. Ketika mendengar tanggal dan waktu kejadian, lelaki itu menceritakan cerita di bawah ini.
“Pada malam itu, malam ketika sesuatu hampir saja terjadi atas dirimu di Afrika, di sini adalah pagi hari, dan saya sedang bersiap-siap ingin pergi main golf. Saya baru akan mulai bermain ketika tiba-tiba terasa kebutuhan yang sangat mendesak untuk berdoa bagimu. Rasanya panggilan Tuhan begitu kuat. Saya lalu memanggil teman-teman dari Gereja ini untuk bertemu di gereja dan berdoa untukmu. Bisakah kalian yang hadir berdoa bersamaku hari itu berdiri?” Satu persatu lelaki yang siang itu hadir mendoakan sang misionaris berdiri. Sang misionaris sendiri tidak begitu memperhatikan siapa saja yang berdiri, karena dia terlalu sibuk menghitung jumlah orang yang berdiri. Ada 26 orang semuanya!
Kisah di atas memberikan contoh bagaimana Roh Kudus menggerakkan hati kita dalam caranya yang tidak terbayangkan. Jadi bila panggilan hati seperti itu tiba-tiba menyeruak, laksanakanlah! Tidak ada akan terluka dengan kehadiran sebuah doa, kecuali pintu neraka.
Dalam Lukas 11:13 ketika mengajarkan murid-muridNya untuk berdoa, Ia mengatakan, “…Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepadaNya.”
Yesus juga berdoa bagi murid-muridNya dalam Yoh: 17. “Peiharalah mereka dalam namaMu, yaitu namaMu yang telah Engkau berikan kepadaKu,…”
Dan ketika dua atau tiga orang berkumpul dalam namaNya, maka Ia juga hadir bersama mereka.
Jadi, ketika hatimu memintamu mendoakan seseorang, atau memintamu untuk meminta bantuan doa, lakukanlah! Karena Ia telah memberikan Roh Kudus untuk membantumu menjadi malaikat pelindung bagi saudaramu, dan Ia pula yang memberikan Roh Kudus bagimu agar hatimu diselamatkan melalui doa saudara-saudaramu.
Ya Bapa,
Terima kasih atas Roh Kudus yang senantiasa melindungi kami,
Menjaga dan mendewasakan kami,
Atas saudara-saudara kami dalam Kristus yang senantiasa siap mendoakan kami,
Biarlah kasih dan terangMu menyinari dunia, melalui kami umatMu.
Biarkanlah kami juga boleh menjadi malaikat bagi sesama kami.
Amin.
Di bawah ini ada kisah yang saya ambil dan terjemahkan dari kiriman seorang teman di sebuah milis. Mungkin anda pernah merasakan kebutuhan yang amat sangat untuk mendoakan seseorang, dan dalam hati berkata, “Baiklah, akan saya doakan nanti.” Atau, pernahkah seseorang menelponmu dan memintamu mendoakan dirinya? Kisah di bawah ini mungkin akan membuatmu termenung dan memikirkan betapa pentingnya arti sebuah doa dan cara mendoakannya.
Seorang misionaris menceritakan kisah nyata dari kehidupannya ketika mengunjungi umat di gereja asalnya di Michigan. “Ketika melayani sebuah rumah sakit kecil di Afrika, setiap dua minggu saya pergi dengan sepeda ke kota terdekat untuk mencari keperluan rutin kami. Perjalanan itu memakan waktu dua hari dan membutuhkan berkemah/menginap di tengah perjalanan.
Dalam salah satu perjalanan saya, saya tiba di sebuah kota di mana saya berencana mengambil uang dari bank, membeli obat-obatan dan peralatan lainnya, lalu kembali menempuh perjalanan selama dua hari untuk kembali ke rumah sakit tempatku bekerja. Ketika tiba di kota itu, saya melihat dua orang yang berkelahi, salah satunya terlihat luka parah. Saya mengobatinya dan pada saat yang bersamaan bercerita padanya tentang Tuhan. Lalu saya kembali ke rumah sakit kecilku setelah melalui perjalanan selama dua hari yang diselingi berkemah semalam. Saya tiba di rumah tanpa ada kejadian yang istimewa di jalan.
Dua minggu kemudian saya kembali melakukan perjalanan yang sama. Ketika sampai di kota, saya ditemui oleh lelaki muda yang pernah saya obati ketika saya terakhir mampir di sana. Dia mengatakan bahwa dia tahu bahwa saya membawa uang dan obat-obatan. Dia lalu bercerita, “Beberapa orang teman mengikuti saya membuntutimu ke dalam hutan. Kami tahu bahwa kamu pasti harus menginap semalam di tengah hutan. Kami berencana membunuhmu dan mengambil uang serta obat-obatan yang kau bawa. Tapi, ketika kami bergerak ke arah tendamu, kami melihat bahwa engkau dikelilingi oleh 26 orang yang bersenjata.” Mendengar kisahnya ini, saya tertawa dan berkata bahwa saya sebenarnya memang sendirian saja malam itu di tengah hutan. Tetapi anak muda itu tetap berkeras dan berkata, “Tidak tuan, bukan hanya saya sendirian yang melihat para penjaga itu, teman-temanku juga melihat mereka, dan kami menghitung jumlah mereka. Karena kehadiran mereka maka kami merasa takut dan tidak jadi merampok dan membunuhmu.”
Mendengar kisah itu, seorang di antara lelaki yang mendengar kothbahku itu terlompat berdiri dan memotong kisahku. Ia meminta agar aku memberitahukan tanggal kejadian dan waktu peristiwa itu terjadi. Ketika mendengar tanggal dan waktu kejadian, lelaki itu menceritakan cerita di bawah ini.
“Pada malam itu, malam ketika sesuatu hampir saja terjadi atas dirimu di Afrika, di sini adalah pagi hari, dan saya sedang bersiap-siap ingin pergi main golf. Saya baru akan mulai bermain ketika tiba-tiba terasa kebutuhan yang sangat mendesak untuk berdoa bagimu. Rasanya panggilan Tuhan begitu kuat. Saya lalu memanggil teman-teman dari Gereja ini untuk bertemu di gereja dan berdoa untukmu. Bisakah kalian yang hadir berdoa bersamaku hari itu berdiri?” Satu persatu lelaki yang siang itu hadir mendoakan sang misionaris berdiri. Sang misionaris sendiri tidak begitu memperhatikan siapa saja yang berdiri, karena dia terlalu sibuk menghitung jumlah orang yang berdiri. Ada 26 orang semuanya!
Kisah di atas memberikan contoh bagaimana Roh Kudus menggerakkan hati kita dalam caranya yang tidak terbayangkan. Jadi bila panggilan hati seperti itu tiba-tiba menyeruak, laksanakanlah! Tidak ada akan terluka dengan kehadiran sebuah doa, kecuali pintu neraka.
Dalam Lukas 11:13 ketika mengajarkan murid-muridNya untuk berdoa, Ia mengatakan, “…Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepadaNya.”
Yesus juga berdoa bagi murid-muridNya dalam Yoh: 17. “Peiharalah mereka dalam namaMu, yaitu namaMu yang telah Engkau berikan kepadaKu,…”
Dan ketika dua atau tiga orang berkumpul dalam namaNya, maka Ia juga hadir bersama mereka.
Jadi, ketika hatimu memintamu mendoakan seseorang, atau memintamu untuk meminta bantuan doa, lakukanlah! Karena Ia telah memberikan Roh Kudus untuk membantumu menjadi malaikat pelindung bagi saudaramu, dan Ia pula yang memberikan Roh Kudus bagimu agar hatimu diselamatkan melalui doa saudara-saudaramu.
Ya Bapa,
Terima kasih atas Roh Kudus yang senantiasa melindungi kami,
Menjaga dan mendewasakan kami,
Atas saudara-saudara kami dalam Kristus yang senantiasa siap mendoakan kami,
Biarlah kasih dan terangMu menyinari dunia, melalui kami umatMu.
Biarkanlah kami juga boleh menjadi malaikat bagi sesama kami.
Amin.
Friday, October 30, 2009
Antara Yesus yang Membawa Pemisahan dan Hari Sabat
Minggu lalu kami membaca Kitab Suci mengenai Yesus yang membawa pemisahan (Lukas 12: 49-53). Lagi-lagi sebuah bacaan yang membingungkan. Begini bunyi ayat 51: "Kamu menyangka aku datang untuk membawa damai di bumi? Bukan, kataKu kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan!" Aneh bukan?! Bukankah kita diajarkan untuk membawa damai di Bumi? Mengapa sang Guru malah mengatakan diriNya adalah pembawa pertentangan?
Rupanya pertentangan itu muncul dari pilihan-pilihan, antara nurani dengan peraturan, antara nurani dengan kebiasaan umum, antara kebutuhan rohani dengan keinginan daging, antara jalan Tuhan dan jalan kegelapan...
Kalau membaca kisah yang sama dari Kitab Matius (Matius 10:34-42) maka ada sedikit tambahan yang berbeda. "Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku."(Mat 10:40)
Pertentangan yang dibawa Yesus adalah karena kekakuan seseorang dalam menerjemahkan hukum Taurat tanpa mendahulukan cinta kasih. Karena bila kita membaca lanjutan Matius, yakni Matius 10:42 "Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia muridKu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya."
Yesus meminta umat Kristiani mendahulukan kehendak Allah. Cinta kasih adalah hukum utama dari Allah, yang terutama dan pertama-tama adalah keharusan untuk mencintai Allah lebih dari apapun juga, lebih dari siapapun juga. Dalam hal ini kotak-kotak keluarga dihilangkan. Siapa yang mencintai keluarganya lebih daripada mencintai Tuhan tidak layak di mataNya. Barangsiapa yang tidak mau memanggul salibnya dan mengikutiNya juga tidak layak bagiNya.
Memang penting mendahulukan kepentingan keluarga, selama tidak bertentangan dengan kehendak Allah. Karena itulah ada nurani yang senantiasa mengingatkan.
Begitu juga dengan bacaan hari ini dari Lukas 14:1-6 ketika Yesus lagi-lagi menyembuhkan orang pada hari Sabat. Peraturan tentang hari Sabat dibuat untuk menghormati Allah, tetapi terlalu kaku dalam menerapkannya bisa membuat orang melupakan kehendak Allah. Allah menginginkan keselamatan. "Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?"
Ketika kita terlalu kaku menetapkan kotak-kotak batasan maka kita bisa terlupa akan tugas mewartakan kabar bahagianya melalui tindakan. Bila terlalu ketat menjaga peraturan hari Sabat, maka pasien kritis yang sedang butuh pertolongan dokter bisa tidak tertolong. Kembali kisah tentang pajak bagi kaisar terngiang di telinga. "Berikanlah apa yang menjadi milik kaisar dan berikanlah apa yang menjadi milik Tuhan." Jadi berikanlah waktu yang dibutuhkan untuk kepentingan dunia, tapi tetap juga ingat waktu yang harus dipersembahkan untuk Tuhan.
Ketika Yesus bertanya kepada para ahli Taurat dan orang Farisi: "Diperbolehkankah menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak?" mereka semua diam. Diam, karena mereka sudah tahu jawaban Yesus sebelumnya bahwa pada hari Sabat pun orang diperkenankan untuk berbuat baik. Mana yang lebih berkenan bagi Tuhan, berbuat baik atau berbuat jahat? Menyelamatkan manusia atau membinasakan manusia? Suara hatilah yang menjawabnya.
Seperti pedang maka suara hati perlu dipelihara dan diasah agar tetap dapat berfungsi dengan baik. "Aku datang membawa pedang," kataNya. Itulah pedang yang diberikanNya kepada kita, suara hati untuk melawan ketidak-adilan, melawan kejahatan, melawan hawa nafsu, dan lain-lain. Terkadang hal ini mungkin mengakibatkan pertentangan di antara keluarga, di antara para bangsa, bahkan di antara pemuka agama. Pada saat itulah mendahulukan kasih dan keselamatan manusia menjadi suluh penerang dalam mengambil tindakan.
Ya Bapa,
Terima kasih atas kasih yang Kau anugerahkan bagi kami,
Semoga kami senantiasa menjaga suara hati kami,
Menjaga kemurnian hati kami,
Agar layak mendapat tempat di dalam rumahMu.
Amin.
Rupanya pertentangan itu muncul dari pilihan-pilihan, antara nurani dengan peraturan, antara nurani dengan kebiasaan umum, antara kebutuhan rohani dengan keinginan daging, antara jalan Tuhan dan jalan kegelapan...
Kalau membaca kisah yang sama dari Kitab Matius (Matius 10:34-42) maka ada sedikit tambahan yang berbeda. "Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku."(Mat 10:40)
Pertentangan yang dibawa Yesus adalah karena kekakuan seseorang dalam menerjemahkan hukum Taurat tanpa mendahulukan cinta kasih. Karena bila kita membaca lanjutan Matius, yakni Matius 10:42 "Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia muridKu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya."
Yesus meminta umat Kristiani mendahulukan kehendak Allah. Cinta kasih adalah hukum utama dari Allah, yang terutama dan pertama-tama adalah keharusan untuk mencintai Allah lebih dari apapun juga, lebih dari siapapun juga. Dalam hal ini kotak-kotak keluarga dihilangkan. Siapa yang mencintai keluarganya lebih daripada mencintai Tuhan tidak layak di mataNya. Barangsiapa yang tidak mau memanggul salibnya dan mengikutiNya juga tidak layak bagiNya.
Memang penting mendahulukan kepentingan keluarga, selama tidak bertentangan dengan kehendak Allah. Karena itulah ada nurani yang senantiasa mengingatkan.
Begitu juga dengan bacaan hari ini dari Lukas 14:1-6 ketika Yesus lagi-lagi menyembuhkan orang pada hari Sabat. Peraturan tentang hari Sabat dibuat untuk menghormati Allah, tetapi terlalu kaku dalam menerapkannya bisa membuat orang melupakan kehendak Allah. Allah menginginkan keselamatan. "Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?"
Ketika kita terlalu kaku menetapkan kotak-kotak batasan maka kita bisa terlupa akan tugas mewartakan kabar bahagianya melalui tindakan. Bila terlalu ketat menjaga peraturan hari Sabat, maka pasien kritis yang sedang butuh pertolongan dokter bisa tidak tertolong. Kembali kisah tentang pajak bagi kaisar terngiang di telinga. "Berikanlah apa yang menjadi milik kaisar dan berikanlah apa yang menjadi milik Tuhan." Jadi berikanlah waktu yang dibutuhkan untuk kepentingan dunia, tapi tetap juga ingat waktu yang harus dipersembahkan untuk Tuhan.
Ketika Yesus bertanya kepada para ahli Taurat dan orang Farisi: "Diperbolehkankah menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak?" mereka semua diam. Diam, karena mereka sudah tahu jawaban Yesus sebelumnya bahwa pada hari Sabat pun orang diperkenankan untuk berbuat baik. Mana yang lebih berkenan bagi Tuhan, berbuat baik atau berbuat jahat? Menyelamatkan manusia atau membinasakan manusia? Suara hatilah yang menjawabnya.
Seperti pedang maka suara hati perlu dipelihara dan diasah agar tetap dapat berfungsi dengan baik. "Aku datang membawa pedang," kataNya. Itulah pedang yang diberikanNya kepada kita, suara hati untuk melawan ketidak-adilan, melawan kejahatan, melawan hawa nafsu, dan lain-lain. Terkadang hal ini mungkin mengakibatkan pertentangan di antara keluarga, di antara para bangsa, bahkan di antara pemuka agama. Pada saat itulah mendahulukan kasih dan keselamatan manusia menjadi suluh penerang dalam mengambil tindakan.
Ya Bapa,
Terima kasih atas kasih yang Kau anugerahkan bagi kami,
Semoga kami senantiasa menjaga suara hati kami,
Menjaga kemurnian hati kami,
Agar layak mendapat tempat di dalam rumahMu.
Amin.
Saturday, September 19, 2009
Berjuang Dalam Hidup Dengan Terang Sabda Tuhan
Dalam bulan Kitab Suci 2009 kami diajak Keuskupan Agung Jakarta meletakkan perjuangan hidup ini dalam terang sabda Tuhan. Ada empat pertemuan yang diharapkan menginspirasi kehidupan umat KAJ dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Pertama-tama kami diajak masuk ke dalam diri kami sendiri melalui "Perjuangan hidup dalam diriku". Ayub 7:1-10 meperlihatkan keluhan Ayub bahwa hidup itu berat. Yang menarik bagiku justru berada di ayat 17-19 yaitu ketika Ayub berkata: "Apakah gerangan manusia sehingga dia Kauanggap agung, dan Kau perhatikan, dan Kau datangi setiap pagi, dan Kau uji setiap saat? Bilakah Engkau mengalihkan pandanganMu daripadaku dan membiarkan aku, sehingga aku sempat menelan ludahku?"
Ayub melihat Tuhan mengunjunginya setiap hari, melihat bahwa pandanganNya tidak lekang dari wajah umatNya. Tetapi Ayub melihat Tuhan bagaikan sipir penjara yang setiap saat ingin menangkap kesalahan yang diperbuat manusia.
Aku merasa beruntung karena dari kecil belajar melihat Tuhan sebagai Bapa Yang Maha Pengasih. Tetapi, dari sudut pandang ini juga aku seringkali terjebak, menantikan terlalu banyak dariNya. Padahal Bapa ingin mendewasakan diriku, mengajariku mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendakNya. Aku tidak terbiasa mengambil keputusan untuk diriku sendiri, dan Ia ingin aku belajar untuk itu. Karena itu aku sering menuduhNya diam, seakan tidak memperhatikanku. Ayub mengingatkanku bahwa Tuhan tidak pernah mengalihkan pandanganNya dariku...
Tuhan diam dalam mataku, tapi belum tentu demikian. Aku sudah menemukannya melalui meditasi yang lalu, tapi sebenarnya dalam kitab Ayub ini sudah dikatakan bahwa Allah berfirman kepada manusia dengan berbagai-bagai cara. Ayub 33:14 "Karena Allah berfirman dengan satu dua cara, tetapi orang tidak memperhatikannya." Memang benar, pikiranku terkadang terlalu sibuk untuk berpikir, untuk bertanya padaNya tanpa memberikan Dia kesempatan untuk menjawab. JawabanNya yang kutunggu masih jawaban langsung seperti ketika Abraham, Musa, dan juga Ayub bercakap dengan Tuhan. Kini, ketika aku menyediakan waktu untuk hening dan membiarkan Roh Kudus membimbing telinga dan hatiku pada sabdaNya...kutemukan jawabNya pada setiap orang yang kutemui.
Pergumulan diriku belum selesai, karena nafasku masih di badan, tapi aku tidak lagi sendiri sebab kutahu Bapaku di surga tidak akan membiarkan aku sendirian, kutahu bahwa Ia tidak melepaskan pantauanNya dariku.
Setelah pergumulan diri, kami diajak merenungkan "Perjuangan hidup dalam keluarga". Bacaan dari Tobit 2:9-14 mengantar kami ke dalam permenungan itu. Dari bacaan itu terasa sekali pentingnya saling percaya dalam keluarga. Tobit karena keputus-asaan terhadap kebutaannya menjadi mudah marah dan tidak percaya kepada istrinya. Ia kemudian menyesali diri dan memohon ampunan Tuhan. "Ya Tuhan, ingatlah aku. Pandangilah aku! Janganlah wajahMu Kau palingkan daripadaku, ya Tuhan."
Kalau kita melangkah sedikit lebih jauh dari bacaan Tobit yang diberikan Gereja untuk renungan Kitab Suci itu, kita akan menemukan juga kisah Sara anak perempuan Raquel. Dalam keputus-asaan karena didera hinaan sebab tujuh laki-laki yang memperistrinya semua meninggal sebelum bersatu dengannya, Sara ingin menghabisi hidupnya. Beruntung bahwa ia ingat kenistaan yang akan diperoleh ayahnya karena tindakan itu, sehingga ia kemudian ingat untuk memohon pada Tuhan agar ia dipanggilNya kembali ke rumahNya.
Bila kita meneruskan membaca kitab Tobit dan membaca bagaimana Sara terlepas dari cengkeraman Asmodeus, setan jahat yang membuatnya ternistakan, maka kita akan melihat bagaimana pergumulan dalam keluarga terjadi. Kita bisa memperoleh pedoman, bagaimana pernikahan patut dimulai dengan doa. Satu catatan yang perlu digaris bawahi dari Kitab Tobit adalah Tobit 4:15 "Apa yang tidak kau sukai sendiri, janganlah kau perbuat kepada siapapun..."
Ketakutan Hana, istri Tobit, akan keselamatan anaknya Tobia merupakan reaksi wajar seorang ibu terhadap masa depan anaknya. Dengan berdoa memohon berkat dan bimbingan Tuhan, niscaya kita bisa juga berkata: "Aku tidak takut, karena malaikat baik menyertai perjalanannya..." Dalam setiap perjalanan...Perjalanan suami, istri, maupun anak-anak, memohonkan pendampingan dariNya akan memberikan bekal keselamatan yang besar. Sayangnya kita seringkali lupa akan hal ini, lebih sibuk mengantisipasi semua kemungkinan yang terlihat nyata. Setidaknya ini yang kualami, semua kemungkinan kutimbang dan kupersiapkan, tetapi kadar doaku mungkin tidak sebesar persiapan duniawi...dan seperti Ayub, semua diambil dalam sekejab, perhitungan model apapun tidak bisa melawan kenyataan yang terjadi. Pasrahkan diri kepada kehendakNya, cari kehendakNya jauh ke dalam lubuk hatimu...
Permenungan ketiga membawaku ke dalam "Perjuangan hidup dalam lingkungan dan masyarakat". Nehemia 6:1-14 membukakan hatiku pada ayat 9: Karena mereka semua mau menakut-nakuti kami, pikirnya: "Mereka akan membiarkan pekerjaan itu, sehingga tidak dapat diselesaikan." Tetapi aku justru berusaha sekuat tenaga.
Berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan bagi kemuliaan Tuhan, itulah yang kuperoleh dari Nehemia. Nehemia bekerja tanpa mencari keuntungan, bahkan dia harus mengeluarkan biaya untuk memberi makan para pekerja yang datang bekerja untuk membangun kembali tembok Yerusalem. Terus terang tugas pelayanan memang tidak terlihat upahnya, bahkan seringkali rasa terima kasih juga tidak muncul dari yang dilayani. Pelayanan diterima seakan sudah seharusnya terjadi, taken for granted, dan seringkali hal ini melelahkan batin. Terutama dalam kehidupan masa kini dimana materi memiliki peran yang sangat besar dalam aspek kehidupan keluarga.
Pendidikan sangat mahal bila dibandingkan dengan penghasilan, apalagi kalau ingin mencari sekolah Katolik yang sudah mapan...katanya sekolah Katolik identik dengan mahalnya...Sedikit memalukan sebenarnya mendengar ungkapan ini. Sebenarnya masa aku sekolah dahulu sistem subsidi silang berjalan dengan baik di sekolahku yang termasuk sekolah Katolik ternama. Tapi, entah bagaimana keadaan sekarang ini...Yang jelas sekolah Katolik di lingkungan terdekatku memang cukup aduhai iinvestasinya.
Ketika kebutuhan untuk hidup semakin mengencangkan ancang-ancang untuk mengumpulkan materi, maka keseimbangan hidup rohani sangat mungkin terganggu. Pilihan untuk pelayanan yang jelas-jelas tidak menghasilkan materi, justru seringkali membutuhkan pengorbanan waktu dan materi, seakan merupakan pilihan bodoh di masa kini. Yang mana yang ingin kudahulukan? Kebutuhan keluarga atau panggilan hati? Memenuhi panggilan hati tapi melalaikan kebutuhan keluarga juga berarti tidak menjaga titipan Tuhan secara benar...Keseimbangan dan kemampuan memilih (discernment)hanya bisa diperoleh melalui kedekatan denganNya. Semoga kami semua cukup dimampukan untuk tetap berjaga-jaga dalam doa, tetap siaga dengan buli-buli minyak yang dipersiapkan secara ekstra, dalam menyambut kedatanganNya kembali...
Pertemuan terakhir adalah "Perjuangan hidup dalam berbangsa dan bernegara". Kali ini Paulus melalui suratnya pada umat di Roma (Roma 13:1-7) mengajak untuk melihat keberadaan komunitas Gereja dalam lingkup komunitas yang lebih besar lagi yaitu dalam kehidupan bernegara. Yang menarik aku pada pertemuan kali ini adalah ayat 5: "Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita."
Pemerintah dilihat sebagai perpanjangan tangan Allah, agar orang berbuat baik melaksanakan perintah Allah. Itulah tempat bagi adanya hukum dalam kehidupan bernegara. Tapi bagaimana bila hukum tidak dipergunakan sebagaimana seharusnya? Bila peyelewangan terjadi dan bila pemerintah tidak lagi bertindak sebagai perpanjangan tangan Allah demi kebaikan dan kesejahteraan seluruh warganya? Saya rasa, di titik inilah suara hati digunakan. Kita berbuat baik bukan karena takut akan hukuman yang akan muncul bila kita tidak melakukan kebaikan tersebut, tetapi kita berbuat baik (boleh dibaca patuh pada hukum negara) karena hati nurani yang meminta.
Sebenarnya kita sudah mengetahui dari Kitab Suci Perjanjian Lama, betapa banyak orang terpilih yang kemudian ingkar dari tugasnya. Saul, adalah contoh yang masih saya ingat dari kisah perseteruannya dengan Daud. Sebagai orang yang dipilih Tuhan (1 Samuel 10:24), ia tidak berserah seutuhnya pada kehendak Tuhan. Ia goyah ketika merasa sendirian dalam kepungan Filistin (1 Samuel 13) dan dukungan Tuhan untuk kepemimpinannya lalu dialihkan kepada Daud. Atau kisah Musa yang tidak bisa memasuki tanah yang dijanjikan karena ia goyah ketika menghadapi ketidak-puasan orang Israel (Bilangan 20:12 dan Ulangan 4:21). Sepatutnya kita mendoakan mereka yang mendapatkan mandat dari bangsa ini agar mampu bertugas dengan nurani yang bersih dan tetap takut akan Allah. Sementara itu sebagai bagian dari bangsa, mari kita berbuat sesuai dengan talenta masing-masing...satu untuk yang punya satu talenta, lima untuk yang dipercayai dengan lima talenta...Bila setiap orang menggandakan talentanya dalam nama Tuhan, maka niscaya kemajuan bangsa dan negara akan muncul, karena Tuhan juga menginginkan kita mencintai dan melayani sesama...
Tuhan,
Terima kasih atas berkatMu yang berlimpah,
Mampukan kami untuk menang dalam pergumulan kehidupan,
Dalam kehidupan pribadi,
Dalam kehidupan keluarga,
dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara...
Lindungi dan bimbing para pemimpin dan pemikir bangsa ini,
Agar mampukan bangsa ini untuk bangkit dan mensejahterakan rakyat...
Amin.
Pertama-tama kami diajak masuk ke dalam diri kami sendiri melalui "Perjuangan hidup dalam diriku". Ayub 7:1-10 meperlihatkan keluhan Ayub bahwa hidup itu berat. Yang menarik bagiku justru berada di ayat 17-19 yaitu ketika Ayub berkata: "Apakah gerangan manusia sehingga dia Kauanggap agung, dan Kau perhatikan, dan Kau datangi setiap pagi, dan Kau uji setiap saat? Bilakah Engkau mengalihkan pandanganMu daripadaku dan membiarkan aku, sehingga aku sempat menelan ludahku?"
Ayub melihat Tuhan mengunjunginya setiap hari, melihat bahwa pandanganNya tidak lekang dari wajah umatNya. Tetapi Ayub melihat Tuhan bagaikan sipir penjara yang setiap saat ingin menangkap kesalahan yang diperbuat manusia.
Aku merasa beruntung karena dari kecil belajar melihat Tuhan sebagai Bapa Yang Maha Pengasih. Tetapi, dari sudut pandang ini juga aku seringkali terjebak, menantikan terlalu banyak dariNya. Padahal Bapa ingin mendewasakan diriku, mengajariku mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendakNya. Aku tidak terbiasa mengambil keputusan untuk diriku sendiri, dan Ia ingin aku belajar untuk itu. Karena itu aku sering menuduhNya diam, seakan tidak memperhatikanku. Ayub mengingatkanku bahwa Tuhan tidak pernah mengalihkan pandanganNya dariku...
Tuhan diam dalam mataku, tapi belum tentu demikian. Aku sudah menemukannya melalui meditasi yang lalu, tapi sebenarnya dalam kitab Ayub ini sudah dikatakan bahwa Allah berfirman kepada manusia dengan berbagai-bagai cara. Ayub 33:14 "Karena Allah berfirman dengan satu dua cara, tetapi orang tidak memperhatikannya." Memang benar, pikiranku terkadang terlalu sibuk untuk berpikir, untuk bertanya padaNya tanpa memberikan Dia kesempatan untuk menjawab. JawabanNya yang kutunggu masih jawaban langsung seperti ketika Abraham, Musa, dan juga Ayub bercakap dengan Tuhan. Kini, ketika aku menyediakan waktu untuk hening dan membiarkan Roh Kudus membimbing telinga dan hatiku pada sabdaNya...kutemukan jawabNya pada setiap orang yang kutemui.
Pergumulan diriku belum selesai, karena nafasku masih di badan, tapi aku tidak lagi sendiri sebab kutahu Bapaku di surga tidak akan membiarkan aku sendirian, kutahu bahwa Ia tidak melepaskan pantauanNya dariku.
Setelah pergumulan diri, kami diajak merenungkan "Perjuangan hidup dalam keluarga". Bacaan dari Tobit 2:9-14 mengantar kami ke dalam permenungan itu. Dari bacaan itu terasa sekali pentingnya saling percaya dalam keluarga. Tobit karena keputus-asaan terhadap kebutaannya menjadi mudah marah dan tidak percaya kepada istrinya. Ia kemudian menyesali diri dan memohon ampunan Tuhan. "Ya Tuhan, ingatlah aku. Pandangilah aku! Janganlah wajahMu Kau palingkan daripadaku, ya Tuhan."
Kalau kita melangkah sedikit lebih jauh dari bacaan Tobit yang diberikan Gereja untuk renungan Kitab Suci itu, kita akan menemukan juga kisah Sara anak perempuan Raquel. Dalam keputus-asaan karena didera hinaan sebab tujuh laki-laki yang memperistrinya semua meninggal sebelum bersatu dengannya, Sara ingin menghabisi hidupnya. Beruntung bahwa ia ingat kenistaan yang akan diperoleh ayahnya karena tindakan itu, sehingga ia kemudian ingat untuk memohon pada Tuhan agar ia dipanggilNya kembali ke rumahNya.
Bila kita meneruskan membaca kitab Tobit dan membaca bagaimana Sara terlepas dari cengkeraman Asmodeus, setan jahat yang membuatnya ternistakan, maka kita akan melihat bagaimana pergumulan dalam keluarga terjadi. Kita bisa memperoleh pedoman, bagaimana pernikahan patut dimulai dengan doa. Satu catatan yang perlu digaris bawahi dari Kitab Tobit adalah Tobit 4:15 "Apa yang tidak kau sukai sendiri, janganlah kau perbuat kepada siapapun..."
Ketakutan Hana, istri Tobit, akan keselamatan anaknya Tobia merupakan reaksi wajar seorang ibu terhadap masa depan anaknya. Dengan berdoa memohon berkat dan bimbingan Tuhan, niscaya kita bisa juga berkata: "Aku tidak takut, karena malaikat baik menyertai perjalanannya..." Dalam setiap perjalanan...Perjalanan suami, istri, maupun anak-anak, memohonkan pendampingan dariNya akan memberikan bekal keselamatan yang besar. Sayangnya kita seringkali lupa akan hal ini, lebih sibuk mengantisipasi semua kemungkinan yang terlihat nyata. Setidaknya ini yang kualami, semua kemungkinan kutimbang dan kupersiapkan, tetapi kadar doaku mungkin tidak sebesar persiapan duniawi...dan seperti Ayub, semua diambil dalam sekejab, perhitungan model apapun tidak bisa melawan kenyataan yang terjadi. Pasrahkan diri kepada kehendakNya, cari kehendakNya jauh ke dalam lubuk hatimu...
Permenungan ketiga membawaku ke dalam "Perjuangan hidup dalam lingkungan dan masyarakat". Nehemia 6:1-14 membukakan hatiku pada ayat 9: Karena mereka semua mau menakut-nakuti kami, pikirnya: "Mereka akan membiarkan pekerjaan itu, sehingga tidak dapat diselesaikan." Tetapi aku justru berusaha sekuat tenaga.
Berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan bagi kemuliaan Tuhan, itulah yang kuperoleh dari Nehemia. Nehemia bekerja tanpa mencari keuntungan, bahkan dia harus mengeluarkan biaya untuk memberi makan para pekerja yang datang bekerja untuk membangun kembali tembok Yerusalem. Terus terang tugas pelayanan memang tidak terlihat upahnya, bahkan seringkali rasa terima kasih juga tidak muncul dari yang dilayani. Pelayanan diterima seakan sudah seharusnya terjadi, taken for granted, dan seringkali hal ini melelahkan batin. Terutama dalam kehidupan masa kini dimana materi memiliki peran yang sangat besar dalam aspek kehidupan keluarga.
Pendidikan sangat mahal bila dibandingkan dengan penghasilan, apalagi kalau ingin mencari sekolah Katolik yang sudah mapan...katanya sekolah Katolik identik dengan mahalnya...Sedikit memalukan sebenarnya mendengar ungkapan ini. Sebenarnya masa aku sekolah dahulu sistem subsidi silang berjalan dengan baik di sekolahku yang termasuk sekolah Katolik ternama. Tapi, entah bagaimana keadaan sekarang ini...Yang jelas sekolah Katolik di lingkungan terdekatku memang cukup aduhai iinvestasinya.
Ketika kebutuhan untuk hidup semakin mengencangkan ancang-ancang untuk mengumpulkan materi, maka keseimbangan hidup rohani sangat mungkin terganggu. Pilihan untuk pelayanan yang jelas-jelas tidak menghasilkan materi, justru seringkali membutuhkan pengorbanan waktu dan materi, seakan merupakan pilihan bodoh di masa kini. Yang mana yang ingin kudahulukan? Kebutuhan keluarga atau panggilan hati? Memenuhi panggilan hati tapi melalaikan kebutuhan keluarga juga berarti tidak menjaga titipan Tuhan secara benar...Keseimbangan dan kemampuan memilih (discernment)hanya bisa diperoleh melalui kedekatan denganNya. Semoga kami semua cukup dimampukan untuk tetap berjaga-jaga dalam doa, tetap siaga dengan buli-buli minyak yang dipersiapkan secara ekstra, dalam menyambut kedatanganNya kembali...
Pertemuan terakhir adalah "Perjuangan hidup dalam berbangsa dan bernegara". Kali ini Paulus melalui suratnya pada umat di Roma (Roma 13:1-7) mengajak untuk melihat keberadaan komunitas Gereja dalam lingkup komunitas yang lebih besar lagi yaitu dalam kehidupan bernegara. Yang menarik aku pada pertemuan kali ini adalah ayat 5: "Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita."
Pemerintah dilihat sebagai perpanjangan tangan Allah, agar orang berbuat baik melaksanakan perintah Allah. Itulah tempat bagi adanya hukum dalam kehidupan bernegara. Tapi bagaimana bila hukum tidak dipergunakan sebagaimana seharusnya? Bila peyelewangan terjadi dan bila pemerintah tidak lagi bertindak sebagai perpanjangan tangan Allah demi kebaikan dan kesejahteraan seluruh warganya? Saya rasa, di titik inilah suara hati digunakan. Kita berbuat baik bukan karena takut akan hukuman yang akan muncul bila kita tidak melakukan kebaikan tersebut, tetapi kita berbuat baik (boleh dibaca patuh pada hukum negara) karena hati nurani yang meminta.
Sebenarnya kita sudah mengetahui dari Kitab Suci Perjanjian Lama, betapa banyak orang terpilih yang kemudian ingkar dari tugasnya. Saul, adalah contoh yang masih saya ingat dari kisah perseteruannya dengan Daud. Sebagai orang yang dipilih Tuhan (1 Samuel 10:24), ia tidak berserah seutuhnya pada kehendak Tuhan. Ia goyah ketika merasa sendirian dalam kepungan Filistin (1 Samuel 13) dan dukungan Tuhan untuk kepemimpinannya lalu dialihkan kepada Daud. Atau kisah Musa yang tidak bisa memasuki tanah yang dijanjikan karena ia goyah ketika menghadapi ketidak-puasan orang Israel (Bilangan 20:12 dan Ulangan 4:21). Sepatutnya kita mendoakan mereka yang mendapatkan mandat dari bangsa ini agar mampu bertugas dengan nurani yang bersih dan tetap takut akan Allah. Sementara itu sebagai bagian dari bangsa, mari kita berbuat sesuai dengan talenta masing-masing...satu untuk yang punya satu talenta, lima untuk yang dipercayai dengan lima talenta...Bila setiap orang menggandakan talentanya dalam nama Tuhan, maka niscaya kemajuan bangsa dan negara akan muncul, karena Tuhan juga menginginkan kita mencintai dan melayani sesama...
Tuhan,
Terima kasih atas berkatMu yang berlimpah,
Mampukan kami untuk menang dalam pergumulan kehidupan,
Dalam kehidupan pribadi,
Dalam kehidupan keluarga,
dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara...
Lindungi dan bimbing para pemimpin dan pemikir bangsa ini,
Agar mampukan bangsa ini untuk bangkit dan mensejahterakan rakyat...
Amin.
Saturday, August 29, 2009
Gadis-gadis yang Bijaksana dan Gadis-gadis yang Bodoh
Jumat lalu, bacaan yang menjadi dasar dari pertemuan kami adalah Matius 25:1-13, mengenai gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh.
Sama seperti teman-teman yang lain, saya juga tercengang pada ayat 8-9. Ketika mempelai sudah datang dan gadis-gadis yang tidak membawa minyak cadangan untuk pelitanya meminta kepada gadis-gadis bijaksana, yang membawa minyak dalam buli-buli mereka, ternyata gadis-gadis bijaksana tersebut menolaknya. Selama ini kita selalu diajarkan untuk belajar berbagi, mau membantu sesama, dan memberikan ikan dan roti bagi sesama...sesedikit apapun yang kita miliki. Mengapa tiba-tiba kami mendapatkan contoh perbuatan egoistis yang dipuji sebagai bijaksana? Bila saja gadis-gadis yang membawa buli-buli itu mau membagikan minyaknya maka lima gadis yang datang tanpa persiapan minyak tidak akan terkunci di luar ruang perjamuan. Tentunya mereka semua sudah ikut masuk ke dalam perjamuan itu.
Bagaimana situasi pesta pernikahan pada masa itu kurang kuketahui, tetapi bisa dibayangkan bahwa mereka diharapkan menyalakan pelita sepanjang pesta. Karena itulah tentunya gadis-gadis bijaksana itu menolak memberikan minyaknya, karena mereka tidak ingin kehabisan minyak sebelum pesta usai.
Bagi saya pribadi ada hal-hal kontradiksi yang terasa. Dahulu, sebelum mempunyai anak kehidupanku adalah kehidupan yang penuh rencana. Memiliki anak rupanya memiliki banyak dimensi yang tidak terencana. Bahkan perencanaan kehamilanpun tidak selalu bisa kita kendalikan. Perkembangan seorang anak adalah mujizat Tuhan yang senantiasa membuatku tercengang. Betapapun, banyak hal dimana waktuNya bukan waktuku...rencanaNya bukan rancanganku. Maka aku lalu membiarkan Dia yang menyusun rencana. Hidupku menjadi sedikit tidak terencana, membiarkan semua mengalir seperti air. Yang terbayang ketika membaca kutipan Injil ini adalah perubahan sikapku. Aku yakin sebelum punya anak pasti aku akan membawa buli-buli persediaan minyak, sama seperti begitu detailnya persiapan pernikahanku kurencanakan dan kususun. Tapi terbayang dengan kondisi harianku saat ini, dimana semua tuntutan harian seakan meminta waktu tanpa sempat berhenti untuk istirahat sejenak...pasti buli-buli itu terlupakan. Mempelai akan segera tiba, minyak di dalam pelita pasti akan cukup...dan kita masih bisa membeli di jalan. Ternyata tidak ada waktu untuk membeli karena mempelai datang terlalu lama, dan bahkan tidak ada waktu untuk masuk ke perjamuan karena pelita keburu padam. Jadi sebenarnya aku yang bijaksana adalah aku yang membiarkan Tuhan yang membuatkan rencana atau aku yang menyusun rencana sendiri?
Karena kutipan Injil ini sebenarnya merupakan salah satu dari beberapa kisah yang ingin menjelaskan tentang akhir zaman, maka beberapa kutipan lain ikut mewarnai pemikiranku. Dalam bacaan sebelumnya tentang hamba yang setia dan hamba yang jahat, hamba yang jahat tidak tahan godaan duniawi untuk bersenang-senang sebelum Tuannya pulang. Ternyata Tuannya pulang dalam saat yang tidak disangkakannya. Begitulah akhir kehidupan manusia tidak pernah bisa diperkirakan waktunya. Tidak bisa kita menunda memenuhi kebutuhan rohani sampai pada saat kita mencapai usia mapan. Bersenang-senang atau bekerja keras selagi masih muda, kata orang. Tapi apakah kita tahu kapan Tuhan akan datang menemui kita?
Kebetulan persoalan yang sangat erat membalut keseharian saya sekarang ini adalah masalah waktu. Membagikan waktu untuk pelayanan di dalam rumah dan di luar rumah, waktu untuk pelayanan di dalam komunitas Gereja dan di luarnya. Dan tiba-tiba terasa betapa Tuhan ingin menunjukkan kebutuhan terbesar untuk menjadi bijaksana adalah:
1. Mengenali kehendakNya; gadis-gadis yang bijaksana tahu bahwa mempelai menginginkan pelita mereka terus menyala hingga akhir pesta, sehingga mereka mempersiapkannya dan menjaganya.
2. Berani membuat keputusan yang tidak populer; menolak membagikan minyak dari buli-buli mereka berarti bisa memberikan pertanda keegoisan, sehingga bisa jadi orang akan mencerca. Gadis-gadis itu tahu apa yang diinginkan dari mereka, bahwa pelita mereka harus tetap terjaga menyala hingga pesta usai, dan mereka dengan tegas mendahulukannya. Mendahulukan kehendak Tuhan seringkali membuat kita juga bagai membuat keputusan yang tidak populer, tapi dengan mengenali kehendakNya dan setia menjaga agar kehendakNya terlaksana adalah suatu tindakan yang bijaksana.
Dalam doa meditasi yang terpikirkan adalah kemampuan untuk menolak kegiatan pelayanan, walaupun itu untuk namaNya, ketika tenaga maupun waktu yang seharusnya kusimpan untuk tugas utamaku dariNya bisa diperkirakan akan habis karena berbagi. Mencari kehendakNya dan mengenali kemampuan menyala pelitaku adalah prioritas utama untuk menjadi bijaksana. Bahkan dengan membiarkan Dia mengisi pelitaku, bisa jadi nyalanya akan lebih panjang daripada yang kuperkirakan, dan terangnya akan lebih cemerlang dari yang dapat kurencanakan.
Tuhan,
Terima kasih atas pencerahanMu bagi kami,
Bimbing kami agar senantiasa bijaksana,
Mengenali kehendakMu
Mengenali kemampuan kami,
Dan mampu setia dalam menjalankan tugas kami bagiMu.
Karena waktu kami adalah milikMu,
Tidak pernah tertebak kapan Kau akan datang menagihnya dari kami
Berikanlah Roh KudusMu agar kami mampu menjadi orang yang bijaksana,
Amin.
Sama seperti teman-teman yang lain, saya juga tercengang pada ayat 8-9. Ketika mempelai sudah datang dan gadis-gadis yang tidak membawa minyak cadangan untuk pelitanya meminta kepada gadis-gadis bijaksana, yang membawa minyak dalam buli-buli mereka, ternyata gadis-gadis bijaksana tersebut menolaknya. Selama ini kita selalu diajarkan untuk belajar berbagi, mau membantu sesama, dan memberikan ikan dan roti bagi sesama...sesedikit apapun yang kita miliki. Mengapa tiba-tiba kami mendapatkan contoh perbuatan egoistis yang dipuji sebagai bijaksana? Bila saja gadis-gadis yang membawa buli-buli itu mau membagikan minyaknya maka lima gadis yang datang tanpa persiapan minyak tidak akan terkunci di luar ruang perjamuan. Tentunya mereka semua sudah ikut masuk ke dalam perjamuan itu.
Bagaimana situasi pesta pernikahan pada masa itu kurang kuketahui, tetapi bisa dibayangkan bahwa mereka diharapkan menyalakan pelita sepanjang pesta. Karena itulah tentunya gadis-gadis bijaksana itu menolak memberikan minyaknya, karena mereka tidak ingin kehabisan minyak sebelum pesta usai.
Bagi saya pribadi ada hal-hal kontradiksi yang terasa. Dahulu, sebelum mempunyai anak kehidupanku adalah kehidupan yang penuh rencana. Memiliki anak rupanya memiliki banyak dimensi yang tidak terencana. Bahkan perencanaan kehamilanpun tidak selalu bisa kita kendalikan. Perkembangan seorang anak adalah mujizat Tuhan yang senantiasa membuatku tercengang. Betapapun, banyak hal dimana waktuNya bukan waktuku...rencanaNya bukan rancanganku. Maka aku lalu membiarkan Dia yang menyusun rencana. Hidupku menjadi sedikit tidak terencana, membiarkan semua mengalir seperti air. Yang terbayang ketika membaca kutipan Injil ini adalah perubahan sikapku. Aku yakin sebelum punya anak pasti aku akan membawa buli-buli persediaan minyak, sama seperti begitu detailnya persiapan pernikahanku kurencanakan dan kususun. Tapi terbayang dengan kondisi harianku saat ini, dimana semua tuntutan harian seakan meminta waktu tanpa sempat berhenti untuk istirahat sejenak...pasti buli-buli itu terlupakan. Mempelai akan segera tiba, minyak di dalam pelita pasti akan cukup...dan kita masih bisa membeli di jalan. Ternyata tidak ada waktu untuk membeli karena mempelai datang terlalu lama, dan bahkan tidak ada waktu untuk masuk ke perjamuan karena pelita keburu padam. Jadi sebenarnya aku yang bijaksana adalah aku yang membiarkan Tuhan yang membuatkan rencana atau aku yang menyusun rencana sendiri?
Karena kutipan Injil ini sebenarnya merupakan salah satu dari beberapa kisah yang ingin menjelaskan tentang akhir zaman, maka beberapa kutipan lain ikut mewarnai pemikiranku. Dalam bacaan sebelumnya tentang hamba yang setia dan hamba yang jahat, hamba yang jahat tidak tahan godaan duniawi untuk bersenang-senang sebelum Tuannya pulang. Ternyata Tuannya pulang dalam saat yang tidak disangkakannya. Begitulah akhir kehidupan manusia tidak pernah bisa diperkirakan waktunya. Tidak bisa kita menunda memenuhi kebutuhan rohani sampai pada saat kita mencapai usia mapan. Bersenang-senang atau bekerja keras selagi masih muda, kata orang. Tapi apakah kita tahu kapan Tuhan akan datang menemui kita?
Kebetulan persoalan yang sangat erat membalut keseharian saya sekarang ini adalah masalah waktu. Membagikan waktu untuk pelayanan di dalam rumah dan di luar rumah, waktu untuk pelayanan di dalam komunitas Gereja dan di luarnya. Dan tiba-tiba terasa betapa Tuhan ingin menunjukkan kebutuhan terbesar untuk menjadi bijaksana adalah:
1. Mengenali kehendakNya; gadis-gadis yang bijaksana tahu bahwa mempelai menginginkan pelita mereka terus menyala hingga akhir pesta, sehingga mereka mempersiapkannya dan menjaganya.
2. Berani membuat keputusan yang tidak populer; menolak membagikan minyak dari buli-buli mereka berarti bisa memberikan pertanda keegoisan, sehingga bisa jadi orang akan mencerca. Gadis-gadis itu tahu apa yang diinginkan dari mereka, bahwa pelita mereka harus tetap terjaga menyala hingga pesta usai, dan mereka dengan tegas mendahulukannya. Mendahulukan kehendak Tuhan seringkali membuat kita juga bagai membuat keputusan yang tidak populer, tapi dengan mengenali kehendakNya dan setia menjaga agar kehendakNya terlaksana adalah suatu tindakan yang bijaksana.
Dalam doa meditasi yang terpikirkan adalah kemampuan untuk menolak kegiatan pelayanan, walaupun itu untuk namaNya, ketika tenaga maupun waktu yang seharusnya kusimpan untuk tugas utamaku dariNya bisa diperkirakan akan habis karena berbagi. Mencari kehendakNya dan mengenali kemampuan menyala pelitaku adalah prioritas utama untuk menjadi bijaksana. Bahkan dengan membiarkan Dia mengisi pelitaku, bisa jadi nyalanya akan lebih panjang daripada yang kuperkirakan, dan terangnya akan lebih cemerlang dari yang dapat kurencanakan.
Tuhan,
Terima kasih atas pencerahanMu bagi kami,
Bimbing kami agar senantiasa bijaksana,
Mengenali kehendakMu
Mengenali kemampuan kami,
Dan mampu setia dalam menjalankan tugas kami bagiMu.
Karena waktu kami adalah milikMu,
Tidak pernah tertebak kapan Kau akan datang menagihnya dari kami
Berikanlah Roh KudusMu agar kami mampu menjadi orang yang bijaksana,
Amin.
Friday, August 21, 2009
Perceraian
Jumat yang lalu bacaan Injil yang menjadi dasar doa kami adalah Matius 19:1-12. Semakin hari rasanya semakin mudah menginginkan perceraian, padahal pernikahan Gereja adalah pernikahan yang tidak boleh dipisahkan oleh manusia. Bahkan dalam pernikahan yang tidak berdasarkan sakramen pernikahan, tetapi melalui pemberkatan nikah karena pasangan berbeda keyakinan agama, tetap saja pernikahan tersebut telah disatukan oleh Allah. Dan apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat 19:6).
Lalu kata murid-muridNya: "Jika demikian halnya hubungan suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."
Mencari kehendak Allah dalam menentukan jalan hidup melajang atau berkeluarga rasanya tidak selalu mudah. Bila pilihan berkeluarga yang dipilih, setelah bersama ada saja pergumulan yang tiba-tiba menyentakkan betapa kita tidak selalu sepenuhnya mengenali pasangan yang sudah kita pilih sendiri dan sudah dipersatukan oleh Allah dalam berkatNya.
Pergumulan dalam kehidupan berkeluarga memang menanggung resiko yang jauh lebih besar daripada dalam kehidupan melajang. Kehadiran anak-anak, yang sebenarnya dinanti-nantikan, juga bisa menjadi sumber permasalahan baru. Kebutuhan anak-anak secara spiritual dan material merupakan tanggung jawab orang tua secara bersama-sama. Ketidak-cocokan antara pasangan suami dan istri (pasutri) tanpa anak tentunya akan berbeda dengan kondisi pasutri dengan anak. Kekecewaan terhadap pasangan harus ditutupi dari depan mata anak. Komunikasi yang memanas juga perlu ditunda sehingga luput dari perhatian anak. Belajar bersabar adalah nilai yang sangat utama dalam kehidupan berkeluarga.
Santa Monika menanti selama dua puluh tahun dalam doa untuk pertobatan suami dan anaknya. Bunda Maria senantiasa menyimpan hal-hal yang menjadi pertanyaannya di dalam batin. Katanya kaum wanita dibuat dari tulang rusuk karena memang memerlukan kekuatan yang lebih dalam menjalani hidup ini. Dalam keluarga doa seorang istri, dan doa seorang ibu senantiasa menyertai seluruh anggota keluarganya.
Ya Bapa,
Terima kasih atas berkat yang Kau berikan melalui keluargaku
Terima kasih atas titipan berharga yang Dikau titipkan
Tetapi terkadang kesabaranku mendekati batas akhirnya
Atau kuterlupa akan pelayanan di dalam rumahku
Bantulah daku agar setia
Dan tekun berdoa bagi keluargaku
Bagi keluarga-keluarga yang membutuhkan doa
Sebagai penguat dalam pergumulan sehari-hari
Sebagai pelepas dahaga dalam kelelahan rohani
Amin.
Lalu kata murid-muridNya: "Jika demikian halnya hubungan suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."
Mencari kehendak Allah dalam menentukan jalan hidup melajang atau berkeluarga rasanya tidak selalu mudah. Bila pilihan berkeluarga yang dipilih, setelah bersama ada saja pergumulan yang tiba-tiba menyentakkan betapa kita tidak selalu sepenuhnya mengenali pasangan yang sudah kita pilih sendiri dan sudah dipersatukan oleh Allah dalam berkatNya.
Pergumulan dalam kehidupan berkeluarga memang menanggung resiko yang jauh lebih besar daripada dalam kehidupan melajang. Kehadiran anak-anak, yang sebenarnya dinanti-nantikan, juga bisa menjadi sumber permasalahan baru. Kebutuhan anak-anak secara spiritual dan material merupakan tanggung jawab orang tua secara bersama-sama. Ketidak-cocokan antara pasangan suami dan istri (pasutri) tanpa anak tentunya akan berbeda dengan kondisi pasutri dengan anak. Kekecewaan terhadap pasangan harus ditutupi dari depan mata anak. Komunikasi yang memanas juga perlu ditunda sehingga luput dari perhatian anak. Belajar bersabar adalah nilai yang sangat utama dalam kehidupan berkeluarga.
Santa Monika menanti selama dua puluh tahun dalam doa untuk pertobatan suami dan anaknya. Bunda Maria senantiasa menyimpan hal-hal yang menjadi pertanyaannya di dalam batin. Katanya kaum wanita dibuat dari tulang rusuk karena memang memerlukan kekuatan yang lebih dalam menjalani hidup ini. Dalam keluarga doa seorang istri, dan doa seorang ibu senantiasa menyertai seluruh anggota keluarganya.
Ya Bapa,
Terima kasih atas berkat yang Kau berikan melalui keluargaku
Terima kasih atas titipan berharga yang Dikau titipkan
Tetapi terkadang kesabaranku mendekati batas akhirnya
Atau kuterlupa akan pelayanan di dalam rumahku
Bantulah daku agar setia
Dan tekun berdoa bagi keluargaku
Bagi keluarga-keluarga yang membutuhkan doa
Sebagai penguat dalam pergumulan sehari-hari
Sebagai pelepas dahaga dalam kelelahan rohani
Amin.
Friday, July 31, 2009
Percaya dan Mintalah
Lama sekali kelompok doa meditasi kitab suci kami tidak bertemu. Kesibukan dan permasalahan masing-masing menjadi alasan, belum lagi ada juga teman-teman yang sudah pindah dan tidak bersama kami lagi.
Hari Jumat kemarin dalam pertemuan semua energi seakan memenuhi kekosongan yang sebelumnya sehingga berbagai hal segera saja muncul dalam benakku.
Bacaan kemarin adalah Matius 13: 33-38, Yesus ditolak di Nazaret.
Yang pertama mengusikku adalah kenangan masa kecil ketika aku ikut Sekolah Minggu dari Ikatan Keluarga Kristen Protestan dan Katolik. Waktu itu aku terusik karena disebutkan Yesus memiliki adik-adik dan aku tidak tahu nama-nama mereka. Sebagai anak kecil agak bingung mengetahui bahwa Yesus memiliki saudara sementara aku tahu bahwa Bunda Maria adalah Perawan Suci, dan Yesus dikandung dari Roh Kudus. Pastur paroki yang kutemui kemudian menerangkan bahwa nama saudara-saudara Yesus di dalam Kitab Injil itu bukan berarti adik-adik, tetapi merupakan saudara-saudaranya yang dikenal orang dari Nazaret. Artinya saudara dalam arti bukan dari keluarga inti. Kemudian dalam perjalanan hidup saya mengenal kitab-kitab Apokrif. Sebenarnya saya belum membaca kitab-kitab apokrif, tapi terkadang membaca resensi atau komentar atas kitab itu. Ada satu kisah yang mengisahkan bahwa Yusuf kemudian menikah lagi dengan wanita lain sehingga Yesus memiliki saudara-saudara. Saya jadi ingin tahu bagaimana sebenarnya Gereja Katolik memandang kata 'saudara-saudara' itu. Ternyata tidak berubah dari yang pernah diterangkan padaku di masa kecil dahulu, saudara-saudara Yesus tidak berarti saudara kandung dalam artian keluarga inti.
Hal lain yang terasa menggelitik adalah perbedaan antara Matius, Markus (Mrk 6: 1-6a), dan Lukas (Luk 4: 16- 30) dalam mengisahkan kembali kisah Yesus ditolak di Nazaret. Lukas berkisah paling detail, dan membaca Injil Lukas membuat saya bertanya dalam hati, "Bukankah meminta hasil pencapaian sebelum mengakui prestasi sesorang adalah sangat manusiawi?" Sedari kecil kita diajarkan untuk membuktikan diri, memberikan prestasi dahulu baru bisa dipercaya orang lain. Memang kasusnya akan berbeda untuk iman, tetapi ketika kita masuk dalam kisah Injil ini dimana Yesus merupakan salah satu dari bagian kehidupan harian mereka, tentunya wajar mendapatkan perlakuan sama. Yang menarik dari Injil Lukas, terasa Yesus justru memancing kemarahan orang-orang tersebut dengan menyebutkan contoh-contoh bagaimana nabi-nabi tidak melakukan mujizat di tempat asalnya.
Kekurang-percayaan berubah menjadi kemarahan. Hal ini berbeda dengan pengalaman Simon Petrus (Mat 14: 22-33) yang mencoba berjalan di atas air, ketika imannya goyah Yesus hanya memarahinya "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" lalu menolongnya. Tapi satu hal langsung terbersit jelas disana. Simon Petrus berteriak minta tolong kepada Yesus! Orang yang percaya akan datang meminta...
Mintalah maka akan diberikan!
Bapa kami yang ada di surga
Dimuliakanlah namaMu
Datanglah kerajaanMu
Di atas bumi seperti di dalam surga
Berilah kami rejeki pada hari ini
dan ampunilah kesalahan kami
seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami
Janganlah masukkan kami ke dalam percobaan
tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat, Amin.
Hari Jumat kemarin dalam pertemuan semua energi seakan memenuhi kekosongan yang sebelumnya sehingga berbagai hal segera saja muncul dalam benakku.
Bacaan kemarin adalah Matius 13: 33-38, Yesus ditolak di Nazaret.
Yang pertama mengusikku adalah kenangan masa kecil ketika aku ikut Sekolah Minggu dari Ikatan Keluarga Kristen Protestan dan Katolik. Waktu itu aku terusik karena disebutkan Yesus memiliki adik-adik dan aku tidak tahu nama-nama mereka. Sebagai anak kecil agak bingung mengetahui bahwa Yesus memiliki saudara sementara aku tahu bahwa Bunda Maria adalah Perawan Suci, dan Yesus dikandung dari Roh Kudus. Pastur paroki yang kutemui kemudian menerangkan bahwa nama saudara-saudara Yesus di dalam Kitab Injil itu bukan berarti adik-adik, tetapi merupakan saudara-saudaranya yang dikenal orang dari Nazaret. Artinya saudara dalam arti bukan dari keluarga inti. Kemudian dalam perjalanan hidup saya mengenal kitab-kitab Apokrif. Sebenarnya saya belum membaca kitab-kitab apokrif, tapi terkadang membaca resensi atau komentar atas kitab itu. Ada satu kisah yang mengisahkan bahwa Yusuf kemudian menikah lagi dengan wanita lain sehingga Yesus memiliki saudara-saudara. Saya jadi ingin tahu bagaimana sebenarnya Gereja Katolik memandang kata 'saudara-saudara' itu. Ternyata tidak berubah dari yang pernah diterangkan padaku di masa kecil dahulu, saudara-saudara Yesus tidak berarti saudara kandung dalam artian keluarga inti.
Hal lain yang terasa menggelitik adalah perbedaan antara Matius, Markus (Mrk 6: 1-6a), dan Lukas (Luk 4: 16- 30) dalam mengisahkan kembali kisah Yesus ditolak di Nazaret. Lukas berkisah paling detail, dan membaca Injil Lukas membuat saya bertanya dalam hati, "Bukankah meminta hasil pencapaian sebelum mengakui prestasi sesorang adalah sangat manusiawi?" Sedari kecil kita diajarkan untuk membuktikan diri, memberikan prestasi dahulu baru bisa dipercaya orang lain. Memang kasusnya akan berbeda untuk iman, tetapi ketika kita masuk dalam kisah Injil ini dimana Yesus merupakan salah satu dari bagian kehidupan harian mereka, tentunya wajar mendapatkan perlakuan sama. Yang menarik dari Injil Lukas, terasa Yesus justru memancing kemarahan orang-orang tersebut dengan menyebutkan contoh-contoh bagaimana nabi-nabi tidak melakukan mujizat di tempat asalnya.
Kekurang-percayaan berubah menjadi kemarahan. Hal ini berbeda dengan pengalaman Simon Petrus (Mat 14: 22-33) yang mencoba berjalan di atas air, ketika imannya goyah Yesus hanya memarahinya "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" lalu menolongnya. Tapi satu hal langsung terbersit jelas disana. Simon Petrus berteriak minta tolong kepada Yesus! Orang yang percaya akan datang meminta...
Mintalah maka akan diberikan!
Bapa kami yang ada di surga
Dimuliakanlah namaMu
Datanglah kerajaanMu
Di atas bumi seperti di dalam surga
Berilah kami rejeki pada hari ini
dan ampunilah kesalahan kami
seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami
Janganlah masukkan kami ke dalam percobaan
tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat, Amin.
Sunday, July 05, 2009
Masih Mencari Discernment
Mencari pilihan keputusan yang sesuai dengan kehendakNya masih juga terasa sulit. Sebuah pilihan yang muncul (bisa tiba-tiba, bisa sudah terprediksi) untuk diputuskan, dan serasa tidak memperoleh jawaban dari doa. Mencoba membuka Kitab Suci juga tidak terasa memberi jawaban yang membawa rasa damai, maka om gugel ikut dikaryakan. Kutemukan sebuah link yang menarik.
Dikatakan dalam sebuah tulisan di blog tersebut, tanda-tanda yang menguatkan adalah:
--- kesempatan bertemu dengan orang yang tepat
--- pemikiran atau keyakinan yang semakin berkembang;
--- sesuatu (kutipan) dari Kitab Suci yang teringat;
--- bagian dari percakapan yang teringat secara terus menerus;
--- sebuah kesempatan yang tiba-tiba datang,
--- semakin kuat kita ataupun orang sekitar kita menolaknya, semakin kuat ia "mencengkeram" kita.
Ada satu bagian lain yang menarik saya ketika membacanya, terutama karena pengalaman pribadi saya yang baru saja berlangsung. Di dalam blog tersebut dikatakan: "Mungkin terasa memalukan untuk mengakui bahwa kamu bukan orang yang dipilih Tuhan dan bukan kamu yang memiliki kekuasaan untuk bertindak. Tapi dalam kenyataannya, memang bukan kamu pemilik kekuasaan itu, itu adalah milik Tuhan, Tuhan yang mengerjakannya dan Ia bekerja melalui orang-orang selain dirimu ataupun kelompokmu."
Tulisan itu menyentakkan saya, karena sebelum membacanya saya baru saja tersadarkan akan arti meninggikan diri di hadapan Tuhan dan sesama. Ceritanya hari Minggu pagi itu lingkungan kami tugas koor lingkungan. Anggota koor lingkungan sangat sedikit sehingga saya merasa berkewajiban untuk hadir. Saat itu sedang liburan sekolah, saya dan anak-anak sedang menginap di rumah orang tua saya. Suami saya tetap di rumah, dan dia sudah berjanji akan menjemput saya, tetapi janjinya terus berubah...hingga akhirnya dia terkesan malas menjemput karena sudah malam. Merasa terikat kewajiban untuk menyumbangkan suara (walaupun sadar benar bahwa sebenarnya suara saya juga bukan suara yang indah) saya memaksakan suami untuk menjemput. Pulang ke rumah sudah hampir pukul sebelas malam, suasana rumah sangat berantakan sekali sehingga akhirnya saya membereskannya terlebih dahulu. Sebenarnya badan sudah letih apalagi saat itu saya sebenarnya sedang kurang sehat, tetapi saya paksakan karena keesokan harinya setelah misa saya akan kembali lagi ke rumah orang tua. Akhirnya pagi harinya saya terlambat bangun...Dalam kondisi terburu-buru saya tetap memaksakan pergi. Mungkin baru lima atau sepuluh menit lewat dari pukul enam pagi ketika saya tiba di gereja, tetapi tentu saja saya malu untuk maju ke tempat koor di bagian depan gereja. Dari tempat duduk umat saya mendengarkan koor lingkungan kami. Ada beberapa bala bantuan tambahan dari lingkungan tetangga, tetapi tetap saja jumlah personilnya tidak banyak. Tapi, dari bangku umat terasa enak saja didengar. Tidak sempurna, tapi tidak memalukan juga. Ketika itu saya merasa tersentil, rasanya tanpa kehadiran saya juga koor lingkungan terus berjalan sesuai dengan tugasnya. Tuhan sudah mengatur semuanya.
Saya memaksakan diri untuk memuliakan namaNya, tetapi tidak memikirkan diri sendiri dan kehendak suami. Dia terasa menegur. Memang terkadang tugas pelayanan terasa sebagai beban. Tidak banyak pekerja yang mau ikut serta memberikan pelayanan. Tapi Dia seakan menegur saya untuk tidak terlalu merasa menjadi "orang penting" yang sangat dibutuhkan Tuhan. Bukan saya yang memilihNya, dan bukan saya yang membantu pelayananNya melainkan Ia yang memilihku dan menguatkanku dalam pelayanan untukNya.
Karena itu membaca tulisan di blog tersebut benar-benar menyentak kesadaranku. Dari link di atas, ada beberapa pertanyaan untuk membantu memperoleh discernment, pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur untuk memperoleh jawaban yang benar-benar murni.
(1) Pernahkah anda mengalami perasaan mengira anda sedang dituntun oleh Tuhan untuk melakukan sesuatu, dan akhirnya ternyata tidak demikian adanya? Apa akibatnya? Kalau melihat kembali kepada kejadian itu, hal apa yang seharusnya memberikanmu peringatan sebelumnya?
(2) Dalam hal-hal apa saja kau mencari petunjuk dari Tuhan? Apabila ada hal yang mengejutkan pada akhirnya, apakah itu?
(3) Pernahkah kau menggunakan kata sakti "Kehendak Tuhan" sebagai topeng dari ide atau rencanamu pribadi? Apakah kau sedang melaksanakan hal yang sama sekarang? Apa yang mengarahkanmu melakukannya? (Tolong, jangan berkata atau berpikir bahwa orang lain juga melakukannya; itu hanya akan membuat permainan tuduh menuduh. Bicaralah untuk dirimu sendiri).
(4) Baca 1 Tesalonika 5:19-21; "Janganlah padamkan Roh." dan "Ujilah segala sesuatu".
* Bagaimana semuanya berjalan beriringan?
* Apakah terlihat seakan satu dengan yang lain saling bertentangan?
* Pernahkah terlibat dalam sebuah aktivitas kerohanian dimana seseorang terbiasa menilai orang lain tidak bekerja? Bagaimana? Kenapa? Apakah kamu mengambil tindakan untuk mengatasinya?
(5) Catatlah orang-orang yang paling mungkin kau datangi ketika kau akan membuat keputusan yang sulit. Hal apa dari mereka ini yang membuatmu ingin datang kepada mereka?
(6) Untuk umat Gereja dan anggota lingkungan: bagaimana umat dalam lingkungan/Gereja saling menggunakan sebagai cara untuk memperoleh discernment?
(7) Untuk kelompok: cobalah menggunakan role play. Cari masalah yang mungkin menarik perhatian anggota kelompok, dan bertindaklah sebagai orang yang akan mengambil keputusan. Buatlah dirimu mengambil keputusan melalui proses discernment (kalau kau melakukannya dengan benar maka membutuhkan beberapa kali pertemuan untuk mengambil keputusan itu.) Teruslah mencari jalan keluar sampai tercapai sebuah konsensus, atau tercipta jalan keluar yang memberikan rasa damai.
Begitulah kira-kira panduan yang bisa digunakan untuk mencari discernment.
Ya Allah,
kehendakMu seringkali terluput dari asaku
Dan jalanMu seringkali memutar melingkar jalan yang kulirik
Tetapi kurela menjalaninya bila itu kehendakMu,
Hanya terkadang aku tidak jua mampu mencerna kehendak siapakah itu...
KehendakMu? Kehendak ragaku?
Bimbing daku ya Bapa...
Ke dalam tuntunanMu aku berserah...
Terima kasih Bapa.
Amin
Dikatakan dalam sebuah tulisan di blog tersebut, tanda-tanda yang menguatkan adalah:
--- kesempatan bertemu dengan orang yang tepat
--- pemikiran atau keyakinan yang semakin berkembang;
--- sesuatu (kutipan) dari Kitab Suci yang teringat;
--- bagian dari percakapan yang teringat secara terus menerus;
--- sebuah kesempatan yang tiba-tiba datang,
--- semakin kuat kita ataupun orang sekitar kita menolaknya, semakin kuat ia "mencengkeram" kita.
Ada satu bagian lain yang menarik saya ketika membacanya, terutama karena pengalaman pribadi saya yang baru saja berlangsung. Di dalam blog tersebut dikatakan: "Mungkin terasa memalukan untuk mengakui bahwa kamu bukan orang yang dipilih Tuhan dan bukan kamu yang memiliki kekuasaan untuk bertindak. Tapi dalam kenyataannya, memang bukan kamu pemilik kekuasaan itu, itu adalah milik Tuhan, Tuhan yang mengerjakannya dan Ia bekerja melalui orang-orang selain dirimu ataupun kelompokmu."
Tulisan itu menyentakkan saya, karena sebelum membacanya saya baru saja tersadarkan akan arti meninggikan diri di hadapan Tuhan dan sesama. Ceritanya hari Minggu pagi itu lingkungan kami tugas koor lingkungan. Anggota koor lingkungan sangat sedikit sehingga saya merasa berkewajiban untuk hadir. Saat itu sedang liburan sekolah, saya dan anak-anak sedang menginap di rumah orang tua saya. Suami saya tetap di rumah, dan dia sudah berjanji akan menjemput saya, tetapi janjinya terus berubah...hingga akhirnya dia terkesan malas menjemput karena sudah malam. Merasa terikat kewajiban untuk menyumbangkan suara (walaupun sadar benar bahwa sebenarnya suara saya juga bukan suara yang indah) saya memaksakan suami untuk menjemput. Pulang ke rumah sudah hampir pukul sebelas malam, suasana rumah sangat berantakan sekali sehingga akhirnya saya membereskannya terlebih dahulu. Sebenarnya badan sudah letih apalagi saat itu saya sebenarnya sedang kurang sehat, tetapi saya paksakan karena keesokan harinya setelah misa saya akan kembali lagi ke rumah orang tua. Akhirnya pagi harinya saya terlambat bangun...Dalam kondisi terburu-buru saya tetap memaksakan pergi. Mungkin baru lima atau sepuluh menit lewat dari pukul enam pagi ketika saya tiba di gereja, tetapi tentu saja saya malu untuk maju ke tempat koor di bagian depan gereja. Dari tempat duduk umat saya mendengarkan koor lingkungan kami. Ada beberapa bala bantuan tambahan dari lingkungan tetangga, tetapi tetap saja jumlah personilnya tidak banyak. Tapi, dari bangku umat terasa enak saja didengar. Tidak sempurna, tapi tidak memalukan juga. Ketika itu saya merasa tersentil, rasanya tanpa kehadiran saya juga koor lingkungan terus berjalan sesuai dengan tugasnya. Tuhan sudah mengatur semuanya.
Saya memaksakan diri untuk memuliakan namaNya, tetapi tidak memikirkan diri sendiri dan kehendak suami. Dia terasa menegur. Memang terkadang tugas pelayanan terasa sebagai beban. Tidak banyak pekerja yang mau ikut serta memberikan pelayanan. Tapi Dia seakan menegur saya untuk tidak terlalu merasa menjadi "orang penting" yang sangat dibutuhkan Tuhan. Bukan saya yang memilihNya, dan bukan saya yang membantu pelayananNya melainkan Ia yang memilihku dan menguatkanku dalam pelayanan untukNya.
Karena itu membaca tulisan di blog tersebut benar-benar menyentak kesadaranku. Dari link di atas, ada beberapa pertanyaan untuk membantu memperoleh discernment, pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur untuk memperoleh jawaban yang benar-benar murni.
(1) Pernahkah anda mengalami perasaan mengira anda sedang dituntun oleh Tuhan untuk melakukan sesuatu, dan akhirnya ternyata tidak demikian adanya? Apa akibatnya? Kalau melihat kembali kepada kejadian itu, hal apa yang seharusnya memberikanmu peringatan sebelumnya?
(2) Dalam hal-hal apa saja kau mencari petunjuk dari Tuhan? Apabila ada hal yang mengejutkan pada akhirnya, apakah itu?
(3) Pernahkah kau menggunakan kata sakti "Kehendak Tuhan" sebagai topeng dari ide atau rencanamu pribadi? Apakah kau sedang melaksanakan hal yang sama sekarang? Apa yang mengarahkanmu melakukannya? (Tolong, jangan berkata atau berpikir bahwa orang lain juga melakukannya; itu hanya akan membuat permainan tuduh menuduh. Bicaralah untuk dirimu sendiri).
(4) Baca 1 Tesalonika 5:19-21; "Janganlah padamkan Roh." dan "Ujilah segala sesuatu".
* Bagaimana semuanya berjalan beriringan?
* Apakah terlihat seakan satu dengan yang lain saling bertentangan?
* Pernahkah terlibat dalam sebuah aktivitas kerohanian dimana seseorang terbiasa menilai orang lain tidak bekerja? Bagaimana? Kenapa? Apakah kamu mengambil tindakan untuk mengatasinya?
(5) Catatlah orang-orang yang paling mungkin kau datangi ketika kau akan membuat keputusan yang sulit. Hal apa dari mereka ini yang membuatmu ingin datang kepada mereka?
(6) Untuk umat Gereja dan anggota lingkungan: bagaimana umat dalam lingkungan/Gereja saling menggunakan sebagai cara untuk memperoleh discernment?
(7) Untuk kelompok: cobalah menggunakan role play. Cari masalah yang mungkin menarik perhatian anggota kelompok, dan bertindaklah sebagai orang yang akan mengambil keputusan. Buatlah dirimu mengambil keputusan melalui proses discernment (kalau kau melakukannya dengan benar maka membutuhkan beberapa kali pertemuan untuk mengambil keputusan itu.) Teruslah mencari jalan keluar sampai tercapai sebuah konsensus, atau tercipta jalan keluar yang memberikan rasa damai.
Begitulah kira-kira panduan yang bisa digunakan untuk mencari discernment.
Ya Allah,
kehendakMu seringkali terluput dari asaku
Dan jalanMu seringkali memutar melingkar jalan yang kulirik
Tetapi kurela menjalaninya bila itu kehendakMu,
Hanya terkadang aku tidak jua mampu mencerna kehendak siapakah itu...
KehendakMu? Kehendak ragaku?
Bimbing daku ya Bapa...
Ke dalam tuntunanMu aku berserah...
Terima kasih Bapa.
Amin
Friday, July 03, 2009
Misa Anak
Biarkanlah anak-anak itu datang kepadaKu, dan janganlah menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya kerajaan Allah. (Luk 18: 16)
Selain Bina Iman Anak, maka anak bisa diajak datang kepadaNya melalui misa anak. Komisi Liturgi KWI mempunyai sebuah blog khusus untuk Seksi Liturgi Anak, yang bisa dilihat disini.
Benih yang ditanamkan pada tanah yang subur akan berbuah banyak dan kuat akarnya. Semoga anak-anak bisa lebih mengenali ajakanNya dan bisa datang kepadaNya dengan penuh sukacita.
Selain Bina Iman Anak, maka anak bisa diajak datang kepadaNya melalui misa anak. Komisi Liturgi KWI mempunyai sebuah blog khusus untuk Seksi Liturgi Anak, yang bisa dilihat disini.
Benih yang ditanamkan pada tanah yang subur akan berbuah banyak dan kuat akarnya. Semoga anak-anak bisa lebih mengenali ajakanNya dan bisa datang kepadaNya dengan penuh sukacita.
Sunday, June 28, 2009
"Talita Kum"
Maut tidak dibuat oleh Allah, dan Ia pun tidak bergembira karena yang hidup musnah lenyap. Demikian pembuka Bacaan I misa hari ini diambil dari Kitab Kebijaksanaan (1:13-15; 2:23-24).
Karena setan maka maut masuk ke dunia. Kehadiran Yesus adalah untuk mengalahkan maut, menyelamatkan umat manusia dari cengkeraman abadi kematian. Dalam Injil Markus 5:21; 24; 35b-43, Yesus berkata kepada anak dari Yairus yang sudah meninggal: "Talita Kum", artinya: "Hai anak, Aku berkata kepadamu, bangunlah!"
Setiap kali dosa mendekati kita maka jiwa kita akan semakin mendekati kematian yang abadi. Ketika karier terjerembab, ketika keuangan kacau balau, ketika masalah keluarga membukit, bahkan kematian anggota keluarga, semuanya terasa memberikan kematian kecil dalam diri kita. Tetapi kita tidak akan mati bila kita percaya. "Jangan takut, percaya saja!" demikian kata Yesus kepada Yairus.
Inilah yang patut kita ingat setiap kali mendapati masalah berat yang seakan mematikan segala rasa dan keinginan hidup, "Jangan takut, percaya saja!"
"Talita Kum", Dia akan berseru membangunkan kita dan menyuruh kita berjalan. Dia meminta orang memberi anak yang baru bangun itu makan, Dia juga meminta orang untuk membantu kita yang dimintanya bangun. Pada posisi siapakah kita saat ini berada? Pada posisi Yairus dan istrinya? Pada posisi tetangga dan orang-orang yang berkerumun? Atau malahan pada posisi anak Yairus?
Yesus hanya bisa memberikan mukjizatnya bila yang meminta sungguh percaya. Tuhan tidak akan bekerja sendirian, Ia selalu meminta manusia untuk bangun dan ikut bekerja. Yairus dan istrinya percaya dan mengikuti langkah Yesus, orang-orang yang tidak percaya diusirNya, anak Yairus bangun dan berjalan.
Usaha untuk bangkit dan meraih kembali kebahagiaan adalah usaha yang diinginkan Tuhan. Manusia berhak atas kebahagiaan, dan dengan percaya kepadaNya niscaya kedamaian akan menjadi sumber kebahagiaan bagi kita. Dengan percaya kepadaNya dan melangkah sesuai dengan kehendakNya maka kita akan dibebaskan dari kematian abadi. Manusia harus makan dan berjuang mengisi kembali kehidupannya, tetapi sabdaNya sudah membangkitkan...
Tuhan,
terima kasih karena mau meminta kami untuk bangun
terima kasih karena memberi kami kekuatan untuk bangun
terima kasih karena menguatkan rasa kepercayaan kami
jadilah pelita dalam hati kami dan sinari kami dalam keabadian cintaMu,
amin.
Karena setan maka maut masuk ke dunia. Kehadiran Yesus adalah untuk mengalahkan maut, menyelamatkan umat manusia dari cengkeraman abadi kematian. Dalam Injil Markus 5:21; 24; 35b-43, Yesus berkata kepada anak dari Yairus yang sudah meninggal: "Talita Kum", artinya: "Hai anak, Aku berkata kepadamu, bangunlah!"
Setiap kali dosa mendekati kita maka jiwa kita akan semakin mendekati kematian yang abadi. Ketika karier terjerembab, ketika keuangan kacau balau, ketika masalah keluarga membukit, bahkan kematian anggota keluarga, semuanya terasa memberikan kematian kecil dalam diri kita. Tetapi kita tidak akan mati bila kita percaya. "Jangan takut, percaya saja!" demikian kata Yesus kepada Yairus.
Inilah yang patut kita ingat setiap kali mendapati masalah berat yang seakan mematikan segala rasa dan keinginan hidup, "Jangan takut, percaya saja!"
"Talita Kum", Dia akan berseru membangunkan kita dan menyuruh kita berjalan. Dia meminta orang memberi anak yang baru bangun itu makan, Dia juga meminta orang untuk membantu kita yang dimintanya bangun. Pada posisi siapakah kita saat ini berada? Pada posisi Yairus dan istrinya? Pada posisi tetangga dan orang-orang yang berkerumun? Atau malahan pada posisi anak Yairus?
Yesus hanya bisa memberikan mukjizatnya bila yang meminta sungguh percaya. Tuhan tidak akan bekerja sendirian, Ia selalu meminta manusia untuk bangun dan ikut bekerja. Yairus dan istrinya percaya dan mengikuti langkah Yesus, orang-orang yang tidak percaya diusirNya, anak Yairus bangun dan berjalan.
Usaha untuk bangkit dan meraih kembali kebahagiaan adalah usaha yang diinginkan Tuhan. Manusia berhak atas kebahagiaan, dan dengan percaya kepadaNya niscaya kedamaian akan menjadi sumber kebahagiaan bagi kita. Dengan percaya kepadaNya dan melangkah sesuai dengan kehendakNya maka kita akan dibebaskan dari kematian abadi. Manusia harus makan dan berjuang mengisi kembali kehidupannya, tetapi sabdaNya sudah membangkitkan...
Tuhan,
terima kasih karena mau meminta kami untuk bangun
terima kasih karena memberi kami kekuatan untuk bangun
terima kasih karena menguatkan rasa kepercayaan kami
jadilah pelita dalam hati kami dan sinari kami dalam keabadian cintaMu,
amin.
Saturday, June 20, 2009
19 Juni 2009 - 19 Juni 2010, Tahun Imam
Minggu lalu telah dibacakan Surat Gembala menghantar Tahun Imam sebagai ganti kothbah di gereja dalam lingkungan Keuskupan Agung Jakarta.
Tanggal 19 Juni adalah pesta Hati Yesus yang Mahakudus, yang telah ditetapkan menjadi Hari Doa sedunia untuk kesucian para imam. Di Roma diadakan Ibadat Sore Agung dipimpin oleh Paus Benedictus XVI sebagai acara pembukaan Tahun Imam yang bertepatan dengan 150 tahun wafatnya Santo Yohanes Maria Vianney, pelindung semua imam di dunia.
Sementara kita seringkali meminta para imam mendoakan kita, tentunya kita juga perlu banyak berdoa bagi para imam. Banyak kisah tentang imam yang meninggalkan panggilannya, atau yang tergelincir dan menistakan janji imamatnya. Tidak jarang umat menjadi enggan ke Gereja karena melihat permasalahan dari imam.
Seorang umat yang jeli dengan klipping majalah Hidup, masih mengingat edisi no 11 tahun ke-61 bertanggal 18 Maret 2007. Ketika itu gambar depannya adalah "Uskup Calonkan Diri Jadi Presiden". Uskup yang mbalelo terhadap hirarki itu adalah Fernando Lugo, yang kemudian berhasil menjadi Presiden Uruguay. Ketika itu sebagai pesan kepada orang Kristen yang merasa kecewa karena ia melepaskan jabatan Uskup untuk menjadi Presiden, Lugo mejawab: "Saya memahami kekecewaan itu. Tetapi ingatlah, Yesus juga mengadakan pilihan tindakan semasa hidupNya. Sebuah tindakan yang barangkali mengecewakan para pemimpin, tetapi tidak sama halnya dengan orang-orang sederhana. Saya tidak menjanjikan apa-apa. Tetapi, izinkanlah saya untuk melayani Tuhan dari sudut lain." Lebih lanjut ia menambahkan, " Saya menerima penolakan dari Gereja Katolik, karena hal itu benar dan sesuai hukum Gereja, bahwa tahbisan tidak bisa dihapus. Maka izinkanlah saya tetap menjadi uskup. Tetapi katedral saya bukan lagi sebuah Gereja Keuskupan. Kini seluruh negara adalah katedral saya." Judul artikel dimana wawancara ini terkutip adalah "Kebenaran Akan Meraja".
Kebenaran yang sebenarnya akhirnya terkuak, kini Hidup no 65, tahun ke-63, terbitan tanggal 21 Juni 2009 memuat "Terkuaknya Skandal Fernando Lugo". Keberadaan anak yang di luar pernikahan yang diakui Presiden Lugo adalah anak yang lahir setelah ia melepaskan jabatan Uskup pada tahun 2005. Bagi saya tidak penting mempersoalkan kebenaran isu skandal yang lain, tetapi yang penting adalah kewajiban umat untuk ikut menjaga panggilan Imamat.
Jatuhnya seseorang ke dalam kelemahan daging adalah masalah setiap manusia, bahkan juga masalah para Imam yang telah menerima panggilan khususNya.
Keinginan Lugo untuk menjadi presiden perlu dipertanyakan apakah semata untuk memperbaiki kehidupan masyarakat banyak karena tidak adanya sosok pemimpin kuat yang dapat dipercaya rakyat, atau sekedar memanjakan keinginan daging yang sangat kuat.
Proses discernment dalam setiap pengambilan keputusan dan tindakan dalam kehidupan ini merupakan perjuangan tanpa henti yang memerlukan banyak doa. Bukan sekedar doa pribadi, tetapi juga dukungan doa seluruh umat Gereja.
Ketika tulisan ini selesai tertulis, terbaca sebuah renungan harian dari Romo Indra Sanjaya PR (masih dari majalah Hidup no 25) berjudul "Kothbah di Bukit" (Mat7: 1-5) "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi" Renungan yang seharusnya untuk hari Senin besok ini mengingatkan betapa kita tidak bisa menghakimi orang lain. Penghakiman yang terbesar akan datang dari pengadilan Allah. Betapa kita perlu bertindak adil dan obyektif dalam memberikan penilaian atau penghakiman. Tulisan di atas bukan dari hasil meditasi, entah apakah tulisan di atas merupakan penghakiman atau ajakan untuk refleksi diri. Bagi saya saat ini tulisan di atas lebih merupakan sarana refleksi diri, refleksi kelemahan manusia, dan refleksi bagi Gereja...
Karena itu daripada menghakimi orang lain dan mencemari hati kita dengan pikiran dan perkataan yang sia-sia, lebih baik kita saling mendoakan agar tidak terjatuh ke dalam godaan setan yang senantiasa menggoda dengan kesenangan duniawi dan kemegahan diri yang semu.
Bapa yang Mahabaik,
Bimbing kami umatMu dalam mencari Jalan Kebenaran,
Berkati kami dengan rahmatMu,
Agar setia dalam pelayanan yang Kau minta dari kami,
Bapa, panggilanMu seringkali sulit terdengar,
Atau semangatnya seringkali mengecil bagai api yang tertiup angin.
Khusus bagi para imam, dampingilah mereka...
Dari sejak Engkau memanggil mereka untuk menggembala di dunia ini,
Hingga menjaga api kesetiaan mereka,
Ingatkan mereka akan domba-domba yang tercerai berai bila gembala lengah,
Dalam kegelapan, terangilah hati para gembala
Agar mampu menguatkan diri dalam tugas pelayanan mereka.
Amin.
Tanggal 19 Juni adalah pesta Hati Yesus yang Mahakudus, yang telah ditetapkan menjadi Hari Doa sedunia untuk kesucian para imam. Di Roma diadakan Ibadat Sore Agung dipimpin oleh Paus Benedictus XVI sebagai acara pembukaan Tahun Imam yang bertepatan dengan 150 tahun wafatnya Santo Yohanes Maria Vianney, pelindung semua imam di dunia.
Sementara kita seringkali meminta para imam mendoakan kita, tentunya kita juga perlu banyak berdoa bagi para imam. Banyak kisah tentang imam yang meninggalkan panggilannya, atau yang tergelincir dan menistakan janji imamatnya. Tidak jarang umat menjadi enggan ke Gereja karena melihat permasalahan dari imam.
Seorang umat yang jeli dengan klipping majalah Hidup, masih mengingat edisi no 11 tahun ke-61 bertanggal 18 Maret 2007. Ketika itu gambar depannya adalah "Uskup Calonkan Diri Jadi Presiden". Uskup yang mbalelo terhadap hirarki itu adalah Fernando Lugo, yang kemudian berhasil menjadi Presiden Uruguay. Ketika itu sebagai pesan kepada orang Kristen yang merasa kecewa karena ia melepaskan jabatan Uskup untuk menjadi Presiden, Lugo mejawab: "Saya memahami kekecewaan itu. Tetapi ingatlah, Yesus juga mengadakan pilihan tindakan semasa hidupNya. Sebuah tindakan yang barangkali mengecewakan para pemimpin, tetapi tidak sama halnya dengan orang-orang sederhana. Saya tidak menjanjikan apa-apa. Tetapi, izinkanlah saya untuk melayani Tuhan dari sudut lain." Lebih lanjut ia menambahkan, " Saya menerima penolakan dari Gereja Katolik, karena hal itu benar dan sesuai hukum Gereja, bahwa tahbisan tidak bisa dihapus. Maka izinkanlah saya tetap menjadi uskup. Tetapi katedral saya bukan lagi sebuah Gereja Keuskupan. Kini seluruh negara adalah katedral saya." Judul artikel dimana wawancara ini terkutip adalah "Kebenaran Akan Meraja".
Kebenaran yang sebenarnya akhirnya terkuak, kini Hidup no 65, tahun ke-63, terbitan tanggal 21 Juni 2009 memuat "Terkuaknya Skandal Fernando Lugo". Keberadaan anak yang di luar pernikahan yang diakui Presiden Lugo adalah anak yang lahir setelah ia melepaskan jabatan Uskup pada tahun 2005. Bagi saya tidak penting mempersoalkan kebenaran isu skandal yang lain, tetapi yang penting adalah kewajiban umat untuk ikut menjaga panggilan Imamat.
Jatuhnya seseorang ke dalam kelemahan daging adalah masalah setiap manusia, bahkan juga masalah para Imam yang telah menerima panggilan khususNya.
Keinginan Lugo untuk menjadi presiden perlu dipertanyakan apakah semata untuk memperbaiki kehidupan masyarakat banyak karena tidak adanya sosok pemimpin kuat yang dapat dipercaya rakyat, atau sekedar memanjakan keinginan daging yang sangat kuat.
Proses discernment dalam setiap pengambilan keputusan dan tindakan dalam kehidupan ini merupakan perjuangan tanpa henti yang memerlukan banyak doa. Bukan sekedar doa pribadi, tetapi juga dukungan doa seluruh umat Gereja.
Ketika tulisan ini selesai tertulis, terbaca sebuah renungan harian dari Romo Indra Sanjaya PR (masih dari majalah Hidup no 25) berjudul "Kothbah di Bukit" (Mat7: 1-5) "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi" Renungan yang seharusnya untuk hari Senin besok ini mengingatkan betapa kita tidak bisa menghakimi orang lain. Penghakiman yang terbesar akan datang dari pengadilan Allah. Betapa kita perlu bertindak adil dan obyektif dalam memberikan penilaian atau penghakiman. Tulisan di atas bukan dari hasil meditasi, entah apakah tulisan di atas merupakan penghakiman atau ajakan untuk refleksi diri. Bagi saya saat ini tulisan di atas lebih merupakan sarana refleksi diri, refleksi kelemahan manusia, dan refleksi bagi Gereja...
Karena itu daripada menghakimi orang lain dan mencemari hati kita dengan pikiran dan perkataan yang sia-sia, lebih baik kita saling mendoakan agar tidak terjatuh ke dalam godaan setan yang senantiasa menggoda dengan kesenangan duniawi dan kemegahan diri yang semu.
Bapa yang Mahabaik,
Bimbing kami umatMu dalam mencari Jalan Kebenaran,
Berkati kami dengan rahmatMu,
Agar setia dalam pelayanan yang Kau minta dari kami,
Bapa, panggilanMu seringkali sulit terdengar,
Atau semangatnya seringkali mengecil bagai api yang tertiup angin.
Khusus bagi para imam, dampingilah mereka...
Dari sejak Engkau memanggil mereka untuk menggembala di dunia ini,
Hingga menjaga api kesetiaan mereka,
Ingatkan mereka akan domba-domba yang tercerai berai bila gembala lengah,
Dalam kegelapan, terangilah hati para gembala
Agar mampu menguatkan diri dalam tugas pelayanan mereka.
Amin.
Friday, June 12, 2009
Mengosongkan Diri
Sebenarnya keheningan dan waktu belum menjadi "hadiah" bagi saya. Tetapi memiliki blog rupanya menjadikan suatu panggilan sendiri untuk menuliskan sesuatu hal yang memenuhi hati dan pikiran.
Dari Injil Matius 10: 9-10, "Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut, atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapatkan upahnya."
Kutipan yang mendasari kaul kemiskinan para biarawan ini terngiang-ngiang di telinga saya beberapa hari ini.
Ketika mendengarnya dalam suatu acara wilayah beberapa hari lalu, entah mengapa yang terbersit justru sedikit di luar konteks. Yang terpikir oleh saya adalah alasan orang menunda ikut bergerak dalam bidang pewartaan. Belum cukup modal (pengetahuan maupun waktu) biasanya menjadi alasan mendasar. Tetapi tampaknya modal ini akan dicukupkan oleh Tuhan selama kita dengan rela dan sepenuh hati siap menjadi alat pewartaanNya.
Kemudian sebuah tulisan mengenai pengosongan diri membawa saya pada perenungan yang lain. Dalam mencari "discernment" seringkali kita terkacaukan oleh keinginan pribadi ataupun kebanggaan diri pribadi. Bagaimana mengosongkan diri dan membiarkan kehendak Tuhan semata yang bekerja melalui kita, adalah hal tersulit yang perlu dituju.
Satu doa yang senantiasa kupanjatkan melalui Santo Antonius dari Padua adalah keinginan untuk tidak kehilangan diriku sendiri (baca: jiwaku). Waktu dahulu pertama kali membaca Injil Matius di atas, terpikirkan bahwa lebih mudah bagi orang selibat untuk tidak memikirkan harta duniawi, tetapi perenungan lebih mendalam membawa saya pada kenyataan bahwa setiap orang memiliki jalan salib masing-masing. Apa yang terlihat mudah tidak selalu mudah dalam pelaksanaannya.
Santo Antonius dari Padua banyak membantuku ketika aku kehilangan barang-barangku, karena itu aku percaya ia juga akan mendoakan jiwaku agar tidak pernah kehilangan kesempatan untuk ikut berada di rumah Bapa.
Bapa yang maha pengasih,
Terima kasih atas santo santa yang telah membantu kami
memberi contoh dan mendoakan kami
memberikan kekuatan di kala kami berkecil hati.
Bantu kami ya Bapa,
dalam perjalanan kami supaya mampu memilih jalan yang Dikau kehendaki. Amin.
Santo Antonius,
dampingi dan doakanlah kami,
Amin.
Dari Injil Matius 10: 9-10, "Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut, atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapatkan upahnya."
Kutipan yang mendasari kaul kemiskinan para biarawan ini terngiang-ngiang di telinga saya beberapa hari ini.
Ketika mendengarnya dalam suatu acara wilayah beberapa hari lalu, entah mengapa yang terbersit justru sedikit di luar konteks. Yang terpikir oleh saya adalah alasan orang menunda ikut bergerak dalam bidang pewartaan. Belum cukup modal (pengetahuan maupun waktu) biasanya menjadi alasan mendasar. Tetapi tampaknya modal ini akan dicukupkan oleh Tuhan selama kita dengan rela dan sepenuh hati siap menjadi alat pewartaanNya.
Kemudian sebuah tulisan mengenai pengosongan diri membawa saya pada perenungan yang lain. Dalam mencari "discernment" seringkali kita terkacaukan oleh keinginan pribadi ataupun kebanggaan diri pribadi. Bagaimana mengosongkan diri dan membiarkan kehendak Tuhan semata yang bekerja melalui kita, adalah hal tersulit yang perlu dituju.
Satu doa yang senantiasa kupanjatkan melalui Santo Antonius dari Padua adalah keinginan untuk tidak kehilangan diriku sendiri (baca: jiwaku). Waktu dahulu pertama kali membaca Injil Matius di atas, terpikirkan bahwa lebih mudah bagi orang selibat untuk tidak memikirkan harta duniawi, tetapi perenungan lebih mendalam membawa saya pada kenyataan bahwa setiap orang memiliki jalan salib masing-masing. Apa yang terlihat mudah tidak selalu mudah dalam pelaksanaannya.
Santo Antonius dari Padua banyak membantuku ketika aku kehilangan barang-barangku, karena itu aku percaya ia juga akan mendoakan jiwaku agar tidak pernah kehilangan kesempatan untuk ikut berada di rumah Bapa.
Bapa yang maha pengasih,
Terima kasih atas santo santa yang telah membantu kami
memberi contoh dan mendoakan kami
memberikan kekuatan di kala kami berkecil hati.
Bantu kami ya Bapa,
dalam perjalanan kami supaya mampu memilih jalan yang Dikau kehendaki. Amin.
Santo Antonius,
dampingi dan doakanlah kami,
Amin.
Monday, May 11, 2009
Menjadi Ananias, Menjadi Paulus...
Terus terang, masalah duniawi seringkali menyita waktu sehingga hanya kesibukan belaka yang ada. Padahal untuk bisa mendengar sabdaNya dan mengerti kehendakNya seringkali juga dibutuhkan keheningan. Ada beberapa hal yang menarik perhatian saya tetapi tidak pernah sempat tertuliskan. Kesibukan Tri Hari Suci dan semua kesibukan harian memang sungguh-sungguh mendera. Belum lagi masalah batin yang banyak mempertanyakan kehendakNya...
Seorang kenalan yang saya kenal dan menderita kanker baru saja kehilangan suaminya. Sebuah ironi bahwa sang suami terlebih dahulu dipanggil menghadap Sang Pencipta, sementara pasca operasi belum lama dilaluinya. Selain itu seorang tetangga yang hanya punya anak gadis semata wayang harus menghadapi kenyataan putrinya kecelakaan dan tampaknya mempengaruhi batang otak sehingga perlu terapi panjang untuk kesembuhan seperti semula. Mereka adalah orang-orang yang rajin beribadah dan ikut melayani dengan cara mereka masing-masing. Terus terang dalam hal penderitaan maka saya tidak bisa tidak, pasti menengok pada ketabahan Ayub. Semoga teman-teman saya ini juga dikuatkan seperti Ayub.
Minggu-minggu terakhir ini saya juga sering mendengar tentang pertobatan Saulus. Seorang pastur mengingatkan adanya kesamaan antara Saulus dan Paulus, yaitu keduanya mencintai Allah dan ingin membela Allah. Perbedaannya adalah cara Saulus yang salah, karena ia mengira membela Allah dengan mempertahankan kemurnian Taurat sehingga pengikut Yesus adalah musuh-musuh Allah. Dia kemudian membela Allah dengan mengangkat senjata dan membunuh "musuh-musuh" tersebut. Paulus yang sudah benar-benar mengenal Allah dan mengetahui apa yang harus dikerjakannya melaksanakan perlawanan dengan cara yang berbeda, cara yang dipenuhi dengan cinta kasih.
Satu hal menarik dari pertanyaan sang pastur ketika itu adalah: "Mengapa Allah membutuhkan kehadiran Ananias untuk mengakhiri kebutaan sementara Saulus?" Berakhirnya kebutaan Saulus menjadi lambang perubahan dirinya menjadi Paulus. Rupanya Allah memang menginginkan interaksi aktif manusia dalam memberitakan kabar keselamatan bagi sesamanya. Kehadiran Ananias menjadi perlambang keberanian untuk menjadi pewarta bagi Allah, menjadi perantara kabar bahagiaNya.
Di lain pihak, menjadi Paulus berarti harus bisa mengakui kesalahan diri dan bersiap menerima tantangan masa depan, menghadapi orang-orang yang mungkin awalnya akan meragukan ketulusan dirinya. Menghadapi keraguan, stigma dan label yang sudah terlanjur melekat pada dirinya. Menjadi Paulus berarti berani membangkitkan cinta kasih Allah dalam dirinya dan merubah diri sesuai dengan kehendakNya.
Terus terang kehidupan meditasiku sedang terganggu. Tidak ada waktu yang bisa kusediakan untuk sungguh-sungguh hening dan membaca FirmanNya. Tidak ada waktu yang bisa kusediakan untuk mengosongkan berbagai macam isi kepalaku dan hanya mencoba mencari sabdaNya. Tetapi beruntung bahwa dalam segala keriuhan dunia yang harus saya jalani masih juga saya menjumpai orang-orang seperti Ananias yang memberitakan kabar sukacita.
Kemarin saya mengikuti Pelatihan Cara Mendongeng bagi divisi Bina Iman Anak KAJ. Materi "Mendongeng dengan Kitab Suci" dari Romo Indra Sanjaya Pr. serta "Berkatakese melalui Dongeng" dari mbak Yayi membuat saya kembali diingatkan akan tugas perutusan utama seorang ibu (dan orang tua pada umumnya) yaitu untuk membangun pondasi iman anak-anaknya.
Siapapun bisa menjadi Ananias. Kak Agus DS, seorang muslim, yang mengajarkan teknik dan ketrampilan mendongeng, dengan cerdik memberikan contoh kasus bagaimana ia bisa bertindak sebagai pendidik (dia juga seorang kepala sekolah) terlepas dari agama yang dianutnya. Dia mencontohkan kisah seorang anak yang tidak mau ke sekolah Minggu. Dia mencari tahu bagaimana mengalahkan kekerasan hati anak tersebut. Akhirnya dia mengajak anak tersebut bermain tali. Ketika seutas tali tipis direntangkan maka tali itu bisa diputuskan dengan mudah. Ketika kemudian tali itu membelit ke badan maka satu lilitan masih agak mudah untuk dibuka. Ketika lilitan bertambah banyak maka tidak lagi gampang untuk melepaskan diri ikatan tali itu. Dan...itulah perlambang dosa yang melilit dan mengikat kita. "Apakah dosa itu?" tanya anak lelaki kecil tadi. "Mari kita tanya kepada guru sekolah minggumu," jawab Kak Agus. Kisah yang universal, setiap agama mengajarkan bahwa dosa itu memang melilit dan mengikat manusia sehingga manusia akan sulit terlepas dari jeratannya. Tapi, bagaimana mengajak seorang anak merasa tertarik untuk mengetahui perbuatan apa yang dianggap dosa dan ingin menghindarinya, apalagi dengan latar belakang agama yang berbeda tentunya membutuhkan keahlian tersendiri. Mungkin saja kisahnya ini rekaan untuk menggugah kami, tetapi kisah itu begitu menyentuh, terutama karena ia sendiri menekankan betapa sekolah minggu adalah bukan hal yang dikenalnya karena ia berbeda keyakinan. Kisah tentang lilitan dosa rasanya sudah pernah saya dengar, tetapi dengan caranya berkisah maka terasa sangat hidup dan menyentuh. Semoga kami yang mengikuti acara itu mampu juga menggugah anak-anak melalui dongeng dari Kitab Suci.
Menjadi Ananias, menjadi Paulus, atau mungkin menjadi Petrus yang baru tersadar oleh kokok ayam jantan yang ketiga kalinya di pagi hari itu...bisa jadi menjadi bagian dari takdir dan pilihan hidup. Rasanya saya percaya ada takdir yang sudah menunggu kita, tetapi dengan berjalan dalam panduanNya maka takdir itu tidak akan pernah membawa kita ke dalam kehancuran abadi, sama seperti Paulus yang sanggup bangkit dan kembali membela Allah dengan cara yang benar, dengan semangat cinta kasih...
Allah,
Ampunilah kami orang berdosa,
Ajarilah kami untuk mengenal kehendakMu,
Bimbinglah kami untuk berjalan di jalanMu,
Jangan biarkan kami menjadi domba-domba yang hilang,
Latihlah kami menjadi anak-anak gembala yang membantuMu di padang rumput
Amin.
Seorang kenalan yang saya kenal dan menderita kanker baru saja kehilangan suaminya. Sebuah ironi bahwa sang suami terlebih dahulu dipanggil menghadap Sang Pencipta, sementara pasca operasi belum lama dilaluinya. Selain itu seorang tetangga yang hanya punya anak gadis semata wayang harus menghadapi kenyataan putrinya kecelakaan dan tampaknya mempengaruhi batang otak sehingga perlu terapi panjang untuk kesembuhan seperti semula. Mereka adalah orang-orang yang rajin beribadah dan ikut melayani dengan cara mereka masing-masing. Terus terang dalam hal penderitaan maka saya tidak bisa tidak, pasti menengok pada ketabahan Ayub. Semoga teman-teman saya ini juga dikuatkan seperti Ayub.
Minggu-minggu terakhir ini saya juga sering mendengar tentang pertobatan Saulus. Seorang pastur mengingatkan adanya kesamaan antara Saulus dan Paulus, yaitu keduanya mencintai Allah dan ingin membela Allah. Perbedaannya adalah cara Saulus yang salah, karena ia mengira membela Allah dengan mempertahankan kemurnian Taurat sehingga pengikut Yesus adalah musuh-musuh Allah. Dia kemudian membela Allah dengan mengangkat senjata dan membunuh "musuh-musuh" tersebut. Paulus yang sudah benar-benar mengenal Allah dan mengetahui apa yang harus dikerjakannya melaksanakan perlawanan dengan cara yang berbeda, cara yang dipenuhi dengan cinta kasih.
Satu hal menarik dari pertanyaan sang pastur ketika itu adalah: "Mengapa Allah membutuhkan kehadiran Ananias untuk mengakhiri kebutaan sementara Saulus?" Berakhirnya kebutaan Saulus menjadi lambang perubahan dirinya menjadi Paulus. Rupanya Allah memang menginginkan interaksi aktif manusia dalam memberitakan kabar keselamatan bagi sesamanya. Kehadiran Ananias menjadi perlambang keberanian untuk menjadi pewarta bagi Allah, menjadi perantara kabar bahagiaNya.
Di lain pihak, menjadi Paulus berarti harus bisa mengakui kesalahan diri dan bersiap menerima tantangan masa depan, menghadapi orang-orang yang mungkin awalnya akan meragukan ketulusan dirinya. Menghadapi keraguan, stigma dan label yang sudah terlanjur melekat pada dirinya. Menjadi Paulus berarti berani membangkitkan cinta kasih Allah dalam dirinya dan merubah diri sesuai dengan kehendakNya.
Terus terang kehidupan meditasiku sedang terganggu. Tidak ada waktu yang bisa kusediakan untuk sungguh-sungguh hening dan membaca FirmanNya. Tidak ada waktu yang bisa kusediakan untuk mengosongkan berbagai macam isi kepalaku dan hanya mencoba mencari sabdaNya. Tetapi beruntung bahwa dalam segala keriuhan dunia yang harus saya jalani masih juga saya menjumpai orang-orang seperti Ananias yang memberitakan kabar sukacita.
Kemarin saya mengikuti Pelatihan Cara Mendongeng bagi divisi Bina Iman Anak KAJ. Materi "Mendongeng dengan Kitab Suci" dari Romo Indra Sanjaya Pr. serta "Berkatakese melalui Dongeng" dari mbak Yayi membuat saya kembali diingatkan akan tugas perutusan utama seorang ibu (dan orang tua pada umumnya) yaitu untuk membangun pondasi iman anak-anaknya.
Siapapun bisa menjadi Ananias. Kak Agus DS, seorang muslim, yang mengajarkan teknik dan ketrampilan mendongeng, dengan cerdik memberikan contoh kasus bagaimana ia bisa bertindak sebagai pendidik (dia juga seorang kepala sekolah) terlepas dari agama yang dianutnya. Dia mencontohkan kisah seorang anak yang tidak mau ke sekolah Minggu. Dia mencari tahu bagaimana mengalahkan kekerasan hati anak tersebut. Akhirnya dia mengajak anak tersebut bermain tali. Ketika seutas tali tipis direntangkan maka tali itu bisa diputuskan dengan mudah. Ketika kemudian tali itu membelit ke badan maka satu lilitan masih agak mudah untuk dibuka. Ketika lilitan bertambah banyak maka tidak lagi gampang untuk melepaskan diri ikatan tali itu. Dan...itulah perlambang dosa yang melilit dan mengikat kita. "Apakah dosa itu?" tanya anak lelaki kecil tadi. "Mari kita tanya kepada guru sekolah minggumu," jawab Kak Agus. Kisah yang universal, setiap agama mengajarkan bahwa dosa itu memang melilit dan mengikat manusia sehingga manusia akan sulit terlepas dari jeratannya. Tapi, bagaimana mengajak seorang anak merasa tertarik untuk mengetahui perbuatan apa yang dianggap dosa dan ingin menghindarinya, apalagi dengan latar belakang agama yang berbeda tentunya membutuhkan keahlian tersendiri. Mungkin saja kisahnya ini rekaan untuk menggugah kami, tetapi kisah itu begitu menyentuh, terutama karena ia sendiri menekankan betapa sekolah minggu adalah bukan hal yang dikenalnya karena ia berbeda keyakinan. Kisah tentang lilitan dosa rasanya sudah pernah saya dengar, tetapi dengan caranya berkisah maka terasa sangat hidup dan menyentuh. Semoga kami yang mengikuti acara itu mampu juga menggugah anak-anak melalui dongeng dari Kitab Suci.
Menjadi Ananias, menjadi Paulus, atau mungkin menjadi Petrus yang baru tersadar oleh kokok ayam jantan yang ketiga kalinya di pagi hari itu...bisa jadi menjadi bagian dari takdir dan pilihan hidup. Rasanya saya percaya ada takdir yang sudah menunggu kita, tetapi dengan berjalan dalam panduanNya maka takdir itu tidak akan pernah membawa kita ke dalam kehancuran abadi, sama seperti Paulus yang sanggup bangkit dan kembali membela Allah dengan cara yang benar, dengan semangat cinta kasih...
Allah,
Ampunilah kami orang berdosa,
Ajarilah kami untuk mengenal kehendakMu,
Bimbinglah kami untuk berjalan di jalanMu,
Jangan biarkan kami menjadi domba-domba yang hilang,
Latihlah kami menjadi anak-anak gembala yang membantuMu di padang rumput
Amin.
Monday, April 06, 2009
Sakramen Tobat, Sebuah Kenangan...
Sakramen tobat adalah sebuah kelengkapan untuk menerima Tubuh dan DarahNya. Dari kecil hingga dewasa sekarang, untuk memohon sakramen tobat ini membutuhkan perjuangan tersendiri bagi saya. Karena itu saya tidak akan pernah melupakan Romo Middendorp SJ yang selalu setia menantikan kedatangan umat di dalam bilik pengakuan. Bahkan bila akan mempersembahkan misa, beliau tidak pernah absen menanti di biliknya. Lima belas menit atau sepuluh menit sebelum misa dimulai barulah ia meninggalkan ruangan itu, walau tidak ada seorangpun yang masuk. Sebaliknya bila ia tidak mempersembahkan misa, maka akan ditunggunya sampai sepuluh atau lima belas menit setelah misa dimulai baru meninggalkan bilik pengakuan.
Perjuangan batin untuk menghadap seorang imam yang notebene adalah manusia biasa seringkali membuat saya masuk ke dalam bilik pengakuan pada detik-detik terakhir sebelum beliau meninggalkan posisinya. Terkadang mungkin juga saya berdoa supaya dia keluar lebih dahulu, tetapi rupanya doa jelek jarang dikabulkan Tuhan.
Ketika beliau semakin tua, kelihatannya kesabarannya di altar semakin menipis. Putra altar seringkali takut melayani misa kudus bila tahu bahwa Romo Middendorp yang membawakan misa. Mungkin takut berbuat salah. Tapi kesabarannya menanti di dalam ruang pengakuan tidak pernah berubah. Saya pikir sekarang sudah susah mencari bapa pengakuan sepertinya. Di gerejaku sekarang ini kami harus membuat janji bila ingin menerima sakramen tobat. Diluar itu hanya ada kesempatan menjelang Paskah dan menjelang Natal. Terus terang pergulatan batin yang sering kurasakan di masa kecil dan masa remajaku, ketika menatap pintu bilik di sebelah bilik pastur sebelum misa dimulai, tampaknya akan sulit berulang lagi. Bukan karena saya menjadi lebih dewasa dan lebih baik, tetapi karena tidak ada lagi bapa pengakuan yang setia menanti disana.
Allah yang maharahim,
aku mnyesal atas dosa-dosaku.
Aku sungguh patut Engkau hukum, terutama karena aku telah tidak setia kepada Engkau yang maha pengasih dan maha baik bagiku.
Aku benci atas segala dosaku, dan berjanji dengan pertolongan rahmatMu hendak memperbaiki hidupku dan tidak akan berbuat dosa lagi. Allah yang mahamurah, ampunilah aku, orang berdosa, Amin.
Perjuangan batin untuk menghadap seorang imam yang notebene adalah manusia biasa seringkali membuat saya masuk ke dalam bilik pengakuan pada detik-detik terakhir sebelum beliau meninggalkan posisinya. Terkadang mungkin juga saya berdoa supaya dia keluar lebih dahulu, tetapi rupanya doa jelek jarang dikabulkan Tuhan.
Ketika beliau semakin tua, kelihatannya kesabarannya di altar semakin menipis. Putra altar seringkali takut melayani misa kudus bila tahu bahwa Romo Middendorp yang membawakan misa. Mungkin takut berbuat salah. Tapi kesabarannya menanti di dalam ruang pengakuan tidak pernah berubah. Saya pikir sekarang sudah susah mencari bapa pengakuan sepertinya. Di gerejaku sekarang ini kami harus membuat janji bila ingin menerima sakramen tobat. Diluar itu hanya ada kesempatan menjelang Paskah dan menjelang Natal. Terus terang pergulatan batin yang sering kurasakan di masa kecil dan masa remajaku, ketika menatap pintu bilik di sebelah bilik pastur sebelum misa dimulai, tampaknya akan sulit berulang lagi. Bukan karena saya menjadi lebih dewasa dan lebih baik, tetapi karena tidak ada lagi bapa pengakuan yang setia menanti disana.
Allah yang maharahim,
aku mnyesal atas dosa-dosaku.
Aku sungguh patut Engkau hukum, terutama karena aku telah tidak setia kepada Engkau yang maha pengasih dan maha baik bagiku.
Aku benci atas segala dosaku, dan berjanji dengan pertolongan rahmatMu hendak memperbaiki hidupku dan tidak akan berbuat dosa lagi. Allah yang mahamurah, ampunilah aku, orang berdosa, Amin.
Sunday, March 29, 2009
Bertanggungjawab atas panggilan
Bertanggungjawab atas panggilan untuk bekerja di ladang Tuhan adalah juga tanggung jawab orang tua. Hari Minggu kemarin kelompok Bina Iman Anak mengunjungi tempat retret Wisma Canossa di Bintaro. Kami juga sekaligus mengunjungi biara suster dan novisiat suster yang bernaung di bawah kongregasi Canossian yang didirikan oleh Magdalena dari Canossa.
Pertama-tama kami melakukan jalan salib bersama anak-anak. Kelompok BIA kami bagi dua, kelompok kecil sendiri sementara yang sudah SD membentuk kelompok besar.
Walaupun berpeluh dan sedikit kepanasan, semua anak berhasil menyelesaikan jalan salib mereka dengan baik. Sengsara menjalani 14 perhentian yang berjarak tidak terlalu jauh itu memang tidak seberapa bila dibandingkan dengan sengsara Kristus.
Acara kami berikutnya adalah menengok tempat tinggal suster dan para kakak novis. Kebetulan suster kepala provinsial juga ada di ruang makan susteran. Beliau bertanya siapa diantara anak-anak yang ingin menjadi suster, ada dua anak yang mengangkat tangan. Ketika ditanyakan siapa yang ingin menjadi pastur, tidak seorangpun yang mengangkat tangan.
Jawaban itu berubah ketika kami berada di depan rumah kakak novis. Ketika kakak novis meminta yang ingin menjadi suster mengangkat tangan, ada tiga gadis kecil yang mengangkat telunjuknya. Kemudian ketika ditanyakan berapa orang yang ingin menjadi pastur, ada satu anak lelaki yang mengacungkan jari.
Orang tua dan pendidik memang bertanggungjawab atas panggilan Tuhan kepada anak-anak itu. Itulah sebabnya suster-suster mau menerima kunjungan kami ke biara mereka. Anak-anak perlu mengenal panggilan dan kehidupan membiara itu sejak dini, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk mengetahui bila Tuhan memanggil mereka. Orang tua perlu menjadi seperti Eli (1 Sam 3: 1-10) yang memberi petunjuk kepada Samuel dalam mendengar sabda Tuhan.
Suster mengingatkan kami orang tua yang mendampingi, betapa sering orang tua mendoakan agar panggilan Tuhan bagi pekerja di ladangNya semakin subur, dengan catatan bukan anak mereka yang dipanggil. Kegiatan bersama seperti ini memang tidak hanya mempersiapkan benih untuk ladangNya, tapi juga mempersiapkan kesiapan hati orang tua untuk menanam benih dan merawat benih itu dengan baik.
Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit (Mat 9:37)...karena itu kita perlu mempersiapkan calon-calon pekerja di ladang Tuhan. Akhirnya toh, bukan kita yang memilih Dia, melainkan Ia yang akan memilih pekerja-pekerjaNya.
Ya Bapa,
Terima kasih atas pengalaman hari ini,
Atas perkenalan kami pada bagian dari GerejaMu,
Bantulah kami agar mampu mengenali suaraMu dan memberitakanNya,
Agar anak-anak kami bisa mengenali panggilanMu dan menjadi pekerja di ladangMu.
Amin,
Pertama-tama kami melakukan jalan salib bersama anak-anak. Kelompok BIA kami bagi dua, kelompok kecil sendiri sementara yang sudah SD membentuk kelompok besar.
Walaupun berpeluh dan sedikit kepanasan, semua anak berhasil menyelesaikan jalan salib mereka dengan baik. Sengsara menjalani 14 perhentian yang berjarak tidak terlalu jauh itu memang tidak seberapa bila dibandingkan dengan sengsara Kristus.
Acara kami berikutnya adalah menengok tempat tinggal suster dan para kakak novis. Kebetulan suster kepala provinsial juga ada di ruang makan susteran. Beliau bertanya siapa diantara anak-anak yang ingin menjadi suster, ada dua anak yang mengangkat tangan. Ketika ditanyakan siapa yang ingin menjadi pastur, tidak seorangpun yang mengangkat tangan.
Jawaban itu berubah ketika kami berada di depan rumah kakak novis. Ketika kakak novis meminta yang ingin menjadi suster mengangkat tangan, ada tiga gadis kecil yang mengangkat telunjuknya. Kemudian ketika ditanyakan berapa orang yang ingin menjadi pastur, ada satu anak lelaki yang mengacungkan jari.
Orang tua dan pendidik memang bertanggungjawab atas panggilan Tuhan kepada anak-anak itu. Itulah sebabnya suster-suster mau menerima kunjungan kami ke biara mereka. Anak-anak perlu mengenal panggilan dan kehidupan membiara itu sejak dini, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk mengetahui bila Tuhan memanggil mereka. Orang tua perlu menjadi seperti Eli (1 Sam 3: 1-10) yang memberi petunjuk kepada Samuel dalam mendengar sabda Tuhan.
Suster mengingatkan kami orang tua yang mendampingi, betapa sering orang tua mendoakan agar panggilan Tuhan bagi pekerja di ladangNya semakin subur, dengan catatan bukan anak mereka yang dipanggil. Kegiatan bersama seperti ini memang tidak hanya mempersiapkan benih untuk ladangNya, tapi juga mempersiapkan kesiapan hati orang tua untuk menanam benih dan merawat benih itu dengan baik.
Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit (Mat 9:37)...karena itu kita perlu mempersiapkan calon-calon pekerja di ladang Tuhan. Akhirnya toh, bukan kita yang memilih Dia, melainkan Ia yang akan memilih pekerja-pekerjaNya.
Ya Bapa,
Terima kasih atas pengalaman hari ini,
Atas perkenalan kami pada bagian dari GerejaMu,
Bantulah kami agar mampu mengenali suaraMu dan memberitakanNya,
Agar anak-anak kami bisa mengenali panggilanMu dan menjadi pekerja di ladangMu.
Amin,
Wednesday, March 25, 2009
Mari Bertanggungjawab Melalui Pekerjaan
Hari ini Yesus mengatakan bahwa Dia tidak akan bersaksi tentang diriNya sendiri, dan dia juga tidak membutuhkan kesaksian manusia tentang diriNya, melainkan pekerjaanNya yang akan memberikan kesaksian tentang diriNya.
Hari ini melalui Yohanes 5:31-47 Yesus menyentuh aku terutama dalam dua hal. Pertama dalam hal pekerjaan. "...Aku mempunyai satu kesaksian yang lebih penting daripada kesaksian Yohanes, yaitu segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepadaKu, supaya aku melaksanakannya. Pekerjaan itu jualah yang sekarang Kukerjakan, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku."
Sebagai ibu rumah tangga, hasil dari pekerjaanku tidak langsung terlihat. Tidak ada gaji, tidak ada promosi, bahkan terkadang terasa penuh onak dan duri; pergulatan dengan emosi, pergulatan antara keinginan diri pribadi dan kepentingan anak/keluarga.
Sebagai relawan juga tidak ada hasil yang secara langsung kuterima. Yang ada adalah pergelutan membagi waktu dan perhatian, bahkan di luar waktu terkadang masih perlu juga pengorbanan finansial. Pergumulan batin untuk bisa berbagi dari keadaan yang serba "kurang", artinya kurang waktu, kurang dana, atau bahkan kurang daya tahan emosional, adalah bagian dari pekerjaan itu.
Tiba-tiba aku teringat akan materi pendalaman iman minggu lalu, mengenai Yesus yang memberi makan orang banyak. Bukan satu dua kali Ia memberi makan orang banyak. Dari Matius 14:13-21 kita tahu Ia memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan, kemudian dari Matius 15: 32-39 Ia memberi makan empat ribu orang dari tujuh roti dan beberapa ikan. Jumlah orang itu tidak absolut karena yang dihitung hanya kaum lelaki, artinya kepala keluarga saja. Ia akan menggandakan yang sedikit itu selama diberikan untuk kepentingan orang banyak. Saya berharap Ia juga mau menggandakan hasil dari bibit yang kusebar melalui pelayananku yang rasanya masih serba penuh kekurangan ini. Yesus mengajak kita untuk mensyukuri apapun (berapapun) yang kita miliki, dan Ia juga mengajak kita untuk memberikan semua yang kita miliki serta hasil jerih payah kita kepada Tuhan untuk digandakanNya dan dibagikanNya kepada orang banyak.
Mendapatkan talenta yang besar seringkali juga membuat saya tidak mampu fokus, semua hal menarik hati, semua pekerjaan ingin dicoba. Seringkali saya bertanya-tanya: "Tuhan, apa yang Kau inginkan aku perbuat?" Orang-orang di sekitarku seringkali tidak bisa mengerti kegiatan lain yang kulakukan yang tidak memperoleh imbalan materi. Seringkali saya dituduh melalaikan anak-anakku karena terlalu terserap dalam kegiatan lain yang menurut mereka malah menghabiskan energi dan materi yang seharusnya bisa diberikan untuk keluarga. Sebenarnya saya juga tidak mengerti mengapa dorongan untuk pelayanan "keluar rumah" begitu besar. Terkadang saya juga takut kalau semua ini semata untuk egoisme dan kepentingan pribadiku yang ingin eksis di mata orang lain. Hari ini rasanya Tuhan menguatkan hatiku, "Berikanlah roti dan ikan yang sedikit yang kau miliki kepadaKu dan Aku akan membantumu menggandakannya agar cukup bagi dirimu dan bagi semua orang."
Fokus ke dalam Tuhan, rasanya itu yang terpenting bagiku saat ini, karena hanya Dia yang sanggup mengetahui porsi kebutuhan anak-anakku maupun orang lain yang membutuhkan bantuanku. Hanya Dia yang sanggup mencukupkan 24 jam dalam sehari menjadi cukup untuk pelayanan, pengembangan diri, dan istirahatku.
Mendekatkan diri kepadaNya membuat saya mampu melihat keajaiban-keajaiban dalam kehidupanku. Ada banyak yang ajaib dalam kehidupan seorang ibu. Sejak dari proses mengandung dan melahirkan, sampai proses membesarkan anak, semuanya penuh dengan keajaiban.
Terkadang saya juga menerima hadiah yang tidak kusangka-sangka. Ketika merasa bahwa kegiatan jurnalisme warga adalah sebuah bentuk yang patut diperjuangkan, saya mencoba mendorong agar salah seorang dari wikimu (portal jurnalisme warga lokal) bisa diundang ke Seoul. Undangan yang datang justru untuk diriku. Ketika orang-orang mulai mencerca waktu dan materi yang kukorbankan untuk kegiatan ini, ada saja hadiah-hadiah kecil yang diberikanNya kepadaku melalui orang-orang di sekitarku. Tentu saja saya tidak boleh terlena, karena semua yang ada bukan hak yang kuperoleh, melainkan karena kemurahan hatiNya.
Banyak hal yang patut kusyukuri dalam kehidupan ini. Resesi global mulai terasa berat. Hampir setiap hari media massa mengisahkan kisah pembunuhan, bunuh diri, maupun percobaan bunuh diri karena alasan ekonomi. Kegelapan menyertai keputusan-keputusan yang diambil dalam keputusasaan. Saya bersyukur sampai saat ini masih mampu berjalan di dalam terangNya.
Catatan kedua yang membekas di hatiku adalah "Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa olehNya kamu mempunyai hidup yang kekal. Tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberikan kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepadaKu untuk memperoleh hidup itu."
Dalam pendalaman iman minggu lalu, seorang teman yang sering membaca blog ini bertanya: "Benar, yang kamu tulis itu datang begitu saja?" Memang saya mendapat talenta untuk lebih mampu merangkai kata-kata, tetapi terus terang tanpa doa terasa sulit untuk menuliskan rangkaian tulisan di blog ini. Terkadang, saya sendiri juga terpesona pada hasil yang tertuliskan disini. Tetapi semua itu tidak menandakan bahwa saya dipenuhi oleh Roh Kudus dan hidup suci, salah besar! Mungkin Roh Kudus bekerja selama jemariku mengetik tulisan ini. Tulisan untuk blog Journey to His Words tidak pernah kuperlakukan seperti artikel untuk media massa. Tulisan ini tidak dipersiapkan di Word atau di Googledoc, melainkan langsung diketik di template blog. Suntingan akhir seringkali terjadi setelah tulisan naik dan terasa ada kata-kata yang agak janggal (masalah bahasa).
Ketakutanku yang paling besar adalah mampu menuliskan semua hal-hal yang menarik dan inspiratif untuk mendekatkan orang kepada Tuhan, tetapi saya sendiri tidak datang kepadaNya untuk memperoleh kehidupan kekal itu. Keseimbangan dan penyangkalan diri, kemampuan untuk berbagi dan kesiapan untuk menerima semua cobaan, fokus dalam Dia dan komunikasi aktif denganNya yang disertai dengan kerja keras dalam dunia nyata, semuanya itu perlu kupersembahkan kepadaNya agar Dia mampu bekerja melalui aku. Kesulitan terbesarku adalah untuk mengetahui pilihan yang tepat dari persimpangan jalan di depanku. Kesulitan lainnya adalah benar-benar melaksanakan apa yang diberikanNya kepadaku melalui sabda-sabdaNya yang kutelusuri disini.
Tuhan,
Bapa yang Mahabaik dan Maha Pemurah,
Terima kasih atas kekuatan yang Dikau berikan,
Atas anugrah yang Dikau hadiahkan,
Kusadar betapa jauh dari sempurna diriku,
Betapa banyak kekurangan dalam pelayananku kepadaMu,
Tolong aku Bapa,
Ajari aku bahasa cintaMu,
Ajari aku menggunakannya,
Ajari aku membibit dan menanamkannya,
Agar mampu berbuah banyak dan layak dibagikan dalam namaMu.
Amin.
Hari ini melalui Yohanes 5:31-47 Yesus menyentuh aku terutama dalam dua hal. Pertama dalam hal pekerjaan. "...Aku mempunyai satu kesaksian yang lebih penting daripada kesaksian Yohanes, yaitu segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepadaKu, supaya aku melaksanakannya. Pekerjaan itu jualah yang sekarang Kukerjakan, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku."
Sebagai ibu rumah tangga, hasil dari pekerjaanku tidak langsung terlihat. Tidak ada gaji, tidak ada promosi, bahkan terkadang terasa penuh onak dan duri; pergulatan dengan emosi, pergulatan antara keinginan diri pribadi dan kepentingan anak/keluarga.
Sebagai relawan juga tidak ada hasil yang secara langsung kuterima. Yang ada adalah pergelutan membagi waktu dan perhatian, bahkan di luar waktu terkadang masih perlu juga pengorbanan finansial. Pergumulan batin untuk bisa berbagi dari keadaan yang serba "kurang", artinya kurang waktu, kurang dana, atau bahkan kurang daya tahan emosional, adalah bagian dari pekerjaan itu.
Tiba-tiba aku teringat akan materi pendalaman iman minggu lalu, mengenai Yesus yang memberi makan orang banyak. Bukan satu dua kali Ia memberi makan orang banyak. Dari Matius 14:13-21 kita tahu Ia memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan, kemudian dari Matius 15: 32-39 Ia memberi makan empat ribu orang dari tujuh roti dan beberapa ikan. Jumlah orang itu tidak absolut karena yang dihitung hanya kaum lelaki, artinya kepala keluarga saja. Ia akan menggandakan yang sedikit itu selama diberikan untuk kepentingan orang banyak. Saya berharap Ia juga mau menggandakan hasil dari bibit yang kusebar melalui pelayananku yang rasanya masih serba penuh kekurangan ini. Yesus mengajak kita untuk mensyukuri apapun (berapapun) yang kita miliki, dan Ia juga mengajak kita untuk memberikan semua yang kita miliki serta hasil jerih payah kita kepada Tuhan untuk digandakanNya dan dibagikanNya kepada orang banyak.
Mendapatkan talenta yang besar seringkali juga membuat saya tidak mampu fokus, semua hal menarik hati, semua pekerjaan ingin dicoba. Seringkali saya bertanya-tanya: "Tuhan, apa yang Kau inginkan aku perbuat?" Orang-orang di sekitarku seringkali tidak bisa mengerti kegiatan lain yang kulakukan yang tidak memperoleh imbalan materi. Seringkali saya dituduh melalaikan anak-anakku karena terlalu terserap dalam kegiatan lain yang menurut mereka malah menghabiskan energi dan materi yang seharusnya bisa diberikan untuk keluarga. Sebenarnya saya juga tidak mengerti mengapa dorongan untuk pelayanan "keluar rumah" begitu besar. Terkadang saya juga takut kalau semua ini semata untuk egoisme dan kepentingan pribadiku yang ingin eksis di mata orang lain. Hari ini rasanya Tuhan menguatkan hatiku, "Berikanlah roti dan ikan yang sedikit yang kau miliki kepadaKu dan Aku akan membantumu menggandakannya agar cukup bagi dirimu dan bagi semua orang."
Fokus ke dalam Tuhan, rasanya itu yang terpenting bagiku saat ini, karena hanya Dia yang sanggup mengetahui porsi kebutuhan anak-anakku maupun orang lain yang membutuhkan bantuanku. Hanya Dia yang sanggup mencukupkan 24 jam dalam sehari menjadi cukup untuk pelayanan, pengembangan diri, dan istirahatku.
Mendekatkan diri kepadaNya membuat saya mampu melihat keajaiban-keajaiban dalam kehidupanku. Ada banyak yang ajaib dalam kehidupan seorang ibu. Sejak dari proses mengandung dan melahirkan, sampai proses membesarkan anak, semuanya penuh dengan keajaiban.
Terkadang saya juga menerima hadiah yang tidak kusangka-sangka. Ketika merasa bahwa kegiatan jurnalisme warga adalah sebuah bentuk yang patut diperjuangkan, saya mencoba mendorong agar salah seorang dari wikimu (portal jurnalisme warga lokal) bisa diundang ke Seoul. Undangan yang datang justru untuk diriku. Ketika orang-orang mulai mencerca waktu dan materi yang kukorbankan untuk kegiatan ini, ada saja hadiah-hadiah kecil yang diberikanNya kepadaku melalui orang-orang di sekitarku. Tentu saja saya tidak boleh terlena, karena semua yang ada bukan hak yang kuperoleh, melainkan karena kemurahan hatiNya.
Banyak hal yang patut kusyukuri dalam kehidupan ini. Resesi global mulai terasa berat. Hampir setiap hari media massa mengisahkan kisah pembunuhan, bunuh diri, maupun percobaan bunuh diri karena alasan ekonomi. Kegelapan menyertai keputusan-keputusan yang diambil dalam keputusasaan. Saya bersyukur sampai saat ini masih mampu berjalan di dalam terangNya.
Catatan kedua yang membekas di hatiku adalah "Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa olehNya kamu mempunyai hidup yang kekal. Tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberikan kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepadaKu untuk memperoleh hidup itu."
Dalam pendalaman iman minggu lalu, seorang teman yang sering membaca blog ini bertanya: "Benar, yang kamu tulis itu datang begitu saja?" Memang saya mendapat talenta untuk lebih mampu merangkai kata-kata, tetapi terus terang tanpa doa terasa sulit untuk menuliskan rangkaian tulisan di blog ini. Terkadang, saya sendiri juga terpesona pada hasil yang tertuliskan disini. Tetapi semua itu tidak menandakan bahwa saya dipenuhi oleh Roh Kudus dan hidup suci, salah besar! Mungkin Roh Kudus bekerja selama jemariku mengetik tulisan ini. Tulisan untuk blog Journey to His Words tidak pernah kuperlakukan seperti artikel untuk media massa. Tulisan ini tidak dipersiapkan di Word atau di Googledoc, melainkan langsung diketik di template blog. Suntingan akhir seringkali terjadi setelah tulisan naik dan terasa ada kata-kata yang agak janggal (masalah bahasa).
Ketakutanku yang paling besar adalah mampu menuliskan semua hal-hal yang menarik dan inspiratif untuk mendekatkan orang kepada Tuhan, tetapi saya sendiri tidak datang kepadaNya untuk memperoleh kehidupan kekal itu. Keseimbangan dan penyangkalan diri, kemampuan untuk berbagi dan kesiapan untuk menerima semua cobaan, fokus dalam Dia dan komunikasi aktif denganNya yang disertai dengan kerja keras dalam dunia nyata, semuanya itu perlu kupersembahkan kepadaNya agar Dia mampu bekerja melalui aku. Kesulitan terbesarku adalah untuk mengetahui pilihan yang tepat dari persimpangan jalan di depanku. Kesulitan lainnya adalah benar-benar melaksanakan apa yang diberikanNya kepadaku melalui sabda-sabdaNya yang kutelusuri disini.
Tuhan,
Bapa yang Mahabaik dan Maha Pemurah,
Terima kasih atas kekuatan yang Dikau berikan,
Atas anugrah yang Dikau hadiahkan,
Kusadar betapa jauh dari sempurna diriku,
Betapa banyak kekurangan dalam pelayananku kepadaMu,
Tolong aku Bapa,
Ajari aku bahasa cintaMu,
Ajari aku menggunakannya,
Ajari aku membibit dan menanamkannya,
Agar mampu berbuah banyak dan layak dibagikan dalam namaMu.
Amin.
Tuesday, March 24, 2009
Mari Menjawab Kabar Suka Cita
Hari ini adalah Hari Raya Kabar Sukacita, dari Injil Lukas 1: 26-38 bisa kita peroleh kabar yang paling agung itu. "Roh KududsKu akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau, sebab itu anak yang kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah" (Luk 1:35), begitulah malaikat Gabriel menjawab keraguan yang sempat terbersit di hati Maria.
Tulisan di Cafe Rohani dengan judul "Menjawab" sangat mempengaruhiku pagi ini. Ada tiga hal dari Maria yang dicatat dalam tulisan tersebut, Maria adalah manusia beriman, Maria adalah manusia yang terbuka terhadap karya Allah, berkat iman dan sikap terbukanya Maria mampu menjawab tawaran Tuhan.
Menjadi manusia beriman berarti membentuk hidup yang dipenuhi sikap doa dan mengarah kepada Allah. Sebenarnya saya perlu juga mengenal dimensi lain dari doa. Bagiku doa adalah percakapan atau dialog dengan Tuhan. Selama ini saya mengusahakan dialog yang tiada henti dengan Tuhan, tetapi seperti kebiasaan burukku, dialog ini lebih sering kumonopoli. Artinya saya yang berkeluh kesah kepadaNya, bertanya kepadaNya, bercerita kepadaNya...menjadi sebuah monolog! Saya terkadang lupa untuk diam dan mendengarkan.
Keterbukaan Maria menyiratkan bahwa dia mengosongkan dirinya dari segala kepentingan dan keinginan supaya bisa diisi oleh rencana dan kehendak Allah. Inilah hal yang kurang kutemui dalam diriku, kepentingan dan keinginanku masih sangat mendominasi monolog yang kusodorkan sebagai doa. Meditasi kelompok membantu aku untuk mundur dari kepentingan dan keinginanku pribadi. Biasanya dalam meditasi kelompok itu saya masih berangkat dari sudut pandang dan kepentingan pribadiku sendiri, tetapi begitu lebur dalam hasil meditasi perorangan teman-teman maka rencana Allah yang jauh lebih besar dari pikiranku sedikit terbukakan.
Terkadang kita memandang manusia hanya dari yang tampak di luar, tetapi pergumulan mereka di dalam hati tersimpan rapat disana. Terkadang memang orang ekstrovert seperti saya tidak sanggup menyimpannya rapat-rapat di dalam hati, tetapi tetap saja apa yang tampil di mata orang lain mungkin tidak sama persis dengan apa yang sebenarnya sedang bergolak di dalam hatiku. Dalam kesempatan membukakan diri bersama rekan-rekan kelompok doa baru terasa betapa salib itu begitu beraneka macam. Semuanya diukir dengan indah oleh tanganNya secara khusus, sesuai dengan kemampuan kami masing-masing menanggung bebannya.
Jawaban Maria: "Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu" adalah jawaban yang sangat sarat dengan ketebalan imannya. Sebenarnya Maria juga tidak benar-benar memahami apa yang sedang dialaminya, ataupun apa yang akan dijalaninya. Kabar sukacita ini tidak berhenti hanya dalam kelahiran Yesus, melainkan merupakan satu paket dengan kisah sengsaraNya, kematian, kebangkitan, dan kenaikanNya ke surga. Satu paket lengkap yang membukakan keselamatan manusia dari akibat dosa Adam dan Hawa. Dalam keadaan tidak mengerti, Maria mau menerima kehendak Allah dan bersedia menanggung segala konsekuensi yang akan dihadapinya dengan iman kepada Tuhan.
Rasanya malu membayangkan betapa sering saya memohon kepada Tuhan untuk menjauhkan segala konsekuensi yang berlumurkan kepahitan hidup dari kehidupanku. Memang Yesus dalam saat-saat terakhirnya di taman Getsemani juga gentar mengingat konsekuensi yang akan dihadapinya dan memohon: "Ya BapaKu, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripadaKu, tetapi bukan kehendakKu, melainkan kehendakMulah yang terjadi." (Lukas 22:42). Yesus memohonkan kekuatan kepada BapaNya melalui doa, dan malaikat Tuhan datang memberikan kekuatan kepadaNya (Luk 22:43). Terkadang mulut berucap: "terjadilah padaku menurut kehendakMu Bapa," tetapi hati juga sibuk memohon agar segala kemalangan dan kesulitan hidup menjauh dari diriku dan keluargaku. Dan ketika nasib buruk menyambangi sibuk berpikir apa yang salah, mengapa kehidupan tidak berjalan dalam damai sejahteraNya. Padahal damai sejahtera bisa terasakan walaupun kita dalam keadaan terpuruk, berduka, dikhianati, dilecehkan, ataupun dalam penderitaan lainnya, selama kita tetap berjalan bersamaNya. "Imanmu telah menyelamatkanmu," kata Yesus kepada orang-orang yang disembuhkanNya. Iman itu yang memberikan kekuatan untuk terus merasakan damai sejahteraNya dalam untung dan malang, dalam sukacita dan dukacita, dalam kelegaan dan ketakutan...malaikatNya senantiasa mengirim rahmatNya yang menguatkan selama kita hidup di dalam iman.
"Aku senantiasa memandang kepada Tuhan,
karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah.
Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorak,
Bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram,
sebab Engkau tidak menyerahkan aku kepada dunia orang mati,
dan tidak membiarkan Orang KudusMu melihat kebinasaan.
Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan, Engkau akan melimpahi aku dengan sukacita di hadapanMu." (Kis Ras 2: 25-28)
Apa yang perlu kuperbuat ya Allah? Melalui Petrus kedengar jawabanNya: "Bertobatlah, berilah dirimu diselamatkan..." (Kis Ras 2:37-40)
Ya Bapa,
Tumbuhkanlah aku terus di dalam iman kepadaMu,
Bantulah keluargaku memupuk iman itu dalam persemaian bibit di dalam anak-anak kami,
Dan berilah kami kekuatanMu untuk terus terbuka terhadap kehendakMu,
dan berani melangkah bersamaMu walaupun gelombang dan badai menghadang di muka.
Bapa, ampunilah kami orang berdosa.
Amin.
Tulisan di Cafe Rohani dengan judul "Menjawab" sangat mempengaruhiku pagi ini. Ada tiga hal dari Maria yang dicatat dalam tulisan tersebut, Maria adalah manusia beriman, Maria adalah manusia yang terbuka terhadap karya Allah, berkat iman dan sikap terbukanya Maria mampu menjawab tawaran Tuhan.
Menjadi manusia beriman berarti membentuk hidup yang dipenuhi sikap doa dan mengarah kepada Allah. Sebenarnya saya perlu juga mengenal dimensi lain dari doa. Bagiku doa adalah percakapan atau dialog dengan Tuhan. Selama ini saya mengusahakan dialog yang tiada henti dengan Tuhan, tetapi seperti kebiasaan burukku, dialog ini lebih sering kumonopoli. Artinya saya yang berkeluh kesah kepadaNya, bertanya kepadaNya, bercerita kepadaNya...menjadi sebuah monolog! Saya terkadang lupa untuk diam dan mendengarkan.
Keterbukaan Maria menyiratkan bahwa dia mengosongkan dirinya dari segala kepentingan dan keinginan supaya bisa diisi oleh rencana dan kehendak Allah. Inilah hal yang kurang kutemui dalam diriku, kepentingan dan keinginanku masih sangat mendominasi monolog yang kusodorkan sebagai doa. Meditasi kelompok membantu aku untuk mundur dari kepentingan dan keinginanku pribadi. Biasanya dalam meditasi kelompok itu saya masih berangkat dari sudut pandang dan kepentingan pribadiku sendiri, tetapi begitu lebur dalam hasil meditasi perorangan teman-teman maka rencana Allah yang jauh lebih besar dari pikiranku sedikit terbukakan.
Terkadang kita memandang manusia hanya dari yang tampak di luar, tetapi pergumulan mereka di dalam hati tersimpan rapat disana. Terkadang memang orang ekstrovert seperti saya tidak sanggup menyimpannya rapat-rapat di dalam hati, tetapi tetap saja apa yang tampil di mata orang lain mungkin tidak sama persis dengan apa yang sebenarnya sedang bergolak di dalam hatiku. Dalam kesempatan membukakan diri bersama rekan-rekan kelompok doa baru terasa betapa salib itu begitu beraneka macam. Semuanya diukir dengan indah oleh tanganNya secara khusus, sesuai dengan kemampuan kami masing-masing menanggung bebannya.
Jawaban Maria: "Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu" adalah jawaban yang sangat sarat dengan ketebalan imannya. Sebenarnya Maria juga tidak benar-benar memahami apa yang sedang dialaminya, ataupun apa yang akan dijalaninya. Kabar sukacita ini tidak berhenti hanya dalam kelahiran Yesus, melainkan merupakan satu paket dengan kisah sengsaraNya, kematian, kebangkitan, dan kenaikanNya ke surga. Satu paket lengkap yang membukakan keselamatan manusia dari akibat dosa Adam dan Hawa. Dalam keadaan tidak mengerti, Maria mau menerima kehendak Allah dan bersedia menanggung segala konsekuensi yang akan dihadapinya dengan iman kepada Tuhan.
Rasanya malu membayangkan betapa sering saya memohon kepada Tuhan untuk menjauhkan segala konsekuensi yang berlumurkan kepahitan hidup dari kehidupanku. Memang Yesus dalam saat-saat terakhirnya di taman Getsemani juga gentar mengingat konsekuensi yang akan dihadapinya dan memohon: "Ya BapaKu, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripadaKu, tetapi bukan kehendakKu, melainkan kehendakMulah yang terjadi." (Lukas 22:42). Yesus memohonkan kekuatan kepada BapaNya melalui doa, dan malaikat Tuhan datang memberikan kekuatan kepadaNya (Luk 22:43). Terkadang mulut berucap: "terjadilah padaku menurut kehendakMu Bapa," tetapi hati juga sibuk memohon agar segala kemalangan dan kesulitan hidup menjauh dari diriku dan keluargaku. Dan ketika nasib buruk menyambangi sibuk berpikir apa yang salah, mengapa kehidupan tidak berjalan dalam damai sejahteraNya. Padahal damai sejahtera bisa terasakan walaupun kita dalam keadaan terpuruk, berduka, dikhianati, dilecehkan, ataupun dalam penderitaan lainnya, selama kita tetap berjalan bersamaNya. "Imanmu telah menyelamatkanmu," kata Yesus kepada orang-orang yang disembuhkanNya. Iman itu yang memberikan kekuatan untuk terus merasakan damai sejahteraNya dalam untung dan malang, dalam sukacita dan dukacita, dalam kelegaan dan ketakutan...malaikatNya senantiasa mengirim rahmatNya yang menguatkan selama kita hidup di dalam iman.
"Aku senantiasa memandang kepada Tuhan,
karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah.
Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorak,
Bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram,
sebab Engkau tidak menyerahkan aku kepada dunia orang mati,
dan tidak membiarkan Orang KudusMu melihat kebinasaan.
Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan, Engkau akan melimpahi aku dengan sukacita di hadapanMu." (Kis Ras 2: 25-28)
Apa yang perlu kuperbuat ya Allah? Melalui Petrus kedengar jawabanNya: "Bertobatlah, berilah dirimu diselamatkan..." (Kis Ras 2:37-40)
Ya Bapa,
Tumbuhkanlah aku terus di dalam iman kepadaMu,
Bantulah keluargaku memupuk iman itu dalam persemaian bibit di dalam anak-anak kami,
Dan berilah kami kekuatanMu untuk terus terbuka terhadap kehendakMu,
dan berani melangkah bersamaMu walaupun gelombang dan badai menghadang di muka.
Bapa, ampunilah kami orang berdosa.
Amin.
Monday, March 23, 2009
Tuhan yang Menyembuhkan
Ada beberapa hal yang menarik dari bacaan Injil Yohannes 5: 1-16 yang saya baca hari ini. Pertama, saya membayangkan diri sebagai seseorang yang sudah tiga puluh delapan tahun sakit. Ketika Yesus bertanya: "Maukah engkau sembuh?" Ia menjawab: "Tuhan tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu, apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku sendiri menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahui aku."
Rasanya situasi itu begitu mudah terbayangkan. Si sakit yang sulit berjalan tidak pernah bisa mencapai air kolam Betesda ketika malaikat Tuhan mengguncangkan air kolam untuk kesembuhan mereka yang mandi ke dalamnya. Beruntung bahwa Yesus berjalan melalui si sakit ini dan berbelas kasihan. Lucunya pertanyaan Yesus apakah ia ingin sembuh tidak langsung dijawabnya. Hal ini karena ia tidak mengenal Yesus. Tetapi dia tergerak karena ada orang yang mau memperhatikannya setelah 38 tahun dia merasa sendirian. Tidak ada orang yang menurunkan dirinya ke dalam kolam, orang lain berlomba mendahului dirinya, rasanya semua orang meninggalkan dirinya...dia sendirian dalam kesulitannya.
Kata Yesus kepadanya: "Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah." Dan pada saat itu juga sembuhlah orang itu dan lalu ia mengangkat tilamnya dan berjalan. Orang sakit ini tidak terpaku pada pikiran negatif yang baru saja dikeluhkannya. Walaupun ia merasa sendirian, tetapi ia mau mendengarkan perintah orang asing yang tidak dikenalnya untuk kesembuhannya. Beruntung, ia bertemu dengan Yesus yang memang membawakan kesembuhan baginya. Dalam penderitaan, kesakitan, maupun kesendirian seringkali kita menghabiskan waktu untuk meratap. Beruntung orang tadi tidak hanya meratap, dia juga mendengarkan perintah Yesus. Mungkin ada saat-saat dimana Yesus sudah menyuruhku menngangkat tilamku dan pindah dari tempat yang menyengsarakan diriku, tetapi aku tidak mendengar suaraNya karena hanya sibuk mengeluh dan memohon bantuanNya.
Kehidupan masa kini memang lekat dengan keinginan instan. Orang itu setia menanti selama tiga puluh delapan tahun. Ia terus menantikan kesempatan untuk bisa disembuhkan, walaupun ia tahu sanagt sulit baginya mencapai kolam itu sendirian. Kesabarannya berbuahkan hasil. Di luar itu, terpikir juga bilamana kita berada di dalam posisi orang sehat yang lalu lalang disana, bagaimana kita bertindak? Saya pernah melihat betapa banyak orang yang merelakan waktu libur musim panasnya untuk berada di Lourdes, membantu orang-orang sakit yang ingin mendekat ke Grotto dan mandi dalam air Lourdes. Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh ke Lourdes, ada saja waktu ketika seorang teman menelpon untuk sekedar "curhat", apakah kita cukup sabar untuk mendengarkan mereka? Apakah kita cukup jeli untuk melihat orang-orang yang butuh bantuan di sekeliling kita?
Yesus datang kepada si sakit dan menyembuhkannya walaupun hari itu hari Sabbat. "BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga." Allah tidak pernah berhenti bekerja demi keselamatan manusia. Pelangi, busur perjanjian yang diberikannya boleh jadi memudar tertelan polusi bumi, tetapi janjiNya kekal abadi.
"Engkau telah sembuh; jangan berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk." Tentunya ayat ini bukan untuk mengatakan bahwa penderitaan dan penyakit yang kita alami adalah karma buruk perbuatan kita sendiri, tetapi seringkali setelah terlepas dari kesulitan dan penderitaan kita lupa kepada perintah dan laranganNya. Kita lupa bahwa kesembuhan itu kita peroleh bukan karena kepandaian kita, bukan karena kegesitan kita mencapai kolam kesembuhan, tetapi berasal dari belas kasih kunjunganNya.
"Dan kemana saja sungai itu mengalir, semuanya disana hidup" (Yehezkiel 47:9) Aliran kasihNya menghidupkan dan menyejukkan hati. Damai sejahtera menjadi buah dari pohon yang dialiri kasihNya.
Tuhan,
terima kasih sudah datang untuk kesembuhanku,
biarkan aku berjalan bersamaMu selalu,
bersama Gembala kumerasa aman dan terpandu,
jangan biarkan aku menyimpang dari jalanMu,
jangan biarkan damai sejahteraMu menghilang dariku,
Jangan biarkan aku menjauh dari Sungai KehidupanMu.
jangan biarkan mataku buta dan telingaku tuli dari jeritan sesama
yang membutuhkan hadirMu.
bantu aku membawa mereka ke Mata Air Kehidupan Abadi.
Biar mulut kami senantiasa memuji namaMu...
Amin.
Rasanya situasi itu begitu mudah terbayangkan. Si sakit yang sulit berjalan tidak pernah bisa mencapai air kolam Betesda ketika malaikat Tuhan mengguncangkan air kolam untuk kesembuhan mereka yang mandi ke dalamnya. Beruntung bahwa Yesus berjalan melalui si sakit ini dan berbelas kasihan. Lucunya pertanyaan Yesus apakah ia ingin sembuh tidak langsung dijawabnya. Hal ini karena ia tidak mengenal Yesus. Tetapi dia tergerak karena ada orang yang mau memperhatikannya setelah 38 tahun dia merasa sendirian. Tidak ada orang yang menurunkan dirinya ke dalam kolam, orang lain berlomba mendahului dirinya, rasanya semua orang meninggalkan dirinya...dia sendirian dalam kesulitannya.
Kata Yesus kepadanya: "Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah." Dan pada saat itu juga sembuhlah orang itu dan lalu ia mengangkat tilamnya dan berjalan. Orang sakit ini tidak terpaku pada pikiran negatif yang baru saja dikeluhkannya. Walaupun ia merasa sendirian, tetapi ia mau mendengarkan perintah orang asing yang tidak dikenalnya untuk kesembuhannya. Beruntung, ia bertemu dengan Yesus yang memang membawakan kesembuhan baginya. Dalam penderitaan, kesakitan, maupun kesendirian seringkali kita menghabiskan waktu untuk meratap. Beruntung orang tadi tidak hanya meratap, dia juga mendengarkan perintah Yesus. Mungkin ada saat-saat dimana Yesus sudah menyuruhku menngangkat tilamku dan pindah dari tempat yang menyengsarakan diriku, tetapi aku tidak mendengar suaraNya karena hanya sibuk mengeluh dan memohon bantuanNya.
Kehidupan masa kini memang lekat dengan keinginan instan. Orang itu setia menanti selama tiga puluh delapan tahun. Ia terus menantikan kesempatan untuk bisa disembuhkan, walaupun ia tahu sanagt sulit baginya mencapai kolam itu sendirian. Kesabarannya berbuahkan hasil. Di luar itu, terpikir juga bilamana kita berada di dalam posisi orang sehat yang lalu lalang disana, bagaimana kita bertindak? Saya pernah melihat betapa banyak orang yang merelakan waktu libur musim panasnya untuk berada di Lourdes, membantu orang-orang sakit yang ingin mendekat ke Grotto dan mandi dalam air Lourdes. Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh ke Lourdes, ada saja waktu ketika seorang teman menelpon untuk sekedar "curhat", apakah kita cukup sabar untuk mendengarkan mereka? Apakah kita cukup jeli untuk melihat orang-orang yang butuh bantuan di sekeliling kita?
Yesus datang kepada si sakit dan menyembuhkannya walaupun hari itu hari Sabbat. "BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga." Allah tidak pernah berhenti bekerja demi keselamatan manusia. Pelangi, busur perjanjian yang diberikannya boleh jadi memudar tertelan polusi bumi, tetapi janjiNya kekal abadi.
"Engkau telah sembuh; jangan berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk." Tentunya ayat ini bukan untuk mengatakan bahwa penderitaan dan penyakit yang kita alami adalah karma buruk perbuatan kita sendiri, tetapi seringkali setelah terlepas dari kesulitan dan penderitaan kita lupa kepada perintah dan laranganNya. Kita lupa bahwa kesembuhan itu kita peroleh bukan karena kepandaian kita, bukan karena kegesitan kita mencapai kolam kesembuhan, tetapi berasal dari belas kasih kunjunganNya.
"Dan kemana saja sungai itu mengalir, semuanya disana hidup" (Yehezkiel 47:9) Aliran kasihNya menghidupkan dan menyejukkan hati. Damai sejahtera menjadi buah dari pohon yang dialiri kasihNya.
Tuhan,
terima kasih sudah datang untuk kesembuhanku,
biarkan aku berjalan bersamaMu selalu,
bersama Gembala kumerasa aman dan terpandu,
jangan biarkan aku menyimpang dari jalanMu,
jangan biarkan damai sejahteraMu menghilang dariku,
Jangan biarkan aku menjauh dari Sungai KehidupanMu.
jangan biarkan mataku buta dan telingaku tuli dari jeritan sesama
yang membutuhkan hadirMu.
bantu aku membawa mereka ke Mata Air Kehidupan Abadi.
Biar mulut kami senantiasa memuji namaMu...
Amin.
Wednesday, March 18, 2009
Mencari "Discernment"
Pada Hari Raya St. Yusuf (Yosef), Suami SP. Maria, 19 Maret, kita diingatkan kepada pentingnya institusi keluarga sebagai identitas diri. Bacaan Injil diambil dari Matius 1: 16-21, 24a.
Keluarga sebagai institusi yang dipilih oleh Tuhan untuk membesarkan calon generasi penerus memang sudah diwartakan sejak dari Adam dan Hawa dalam kitab Kejadian. Tuhan meminta manusia untuk beranak-cucu dan menjadi bangsa yang besar. Tuhan juga menginginkan manusia saling menjaga. Pertanyaan Kain kepada Tuhan ketika ditanya dimana adiknya berada, adalah pertanyaan retoris: "Apakah aku penjaga adikku?" Demikian pula kita diharapkan untuk saling menjaga di dalam keluarga.
Tetapi yang sangat menarik bagi saya dari bacaan Injil di atas adalah mimpi Yusuf. Ketika ia ingin memutuskan tali pertunangan dengan Maria yang telah mengandung, maka malaikat Tuhan datang kepadanya dalam mimpi dan berkata: "Yusuf, anak Daud, janganlah engkai takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang ada di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Maria akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umatNya dari dosa mereka." Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya.
Seringkali saya merasa bingung dalam mengambil sebuah keputusan, apakah ini adalah kehendak Tuhan bagi saya? Ataukah ini adalah kehendak manusiawiku? Yusuf, seperti juga Abraham (bapa orang beriman) taat kepada perintah Tuhan. Mereka percaya bahwa itu adalah perintah dari Tuhan, bukan dari setan. Mencari "discernment" menurut saya sangat sulit. Seringkali saya menantikan mimpi yang datang dari Tuhan untuk menjawab bagaimana saya harus bersikap. Saya jadi teringat kisah hamba yang diberi talenta. Tuannya tidak mengatakan harus diapakan talenta itu. Mereka masing-masing mengambil keputusan dan usaha sendiri. Sesungguhnya Tuhan menginginkan saya juga ikut aktif dalam memilih, dan dengan aktif memilih keputusan itu berarti saya juga siap bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pilihan itu.
Dalam buku Retret Agung Umat "Mari Bertanggungjawab..." hari ini mengusung judul "Kedekatan dengan Tuhan membuat orang mampu menanggapi panggilan Tuhan." Ada dua pertanyaan reflektif yang diajukan:
1. Sebagai anak Allah apakah aku mempunyai kedekatan dengan Allah yang memampukan aku untuk terlibat dalam karya penyelamatan Allah?
2. Apakah aku menyediakan waktu dan kegiatan untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan agar seperti Maria dan Yusuf mampu bertanggungjawab terhadap panggilan Tuhan hingga akhir hidup kita?
Membuat kedekatan relasi dengan Tuhan akan membantu kita memperoleh pilihan yang tepat, yang sesuai dengan kehendakNya. Setia pada pilihan itu, dalam keadaan senang maupun susah, adalah bentuk tanggungjawab kita terhadap pilihan yang telah kita buat. Satu hal yang bisa saya rasakan dari pengalaman hidup saya, walaupun pilihan yang salah yang kita perbuat, selalu ada kesempatan dariNya untuk kembali kepadaNya. Dia tidak akan pernah meninggalkan kita, tetapi bila kita menjauh maka suaraNya akan sulit terdengar, damai sejahteraNya tidak mencapai kalbu.
Rasanya beberapa minggu yang lalu saya mendengar perkataan pastur di kothbah yang berkata, terkadang orang mengatakan bahwa Tuhan itu diam...tapi apakah benar Tuhan itu diam? Bisa jadi Tuhan sudah bersabda, tapi kita yang tuli dan tidak mendengar sabdaNya. Bisa jadi malaikatNya sudah memperingatkan dalam mimpiku, tapi saya yang lalai tidak mengartikannya dengan benar.
Santo Yusuf juga menjadi sosok yang sangat bertanggungjawab. Walaupun peranannya di dalam Kitab Suci kurang tercatat, tetapi dalam saat-saat terpenting dalam kehidupan Yesus, dia hadir. Dia hadir untuk memberikan identitas diri kepada Yesus, memenuhi janji Tuhan bahwa dari keturunan Daud akan lahir Sang Penebus. Ketika Herodes berniat mengambil nyawa Raja yang baru lahir itu, Yusuf hadir dan membawaNya mengungsi ke tempat yang aman. Dia yang bertanggungjawab menghidupi keluarga Kudus sampai akhirnya Yesus dari Nazaret dikenal juga sebagai anak tukang kayu. Dia hadir dengan diam dalam kehidupan Yesus, sama seperti sikap diamnya ketika Yesus yang baru berusia 12 tahun berkata; "Tidakkah kamu tahu Aku harus berada dalam rumah BapaKu?" Dia tidak mempertanyakan nilai dirinya sebagai bapa keluarga di mata Yesus, dia tidak menuntut balasan sikap hormat dan patuh karena telah membesarkan Yesus.
Tuhan,
Terima kasih atas berkat dan kasih sayangMu kepada kami,
Bantu kami bertanggung jawab seperti Yusuf,
Yang setia dan taat kepadaMu,
Yang senantiasa mendahulukan perintahMu,
dan senantiasa melayani demi namaMu,
Agar damai sejahtera senantiasa datang dalam pilihan-pilihan yang kami ambil,
Agar langkah kami senantiasa berada di dalam jalanMu,
Amin.
Santo Yusuf, temanilah keluarga kami dalam perziarahan di bumi...
Bimbinglah suamiku dalam menjadi bapa keluarga,
Ajarilah kami mengenal kehendak Tuhan. Amin.
Keluarga sebagai institusi yang dipilih oleh Tuhan untuk membesarkan calon generasi penerus memang sudah diwartakan sejak dari Adam dan Hawa dalam kitab Kejadian. Tuhan meminta manusia untuk beranak-cucu dan menjadi bangsa yang besar. Tuhan juga menginginkan manusia saling menjaga. Pertanyaan Kain kepada Tuhan ketika ditanya dimana adiknya berada, adalah pertanyaan retoris: "Apakah aku penjaga adikku?" Demikian pula kita diharapkan untuk saling menjaga di dalam keluarga.
Tetapi yang sangat menarik bagi saya dari bacaan Injil di atas adalah mimpi Yusuf. Ketika ia ingin memutuskan tali pertunangan dengan Maria yang telah mengandung, maka malaikat Tuhan datang kepadanya dalam mimpi dan berkata: "Yusuf, anak Daud, janganlah engkai takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang ada di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Maria akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umatNya dari dosa mereka." Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya.
Seringkali saya merasa bingung dalam mengambil sebuah keputusan, apakah ini adalah kehendak Tuhan bagi saya? Ataukah ini adalah kehendak manusiawiku? Yusuf, seperti juga Abraham (bapa orang beriman) taat kepada perintah Tuhan. Mereka percaya bahwa itu adalah perintah dari Tuhan, bukan dari setan. Mencari "discernment" menurut saya sangat sulit. Seringkali saya menantikan mimpi yang datang dari Tuhan untuk menjawab bagaimana saya harus bersikap. Saya jadi teringat kisah hamba yang diberi talenta. Tuannya tidak mengatakan harus diapakan talenta itu. Mereka masing-masing mengambil keputusan dan usaha sendiri. Sesungguhnya Tuhan menginginkan saya juga ikut aktif dalam memilih, dan dengan aktif memilih keputusan itu berarti saya juga siap bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pilihan itu.
Dalam buku Retret Agung Umat "Mari Bertanggungjawab..." hari ini mengusung judul "Kedekatan dengan Tuhan membuat orang mampu menanggapi panggilan Tuhan." Ada dua pertanyaan reflektif yang diajukan:
1. Sebagai anak Allah apakah aku mempunyai kedekatan dengan Allah yang memampukan aku untuk terlibat dalam karya penyelamatan Allah?
2. Apakah aku menyediakan waktu dan kegiatan untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan agar seperti Maria dan Yusuf mampu bertanggungjawab terhadap panggilan Tuhan hingga akhir hidup kita?
Membuat kedekatan relasi dengan Tuhan akan membantu kita memperoleh pilihan yang tepat, yang sesuai dengan kehendakNya. Setia pada pilihan itu, dalam keadaan senang maupun susah, adalah bentuk tanggungjawab kita terhadap pilihan yang telah kita buat. Satu hal yang bisa saya rasakan dari pengalaman hidup saya, walaupun pilihan yang salah yang kita perbuat, selalu ada kesempatan dariNya untuk kembali kepadaNya. Dia tidak akan pernah meninggalkan kita, tetapi bila kita menjauh maka suaraNya akan sulit terdengar, damai sejahteraNya tidak mencapai kalbu.
Rasanya beberapa minggu yang lalu saya mendengar perkataan pastur di kothbah yang berkata, terkadang orang mengatakan bahwa Tuhan itu diam...tapi apakah benar Tuhan itu diam? Bisa jadi Tuhan sudah bersabda, tapi kita yang tuli dan tidak mendengar sabdaNya. Bisa jadi malaikatNya sudah memperingatkan dalam mimpiku, tapi saya yang lalai tidak mengartikannya dengan benar.
Santo Yusuf juga menjadi sosok yang sangat bertanggungjawab. Walaupun peranannya di dalam Kitab Suci kurang tercatat, tetapi dalam saat-saat terpenting dalam kehidupan Yesus, dia hadir. Dia hadir untuk memberikan identitas diri kepada Yesus, memenuhi janji Tuhan bahwa dari keturunan Daud akan lahir Sang Penebus. Ketika Herodes berniat mengambil nyawa Raja yang baru lahir itu, Yusuf hadir dan membawaNya mengungsi ke tempat yang aman. Dia yang bertanggungjawab menghidupi keluarga Kudus sampai akhirnya Yesus dari Nazaret dikenal juga sebagai anak tukang kayu. Dia hadir dengan diam dalam kehidupan Yesus, sama seperti sikap diamnya ketika Yesus yang baru berusia 12 tahun berkata; "Tidakkah kamu tahu Aku harus berada dalam rumah BapaKu?" Dia tidak mempertanyakan nilai dirinya sebagai bapa keluarga di mata Yesus, dia tidak menuntut balasan sikap hormat dan patuh karena telah membesarkan Yesus.
Tuhan,
Terima kasih atas berkat dan kasih sayangMu kepada kami,
Bantu kami bertanggung jawab seperti Yusuf,
Yang setia dan taat kepadaMu,
Yang senantiasa mendahulukan perintahMu,
dan senantiasa melayani demi namaMu,
Agar damai sejahtera senantiasa datang dalam pilihan-pilihan yang kami ambil,
Agar langkah kami senantiasa berada di dalam jalanMu,
Amin.
Santo Yusuf, temanilah keluarga kami dalam perziarahan di bumi...
Bimbinglah suamiku dalam menjadi bapa keluarga,
Ajarilah kami mengenal kehendak Tuhan. Amin.
Monday, March 16, 2009
Mengampuni dengan segenap hati
Bacaan Injil hari ini diambil dari Matius 18:21-35, mengenai perumpamaan yang diberikan Yesus ketika Petrus bertanya sampai berapa kali ia harus mengampuni saudaranya. Perumpamaan yang diberikan adalah tentang seorang hamba yang hutangnya dihapuskan oleh tuannya karena belas kasihan tuannya, tetapi hamba itu sendiri lalu mencekik temannya yang berhutang kepadanya meminta pelunasan hutang.
Yesus berkata kepada Petrus tentang mengampuni: "...Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Artinya tidak ada batasan untuk mengampuni sesama kita.
Tuhan yang sudah begitu murah hati memaafkan kita, terkadang memang kita lupakan ketika berada di luar gedung gereja. Bahkan di dalam GerejaNya sendiripun terkadang kita melupakan perintahNya untuk mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali ini.
Yang terpikirkan pada saat membaca bacaan hari ini adalah mereka yang bersalah di dalam masyarakat. Contoh yang paling dekat dengan Gereja adalah para mantan imam. Terkadang ada umat yang sangat marah, merasa telah ditipu dan dibohongi, telah menerima sakramen pengakuan dosa dari pendosa, dan akhirnya ia menjadi berbalik tidak percaya lagi kepada institusi Gereja. Saya pribadi menganggap semua itu adalah urusan pribadi mantan imam tersebut dengan Tuhan. Sakramen pengakuan dosa yang diberikannya sebagai imam, bukan berasal dari dirinya pribadi melainkan dari Tuhan. Tetapi terus terang terasa kagok bila bertemu dan harus berhadapan entah sebagai sesama umat, ataupun hanya sebagai sesama manusia.
Sama juga dengan orang-orang yang kita ketahui pernah berbuat kesalahan kepada orang banyak, misalnya menggelapkan uang orang. Kalau bertemu lagi, bagaimana saya harus bersikap? Pura-pura tidak tahu dan tidak ingat? Atau hanya pura-pura tidak tahu perbuatannya? Biasanya saya menghindari bertemu dengan orang-orang tersebut karena bingung bagaimana harus bersikap dan berbicara.
Apakah itu berarti saya belum mengampuni dengan segenap hati? Terkadang orang tersebut malah tidak bersalah secara langsung kepada saya, jadi sebenarnya saya tidak punya perasaan marah atau benci kepadanya, tetapi stigma sosial yang dipegangnya membuat situasi untuk berhadapan dengannya menjadikan saya serba salah.
Pagi ini saya bertanya kepada Tuhan, bagaimana dengan kejadian seperti itu? Jawaban yang kuperoleh adalah Mazmur 25: 1-22 "Doa mohon ampun dan perlindungan." Ya, sama seperti hamba yang dibebaskan hutang-hutangnya saya juga memiliki hutang kepadaNya. Dia telah menghapuskan hutang-hutangku dan saya tidak boleh bersikap seperti hamba yang masih tidak mampu membebaskan hutang temannya. Sebenarnya pesan dari perumpamaan tadi jelas, tetapi hati kecil saya masih memberikan argumentasi. Ada orang yang terkadang tidak tahu bahwa ia bersalah, tanpa mengingatkannya maka dia akan terus dalam kesalahannya. Ia merasa aman dan nyaman dalam kesalahannya karena orang-orang tetap memaafkan dan membiarkan dia berlalu dengan kesalahan-kesalahannya. Kitab Mazmur tadi mengingatkanku bahwa dengan mohon ampun dan perlindungan dariNya, serta dengan menyadari bahwa kita juga manusia yang rentan jatuh ke dalam dosa, kita bisa berharap bahwa Dia akan menunjukkan jalan dalam kebenaran dan mengajarkan kita tindakan yang tepat. Kurasa Dia akan menunjukkan sikap apa yang patut kuberikan kepada sesamaku pada saat saya membutuhkan panduanNya. Yang perlu kulakukan hanya berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan tidak meninggalkan sarana komunikasi denganNya yaitu FirmanNya dan berdoa.
Beritahukanlah jalan-jalanMu kepadaku ya Tuhan,
Tunjukkanlah itu kepadaku.
Bawalah aku berjalan dalam kebenaranMu dan ajarlah aku,
sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku,
Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari. (Mazmur 25:5)
Tuhan,
Terima kasih atas Roh Kudus yang Dikau berikan
Yang menemaniku dalam kegelapan hati
yang menentramkan gejolak amarah yang bisa menghanguskanku,
yang membantuku untuk memaafkan diriku dan sesamaku,
Tuhan yang Maha Pengampun,
Bantu aku mengampuni dengan segenap hati,
Amin.
Yesus berkata kepada Petrus tentang mengampuni: "...Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Artinya tidak ada batasan untuk mengampuni sesama kita.
Tuhan yang sudah begitu murah hati memaafkan kita, terkadang memang kita lupakan ketika berada di luar gedung gereja. Bahkan di dalam GerejaNya sendiripun terkadang kita melupakan perintahNya untuk mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali ini.
Yang terpikirkan pada saat membaca bacaan hari ini adalah mereka yang bersalah di dalam masyarakat. Contoh yang paling dekat dengan Gereja adalah para mantan imam. Terkadang ada umat yang sangat marah, merasa telah ditipu dan dibohongi, telah menerima sakramen pengakuan dosa dari pendosa, dan akhirnya ia menjadi berbalik tidak percaya lagi kepada institusi Gereja. Saya pribadi menganggap semua itu adalah urusan pribadi mantan imam tersebut dengan Tuhan. Sakramen pengakuan dosa yang diberikannya sebagai imam, bukan berasal dari dirinya pribadi melainkan dari Tuhan. Tetapi terus terang terasa kagok bila bertemu dan harus berhadapan entah sebagai sesama umat, ataupun hanya sebagai sesama manusia.
Sama juga dengan orang-orang yang kita ketahui pernah berbuat kesalahan kepada orang banyak, misalnya menggelapkan uang orang. Kalau bertemu lagi, bagaimana saya harus bersikap? Pura-pura tidak tahu dan tidak ingat? Atau hanya pura-pura tidak tahu perbuatannya? Biasanya saya menghindari bertemu dengan orang-orang tersebut karena bingung bagaimana harus bersikap dan berbicara.
Apakah itu berarti saya belum mengampuni dengan segenap hati? Terkadang orang tersebut malah tidak bersalah secara langsung kepada saya, jadi sebenarnya saya tidak punya perasaan marah atau benci kepadanya, tetapi stigma sosial yang dipegangnya membuat situasi untuk berhadapan dengannya menjadikan saya serba salah.
Pagi ini saya bertanya kepada Tuhan, bagaimana dengan kejadian seperti itu? Jawaban yang kuperoleh adalah Mazmur 25: 1-22 "Doa mohon ampun dan perlindungan." Ya, sama seperti hamba yang dibebaskan hutang-hutangnya saya juga memiliki hutang kepadaNya. Dia telah menghapuskan hutang-hutangku dan saya tidak boleh bersikap seperti hamba yang masih tidak mampu membebaskan hutang temannya. Sebenarnya pesan dari perumpamaan tadi jelas, tetapi hati kecil saya masih memberikan argumentasi. Ada orang yang terkadang tidak tahu bahwa ia bersalah, tanpa mengingatkannya maka dia akan terus dalam kesalahannya. Ia merasa aman dan nyaman dalam kesalahannya karena orang-orang tetap memaafkan dan membiarkan dia berlalu dengan kesalahan-kesalahannya. Kitab Mazmur tadi mengingatkanku bahwa dengan mohon ampun dan perlindungan dariNya, serta dengan menyadari bahwa kita juga manusia yang rentan jatuh ke dalam dosa, kita bisa berharap bahwa Dia akan menunjukkan jalan dalam kebenaran dan mengajarkan kita tindakan yang tepat. Kurasa Dia akan menunjukkan sikap apa yang patut kuberikan kepada sesamaku pada saat saya membutuhkan panduanNya. Yang perlu kulakukan hanya berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan tidak meninggalkan sarana komunikasi denganNya yaitu FirmanNya dan berdoa.
Beritahukanlah jalan-jalanMu kepadaku ya Tuhan,
Tunjukkanlah itu kepadaku.
Bawalah aku berjalan dalam kebenaranMu dan ajarlah aku,
sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku,
Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari. (Mazmur 25:5)
Tuhan,
Terima kasih atas Roh Kudus yang Dikau berikan
Yang menemaniku dalam kegelapan hati
yang menentramkan gejolak amarah yang bisa menghanguskanku,
yang membantuku untuk memaafkan diriku dan sesamaku,
Tuhan yang Maha Pengampun,
Bantu aku mengampuni dengan segenap hati,
Amin.
Subscribe to:
Posts (Atom)